Eight

1752 Words
"Aku gak punya tujuan" cicit Yunia hampir ingin menangis. Bukannya merasa terenyuh, Dony malah meletakkan minuman dingin ke pipi Yunia. Yunia langsung kaget, ia mendongak sembari mendelik kearah Dony "Gak usah natap kayak gitu makin jelek ntar!" cowok itu membuka botol minumnya. Ia menenggak kasar, sehingga air itu tak sepenuhnya masuk ke rongga mulut melainkan membasahi rahang berlanjut ke leher kokohnya "Iiih... " Yunia yang dibawahnya jadi mengibaskan lengannya yang basah kena cipratan air itu "Hehehe... Anggap ajah air hujan" tutur Dony santai "Jorok..." kesal Yunia, melengos seraya menggulung tangannya "Nih minum..." kini Dony malah memberikan sisanya ke Yunia. Kontan membuat wanita itu mengulum bibirnya tak sudi "Ya udah kalau gak mau, seinget gue tadi lo ngos-ngosan... Capek lari. Lo harus tahu, tubuh yang kekurangan cairan akan cepat lelah dan kalo lo jadi capek. Gak menutup kemungkinan lo bakalan tertangkap polisi-polisi itu" ujarnya memojokkan Yunia. Yunia terlihat serius mencerna semua ucapan Dony 'Betul juga' pikirnya. Tak ingin sampai tertangkap. Akhirnya Yunia menarik botol minum yang di tangan Dony begitu kasar Dony hanya tersenyum miring sesaat melihat gaya Yunia minum, yaitu persis seperti dirinya. Berbeda lelehan air itu tidak hanya melewati rahang dan leher gadis itu. Tetapi air terus melewati sela kemeja Yunia. Menyadarinya membuat Dony mengepalkan tangan kuat. Entah posisinya yang berada diatas Yunia adalah suatu petaka ataupun anugerah. Jiwa baiknya mengatakan untuk jangan melihat aliran air itu bermuara kemana tetapi ia malah terus mematut matanya masuk lebih dalam. Seakan bisa menerka apa yang ada di balik kemeja Yunia "Ahk, Gak usah cepet-cepet minumnya. Lo tuh bocah,ya masa minum ajah sampai basah gitu kemeja sekolah lo" Dony marah-marah. Meski ia tidak mengerti dirinya marah untuk apa. Alis matanya berkerut tak suka Tapi tatapan polos Yunia membuat Dony sesaat menyesali perbuataannya itu "Nanti lo jadi lepek, bisa masuk angin..." ucapnya lebih lembut seraya masih terjongkok di depan Yunia. Yunia melirik kearah kemejanya yang jadi sedikit basah. Hanya sedikit, ia yakin setelah ia pakai beberapa saat saja basahnya akan hilang. Tapi Yunia memilih menghembuskan nafas menyerah, meski tak perlulah Dony sampai marah-marah juga "Nanti hilang kok!" lirihnya sedikit membela diri. "Hm," Dony meraih tangan Yunia, bermaksud meminta Yunia bangun. Mengikuti arahan Dony. Yunia bangun bersama pemuda itu "Aku gak bisa sekolah, bahkan aku gak bisa pulang ke rumah, terus kita mau kemana..." ucapnya lagi kali ini matanya jadi berair. Tapi Yunia berusaha tegar. Bibirnya mencoba mengulas senyum paksa. Dony meletakkan telapaknya di kepala Yunia "Ikut gue!" Tak mungkin ia sampai tega membiarkan Yunia terbengkalai di jalan seorang diri. Lagi juga, inikan karnanya. Meski Dony gak mau mengakui langsung di depan Yunia Yunia menghempaskan tangan Dony dari atas kepalanya "Kemana dulu, Kak?!" tanyanya ingin tau "Udah ikut ajah!" Ketika Yunia masih memikirkan, beberapa Polisi lewat, beruntung Dony sigap dan membawa Yunia lari masuk ke gang kecil. Membekap mulut Yunia supaya tidak bersuara 'Apa itu artinya aku sudah menjadi seorang buron, Hah... Kurang lengkap apa lagi hidup aku, di bully, di cemooh, dibanding-bandingkan lalu sekarang...' sarkas Yunia dalam hati "Kayaknya Polisi itu udah menjauh deh" gumam Dony terus menatap kearah depan "Kak... Kita emang mau kemana, kayaknya kita gak bisa kabur. Polisi akan terus mencari kita," sergah Yunia begitu kalap "Sorry, tapi perlu gue revisi. Polisi itu cuma cari lo, bukan gue" cowok itu bertolak pinggang, membuat Yunia sangat jengah. Ia memutar bola matanya malas. "Tapi kamu ngbantu aku buat kabur. Itu sama ajah kejahatan," apa yang Yunia katakan ada benarnya. Namun, Dony tidak mau mengagumi pikiran Yunia yang itu sama saja memojokkannya "Gue lagi bantu lo, jadi lo jangan banyak cingcong..." tekan Dony *** "Dony... Dony,!" Roland memijit ujung hidungnya sangat pusing dengan kelakuan anak satu-satunya itu. Sebagai single parents. Ia akui memang sangat jarang memberikan perhatian lebih untuk Dony. Sehingga ia tumbuh menjadi pemuda yang liar. Perasaan bersalah menggerogoti hati Roland kali ini. Ia sadar selama ini dirinya terlalu memperdulikan orang lain, tetapi lupa memperhatikan anaknya sendiri. Miris memang! Terlebih permasalahan hidup terus menghimpitnya. Menjepitnya yang sangat berusaha menjadi seorang hakim yang adil, nyatanya tak semudah seperti yang di ucapkan. Tidak jarang ia mendapat penawaran menggiurkan berupa uang sogokkan yang ia perkirakan tak akan ia dapati meski telah bekerja siang dan malam selama sisa hidupnya. Tetapi, apa hidup hanya sebatas mencari harta? Sebab itu Roland tak akan sudi menerima uang yang cuma menjadi bahan bakarnya di alam baka Gak cuma melalui cara halus, cara pengancamanpun sudah kenyang ia dapati karna Roland yang seakan mencari gara-gara dengan salah satu genk mafia. Ia gak mau membebaskan anak buah dari seorang mafia bernama Alex. Kadang ia merasa lelah. Dan ingin sekali membagi semua lara ke Dony, keluarga satu-satunya yang ia miliki. Tapi Dony terlalu fokus dengan keresahan hatinya sendiri. Tanpa pernah memikirkan bagaimana sangat berusahanya Roland membesarkan dirinya seorang diri di sela aktivitas bekerjanya. Dua orang ayah dan anak yang terpisah hanya karna kurangnya komunikasi itu lama kelamaan menjadi petaka. Masalah kecil seakan begitu besar, melebar memenuhi rongga d**a dan menyesakkan keduanya. Mengikis perasaan sayang antara ayah dan anak Yah, Roland sadar sedikit banyak ini salahnya yang terlalu memanjakan Dony sedari kecil. Anak itu tidak pernah diajarkan rasa empati, yang Dony tau... Ia hanya mendapat segala fasilitas yang ia perlukan tanpa perlu bertanya dari mana asal dari segala fasilitas tersebut Dulu, Roland punya prinsip seorang anak harus bangga kepada ayahnya. Tak peduli berapa banyak luka yang ia terima. Dony hanya perlu bahagia. Berlanjut sampai Dony beranjak remaja. Segala pemikiran Roland nyatanya memiliki dua sisi mata uangnya. Dan kini ia terluka dengan sisi satunya lagi Dony yang manja, Dony yang keras kepala sungguh menyakiti hatinya. Air mata tak mampu ia bendung. Seraya memeluk bingkai foto ia dan Dony, Roland berusaha menghapus cairan bening tersebut "Nak, gimanapun kamu saat ini, sebenci apapun kamu padaku. Kamu harus tau kalau aku mencintaimu, masa depanmu jauh lebih berharga bahkan dari nyawaku sendiri. Aku hanya ingin kamu tumbuh menjadi lelaki yang dewasa, yang bisa bertanggung jawab dengan hidupmu" lirihnya. Mungkin ia bukan sosok ayah yang sempurna, tetapi diantara ketidak sempurnaan itu, Roland sangat berusaha menjadi yang terbaik setidaknya untuk Dony, Putranya. Tidak ada kata terlambat. Dan mulai sekarang ia akan memberikan Dony pengajaran yang sebaliknya. Bukan memberikan apa yang anak itu inginkan secara instant. Tetapi memberi pengertian, bagaimana usaha, tanggung jawab serta pengorbanan bisa mengantarkan seseorang dalam kebahagiaan yang sejati *** "Ini tempat apa, Kak?" Yunia memindai sekelilingnya. Bekas-bekas peti telur berserakkan di segala sudut. Ia menutup hidungnya ketika sisa bau amis-dari telur yang jatuh mengganggu indera penciumannya Kreekk... Setiap langkahnya di iringi dengan suara gabah dari bekas peti telur "Ini tempat gue biasa tidur. Disini kita gak akan ketauan siapapun," ucap Dony yang sudah duduk di pojokkan "Bekas padi-padi itu jadi alas tidurnya. Terus peti itu jadi dindingnya," lanjutnya kembali seraya tersenyum bangga Yunia terperangah. Ahk, berharap apa dia. Rumah yang hangat dengan cinta dari seorang ayah dan ibu yang sering terlintas di benaknya. Hm, Yuniakan tau... Dony itu juga kabur dari rumah. Ia duduk di samping Dony sambil menjulurkan kakinya yang lelah setelah di pakai berjalan seharian "Nanti kalau gue kerja jadi porter, lo dia disini ajah" Yunia tersenyum, mengangguk sekilas. Tatapan Dony begitu tulus, bagaimana mungkin ia menolaknya Tiba-tiba perasaannya di landa gelisah "Tapi aku harus jelaskan semua ini sama ibu. Aku gak mau beliau salah paham sama aku," Dony menatap Yunia dalam. Ingin bertanya 'Lo'kan gak disayang sama Ibu lo kenapa harus sekhawatir itu?' Tapi rasanya itu terlalu jahat di ucapkan "Yah, meski Ibu sering kali gak peduli sama aku. Tapi aku gak mau kayak gitu. Baik Maura dan Ibu itu keluarga aku. Dan aku percaya, setiap keluarga adalah satu-satunya tempat kembali yang akan selalu menerima walaupun kita sedang berada di bawah" Dony terdiam, jika Yunia saja yang jelas-jelas dibenci keluarga masih mempercayai arti sebuah keluarga, lalu mengapa ia sangat sulit meyakinkan dirinya bahwa yang di lakukan ayahnya semata-mata demi kebaikan dirinya. Yunia masih terus tersenyum tulus menatap Dony, "Lo laper?," "Haaah...?" kaget Yunia. Apa ia tidak salah dengar pertanyaan Dony tadi "Yah, lo liatin gue terus kayak gitu. Gue tebak pasti lo laper" senyum berganti jadi cengiran. Ternyata Dony punya satu kelebihan lagi. Gak cuma ganteng, tapi dia PEKA. Yunia mengangguk antusias, "Beliin aku sarapannya,ya,ya...!" Matanya menerjap perlahan. Yunia bahkan langsung lupa dengan perasaan gundahnya "Iyah ini juga mau dibeliin" katanya seraya merogoh kantongnya. Yunia menunggu berapa uang yang Dony punya. Cuma karna perutnya gak bisa diajak kompromi lagi. Yunia jadi memesan beberapa makanan "Nanti beliin aku batagor,ya. Sama kue cucur, terus putu ayunya jangan lupa. Eh satu lagi, tadi aku lewat warung bubur ayam. Bubur ayamnya baru mateng gitu. Terus harumnya enak banget. Beliin seporsi juga,ya!" Yunia terus menyerocos tanpa dosa. Bikin Dony membeku tak lagi mengudek kantongnya. "Ini yang dinamain dikasih hati minta jantung," gumamnya "Kak... Jadikan beliin akunya?" Yunia menggoyangkan tangan Dony. Dony memutar bola matanya "Iyah, Iyah... Tapi harus habis semua,ya" ancamnya Yunia duduk tegap, lidahnya menjulur seolah membasahi bibir bawahnya membayangkan sebentar lagi semua makanan itu lewat ke lidahnya saja sudah membuat air liurnya ingin tumpah. Cepat-cepat ia menelan salivanya kasar "Pasti itu, kalau mau di tambah sama donatnya dua juga masih muat kok," ia cengir kuda. "Hah," kali ini Dony yang melotot kaget. Nyesel udah nawarin manusia ini sumpah!. Bukan karna Dony gak mau mengwujudkan keinginan Yunia. Tapi uangnya terbatas. "Hufft!," ia membuang nafas kasar. Tapi Dony cukup percaya selama ia berniat membantu orang lain Tuhan akan memberikan jalan bagi-nya Ia berdiri, sedikit melempar senyum khasnya "Tunggu disini,ya" sekali lagi ia mewanti Yunia. Ternyata punya teman pelarian lumayan mengasikkan. *** Pertama-tama Dony mendatangi gerobak bubur ayam. Hm, Yunia benar... Baru berjarak dua meter saja harum dari panci seakan menggelitik lidahnya. Dony memegangi perutnya. Kapan terakhir kali ia mencicipi kuliner itu. Entah, ia juga lupa. Teringat kembali wajah ayu Yunia, menimbulkan senyum tipis di bibirnya, "Beli setengah porsi pasti gak akan cukup buat dia, udahlah satu ajah" desisnya seorang diri "Pak, buburnya satu porsi!" Dony duduk di bangku pembeli. Selembar uang sudah ia siapkan. "Dia ajahlah yang makan. Gue masih kenyang kok!" Ia sengaja mensugesti dirinya seperti itu "Satu,ya Mas?!" ulang penjual "Iyah satu!" sahutnya sambil mengangguk. Tatapannya beralih ketempat lainnya. "Yang jual kue cucur dimana,ya?!" Yah, walau sudah lama keluar-masuk pasar tapi Dony gak hafal letak para penjual. Tiba-tiba saja kakinya di injak salah satu preman. Bukannya minta maaf pria itu cuma melengos tak acuh "Hei!" Dony berdiri untuk menegur pria tersebut Pria kurus kering dengan tato di mana-mana itu jadi terdiam "Lo ngomong sama gue?!" selidiknya meremehkan Iyah gue sih ngomong sama orang yang punya kuping!" kelakar Dony Pria itu mengangguk seakan begitu puas dapat lawan yang sebanding "Banyak bacot lo!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD