Episode 4: Ketahuan

1104 Words
Salma mengerjap matanya dengan rasa pusing yang mendera kepala hingga membuat ia sedikit kesulitan untuk menatap sekeliling. Salma memijat keningnya sejenak, lalu tersadar jika ada banyak orang yang sedang menatapnya dengan tatapan aneh. Hal tersebut sontak membuat Salma menegakkan tubuhnya menatap orang-orang sekitar dan berakhir menatap Mama serta papanya yang membalas menatapnya dengan marah. "Ma, kenapa?" Salma belum sadar dengan lingkungan sekitar. Andai ia tahu apa yang sudah terjadi sebelumnya, mungkin saja Salma akan memilih untuk terus pura-pura pingsan. "Salma, benar kamu hamil? Lalu, anak siapa itu?" Jimmy bertanya seraya menatap Salma yang sedang berusaha untuk mendudukkan dirinya. Jika memang benar Salma hamil anak putranya, tidak masalah karena yang pasti Gibran akan tetap bertanggung jawab. Tapi, jika itu anak orang lain, maka Jimmy akan menyerahkan semua keputusan pada putranya. "A-anak?" Salma tanpa sadar menyentuh perut datarnya. Wajah wanita itu terlihat pucat lalu tatapannya beralih menatap Gibran yang tengah menampilkan ekspresi dingin. "Siapa bilang aku hamil? Aku enggak hamil," elak Salma. Wanita itu mencoba untuk tenang meski jantungnya sudah berdebar kencang takut ketahuan jika memang benar ia sedang hamil. "Dokter ini yang memeriksa kamu, Salma. Enggak mungkin bisa salah." Rina menunjuk seorang wanita yang memeriksa kondisi Salma tadi. "Bisa saja dokter ini salah. Apalagi dokter ini masih muda, Ma. Jangan terlalu percaya." Salma menatap dokter muda lalu beralih menatap mamanya berusaha meyakinkan sang Mama jika saat ini ia sedang tidak dalam keadaan hamil. "Di sini ada dokter lain yang bisa bantu memeriksa Salma?" Gibran kembali mengalihkan tatapannya pada tamu undangan yang memilih menetap daripada pergi meninggalkan kediaman Salma. Sementara Rina dan sang suami--Joni-- saling menatap. Mereka tidak mengerti mengapa situasi bisa berubah dalam sekejap mata. Jika memang benar Salma hamil dan bukan anak Gibran, maka kesempatan mereka untuk berbesan dengan konglomerat musnah sudah. Ditambah dengan rasa malu yang akan ditanggung oleh keluarga mereka, membuat pasangan suami istri itu cemas. "Saya dokter kandungan di sebuah rumah sakit." "Saya juga dokter kandungan." Dua orang wanita dan pria paruh baya melangkah maju mendekat ke tempat di mana Gibran berdiri. "Pak Ruly dan ibu Winda?" Hilda yang melihat kedua dokter tersebut menyapa dengan hangat. "Kalian datang juga?" tanyanya penuh semangat. Pasalnya kedua dokter tersebut adalah idolanya yang begitu ia kagumi. Hilda mengenal keduanya karena ia sendiri sering bolak-balik rumah sakit untuk melakukan pengobatan pada dirinya sendiri. Meskipun, kedua dokter tersebut bukanlah dokter yang menanganinya, Hilda cukup mengenal mereka. "Benar. Kami diundang oleh Pak Gibran. Kebetulan, perusahaannya adalah mitra rumah sakit tempat kami bekerja." Pak Rully menjawab santai. "Saya boleh periksa Mbak Salma?" "Boleh, Pak. Tentu saja sangat diperbolehkan." Hilda mempersilakan keduanya untuk memeriksa kondisi Salma. Awalnya Salma menolak keras untuk diperiksa. Namun, atas paksaan orang-orang di sekitar membuat Salma dengan pasrah diperiksa bergantian oleh dua orang dokter yang sudah terkenal sebagai dokter ahli kandungan. "Saya bisa memastikan, kalau Mbak Salma memang hamil. Usianya diperkirakan dua atau tiga bulan," ujar dokter Winda pada Rina dan Joni. "Saya juga bisa meyakinkan 100 persen kalau Mbak Salma memang hamil." Dokter Rully menatap Salma dan orang-orang dalam ruangan secara bergantian. "Kalau kurang meyakinkan, kita bisa melakukan USG di rumah sakit," tandasnya. Rina menatap Salma tak percaya begitu juga dengan yang lainnya. "Salma, jadi kamu hamil? Siapa ayah kandung anak yang ada di kandungan kamu? Tolong jawab apa dengan jujur," tanya Joni tegas. Pria paruh baya itu menatap tajam putrinya yang berhasil mencoreng nama baik keluarga mereka. Salma sendiri terlihat gugup. Sesekali wanita itu mengusap dahinya yang berkeringat dingin. Kemudian, ia memantapkan sesuatu di dalam hatinya. "Aku mau jujur kalau anak ini adalah anak--" Salma menatap sekeliling kemudian berakhir menatap Gibran. "Anak mas Gibran," tambahnya, membuat semua tamu undangan menatap Gibran. Hilda menyentuh detak jantungnya kemudian beralih menatap putranya. "Gibran, apa yang bisa kamu jelaskan sekarang, Nak? Kamu benar-benar menghamili Salma?" Gibran tersenyum miring menatap Salma yang dengan berani menjual namanya. Pria itu kemudian beralih menatap Hilda dan Jimmy. "Ma, Pa, selama 30 tahun ini meskipun aku tidak taat beragama, tapi bukan berarti aku akan melakukan zina pada perempuan yang bukan istri sah-ku." Gibran berujar dengan nada dingin. "Untuk memeluk seorang wanita, selama 30 tahun ini aku tidak pernah melakukannya. Aku selalu mengikuti perkataan mama untuk tidak menyentuh wanita lebih dari sekedar memegang tangannya." Gibran kemudian menatap Salma. "Aku juga melakukannya pada Salma. Tidak pernah sekalipun selama 6 bulan terakhir aku pernah memeluknya," lanjutnya. "Jadi, bagaimana dia bisa hamil?" Hilda dan Jimmy saling menatap. Mereka memang sejak kecil selalu mengajarkan Gibran untuk tidak menyentuh wanita yang bukan muhrimnya. Putra mereka memang berada di jalan yang salah dan untuk melakukan kewajiban lima waktu pun sudah ditinggalkan Gibran sejak beberapa belas tahun lalu. Namun, mereka mulai yakin jika putra mereka bukanlah pria b***t yang akan menghancurkan kehormatan seorang wanita. "Ini anak kamu, Mas. Waktu itu kamu melakukannya saat kamu mabuk." Salma berujar dengan panik. Gibran memelototi Salma dengan mata tajamnya. Dia memang pernah mabuk, tapi tidak pernah sampai tidak sadarkan diri. Andai saja ia tidak sadarkan diri, tidak mungkin pengawalnya akan membiarkan ia menyentuh wanita ini. Itulah salah satu fungsi para pengawal selalu mengikutinya. Sementara Hilda tubuhnya melemas nyaris ambruk ke lantai jika tidak ada Jimmy yang menahannya. Wanita itu ternyata sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakit dan nyeri pada jantungnya. "Bawa Mama ke rumah sakit, Pa. Biarkan ini aku yang mengurus." Gibran berucap pada papanya. Gibran tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada mamanya. Wanita yang paling ia cintai dan hormati di dunia ini. Jimmy segera menganggukkan kepalanya kemudian mengangkat tubuh istrinya keluar dari kediaman Salma. Sementara Gibran sendiri kini sudah menampilkan raut wajah bengisnya yang asli. "Jadi kamu menuduhku yang menghamilimu?" Gibran tersenyum miring. Pria itu memberi kode pada Jaya dan Denis untuk mengeluarkan bukti-bukti perselingkuhan Salma dan seorang pria yang ternyata seorang aktor juga. Terlebih lagi, sang aktor ternyata sudah memiliki istri. Hal tersebut membuat gempar para awak media dan teman-teman ketika mengetahui fakta tersebut. Mereka berbondong-bondong menatap bukti yang dikeluarkan oleh anak buah Gibran. "Kalian bisa cocokkan ke ahlinya. Ini adalah bukti video dan foto asli bukan rekayasa," ujar Gibran tegas. "Pernikahan ini batal. Saya menolak menikahi wanita yang tidak bisa menjaga kehormatan dan kesetiaannya. Permisi." Setelah itu, dengan dikawal oleh beberapa pengawal Gibran akhirnya melangkah keluar dari rumah Salma. Para wartawan tidak bisa mengikuti Gibran dikarenakan pengawalan ketat sehingga mereka mengalihkan fokus mereka pada Salma dan keluarganya. "Mbak Salma tolong jelaskan apa yang terjadi?" "Mbak Salma benang menjalin hubungan affair dengan pria beristri?" "Mbak Salma, mengapa Anda berselingkuh di belakang Mas Gibran?" Pertanyaan pertanyaan dari wartawan membuat Salma tak sanggup untuk berpikir hingga membuatnya jatuh tak sadarkan diri dan membuat suasana semakin gaduh. Sementara Gibran sendiri duduk tenang di dalam mobil menuju rumah sakit tempat di mana mamanya di bawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD