BAB 25

1058 Words
… Tarra … … 2003 …                 Cowok bertampang manis dengan seragam sekolah SMP yang masih melekat di tubuhnya, turun dari mobil hitam milik salah satu guru di sekolah. Menatap pilu ke bendera merah yang melambai di pagar rumah. Menatap ke beberapa pelayat yang hadir dengan menggunakan pakaian serba putih. Beberapa pasang mata terarah kepadanya saat langkah kakinya mulai melangkah perlahan memasuki pekarangan rumah. Kabar buruk yang ia terima, langsung membawanya pulang tanpa menanti terlebih dulu jadwal sekolah yang belum usai.                 Beberapa dari pelayat tampak meneteskan air mata namun beberapa lainnya tampak diam dengan wajah datar. Sesungguhnya jauh di dasar hatinya yang terdalam, ia membenci sosok yang kini dikabarkan terbujur kaku. Sikapnya yang selalu keras dan terkesan tak peduli dengan dunia keempat anaknya, membuatnya sulit mendekap kasih sayangnya. Bahkan mendapati senyuman dan wajahnya saat ia berada di rumah pun, jarang. Lelaki tua berusia enam puluh tahun itu memang selalu menghabiskan waktunya di kantor. Di usianya yang tak lagi muda, seharusnya ia sudah pensiun dari perusahaan yang ia rintis dari bawah. Namun dia malah tak menghiraukan masa tuanya. Tak pernah sekalipun menyempatkan waktunya di rumah bersama keluarga yang ia bina.                 “Bang Tarra!!!” Sebuah suara menyentuh gendang telinganya. Seorang anak perempuan berusia dua belas tahun yang berlari dari dalam rumah dengan wajah sedih dan air mata menetes membajiri kedia pipi. Mendekap erat tubuh                 “Ayah, Bang,” isak Yumna. “Ayah meninggal.”                 Tarra sudah tahu hal itu. Pihak sekolahlah yang langsung mengabarkannya di kelas saat ia asyik menyelesaikan soal matematika. Antara sedih dan senang seakan menjadi satu ketika itu. membuat Tarra menundukkan kepala enggan menghadirkan ekspresi di wajahnya. Dia tidak menyangka, kalau hal ini harus dia terima. Kabar buruk yang tak seharusnya dia dapatkan. Dia masih dibutuhkan. Dia masih diharapkan kehadirannya. Semua ini terlalu cepat, yang bahkan tak pernah terbayangkan sebelumnya.                 Tarra mengusap kepala Yumna lembut. Tak ada air mata yang menetes dari kedua matanya. Namun wajah kesedihan jelas tersirat begitu memilukan. Tarra melepaskan pelukan Yumna dan menatapnya pilu. Air mata Yumna, jelas membuat hatinya sakit bukan main.                 “Ceritakan sama abang, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Tarra dengan nada suara pelan, agar Yumna tidak semakin panik atau pun sedih karenanya. Yumna tampak terguncang. Dia masih tidak bisa menerima kabar yang dia terima tentang kematian itu.                 Yumna terisak. Berulang kali ia menghapus air matanya, namun derai air itu tetap jatuh dari kedua matanya yang indah. Bola matanya yang hitam, kini tak tampak akibat bendungan air mata yang siap menyusul terjun.                 “Ayah ditabrak mobil pas mau pulang ke rumah, Bang. Mobil ayah sama mobil penabrak itu meledak,” ucap seorang anak laki-laki yang baru saja hadir.                 Tarra menghela napas panjang. Melangkah kembali meninggalkan kedua adiknya yang kini saling berpelukan. Menguatkan kedua kakinya untuk masuk ke dalam dan terlihat, sebuah peti jenazah terpampang begitu nyata di ruang tamu. Di kelilingi para pelayat serta keluarga. Termasuk sang Ibu yang menangis pilu sembari mencium berulang kali peti jenazah itu.                 Senggolan dari salah satu teman sang ibu, membuat wanita yang berusia lima puluh tahun itu mengarah ke Tarra. Mencoba menguatkan kedua kaki untuk berdiri, namun sia-sia. Ia kembali terjatuh dan terkulai di atas peti jenazah.                 Tarra mendekat. Berhenti tepat di hadapan peti jenazah. Menatap miris ke peti yang dikatakan semua orang adalah peti jenazah sang ayah. Air mata mengalir membasahi pipinya. Begitu nyata hingga membuat sang ibu kaget bukan main.                 “Seperti biasa, pergi tanpa pernah menganggap kita ada. Bahkan sampai akhir hayatnya!” ucap Tarra dengan suara bergetar. Mencoba mengingat sikap sang ayah yang selalu pergi pagi ke kantor sebelum ia keluar dari kamar dan pulang saat ketiga anaknya tertidur pulas.                 “Tarra,” desah Tania.                 “Sampai kapanpun aku benci ayah!!” suara Tarra meninggi. “Bahkan dia tidak pernah memelukku sejak dulu!”                 Seseorang memeluk Tarra dari belakang. Seorang lelaki yang langsung dibentak Tarra sembari menghempas-hempaskan tubuhnya sendiri agar bisa terlepas dari Om Yoyo—adik sang ayah. Dekapan itu begitu kuat hingga Tarra tak kuasa melepaskan diri. Tenaganya melemah dan akhirnya pandangannya pun kian memudar. Masuk ke dalam dunia mimpi yang gelap tanpa cahaya. Seakan seirama dengan dunia nyatanya. ***                 “Yang menabraknya seorang anak laki-laki berusia tujuh belas tahun. Dia bernama Gino Andrianto.” Samar-sama terdengar suara seorang lelaki di telinga tarra yang baru saja tersadar dari tidur lelapnya. Seorang lelaki yang lambat laun dapat ia lihat begitu jelas. Seorang lelaki berpakaian seragam polisi dengan bulu-bulu halus tumbuh di dagunya.                 “Anak laki-laki itu juga meninggal di tempat,” lanjutnya yang membuat genggaman Tarra yang semula menguat di seprai tempat tidurnya, kini melonggar.                 “Baguslah dia ikut meninggal. Jadi aku tidak perlu membalaskan dendam akibat kematian ayah.” Suara Tarra membuat semua orang yang berada di dalam kamar, kaget bukan main. Mengarahkan tatapan ke Tarra yang mulai mencoba bangkit dari posisi tidur dan duduk bersandar di kepala tempat tidur. “Siapa tadi namanya … Gino Andrianto?”                 “Tarra!” panggilnya dengan nada tinggi.                 “Kenapa, Bu. Salah aku ingin tahu?” tanya Tarra lagi. Dia tampak geram, namun terdengar santai dari nada suaranya.                 Semua orang terdiam. Kalimat Tarra seakan tak mampu dibalas oleh siapapun. Semua bungkam dan bahkan tak berani mengarahkan tatapan lagi kea rah Tarra yang kini menundukkan kepala.                 “Tinggalkan aku sendiri.” Kalimat Tarra terasa ada penekanan di dalamnya. Tania yang tidak ingin emosi sang anak kembali naik, langsung meminta semua orang untuk keluar dari kamar. Menutup pintu dari luar dan membiarkan Tarra yang kembali menangis pilu. Membayangkan harapannya untuk dapat dipeluk sang ayah, kini menghilang tanpa menyisakan untuknya sedikitpun. Jauh dari hatinya yang terdalam, dia sangat menyayangi lelaki tua itu. Menganggapnya pahlawan yang terhebat dalam hidupnya karena berusaha memenuhi kebutuhannya sejak dulu. Namun, sikapnya yang terlalu keras dan tak peduli dengan kebahagiaan isteri dan ketiga anaknya yang membuat Tarra membencinya. Ditambah lagi wajahnya yang begitu mirip dengan sang ayah, membuatnya langsung melemparkan gelas di atas meja tepat di samping tempat tidurnya, ke arah cermin yang sedari tadi memantulkan dirinya sendiri. Seakan melihat sosok sang ayah ada di dalam dirinya. Kembali menangis pilu, seakan tak kuasa menahannya seperti biasa.                 Sementara itu di tempat berbeda. Seorang gadis menangis pilu di dalam kamarnya. Memeluk boneka kelinci kesayangannya pemberian sang abang yang kini pergi tanpa ingat kembali. Suara seorang wanita di luar kamar yang sedari tadi menyerukan namanya pun tak ia hiraukan. Dia membutuhkan sosok sang abang, bukan kepedihan yang kini menghantam hidupnya tanpa perasaan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD