Five

1607 Words
"Tapi aku gak mau, Kak." Percuma juga Yunia menolak Dony tetap menarik tangannya. "Kak." Yunia menghentakkan tangannya kasar. Wajahnya terlihat sangat marah "Kenapa, kita mesti kabur dari sana?" Dony mendekat sambil memegang kedua bahu Yunia. "Emang lo mau apa disana?" tanyanya tegas. "Aku.., aku mau." Yunia sesaat hilang arah karena tatapan nyalang Dony mampu membelah hatinya yang terdalam. Tak ada lagi kemarahan pada diri gadis itu. "Percuma,'kan?" Dony melepaskan tangannya dari bahu Yunia seraya berbalik badan. "Mending lo pulang." sarannya. Yunia langsung menarik lengan atas Dony. Mereka kembali berhadapan. "Terus aku di omelin gitu sama Ibu?" sarkasnya. Dony tersenyum miring. Ternyata mereka punya persamaan. Yaitu di benci oleh orangtua "Lo mau kabur juga dari rumah?" tawar Dony merasa ada teman sepenanggungan. "Hhaaahh..." Yunia teranga lebar. "Jadi Kakak lagi kabur dari rumah?" tanyanya yang fokus dengan pernyataan Dony. "Gue tanya malah balik tanya. Lagi gak usahlah.., yang ada lo cuma ngerepotin gue lagi." Dony pergi meninggalkan Yunia. Kali ini Yunia tidak menahan langkah Dony. Ia malah berbalik arah, menuju rumahnya untuk pulang. Berharap disana ia bisa mendapatkan ketenangan batin yang ia cari, walau secuil saja. Sampai Yunia di pagar rumahnya. Sejak di jalan ia terus saja merunduk, membayangkan perkataan keji yang akan terlontar dari bibir ibunya. Sebenarnya Yunia tidak mengerti mengapa ia sangat di banding-bandingkan dengan Maura, seakan ia kerak yang tak berguna. Satu pertanyaan hatinya yang mungkin tidak akan pernah memiliki jawaban. Sekiranya adakah cinta yang tertanam di hati Martini untuknya? Entah... Yunia cuma berharap perasaan itu masih ada. Ia tak mungkin kuat membayangkan ibu yang sangat ia sayangi sesungguhnya tidak pernah benar-benar mencintainya. Itu terlalu menyedihkan, bukan? "Yunia." Pekik Martini dengan koyo yang menempel di pelipis. Itu adalah ciri khas ibunya. Yunia terjinjit, ia malah mundur dan semakin ragu untuk masuk. "Darimana saja kamu?" tanya Martini sambil mendekat. Di tangannya sudah ada alat pemukul nyamuk yang biasa di gunakan untuk memukul lengan Yunia. "Aku... aku..." Mata Yunia menyipit, tubuhnya meringkuk takut. "Ibu tanya kamu dari mana?" Suara lantang Martini tak bisa dielakkan "Aku kerja, Bu," lirih Yunia. Martini memberikan reaksi aneh. "Kerja, emang ada yang mau menerima kamu sebagai karyawannya?" sarkas wanita itu. Bahkan orangtuanya sendiri tidak yakin dengan kemampuan Yunia, lalu bagaimana ia bisa maju dan percaya diri? "Iyah, Bu!" sahut Yunia pendek. Punya pekerjaan yang dipecat dihari pertama. Apa yang bisa ia banggakan? "Terus mana uangnya?" Martini mengadahkan tangannya. Ia fikir Yunia setidaknya membawa uang hasil dari upah kerjanya seharian seperti Muara selama ini. Yunia menggeleng lemah, wajahnya semakin ketakutan "Gak di kasih duit?" selidik Martini langsung melotot. "Bukan gitu, Bu." "Oh, belum gajian,ya karena kamu juga,'kan baru kerja." Kali ini Martini menyeringar. Yunia sendiri tidak paham mengapa ibunya sangat mencintai uang. Bahkan Maura terus diexspose untuk mengikuti berbagai pemotretan demi mendapat uang lebih. Padahal Yunia merasa mereka bertiga bisa hidup dengan layak dan damai hanya dengan mengandalkan uang pensiun almarhum ayahnya yang seorang kepala sekolah. Tanpa perlu Maura bekerja segiat itu. Sebagai kakak, Yunia menaruh iba kepada Maura. Sayang, sikapnya tidak mendapat balasan yang setimpal. Karena Maura juga sangat senang mengejek Yunia. Gadis itu sangat bangga saat tahu dirinya begitu di butuhkan, sedang Yunia cuma pelengkap kehidupan. Dimana ada si cantik ada juga si buruk rupa. Sama sekali bukan bagian penting di keluarga mereka. "Bu.., tapi aku, aku sudah di pecat!" Cepat Yunia menutup telinga dan matanya. "Apa kamu bilang?" Yunia tidak sanggup mengulang kembali. Meski ia belum mendapatkan kata pemecatan secara langsung tapi Yunia yakin namanya sudah diblacklist dari mini market itu. "Kamu bilang apa tadi?" Martini menarik tali tas Yunia, sampai membuat gadis itu semakin rapat dengan ibunya. "Aku.., aku sudah di keluarkan dari perkerjaanku, Bu." "Kok bisa?" Martini menghempaskan tubuh Yunia sampai membuat gadis itu oleng beberapa langkah ke belakang. Dengan masih tertunduk Yunia menjawab "Aku tadi terlambat." Ia tidak mungkin bilang kalau tadi ia habis mengacaukan mini market bosnya. Kalau itu ia lakukan mungkin kakinya sudah di pasung oleh Martini. Bukannya menambah pemasukkan Yunia malah membuat keluarga mereka berpotensi mengganti rugi yang besar. "Kenapa kamu sampai telat. Kamu bodoh,ya?!" Suara-suara sumbang nan nyaring masuk ke relung hatinya. Air mata mengalir tidak kuat untuk menjawab. "Maafin aku, Bu!" lirihnya. "Udahlah.., kamu memang gak pernah ada gunanya," ucap Martini sambil menghempaskan tangan seakan sangat membenci Yunia. Ia tidak mau lagi mendengar pembelaan anaknya. Kali ini ia tidak memakai alat pemukul nyamuk itu untuk Yunia. Ia terlalu kecewa dengan sikap Yunia. Yunia hanya bisa mengulum bibirnya "Aku masuk, Bu!" cepat perempuan itu berlari ke kamar. Ia mengunci kamarnya. Kali ini ia tidak mau di ganggu siapapun, Yunia hanya ingin larut dalam kebodohannya. Beberapa jam kemudian... "Bu... Ibu." teriak Maura yang juga baru pulang. "Iyah, Sayang?" tanggap Martini begitu lembut, tapi itu menyakiti hati Yunia. Gadis itu hanya menutup mulutnya, terisak dalam kesunyian. Tidak mau siapapun mengetahui kepedihan yang ia rasa. Meski sebetulnya tak ada yang benar-benar peduli. "Aku capek, Bu. Aku mau mandi air hangat." "Kalau gitu Ibu siapkan,ya." Martini memang akan selalu menuruti kemauan Maura selarut apapun itu. Yunia yang merasa terpanggil segera mendekatkan dirinya ke ambang pintu, berusaha menguping pembicaraan Maura dan Martini. "Bu, tadi aku di minta pemotretan lagi di luar kota weekend ini, aku pergi,ya Bu." Sesaat Martini nampak berfikir "Luar kota?" beonya. "Iyah, Bu. Kenapa emangnya?" sahut Maura berani. "Ahk, gakpapa." Yunia mengepal tangan. Coba kalau dia. Baru saja minta ijin ke perpustakaan yang letaknya sedikit jauh Martini langsung keluar tanduk. "Kamu boleh pergi kok," lanjut ibunya lagi. "Tapi di temenin sama Yunia, gimana?" sarannya. Maura tersenyum miring. "Mau ngapain bawa buntelan itu, Bu. Ngerepotin aku doang." Yunia menarik nafas, tubuhnya luruh jatuh ke lantai. 'Maura, aku ini kakak kamu. Dan aku sayang sama kamu, tapi gak pernah sekalipun kamu terlihat menyayangi aku, Sebenarnya kenapa si Dek. Kenapa kamu sangat tidak menyukai aku?' Suara hatinya gundah. "Maura kamu jangan kayak gitu, Nak. Yunia kan bisa bantu-bantu kamu di sana." Sambung Martini. Ibunya hanya takut Maura kenapa-napa di luar kota. "Gak usahlah Bu, aku ini udah dewasa,ya. Udah bisa cari duit sendiri," jawabnya angkuh. "Aku mau jalan sendiri aja. Kalau aku gak diijinkan mending aku mogok casting!" Maura memang sangat senang mengancam ibu mereka. Sangat jauh berbeda dengan Yunia yang selalu menurut. Ia tahu dirinya sangat di butuhkan membuat Maura jadi besar kepala. Tapi sebenarnya tidak seharusnya seperti itu. Karena orangtua bagaimanapun keadaan mereka tetaplah harus di hormati. Yunia tak lagi mendengar suara Maura dan Martini mengobrol. Tapi tiba-tiba saja perutnya terasa lapar. Sejak pulang tadi ia memang belum makan apapun. Apalagi tadi ia dari sekolah langsung bekerja. Yunia memegangi perutnya yang terasa perih. Mau tak mau ia membuka pintu kamar saat perutnya sudah tidak bisa di ajak kompromi. Mungkin ia bisa mengambil sepiring nasi tanpa ketahuan. Yunia bukan berniat bersikap seperti maling. Tetapi dia tidak mau kalau dirinya sampai ketahuan dan memancing keributan. Yunia sudah sampai di dapur. Keadaan begitu sunyi dan senyap. Tidak juga ada penerangan karena lampu tengah dan lampu dapur sejak tadi memang sudah dimatikan. Tapi bagi Yunia ini adalah kesempatannya. Gadis itu mengambil piring dari rak dengan hati-hati. Sampai pada suara mengagetkannya. “Lagi ngapain lo?” Yunia yang di tegur jadi kaget. Bahkan piring yang di tangannya jatuh ke lantai. Membuat suaranya jadi menggelegar ke sudut ruang. “Hhaah...” Maura juga sama kagetnya, sesaat tatapan menuduh kembali ia nyalangkan ke Yunia. “Gak becus amat sih!” Maura mendekat, terlihat sangat jijik dengan keteledoran Yunia. Ia mengatur langkah supaya tidak terkena pecahan piring yang berceceran di lantai. Yunia meringis perih, sepertinya tadi kakinya tertancap pecahan piring. Tapi bodohnya ia jauh lebih takut dengan reaksi Maura yang ingin memulai introgasinya sambil mencubit perut Yunia kencang “Kenapa di pecahin?” “Aku... Aku...” “Udah tahu gak ada gunanya, terus sekarang bisa-bisanya bikin kegaduhan!” Suara Maura naik entah berapa oktaf yang pasti melengking ketika di dengar. “Maura kamu jangan kayak gitu...” Yunia menarik tangan Maura. Ia tidak mau Martini sampai terjaga dengan suara teriakan Maura. “Allaa...” Maura malah semakin menjadi. Tak ada rasa bersalah ketika dirinya menghakimi Yunia yang lebih tua darinya. "Udah,yah, Dek." "Gak bisa!" "Aku bakalan rapikan pecahan ini tapi please jangan bersuara lagi. Nanti Ibu bangun." Belum sampai rapat mulut Yunia mengatakannya. Martini sudah sampai di ruang tengah. Matanya menelisik kedua anak gadisnya. "Ada apa ini, Kenapa malam-malam begini kalian masih ribut?" "Yuni mecahin piring, Bu." Yunia tertunduk, kedua tangannya terjalin seperti biasa yang ia lakukan saat merasa terpojok. "Aku laper, Bu. Aku cuma mau ambil nasi tapi Maura mengagetkan aku," belanya "Oh, jadi lo salahin gue!" tuding Maura, jari telunjuknya menoyol kening Yunia. "Udah jangan main salah-salahan. Yunia cepat kamu bereskan itu lalu pergi tidur. Ini terlalu malam untuk makan, apa kau tidak takut lemak di tubuhmu semakin bertambah?" Yunia menenggak ludahnya kasar. Hanya angin yang mampu ia telan karena sang ibu juga melarangnya makan. Yunia mencoba mengikuti keinginan Martini. Tapi sayang, Yunia memiliki penyakit maag akut. Sekali saja telat makan, Kepalanya langsung berputar dan matanya berkunang. Yunia jatuh ketika mencoba terjongkok, beruntung ia masih berhasil melindungi telapak tangannya dari sisa pecahan. Ia menggigit bibir bawahnya kuat. 'Aku harus membersihkan ini lalu pergi tidur' hanya itu yang ada dalam benaknya, meski hati kecilnya juga tidak yakin apa bisa matanya terpejam memasuki alam bawah mimpinya. Sementara itu, Dony sedang iseng berjalan-jalan. Tanpa sadar ia ada di depan rumah Yunia. Ditatapnya rumah itu dalam. Perasaannya kembali ke waktu itu, disaat ia melihat Yunia yang di omeli hanya karena telat pulang. Kalau ibunya tahu ia sudah mengacaukan satu mini market apa yang akan menjadi tanggapan ibunya. Dony sendiri tidak paham, mengapa ia seolah mau tahu tanggapan Ibu Yunia, terlukakah gadis itu dengan reaksi ibunya. Sebab itu ia disini, meski tidak tahu apa ia layak kemari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD