Fifteen

1788 Words
"Maura, kamu kemana, Nak?" Martini menggenggam tangannya erat. Maura betul-betul tega telah menghilang darinya disaat seperti ini. Ia jadi terfikir Yunia, bagaimana anak itu. Mungkin kalau ia diposisi Maura, Yunia tak akan meninggalkan wanita tua sepertinya sendirian Martini sudah memanjangkan matanya berharap sosok Maura pulang. Sayang, beberapa hari ini kedua anaknya malah tak kunjung keliatan batang hidungnya Tanpa disangka Pak Sultan datang lagi. Kini ia membawa orang-orangnya untuk mengeledah rumah Martini. mengambil semua barang yang bisa diambil untuk ganti rugi. Termasuk perbuatan Dony malam itu ia dengar jelas waktu Dony menyebutkan nama Yunia. Bukannya sadar, Ia malah semakin menjadi "Gerebek rumahnya!" titahnya ke para bodyguard. Martini hanya bisa menangis tersedu, seraya bersimpuh. "Jangan, Pak!" sesekali tangannya ingin menyentuh tungkai kaki Pak Sultan. Tapi laki-laki itu cepat menghardiknya "Waktu seminggu yang saya berikan sudah habis. Jadi saya akan mengambil surat-surat rumah ini untuk jaminannya!" ucapnya angkuh Tapi ia juga tidak mau membahas Dony. Pak Sultan bisa di bilang termasuk memahami hukum yang berlaku di negeri ini. Bahwa ada asas praduga tidak bersalah yang membuat ia tak bisa serta merta menuduh Yunia ada dalam aksi pencuriaan rumahnya kalau tidak mau mendapat serangan balik Ia sebenarnya juga tidak berminat menjebloskan Yunia ke dalam penjara. Karna kalau itu ia lakukan, Akhirnya ia tidak mendapatkan ganti rugi yang ia mau. Jadi ia memutuskan main hakim sendiri. Apalagi Martini seorang diri, Tak ada yang membantunya seandainya Pak Sultan berbuat sesuka hatinya *** "Devid... Kita dimana?" tanya Maura bingung. Hubungan terlalu jauh itu membawanya sangat percaya kepada Devid. Termasuk pergi keluar kota berdua saja juga ia lakoni "Kamu pasti bakalan menyukainya, Sayang" Nyatanya Devid tanpa segan membawa Maura ketempat hiburan malam, mengenalkan sang kekasih dengan barang haram. Ia menunjukkan lintingan rokok, tentunya isinya khusus bukan sekedar tembakau yang biasa di jadikan bahan utama cerutu Maura menyeringai, tangannya ia kalungkan di leher Devid "Aku mau mencobanya, Devid" ujar Maura setuju *** "Damar... Saya punya pekerjaan untuk kamu. Tolong cari anak saya, Dony dan bawa ia kemari," ucap Roland sudah putus asa. Akhirnya ia memutuskan menyewa seorang detektif untuk mencari Dony "Baik, Pak... Saya sudah mendapatkan data-datanya dan saya pastikan anak amda akan di temukan" sahut Damar sigap Setelah mengatakan itu ia keluar dari ruang kerjanya "Pak, Pak... Ada telepon dari Pak Alex," Sinta sengaja mengejar hakim itu. Ia sudah mencoba menolak telepon Alex, pengusaha gelap yang kasusnya sedang ditangani dipengadilan. Beberapa anak buahnya bahkan telah di jatuhkan hukuman karna ketauan melakukan praktek terlarang yaitu judi online berkedok hadiah. Belum lagi dengan pinjaman online dengan bunga yang tak masuk akal. Sebagai hakim, Roland sudah mempelajari semua berkas-berkas usaha Alex. Dan ia yakin bisa menarik pria itu sampai ke meja hijau Tak selamanya burung terbang tinggi. Ada kalanya ia merendah, dan disaat itu Roland akan menarik kakinya supaya ia tidak bisa lagi mengepakkan sayapnya "Katakan saya tidak mau menerima teleponnya" berkali-kali Roland berkeras hati untuk tidak bicara kepada tersangka di luar pengadilan. Ia tidak mau keputusannya terkecoh "Saya mengerti, Pak. Tapi dia sejak tadi menelpon terus" ujar Sinta seraya menggengam gagang telepon. Roland melirik ke Sinta yang terlihat kebingungan. Untuk itu ia berniat menjawab sebentar. "Kasihkan teleponnya ke saya!" ia menerima telepon, "Saya beri tahu sekali lagi. Jika anda masih menelpon kantor pengadilan saya akan mempidanakan anda dengan tuntutan perbuatan tidak menyenangkan. Apapun yang ingin anda ucapkan tak akan berpengaruh sedikitpun pada saya. Dan mari kita bertemu di pengadilan selanjutnya," Roland segera menutup telepon kasar, "Mulai sekarang, ia tidak bisa menelpon kesini lagi" ucapnya memberi tahu Sinta Kebetulan ia memang sedang kesal dengan Dony yang gak pulang Sementara di ujung telepon "Hah...!" Alex melotot sambil memperhatikan ponselnya yang ditutup begitu saja "Dia berani menentangku?" cicitnya tidak percaya. Rasanya baru kali ini mendapat hakim sekaku Roland. Alex mencengkram ponselnya ia tidak mau usaha yang ia bangun dari nol apalagi sudah menggelontorkan modal besar harus berakhir di penjara. Tidak... Itu terlalu miris untuknya "Aku akan mencari kelemahanmu, kalau kau tak ingin di perlakukan dengan lembut. Maka aku tak akan segan memakai kekerasan" ancamnya seorang diri *** #Skip tiga minggu kemudian Disaat malam hari dan kebetulan cuaca sedang turun hujan deras. Yunia malah berdiri di ujung jalan. Tepatnya mengumpat di bawah pepohonan sedang menunggu mangsa Kini gilirannya untuk melakukan aksi. Dony yang sudah mengatur semuanya Berpura-pura tertabrak lalu memeras bahkan mencuri barang-barang korban adalah kemauannya Lalu Yunia, apa ia setuju... Seperti biasa, ia tak ada pilihan lain. Lagi pula Dony tak pernah membawa uangnya. Ia paling hanya memberikan uang itu lagi ke orang miskin di sekitar sana Dony juga tak melulu mencari mangsa siapapun itu. Hanya orang-orang yang ia anggap belagulah yang menjadi pilihannya "Itu mobilnya cepet!" Kali ini yang lewat adalah mobil pejabat setempat. Katanya mau menyalurkan bantuan kepara penghuni pasar tapi ditunggu-tunggu bantuan itu tidak pernah sampai pada mereka Yunia mengangguk, ia berlari cepat. Kalau ia menjalankan semuanya sesuai instruksi Dony. Yunia tak akan terluka sedikitpun Ia cukup bermain peran seolah betul-betul tertabrak Yunia berdiri setengah inchi dari body mobil, karna suasana malam dan juga cuacanya yang hujan deras. Membuat pengendara tak bisa melihat jelas letak Yunia Ditambak teriakan Yunia yang memekik pastinya membuat orang itu panik. Dan kalau sudah seperti itu, tinggal bagian Donylah yang maju "Hah... Apa itu?" tanya pengemudi bingung. Ia merasa menabrak seorang gadis walau sebetulnya tidak. Bunyi kraak, juga berasal dari kedebong pisang. Yunia segera menendang ke kolong mobil. Kakinya sudah diberi obat merah seolah-olah kakinyalah yang terlindas ban mobil tadi "Yunia...!" sandiwara di mulai. Dony melirik dengan tatapan marah "Keluar lo!" Ia membawa sebatang kayu. Siap untuk ia hempaskan ke kaca mobil korban "Aa... Ampun!" pria itu menaiki tangannya. Ia melihat kilatan marah dari mata Dony beriringan dengan suara petir menyambar "Keluar sekarang, lihat temen gue tuh!" cowok itu menunjuk Yunia dengan kayu balok di tangan, Yunia melotot "Kak perjanjiannya gak kayak gini!" ucapnya lebih memakai bahasa tubuh. Dony bilang cuma mau gertak sambal dan mengambil uangnya. Tapi ini, ia malah meminta pria itu keluar mobil Iyah, Iyah... Saya keluar!" Langsung membuka seatbealt. Tapi tangannya menyembunyikan gas air mata. Terlalu bodoh rasanya kalau ia tidak memprotek dirinya dengan sebuah alat di jalan. Apalagi ia sadar, selalu lewat jalan sepi sendiri Pria itu mencoba keluar, disambut Dony yang sedikit menjauh agar pintu mobil terbuka. Tapi sebelum ia bangkit. Pria itu menyemprotkan gas air mata ke Dony Erangan kesakitan keluar dari bibir Dony membuat Yunia panik "Kak..." tidak peduli sandiwara mereka. Ia berusaha membangunkan Dony. Dan pria itu masuk lagi ke mobil, menstarter mobilnya dan langsung tancap gas kencang. Meninggalkan Dony dan Yunia. Misi mereka kali ini gagal. Ada perasaan kesal pada diri Dony. "Ayok Kak kita balik!" Yunia menarik Dony, melingkarkan tangan cowok itu di lehernya "Sialan pake pergi lagi," runtuk Dony sendiri "Yah wajarlah, Kak. Namanya juga merasa terancam. Makanya... Kita jangan lakuin ini lagi,ya" Yunia memohon dalam agar Dony mengerti. Walau Yunia tidak tahu apa kata-katanya berefek pada Dony Mereka sudah kembali ke gedung. Sekarang Yunia dan Dony memang tidak tinggal di lantai atas. Cukup lantai dasar. Dan sebenarnya semua yang ada disini 'milik' mereka sehingga bebas untuk di gunakan. Ketakutan Yunia tentang mata-mata yang menatapnya, nyatanya cuma mata burung-burung pipit yang menjadikan gedung ini juga tempat tinggal mereka Yunia juga sudah mensulap bangunan rapuh tak layak penghuni menjadi rumah sementara yang cantik. Ada beberapa tanaman pot yang ia taruh di dalam botol-botol bekas memenuhi pinggir-pinggir tempat tidur mereka Kini juga Dony dan Yunia tidak mengandalkan koran bekas sebagai alas tidur mereka Dengan uang hasil kerjanya, Dony bisa membelikan Yunia kasur tidur yang cukup layak. Yah, minimal tubuh mereka tak langsung mencium semen bukan? Dony membiarkan Yunia yang memakai kasur tipis berukuran single itu. Untuknya. Ia memilih tidur dibawahnya Tapi malam ini hujan belum juga reda. musim hujan yang seakan ingin menghalangi aksi b***t mereka. Dan Yunia bersyukur karnanya "Kak, Kakak yang tidur sini,ya!" putus Yunia masih agak kesal dengan tingkah Dony yang diam saja seakan tetap ingin menjadi bandit kecil "Gak... Ntar lo sakit lagi" sahut Dony. Ia sudah terpejam sambil memeluk tubuhnya sendiri. Terlihat kedinginan "Gak akan...!" Yunia menarik Dony untuk naik ke kasur. Karna udara dingin tak bisa dilahan lagi, akhirnya Dony setuju. Ia naik ke kasur, tapi tangannya menghalangi Yunia untuk pergi. Seolah menjadikan gadis itu boneka hidup, Dony merangkul Yunia "Kak..!" Yunia gugup karna Dony memeluknya. Apalagi ini pertama kalinya mereka tidur satu kasur. Biasanya Dony dan Yunia bergantian memakainya "Jangan pergi... Gue mohon!" rancau Dony meski masih terpejam. Yunia menelisik wajah Dony yang agak kemerahan. Apa ia mengalami alergi cairan mata. Padahal tadi Dony sudah cuci muka "Kak... Kakak gakpapa?" Ia menyentuh kening Dony. Oh tidak... Dia panas. Pantas saja wajahnya memerah Yunia mau bangun, tapi Dony melarangnya. "Gue cuma minta untuk lo jangan pergi" ucapnya. Tolong hanya malam ini saja, peluklah dirinya yang dalam kebimbangan. Berkali-kali merencanakan kriminal supaya bisa di tangkap. Tapi sialnya selalu gagal. Dony juga merasa bersalah kepada Yunia telah membawa gadis itu dalam kehidupan liarnya. Sambil memejamkan mata, Dony meneteskan air mata. Rindu kepada ayahnya sangat terasa apalagi disaat seperti ini Yunia yang sejak tadi menghadapnya, hanya bisa bantu menghapuskan airmata Dony. Meski ia tidak tahu mengapa Dony menangis, tapi Yunia bisa merasakan sakitnya. Dony membuka matanya pelan, "Gimana kalau kita meninggal di jalan. Siapa yang akan menguburkan kita," Yunia tersentak. Ia tidak pernah berfikir sampai sana. Apalagi kalau orang yang pertama pergi adalah Dony. Meski benci mengakuinya, tapi Donylah yang mengambil peranan penting dalam pelarian ini Ia tak mampu menjawab, dan hanya tertunduk "Maafin gue, Yun" ucap Dony. Pertama kalinya ia meminta maaf dan itupun terdengar sangat tulus Yunia mendongak, " Kakak bukannya mau pergi dari akukan?" tanyanya bimbang Dony menggeleng sambil tersenyum tipis, " Bukan... Tapi gue minta maaf karna gue selama ini selalu membawa lo hidup dalam kesia-siaan seperti ini. Dan sebenarnya gue gak tau sampai kapan kita begini," "Jujur... Setelah kita sama-sama tinggal dan bertahan hidup berdua. Gue tau arti sebuah teman. Yah... Walau lo suka ngrepotin gue. Tapi sebenarnya gue seneng di temenin lo" ia menatap Yunia dengan kuluman senyum "Tadinya gue selalu mikir, gimana kalau nanti kita berpisah. Kembali ke kehidupan masing-masing. Apa gue akan rindu sama lo?" Dony sedikit merebahkan tubuh, menatap langit-langit yang mulai rapuk "Apa lo pernah kefikiran buat rindu sama gue?" tanyanya lagi. Yunia ikut merebahkan dirinya persis seperti Dony "Mungkin," desisnya Dony yang tidak terima dengan jawaban datar Yunia jadi melirik sinis, "Cuma mungkin kata lo?!" sungutnya Yunia tersenyum manis, "Karna sebelumnya aku gak pernah berfikir ada perpisahan antara kita. Kakak itu memang menyebalkan tapi Kak Dony juga orang yang paling tulus sama aku. Mau menerima aku apa adanya," beber Yunia suaranya terdengar sangat sedih. Dony yang mendengar merasa terharu Jadi seperti ini rasanya menjadi manusia berarti. Diinginkan bahkan diharapkan keberadaannya Ia kembali menghadap Yunia. Tangannya menyentuh pipi Yunia "Kalau gue cium lo sekali lagi boleh gak?" tanyanya tanpa sungkan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD