1-Angry Bird

1891 Words
Ziddan pergi meninggalkan rumah dengan senyum mengembang. Setiap pagi ia berhasil membuat istrinya itu menangis lagi, istri sahnya sejak sebulan yang lalu. Bila pasangan lain sedang lengket-lengketnya bersama istri, berbeda dengannya. Bahkan setelah acara resepsi pernikahan, Ziddan meninggalkan istrinya dan lebih mementingkan pekerjaan di Singapura. Istri? Pantaskah seorang Angelissa Calura Debbian disebut sebagai istri? Debbian, Ziddan benci sekali dengan keluarga itu. Anak maupun orangtuanya membuat hidupnya sengsara. Saat ia bertemu dengan Caca, ia sempat terpesona oleh kepolosan dan kecantikan gadis itu. Tapi setelah diselidiki Caca berasal dari keluarga Debbian membuat Ziddan memutar otak untuk menyiksa salah satu keluarga Debbian itu. Dia teringat akan persitiwa sepuluh tahun yang lalu, saat ia pertama kali masuk SMA.   ***   Seorang pemuda dengan bertubuh kurus dan berseragam lusuh itu, masuk ke sebuah sekolah elit yang berisikan anak-anak pejabat. Ziddan berjalan seorang diri mengelilingi sekolah itu. Decakan kagum tak henti-hentinya terucap dari bibir tipisnya. Ia merasa beruntung bisa bersekolah di sekolah elit. Karena kepintarannya ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan studinya di SMA paling elit di Jakarta. Ibunya hanya seorang penjahit biasa, sedangkan ayahnya meninggal sejak ia duduk di sekolah dasar. Keterbatasan ekonomi tidak membuat Ziddan patah semangat, ia terus mengasah otaknya, dan bisa mendapatkan beasiswa ini. Bruk!! Ziddan yang sedang mengagumi bangunan gedung sekolah, seketika kaget saat tubuhnya menabrak seseorang. Ia tergagap, melihat seorang gadis di depannya tengah jatuh terduduk. Ziddan menatap gadis itu tanpa berkedip, gadis yang menurutnya sangat cantik. “Sampai kapan lo bakal ngeliatin gue?” sindir gadis yang masih duduk di lantai itu. Ziddan tergagap, ia menggaruk tengkuk yang tak gatal, malu karena tertangkap basah sedang mengagumi gadis di depannya itu. Ia lalu mengulurkan tangan, berniat untuk membantu. Tapi yang didapat adalah gadis itu menepis tangannya dengan cukup keras. Membuat Ziddan mengernyit bingung. “Gue gak sudi megang tangan lo!!” ucap gadis itu. Ia bangkit, menepukkan tangan yang kotor dan membersihkan rok pendeknya yang terkena debu itu. “Maaf.. nggak sengaja,” ucap Ziddan tak enak. “Amelia!!! Lo ngapain sih di sini? Dicariin dari tadi juga,” ucap seseorang gadis yang penampilannya sama dengan gadis yang ditabrak Ziddan itu. Gadis bernama Amelia itu menoleh ke arah temannya, lalu melipat tangan di depan d**a dan menunjuk Ziddan dengan dagu. “Gue habis jatoh, ditabrak sama, nih, anak!!” adunya. Teman Amelia menatap Ziddan dengan pandangan meneliti, dari atas hingga bawah, kemudian naik ke atas lagi. “Lo siswa baru?” tanyanya. Ziddan tersenyum dan mengganguk sopan kepada dua gadis di depannya itu. “Oh pantesan!! Kenalin temen gue ini namanya Amelia Debbian. Pemilik sekolah ini, jadi lo jangan macem-macem ke dia. Daripada lo dikeluarin dari sekolah!!” ucap teman Amelia. Amelia tersenyum penuh kemenangan. Ia berjalan dan menabrakkan pundak ke pundak Ziddan lantas berbisik. “Kali ini lo gue maafin. Tapi lain kali nggak bakal!! Setelah kepergian Amelia, Ziddan menggeleng. Tidak percaya, bahwa anak pemilik sekolah bertindak seperti itu padanya. “Tapi dia cantik,” gumamnya kagum.   ***   Lima bulan kemudian, Ziddan selalu menjadi bahan ejekan dari Amelia CS. Entah itu mengejek seragamnya yang lusuh, tas yang tak layak pakai, dan juga sepatu yang robek. Awalnya Ziddan biasa saja, sampai suatu hari ia sedang berolah raga basket. Ia membawa bola dan hendak menembakkan ke arah ring. Ia yang memang tidak pandai bermain basket melempar bola dengan kencang dan meleset ke luar lapangan. Sedangkan dari samping lapangan Amelia sedang berjalan sambil bermain ponsel. “Awas!!” Ziddan berteriak kencang, takut bola yang ia lempar mengenai Amelia. Amelia menoleh ke sumber suara, tak selang berapa lama sebuah bola jatuh mengenai tangan yang sedang memegang ponsel. Prakkk!! Ponsel mahal Amelia jatuh begitu saja. Ziddan panik, ia berjalan cepat mendekati Amelia yang tampak marah kepadanya itu. “Maaf, Kak, nggak sengaja,” ucapnya sambil menunduk, memunggut ponsel itu dan mengembalikannya ke Amelia. “Lo bilang maaf? Liat ponsel gue jatoh? Emang lo bisa ganti ponsel gue, hah!!” teriak Amelia. Amelia lalu menoleh ke arah lapangan. Di sana ada guru olah raga yang tidak berani mendekati anak pemilik sekolah itu. Amelia meminta guru itu untuk mendekat dengan kode tangannya. “Hukum dia!!” perintahnya kepada guru itu. Ia berani melakukan ini karena ia tahu guru olah raga itu termasuk guru baru. Jadi tidak akan berani macam-macam bila masih ingin terus mengajar di sekolah ini. “Tapi, Pak. Saya sudah minta maaf,” protes Ziddan. Guru itu tampak bingung, ia melirik Amelia yang menatapnya tajam itu. Ia menarik napas, kemudian mengembuskan napas perlahan. “Ziddan. Kamu saya hukum. Keliling lapangan lima sampai saya bilang berhenti.” Amelia tersenyum penuh kemenangan. Ia berjalan angkuh melewati Ziddan yang tak terima oleh perlakuannya itu. Tapi apa daya, Ziddan tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima hukuman itu. Pukul tujuh malam Ziddan baru sampai di rumah mungilnya. Berlari mengelilingi lapangan membuat badannya terasa remuk. Belum lagi perjalanan dari sekolah ke rumah yang harus ia tempuh dengan sepeda kayuhnya. “Bu.. ibu..” Ziddan berjalan masuk, menyalakan lampu lalu mencari keberadaan ibunya. Ia membuka pintu kamar ibunya yang kosong, kemudian Ziddan berjalan ke dapur, di sana juga kosong. Tumben sekali ibunya jam segini tidak ada di rumah. Ia berjalan keluar rumah siapa tahu ibunya sedang di rumah tetangganya. “Ziddan!!” teriak seseorang. Ziddan menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Dari kejauhan ia melihat tetangganya berlari tergopoh-gopoh. “Ada apa, Bu?” tanya Ziddan setelah tentangganya itu berdiri di hadapannya. Tetangga Ziddan mengatur napasnya yang memburu. “Ibu. ibu kamu...” Ziddan menenangkan tetangganya agar bisa bicara dengan jelas. Selama beberapa detik tetangga Ziddan mengatur napasnya. Kemudian ia menatap Ziddan dengan sedih. “Ibu kamu kecelakaan. Sekarang di rumah sakit.” Tubuh Ziddan seolah tidak memiliki tenaga sama sekali, lututnya terasa lemas. Hingga ia terjatuh di tanah dengan posisi lutut sebagai penyangga tubuh. “Ibu.. ibu..” panggilnya sedih. Dadanya terasa diremas, bulir-bulir air mata mulai mengalir membasahi pipi.   ***   Ziddan menatap tubuh ibunya yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit itu. Kepala ibunya dibalut oleh perban putih, kakinya digips, tangannya juga lecet. Ziddan berjalan dengan perlahan, hatinya terasa diiris melihat kondisi ibunya yang seperti ini. “Ibu,” isaknya di sebelah ranjang. Tangan Ziddan terulur lalu menggenggam tangan ibunya. “Kenapa ibu bisa seperti ini?” Sebelum masuk ke ruangan, Ziddan sempat ditanyai oleh pihak polisi tentang ibunya. Tidak hanya itu ia juga diberitahu bahwa ibunya mengalami kecelakaan beruntun yaitu dua buah mobil dan sebuah motor yang dikendarai ibunya. Terdapat enam korban dari kecelakaan beruntun itu. Dua orang dinyatakan tewas dan empat orang lainnya luka parah, termasuk ibunya. Ibu Ziddan bergerak, bukan bergerak lebih tepatnya kejang-kejang. Ziddan panik luar biasa, ia lalu keluar memanggil dokter. “Dokter!!!” Air matanyamengalir kembali membasahi pipi. Ia tidak peduli tangisannya dilihat oleh orang lain. Beberapa saat kemudian dokter dan suster masuk untuk memeriksa detak jantung ibu Ziddan. Tapi belum sempat dokter tersebut memeriksa lebih lanjut, alat deteksi detak jantung menunjukkan suatu garis horisontal. Ziddan yang meningitp dari arah kaca, seketika kaget. Ia masuk ke ruang perawatan dan langsung memeluk tubuh tidak bernyawa ibunya. “Ibu.. hikss.. ibu...” isaknya sambil memeluk ibunya erat. “Ibu... Jangan tinggalin Ziddan!!!” teriak Ziddan histeris. Tubuh Ziddan ditarik oleh dua orang dari belakang. Ia meronta, ingin memastikan semuanya salah. Ibunya masih hidup, ibunya masih hidup untuk Ziddan. “Adek.. Adek sabar, ya,” ucap dokter yang menangani. Suster yang berada di sana mulai melepas peralatan medis yang menempel pada tubuh ibu Ziddan. Ziddan bahkan ditenangkan oleh seorang polisi yang dari tadi menjaga di depan ruang perawatan ibunya. “Kamu yang sabar ya, Dek,” ucap polisi itu memberi pengertian. Ziddan hanya menunduk, yang ada di pikirannya saat ini adalah ibu,ibu dan ibu. “Korban tewas dinyatakan tiga orang. Setelah kematian Joseph Debbian dan Brama Debbian kini bertambah satu orang lagi, yaitu ibu dari adek ini.” Samar-samar terdengar suara seorang polisi Ziddan tidak bisa berpikir jernih lagi saat mendengar kata 'Debbian', mengingatkannya kepada kakak kelasnya yang sombong dan angkuh yang selalu merundungnya, Amelia Debbian. Tunggu? Joseph Debbian? pikir Ziddan. “Joseph Debbian? Apakah dia orang yang memiliki sekolah elit yang terkenal itu?” tanya Ziddan kepada salah satu polisi di sebelahnya. Polisi tersebut mengangguk sebagai jawaban. Tangan Ziddan terkepal erat, kenapa keluarga Debbian selalu mengusik kehidupannya? Amelia, selalu mengganggunya saat di sekolah, dan Joseph yang sudah menabrak ibunya hingga tewas.   ***   Semenjak kejadian itu, Ziddan selalu berusaha mencari keluarga Debbian. Butuh waktu hingga ia bisa bertemu Caca yang ternyata adik Amelia. Dendamnya kembali muncul, ia mendekati Caca yang cukup sulit didekati. Tapi Ziddan tidak menyerah. Ia selalu menyempatkan waktu untuk menemui Caca. Hingga sebulan kemudian Ziddan menyatakan cinta kepada Caca, tentu saja bukan cinta sungguhan. Awalnya Caca sempat ragu, tapi dengan pesona dan daya tarik Ziddan, Caca menerima sebagai kekasihnya. Ziddan menjalankan aksinya dengan sangat lembut. Ia berpura-pura menjadi pacar yang selalu mencintai Caca dengan sepenuh hati. Ziddan melaksanakan rencana itu hampir satu tahun. Di samping itu ia selalu memberikan Caca bingkisan-bingkisan aneh tanpa pengirim, tapi ia berperan seolah tidak tahu apa-apa dan berperan sebagai pelindung Caca. Hingga suatu ketika terlintas ide untuk menyakiti Caca lebih dalam. Yaitu dengan cara menikahi Caca, dengan cara itu Ziddan tidak perlu lagi bersembunyi-sembunyi untuk menyakiti Caca. Ziddan membelokkan mobil ke sebuah gedung berwarna abu-abu. Gedung perusahaan miliknya yang ia bangun dengan susah payah. Ia keluar dari mobil dan berjalan menuju lobi. Selama perjalanan, Ziddan mendapatkan tatapan memuja dari para karyawatinya dan tatapan hormat dari karyawannya. “Bro!!” tepuk seseorang dari belakang Ziddan. Ziddan berbalik, menatap seorang lelaki tampan dengan kaca mata hitam bertengger di atas kepala. Ia mendengus lantas berbalik dan berjalan menuju lift. “Kusut amat muka lo,” ucap lelaki itu sambil mengikuti Ziddan masuk lift. “Kusut gara-gara liat muka lo. Tadi pas gue berangkat wajah gue ceria,” jawab Ziddan apa adanya. Memang saat keluar rumah tadi ia keluar dengan tersenyum, karena telah membuat istrinya menangis. “Lo harusnya seneng ketemu dengan seorang Cikko,” jawab lelaki yang bernama Cikko itu dengan tersenyum penuh percaya diri. Ziddan hanya geleng-geleng melihat sahabatnya itu. Mereka bersahabat sejak Ziddan kuliah di Amerika. Berasal dari negara yang sama membuat persahabatan mereka terjalin hingga saat ini. “Gimana kabar istri cantik lo itu?” tanya Cikko penasaran. Cikko memang tahu masa lalu Ziddan dan semua alasan sahabatnya itu menikahi Caca. Sebagai sahabat berulang kali Cikko memperingatkan agar berdamai dengan masa lalu, tapi tidak ada tanggapan sama sekali. Hingga akhirnya Cikko angkat tangan, dan membiarkan Ziddan melaksanakan rencana yang telah dibuat. Tapi Cikko percaya kehadiran istri membuat Ziddan berubah, entah membutuhkan waktu seberapa lama. “Biasa. Pagi tadi dia mewek karena gue hina masakannya,” jawab Ziddan dengan santai. Permasalahan dengan istrinya seolah kejadian biasa, sehingga dengan mudah ia ceritakan ke Cikko. “Tobat, Men. Lo gak kasihan sama dia?” tanya Cikko. Padahal ia tahu jawaban dari Ziddan, pasti 'tidak'. “Lo pasti tahu jawabannya,” ucap Ziddan acuh tak acuh. “Kalau gue ketemu duluan. Udah gue nikahi dia,” canda Cikko. Dalam lubuk hatinya, ia memang kagum kepada sosok Caca yang terlihat polos, lugu dan apa-adanya. Berbeda dengan cewek yang dekat dengannya, yang selalu mementingkan ke salon, belanja dan juga uang. Cikko pernah bertemu dengan Caca satu kali, saat pesta pernikahan. “Sayangnya gue yang ketemu duluan,” ucap Ziddan lalu terkekeh. “Dasar angry bird,” ucap Cikko yang berjalan di belakang Ziddan. “Yeah.. Dan Caca adalah babi hijau yang harus gue musnahkan,” jawab Ziddan enteng.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD