Seven

1643 Words
Sejak semalam Yunia jadi tidak bisa tidur. Ia masih terus memikirkan peringatan Dony. Tubuhnya mematung di depan kaca bercermin, tapi fikirannya melayang jauh 'Apa semua itu karna kejadian kemarin di Mini market. Apa Pak Sultan melapor polisi? Gawat! ini gawat' Yunia semakin resah. Rasanya ia ingin menciut menjauhi kenyataan. Kuku-kuku tangannya menjadi korban keganasan rasa paniknya "Hemm... Pantes kak Dony baik banget kemarin sama aku. Terus aku harus gimana. Tapi menghindarpun rasanya tidak ada gunanya. Mau sampai kapan aku lari dari kesalahanku. Aku memang harus minta maaf sama Pak Sultan" Yunia memandangi pantulan wajahnya. Meski bertekad meminta maaf langsung, tapi apa mungkin gadis buruk rupa sepertinya semudah itu di maafkan. Masih jelas di ingatannya penghinaan yang ia dapatkan saat sekedar terlambat bekerja Flashback On "Haah... Hhaah... Pak, Maafkan saya. Saya terlambat" ujarnya seraya tertunduk pasrah Yunia tidak bisa menatap mata Pak Sultan. Apalagi hembusan nafas kesal keluar dari bibir pria itu "Baru pertama kerja udah telat!" sindir Pak Sultan dengan tatapan sinis. Yunia menaik sedikit kepalanya, melihat tatapan marah Pak Sultan ia jadi sadar, dunia tidak akan pernah menjadi ramah untuknya. Mungkin jika ia angsa yang cantik, perlakuan Pak Sultan akan berbeda lagi. Tapi Yunia hanyalah gagak betina yang lemah, betapa kompleksnya istilah tersebut, karna selemah apapun gagak betina. Mereka hanya akan terus di pandang tak berperasaan sehingga layak untuk di perlakukan keji "Ma-Maaf, Pak" "Sudahlah masuk...!" titah Pak Sultan. Saat Yunia baru masuk selangkah. Pria itu masih mencibir bentuk tubuh Yunia "Kelakuan sama mukanya kok sama. Gak ada yang bisa di banggakan" Yunia mencerna kata-kata tersebut. Bahkan anak kecilpun tau, kalimat itu bermakna sindiran. Marah?! Hhaah... Apa Yunia berhak marah?. Ia memang telat apalagi sangat butuh pekerjaan, Jadi... selebihnya Yunia memilih menutup telinganya rapat Flashback Off Yunia keluar kamarnya seraya tertunduk lesu. Rasanya hari ini ia juga gak mood untuk sekolah, tapi berdiam diri dari pagi sampai sorepun di kamar juga merupakan dosa besar untuk Yunia. Beda lagi kalau itu di lakukan oleh Maura. Mungkin ibu mereka akan mendukung aksi bolos Maura, malahan beliau bisa membuatkan surat ijin sakit untuk Maura. Yunia... Jangan harap! Yunia meneliti keadaan rumah, ia jadi heran. Kenapa sepi sekali. Oh, Yunia tahu pasti Maura sudah jalan sekolah diantar Devid temannya. Temannya... Seperti itulah pengakuan Maura. Tapi sayangnya Yunia pernah memergoki Maura dan Devid sedang berpagut mesra Dan ketika Maura tahu, Yunia menyaksikan aksinya. Maura malah naik pitam. Cewek itu tidak segan memarahi kakak perempuannya di depan Devid Yunia masih bisa menangkap senyum remeh Devid padanya. Pria itu bahkan tidak berusaha menasehati Maura yang marah-marah pada kakaknya sendiri di depan umum. Sudah Yunia bilang, di sekolahnya tak ada satupun orang yang peduli padanya Semua hanya ingin melihatnya jatuh, terhina dan memalukan. Yah, itu adalah bagian Yunia Sungguh, Jika ada yang menawarkannya mati dengan tenang Yunia pasti menginginkannya. Masalahnya mengakhiri hidupnya sendiri hanya bisa menambah deritanya di alam baka Sedang Martini juga tidak tampak batang hidungnya. Yunia sesaat merasa bebas. Ia tersenyum, bersyukur dengan keadaan pagi ini. Seenggaknya ia tidak perlu mendengar suara sumbang nan melekit yang keluar dari mulut ibunya Cepat... Yunia pergi ke sekolah. Dengan mengandalkan sepeda ontel tua peninggalan almarhum ayahnya Yunia berangkat penuh keyakinan. Sesampainya di tengah jalan seakan ada seseorang yang memanggilnya "Push... Push...!" Yunia menengok ke belakang. Sepi, membuat bibirnya cembetut merasa di kerjai. Kembali ia melajukan sepedanya "Push... Jangan sekolah!" suara itu terdengar lagi. Tapi kali ini melarangnya pergi. "Kamu siapa?!" Yunia berteriak keras. Dony yang dari tadi ada di atas pohon jadi tersenyum miring. Ia melempar kacang yang di tangannya ke kepala Yunia "Aduh...!" Yunia mengelus ubun-ubunnya yang terkena pantulan kacang "Dongak dong!" Refleks Yunia mendongak "Kakak...?!" Cepat Dony turun. Sebentar saja ia sudah ada di depan Yunia. Tangannya ia masukkan ke saku celananya "Gak usah pergi ke sekolah!" ujarnya lagi lebih serius "Kenapa kamu nyuruh aku kayak gitu?!" selidik Yunia curiga “Udah percaya ajah sama gue...” Yunia justru semakin curiga matanya memincing begitu waspada “Aku gak mau jadi kayak kamu!” tekannya. Dony sangat menyukai cara Yunia menolak ajakannya apalagi sampai membawa-bawa aksinya yang kabur. "Yah kalau lo mau di tangkep terserah...!" Ia mengidikkan bahunya seraya berniat pergi. Tapi Yunia menahannya "Maksud kakak?!" Dony mengulum senyum puas. Gimana sih, tadi ajah sok berani setelah di bilangin baru deh... “Lo gak berfikirkan kalau bos lo itu merelakan mini marketnya begitu ajah,kan. Terus maafin lo dengan alasan kemanusiaan?” sarkasnya. Hm, pemikiran itu terlalu konyol, gak ada satupun orang yang ingin usahanya jatuh di tangan orang lain. Kebetulan pagi sekali Dony melewati mini market itu. Tak ada perasaan bersalah, ia hanya iseng ajah. Dan dari kabar yang ia dapat. Pemilik mini market ingin meminta ganti rugi pada Yunia Karna Yunia waktu itu melampirkan kartu pelajarnya. Jadi Pak Sultan dan para Polisi sedang menuju kesekolah Yunia untuk meringkuk Yunia Yunia terangga... Oh tidak, tanpa kejadian itupun ia bagaikan sampah sekolah, apalagi ini. Berapa banyak cacian yang harus ia dapati karna ketahuan mencoreng nama baik sekolah. Ia menjadi kalap. Yunia hanya bisa menggigit bibir bawahnya kencang “Percuma juga khawatir. Gak akan menyelesaikan masalah” ucap Dony kesal dengan Yunia. Ia seenggaknya tahu apa yang ada di otak Yunia sekarang. Pastinya gak jauh dari pandangan orang lain. Padahal bukan itu yang seharusnya gadis itu fikirkan tetapi mencari jalan keluar secepatnyalah yang semestinya memenuhi benaknya “Aku harus gimana, Kak?” suara gadis itu jadi terdengar syarat rasa ragu. Dony berfikir, Sebetulnya ia gak mau terjun lebih jauh ke masalah cewek ini. Ia Cuma mau memperingati kok, tapi kalau sudah kayak gini. Yah... Gak ada jalan lain selain ikut campur “Kita kabur...” Solusi terbaik yang bisa ia berikan ke Yunia apalagi selain pergi dari kehidupannya sekarang-setidaknya sampai semua membaik. Yunia menggeleng keras, Ia gak mau kalau mesti kabur. Gimana dengan sekolahnya, gimana dengan keluarganya “Emang lo punya ide lain yang lebih bagus gitu?” tanya pemuda itu sambil menopang dagunya. Yunia terangga... Sayangnya gak ada tapi, Yah... Jangan kabur juga bisa gak? “Mungkin Pak Sultan akan memaafkan aku kalau aku mengatakan yang sejujurnya. Jadi aku mohon kakak bantuin aku,yah untuk menjelaskannya” Ia menarik tangan Dony “Gak mau... lo ajah sana!” Dony menghempaskan tangannya keras “Kak... Bantu aku!” rengek Yunia mengekor Dony "Gue bilang gak mau" Ia melotot tajam "Jadi aku sendirian. Hm, ya udah kalau kakak gak mau bantu. Aku emang udah biasa kok menghadapi semuanya sendiri. Dan aku tetap mau tanggung jawab. Aku gak mau kabur, Yang kaburkan cuma pengecut..." Rentetan ucapan Yunia seakan memengkakkan telinganya. Dony menepuk-nepuk telinga yang terasa berdengung "Yang kabur itu pengecut... Dan aku bukan pengecut" cicit Yunia lagi seraya lirik ke punggung Dony. Dony menggeleng sebentar saja kembali berbalik menghadap Yunia "Ayok kita ke Sekolah" *** Yunia berusaha menahan gelak tawanya menyadari Dony sepanjang jalan terus menghapus tetesan keringat yang jatuh. Nafasnya juga masih memburu "Capek, Kak?" selidik Yunia polos. Dony cuma memutar bola matanya malas 'Baru kali ini gue gowes dengan kekuatan penuh. Tapi belum sampai juga' pikirnya "Udah sini aku ajah yang bawa sepedanya, kakak nanti aku goncengin" "Gue... Lo goncengin?" kutipnya tak terima. Dony menarik nafas lamat-lamat. Dalam kamusnya tak pernah ia biarkan dirinya di bawah kuasa seorang wanita. Maka, ia memutuskan mengumpulkan semua kekuatannya untuk kayuh sepeda lagi Sampai di gerbang sekolah. Nampaknya yang dikatakan Dony terlalu berlebihan. Buktinya, tempat itu sama sekali tidak ramai bahkan cendrung seperti hari-hari biasanya Yunia turun dari kursi belakang "Mana Kak, gak ada Polisinya kok?" Ia mengatakannya dengan begitu percaya diri. Akhirnya tak perlu ia mengucapkan kata maaf yang sejak tadi ia susun selama di perjalanan “Jangan seneng dulu lo. Kali ajah di dalam” Dony ikut turun. Memarkirkan sepedanya di depan. Yunia terdiam, namun hatinya juga membenarkan ucapan Dony Langkahnya menjadi berat, dengan menelan saliva Yunia berusaha maju “Nah itu dia kakak saya, Pak” seloroh Maura menunjuk Yunia. Di belakang gadis itu ada beberapa orang polisi dan satu orang yang Yunia kenali sebagai bosnya “Haahh...” sungguh ia tidak percaya. Bahkan Maura nampak senang melihat ia menderita, senyum iblisnya masih bisa ditangkap Yunia Ia mundur dan berlari ke hadapan Dony “Kak ayok kita kabur!” Dony menyeritkan alis, tubuhnya yang tadi sedang senderan di tembok kembali tegak “Tadi katanya gak mau” Ia membalikkan ucapan Yunia “Tadi sama sekarang tuh beda!” geram Yunia. Dony masih tidak mau terima ia memasang wajah dungu. Bahkan tingkahnya jadi malas-malasan “Kak... Ayok!” Sebetulnya Yunia tidak paham mengapa harus mengajak Dony dalam pelariannya. Dalam alam bawah sadarnya mengatakan cuma cowok itu yang betul-betul tulus padanya terlepas dari tingkahnya yang menyebalkan Yunia terus mengguncangkan kedua tangan Dony. Dony melirik ke belakang mengintip arah pandang Yunia “Shiitt... Polisi!” Ia mencengkram tangan Yunia “Cepetan larinya!” “Ah.. aahkk... Kita... Kita, gak naik sepeda aku ajah, Kak?” Yunia menengok ke sepedanya yang tertinggal “Udah lupain ajah itu gak penting. Sekarang kita kabur!” bahagia itu yang dirasakan Dony saat ini. Lelaki super jail itu suka sekali lari, terlebih membawa Yunia mendengar suaranya yang tersenggal hampir menjelang mati malah semakin mengundang tawa dari sudut bibirnya "Kak... Minum, Minum" Yunia berusaha mengatur nafasnya. Ia terpejam erat, merasa pasokan udara semakin menipis melalui rongga parunya. Pekerjaan lari itu gak mudah buat orang gemuk kayak Yunia "Gue beli minum dulu,yah" ujar Dony pengertian. Ia mendatangi toko klontong di pinggir jalan. Sedang Yunia memilih terduduk di pelataran warung tak lagi memperdulikan roknya yang jadi kotor kena debu "He," Dony tersenyum miring melihat kelakuan Yunia yang deprok di tengah jalan "Nanti lo di kira tukang minta-minta kalau duduk disitu" Ia mengatakan sambil membayar minuman kemasan di tambah sebatang rokok yang juga ia beli dan ia selipkan di antara bibirnya "Biarin..." sahut Yunia sambil mengibaskan tangannya "Lagi aku emang udah jadi peminta-minta kok, kalau kayak gini gimana aku bisa pulang. Pasti Maura juga udah cerita sama Ibu" suaranya jadi murung, bahkan bahunya turun saking lemasnya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD