2-Restoran Jawa

1396 Words
Pukul sepuluh pagi Caca selesai membereskan rumah. Bukan, lebih tepatnya rumah megah milik suaminya. Caca mengusap peluh yang menetes di pelipis. Aroma tubuh yang mulai berkeringat mulai membuatnya tidak nyaman. Ia bergegas meletakkan sapu yang ia pegang ke tempat semula kemudian masuk rumah. Sejam kemudian Caca sudah segar dan wangi. Ia mengambil ponsel yang ada di nakas dan melihat beberapa panggilan tak terjawab. Setiap melihat ponsel sebenarnya ia berharap ada panggilan dari suaminya, menghubunginya. Layaknya pasangan yang baru menikah yang tidak ingin jauh-jauh dari pasangannya. Tapi kenyataannya? Entahlah. Caca mendapati nomor Amelia—kakaknya—yang memenuhi panggilan. Sekarang Amelia berada di Spanyol ikut suaminya—Ery—yang sedang tugas di sana. Caca lalu melakukan video call. “Tadi dari mana aja, Dek?” tanya Amelia. Caca tersenyum melihat Amelia yang tengah menggendong bayi berumur sebulan yang tengah terlelap itu. Ia menatap bayi mungil itu tanpa melihat kakaknya yang mulai sebal menunggu jawabannya. “Dek!!” panggil Amelia kembali. Dari layar ponsel dia melihat wajah adiknya terlihat pucat dan terdapat kantung mata yang terlihat jelas. “Eh iyaa, Kak.” Caca tergagap. Ia mengalihkan pandang ke wajah kakaknya  lalu tersenyum ceria, tidak ingin kehidupan rumah tangganya yang tidak beres diketahui. “Kamu dari mana? Kok dari tadi dihubungi gak bisa-bisa? Bukannya kamu lagi libur ngajar?” selidik Amelia. “Tadi aku di bawah, lagi masak,” bohong Caca. “Oh lagi masak? Nggak pakai pembantu aja Dek? Kakak nggak mau kamu... .” “Kak please, jangan ungkit-ungkit masalah itu. Aku usaha buat ngilangin trauma itu, Kak. Jadi jangan bahas masalah itu,” pinta Caca, sengaja langsung memotong pembicaraan. “Maaf.. Kakak cuma khawatir sama kamu,” jawab Amelia sedih. Matanya mulai berkaca-kaca, tergingat apa yang pernah dialami adiknya sepuluh tahun yang lalu. “Iya, Caca ngerti,” jawab Caca lesu. Kemudian ia ingat akan belanja kebutuhan dapur yang mulai habis. Ia melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 10.30 itu. “Kakak Caca harus belanja dulu. Nanti kita sambung lagi.” Amelia mengangguk, kemudian memutuskan sambungan. “Huh...” Caca mengembuskan napas lega. Ia tidak ingin melihat kakak bersedih. Cukup masa remaja kakaknya ia sita akibat kejadian itu. Ia tidak mau mengganggu kakaknya yang sudah bahagia bersama suami dan anak mereka.   ***   Caca melihat troli yang sebagian besar berisi sayur-sayuran. Setelah dirasa barang belanjaannya sudah terbeli, ia mendorong troli menuju kasir. Brak... Caca menatap depan dan terkejut melihat seorang lelaki yang sedang memegangi lututnya itu. Ia segera mendekat dan memperhatikan lelaki itu. “Maaf. Aku nggak sengaja.” “Nggak apa-apa. Aku juga salah, jalan nggak lihat-lihat,” jawab lelaki itu sambil meringis merasakan lutut kirinya yang berdenyut nyeri. Lelaki itu lalu mendongak dan mendapati wajah wanita cantik yang menatapnya dengan khawatir itu. Sudut bibirnya lalu tertarik ke atas. Cantik. “Hei!! Kamu nggak apa-apa?” tanya Caca sambil menggerakkan tangan. Ia lalu memperhatikan penampilan lelaki di depannya yang mengenakan pakaian formal itu. Sepatu fantofel, celana kain hitam, kemeja putih, jas hitam dan tidak lupa dasi hitam. “Sekarang kamu yang melamun,” ucap lelaki itu sambil terkekeh. Ia hendak mengulurkan tangan, berniat berkenalan dengan wanita cantik itu. Namun, getar ponsel di saku celana membuatnya mengurungkan niatan itu. “Hallo,” jawab lelaki itu. Bahkan lelaki itu tanpa canggung menjawab telepon di depan Caca. “Iya, gue ke sana bentar lagi.. Iya bawel, deh!!” ucap lelaki itu jengkel. Kemudian ia memasukkan ponsel ke saku celana dan melihat Caca yang melewatinya dengan mendorong troli itu. “Aku minta maaf atas kejadian tadi. Aku sungguh-sungguh minta maaf. Aku buru-buru, semoga kita bertemu lagi,” ucap lelaki itu kemudian berbalik dan meninggalkan Caca yang hanya geleng-geleng itu. “Dasar,” gumam Caca kemudian mendorong troli menuju kasir.   ***   Setelah berbelanja, Caca memutuskan untuk makan siang dulu. Ia berjalan ke sebuah restoran Jawa yang berada di depan supermarket. Suasana Jawa begitu kental di restoran itu. Tempat duduk dan kursi terbuat dari anyaman dan bagian kasir seperti ada gapura kecil. Pelayannya mengenakan pakaian Jawa dan ornamen-ornamen Jawa menambah kesan tersendiri. Caca memilih duduk di dekat jendela. Ia menatap ke luar ada gazebo yang digunakan untuk pengunjung yang ingin makan dengan lesehan. Ia lalu membuang pandang ke sekeliling restoran dan mengangkat tangan memanggil pelayan. “Saya pesan ayam goreng kalasan, nasi kuning sama urap-urap, ya,” ucap Caca sambil menatap pelayan itu menulis pesanannya. “Minumnya air putih aja. Sama es dawet, deh,” lanjutnya. Sambil menunggu ia memperhatikan ke arah gazebo. Ia melihat ada satu keluarga yang sedang makan siang bersama. Kapan aku bisa kayak gitu? “Hai.. Kita ketemu lagi.” Lamunan Caca seketika terhenti. Ia menoleh dan mendapati lelaki yang tadi di supermarket itu. “Makan sendirian?” Caca hanya mengangguk. “Kamu sendiri? Makan sendirian?” “Enggak, gue sama teman sekantor. Dia lagi ke toilet,” jawab lelaki itu. “Oh....” Caca tidak tahu lagi harus menjawab apa. “Cikko,” ucap lelaki bernama Cikko itu sambil mengulurkan tangan. Caca menatap Cikko dengan mata menyipit. Ragu-ragu, ia menjabat tangan lelaki itu sekilas. “Caca,” jawabnya setelah itu kembali mengamati ke arah gazebo. “Caca dan Cikko. Heem... Aku rasa kita cocok. Nama kita diawali dengan huruf C,” ucap Cikko. Cikko memandangi Caca yang tampak jenuh dengan kehadirannya itu. Aneh, biasanya para perempuan selalu berebut untuk mendapatkan perhatiannya. Sedangkan wanita di depannya itu, seolah tidak terpengaruh dengan seorang Cikko. “Lo udah pesen?” Tiba-tiba suara lain terdengar. Caca dan Cikko yang sama-sama sibuk dengan lamunan mereka seketika menoleh ke sumber suara. Caca kaget melihat siapa yang ada di depannya itu. Lalu ia mengamati lelaki itu yang juga menatapnya dengan kaget, tapi sedetik kemudian berubah menjadi ekspresi datar. “Gue belum pesen. Nungguin lo. Oh, ya kenalin ini Caca, gue tadi nggak sengaja nabrak dia. Nggak apa-apa, kan, kita makan bareng dia?” Cikko menatap Ziddan yang tengah menatap ke arah Caca dengan pandangan tajam sedangkan yang ditatap tengah membisu dan menunduk itu. “Ca, nggak apa-apa, kan, kita makan di sini?” tanya Cikko ke Caca. Caca tergagap. Dalam hati ia berterima kasih ke Cikko, ternyata teman yang dimaksud adalah Ziddan, suaminya. Sudah lama sekali Caca tidak makan siang bersama Ziddan. “Tentu saja nggak apa-apa,” jawabnya tidak menutupi kebahagiannya. Sedangkan Ziddan melihat Caca yang tengah bahagia itu dengan mendengus. “Oke kalau nggak keberatan. Ziddan, lo kenalan dong sama Caca,” ucap Cikko sambil menyenggol lengan Ziddan. Ziddan yang fokus menatap Caca dengan sorot tajam seketika menatap Cikko dengan bosan. Lo nggak tahu atau pura-pura nggak tahu kalau cewek di depan lo itu istri yang gue benci? Mau tidak mau Ziddan mengulurkan tangan. Oke, ia akan mengikuti permainan Caca dan Cikko. “Ziddan,” ucapnya penuh intimidasi. Ia melihat tangan Caca terulur dengan gemetar. Ia tahu istrinya itu pasti tengah ketakutan. “Caca,” jawab Caca lirih. Ziddan menarik tangan, mengambil tisu, mengusap tangannya beberapa kali seolah baru saja bersentuhan dengan sesuatu yang menjijikkan. “Menurut lo cantik gak? Gue penasaran sama nih cewek,” bisik Cikko sambil melirik Caca yang tengah menuduk menyembunyikan wajahnya itu. “Biasa aja,” jawab Ziddan. Demi Tuhan, mau Cikko apa, sih? Memang Cikko dan Caca bertemu saat hari pernikahan, dan saat itu Caca menggunakan makeup cukup tebal dan pakaian pengantin. Berbeda dengan Caca saat ini, yang hanya menggunakan makeup tipis dan pakaian biasa. Tapi apakah Cikko sama sekali tidak mengenali wajah Caca? Begitu pula sebaliknya? Suasana kemudian hening saat mereka menyantap makan siang mereka. Caca yang sebelumnya bahagia makan bersama suaminya menjadi cemas. Ia takut saat di rumah nanti suaminya itu marah-marah. Diam-diam Ziddan melirik Caca, sambil memikirkan balasan apa yang akan ia lakukan ke istrinya itu. Sedangkan Cikko melirik Caca dengan bahagia, ia ingin menakhlukkan hati wanita di depannya itu. “Aku sudah selesai. Aku pamit dulu,” ucap Caca setelah mengabiskan separuh makanan yang ia pesan. “Loh? Kok buru-buru banget?” tanya Cikko kecewa melihat Caca yang terlihat buru-buru itu. “Eh.. Aku.. Aku.. ada urusan.. yaa.. Urusan,” jawab Caca tergagap. “Aku antar ya,” ucap Cikko. Sebenarnya itu hanya trik agar ia tahu rumah gebetannya di mana. “Nggak usah!! Terima kasih, aku duluan,” ucap Caca sambil berjalan cepat menuju kasir. Ia menyerahkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan lalu keluar dari restoran itu dengan cepat “Tingkahnya lucu,” ucap Cikko masih menatap ke arah kepergian Caca. “Biasa aja,” desis Ziddan sambil menatap kepergian Caca.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD