Six

1596 Words
Dony POV Yun.., seharusnya lo udah bisa bela diri lo, kan kalau nantinya ibu lo marah-marah. Atau lo juga bisa bilang mini market itu hancur bukan karena lo, tapi karena gue. Lo boleh kok bawa-bawa nama gue. Gue gak takut di cap nakal atau apapun itu. Kata nakal kayaknya udah tersemat di belakang nama gue. Gue berharap lo bisa hadapi ini, jangan gentar apalagi takut. Oh,ya tadi gue sempet balik lagi ke jalan mini market itu. Lo tahu gak mini marketnya dipasang stiker police line. Itu artinya lo sama gue lagi di cari sama pemilik mini market. Tapi lo tenang aja, lo gak perlu cemas. Paling cuma dengan ganti rugi dia akan menarik gugatannya. Bokap gue bisa kok mengatasinya. Kebetulan bokap gue kaya banget. Cuma masalahnya gue aja gak pulang gimana bisa minta bantuan sama bokap. Dony POV end Sesaat Dony menyengir. Ia membayangkan kalau Yunia mendengar langsung. Pasti cewek itu bakal marah-marah sambil bilang "Itu sama ajah bohong." Lalu gadis itu kembali cemas. Yah, meski baru beberapa kali bersama Yunia. Dony sudah bisa memikirkan reaksi Yunia. Karena Yunia memang sangat mudah di tebak. Ia bagaikan gadis lugu berusia empat tahun. Siapapun bisa dengan mudah memahaminya. Tapi di hati kecilnya Dony, hanya berharap cuma dirinyalah yang bisa memahami Yunia lebih dari siapapun. Dony bangun dari jongkoknya seraya menggaruk kepala. "Ini kenapa gue jadi disini sih. Masalah dia diomelin itu urusan dia kenapa gue peduli banget gini?" gerutunya sendiri. Sesaat Dony ingin pulang. Ia melihat siluet bayangan Yunia. Matanya memincing serius. Berusaha memastikan objek yang ia cari sejak awal. "Kenapa Yunia terlihat kesakitan?" tanyanya sendiri. Dari jarak ia memandang, Dony bisa melihat Yunia yang oleng. Dan tiba-tiba saja siluet itu menghilang dengan cepat. Dony sempat mendengar samar bunyi "Brruukk..." Dan ia sadar bunyi itu berasal dari tubuh Yunia yang jatuh. Tanpa aba-aba, cowok itu langsung memanjat pagar rumah Yunia. Gerakannya yang cepat tidak menimbulkan suara apapun. Dony sempat melirik, adakah orang yang melihat aksinya menyelinap masuk rumah Yunia. Tetapi sepertinya tidak ada, Dony sedang beruntung karna para warga yang sedang bergilir ronda tidak berada di sekitaran rumah Yunia. Dony mengintip dari balik gorden. Samar ia melihat tubuh Yunia berada di lantai Otaknya langsung panik. Apa cewek itu pingsan? cepat Dony mencongkel kaca jendela dengan ujung kukunya. "Aaghhh..." Dony sedikit kepayahan. Karna sepertinya jendelanya terlalu menekan ke dalam sampai sulit dicungkil dari luar. Tidak kehabisan akal, Ia mengambil ranting kayu yang ujungnya cukup lancip. Dengan bantuan ranting tersebut, Dony berusaha mengorek cela. Dan berhasil. Jendelanya sedikit menganga. Dony segera menariknya. Tanpa pikir panjang, ia manjat jendela. Perasaannya begitu khawatir dengan keadaan Yunia. "Yun... Yun... " Dony menggoyangkan bahu Yunia, namun usahanya tidak di gubris Yunia. Ia tidak mendapatkan tanggapan apapun dari gadis itu. Kali ini Yunia bukan pura-pura pingsan tapi ia memang tidak sadarkan diri betulan. Dony mengigit bibir bawahnya panik. Berteriak minta tolongpun akan percuma karna pastinya ia disalahkan karena masuk tanpa ijin. Dony merasa keadaannya menjadi terjepit. Tetapi yang paling penting saat ini adalah meletakkan tubuh Yunia di atas kasurnya. Ia berusaha mengangkat tubuh Yunia "Yun... Bangun, lo,lo berat! Errggghhh..." Padahal Dony sudah memakai kekuatannya untuk mengangkat pinggul Yunia. "Hhaaah...Hhaahh..." Suara nafasnya yang tersenggal merasa kepayahan memindahkan Yunia. "Huufftt..." Dony menarik nafas dalam. Ia yakin bisa memboyong Yunia keatas, Dony hanya perlu berusaha lebih keras lagi. "Satu... Dua...Tiga. Aerrghh. Tubuh Yunia di jatuhkan lagi olehnya. Sebenernya lo berat berapa kilo sih, Yun?" Dony jadi kesal sendiri, dia bahkan mengacak rambutnya. Dony merapatkan lengannya, membuat gerakkan menyatukan seluruh kekuatan sampai nampak otot tangannya. "Masa otot segini gak bisa gendong lo sih?" Dony jadi tertawa. Ia merasa lucu sendiri, karena itu artinya otot yang sejak dulu ia bangga-banggakan belum sepenuhnya terbukti kekuatannya. Bahkan Dony berjanji pada dirinya sendiri setelah ini akan lebih giat melatih otot-ototnya. Tolong ingatkan Dony seandainya ia lupa. Dony merunduk, memperhatikan wajah Yunia dari dekat ternyata oke juga posisi gini. Ia tersenyum miring. Jemarinya menyentuh bibir Yunia. "Ini yang tadi gue cium..." Karena ketukkan jarinya di bibir Yunia membuat Yunia tersadar. Yunia memang agak sensitif dengan bibirnya. Kelopak matanya mulai bergerak, Dony terus memperhatikan dengan serius seakan ia sedang menanti proses keluarnya anak ayam dari cangkangnya. Rasanya menunggu manik mata hitam pekat serta polos itu terbuka juga sama mendebarkannya dengan melihat satu lagi mahluk hidup nan lugu hadir di dunia ini. Saat kelopak itu terbuka sempurna, Dony semakin tersenyum lebar. Bukannya bahagia, Yunia malah kaget tiada kepalang. Hampir ia meninju wajah Dony karna mengira Dony itu hantu iseng yang menatapnya. "Arrgghh..." Teriakan Yunia tercekat, karna dengan cepat tangan Dony membekap mulut Yunia, sedang tangan satunya lagi menangkap kepalan tangan Yunia. "Heh... Ini gue," desisnya. Yunia kembali membuka mata "Kak Dony." "Iyah, gue," sahut Dony santai Yunia semakin melotot "Kak Dony!" Kali ini ia menunjuk wajah Dony. "Iyah, kenapa sih...?" Yunia bangun dari rebahnya "Kakak kok bisa ada disini?" Gadis itu bahkan memindai sekitaranya. Iyah benar, dirinya masih ada di dalam kamarnya dan belum berubah. Kamar kecil yang penuh dengan buku-buku pelajaran. Di sudutnya tak ada satu pun lemari baju. Hanya ada dua container besar tertumpuk. Tempat Yunia meletakkan baju-bajunya. Gadis itu memang tidak di belikan perlengkapan yang layak Bahkan ranjang tidurnya terlihat sudah reyot. Dony yang ikut memindai kamar itu sedikit ngeri takut ranjang Yunia ambruk. "Itu tempat tidur lo?" Dony menunjuk ranjang single bed milik Yunia. Yunia mengangguk dengan bibir cemberut. "Kuat gak ini!" Dony sampai bangun dan duduk di ujungnya. Di hentakkan bokongnya keras, mengetes apa papan dipan itu masih kuat. "Jangan jingkrak-jingkrakan gitu." Larang Yunia. "Hehe... Gak akan rusak, nampung lo ajah kuat kok!" Resek sungguh kehadiran Dony cuma buat resek sekaligus.... Membuat Yunia merasa terhibur, ini pertama kalinya ada orang yang masuk kamarnya setelah berapa lama waktu berlalu. Bahkan Maura adiknya sudah tidak lagi masuk setelah mereka sama-sama masuk ke masa remaja. Kata Maura, tak ada yang bisa ia tatap di kamar Yunia. Dan berada disini cuma bikin sumpek dirinya. Walau begitu Yunia sangat menyukai kamarnya. Yunia tersenyum sendiri. Kira-kira kapannya terakhir kamarnya di masukin orang. Apalagi Dony cowok pertama yang hadir disini. Tunggu... Cowok! Matanya kembali fokus ke Dony, tiba-tiba ia sadar dari mana cowok itu datang. Apa mungkin dari atap rumahnya yang sering bocor. Tapi tunggu, Dony tidak mungkin bisa meresap dari sela-sela bocor bukan. Yunia bahkan menumbuk pelipisnya sambil meruntuki pikirannya "Kenapa kamu bisa ada disini. Jawab gak?" tuding Yunia berusaha galak Dony beringsut dari tempat tidur. Kembali menatap Yunia dalam. Dengan senyum manisnya ia seakan bisa melunturkan tatapan permusuhan yang sengaja Yunia ciptakan. Dony memegang lengan atas Yunia membiarkan Yunia duduk di atas ranjangnya bergantian dengannya yang duduk di lantai. "Sekarang istrahat. Gue lihat lo udah baikan sampai bisa ngomel-ngomel gitu," ucapnya seraya mengacak rambut Yunia perlahan. Yunia menjadi beku, tak perlu ia tahu bagaimana cara Dony masuk, Yang pasti kini hatinya menghangat. Mungkin cowok itu hadir untuk menemani hatinya yang gundah. "Terima kasih," cicitnya haru. Meski linangan air mata tidak tumpah di pipinya, namun hatinya menangis. Yunia sadar. Ia hanya ingin di perlakukan 'selayaknya manusia' seperti cara Dony memperlakukannya. Meski cowok itu juga tadi dengan enteng menghina bentuk tubuhnya. Tapi rasanya tetap saja beda. Mungkin karena Dony mengucapkannya atas dasar bercanda dan bukan sepenuh hatinya. Atau karna ekspetasi Yunia yang sangat ingin balas dicintai Martini dan Maura yang membuat hatinya pedih ketika harapan itu terlalu indah untuk dijadikan kenyataan. Seseorang yang begitu kita perdulikan, tidak jarang malah menjadi orang yang dengan mudahnya menyakiti hati. "Lo tadi kenapa kok bisa jatuh. Hampir ajah jantung gue copot!" ucap Dony seraya memegangi dadanya. "Hhhah aku jatoh?!" Dony mengangguk "Lo gak sadar emang?" Yunia menggeleng ragu, Saat ia teringat perutnya yang perih gadis itu hanya meringis pelan. "Lo kenapa?" "Perut aku sakit, Kak!" Karena di ingatkan lagi sekarang rasanya perutnya sakit lagi "Hhhaah..." Dony jadi menegakkan tubuhnya, wajah panik tak bisa ia sembunyikan lagi. "Kayaknya karna aku gak makan," sahut Yunia masih memegangi perutnya. "Lo belom makan?" ulang Dony kaget "Belum, Kak" cicit Yunia memelas. Tidak sadarkah Yunia tingkahnya seperti bayi apalagi suaranya yang mengalun, mendayu begitu lembut. Dony yakin, jika Yunia bernyanyi suaranya akan sangat merdu terdengar. Tapi saat ini... Itu tidaklah penting, Ia tahu rasanya menahan sakit perut, emang gak enak banget bukan masalah memiliki tumpukkan lemak atau sebagainya. Waktu makan yah harus makan. begitulah fikir Dony. Ia merogoh kantongnya. "Yah, gue cuma punya biskuit coklat ini!" ucapnya sambil memberikan satu bar biskuit coklat. "Ini buat aku?" tanya Yunia dengan tatapan terkesima. "I-Iyah..." Dony jadi ragu. Memang apa hebatnya satu biskuit coklat yang banyak di jual di warung. "Makasih, Kak!" Yunia menerimanya dengan wajah ceria. Ia bahkan mengenggam erat coklat itu seakan sedang memegang benda yang berharga. Dony masih dalam keterkesimaannya meski kali ini ada sedikit senyum terbit di bibirnya. Dony memilih menidurkan kepalanya di ranjang Yunia. "Makan," titahnya terus melihat tingkah Yunia. Yunia terdiam, ia ingin bertanya sampai kapan cowok itu mau ada di kamarnya. Tapi Yunia memutuskan memendam pertanyaan tersebut. Lagipula tidak ada yang peduli kamarnya ke masukkan tamu. Tidak Martini tidak juga Maura. *** Yunia mulai memakan biskuitnya perlahan, rasanya biskuit itu jadi lebih manis dan coklatnya jauh lebih lumer di lidahnya ketika menyadari Dony terus menatapnya. Bibirnya mengulum senyum malu, merasa sangat berarti hanya karna iris mata Dony tidak lepas menikmati wajahnya. Meski Yunia tidak tahu apa yang sedang Dony tatap "Hhaahh... Setelah makan lo langsung tidur, Oke. Gue mau balik!" "Ahk, Kakak mau pergi?" tanya Yunia hampa. "Hm. Besok pagi-pagi banget gue harus kerja lagi. Oh,ya gue juga mau kasih tahu. Besok lo jangan shock,ya kalau ada beberapa polisi yang datang menemui lo," ujarnya setelah mengatakan itu Dony kembali memanjat jendela. Meninggalkan Yunia yang sibuk berfikir. Tunggu, kenapa dirinya di cari polisi?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD