Nine

1700 Words
Tangannya terkepal di udara siap memberi pelajaran ke Dony. Nyatanya Dony bukanlah lawan yang sebanding... Ia terlalu, terlalu kuat untuk di sejajarkan olehnya yang sudah menjadi preman puluhan tahun lamanya, satu kenyataan yang tidak mampu ia terima dengan nalar. Sedang pemandangan Dony menghalau serangannya dengan sangat cepat juga tidak bisa ia kategorikan sebagai sebuah keberuntungan "Lo yang banyak bacot...!" Dony berusaha menangkis serangannya. Tak sulit, karna gerakkannya dengan mudah terbaca mata elang Dony Setelahnya tangan pria itu ada di kepalan Dony. Ia memelintir ke belakang tanpa ampun "Ahk," suara erangan keluar dari sudut bibir musuh. Dony sebetulnya tidak tega. Badan kurusnya membuat Dony berfikir lelaki itu sudah tidak makan lama sekali. Tapi kenapa gaya,ya seolah ia adalah sultan pemilik segalanya. Dony tahu, di tempat ini mendapatkan uang halal untuk makan sehari-hari sangatlah sulit, mungkin mencari jarum di antara tumpukan jemari masih mudah untuk di lakoni. Lalu ada sekumpulan orang yang mengatakan, kalau gak bisa dapat yang halal. Yang harampun jadi. Asal perut terisi. Yah, sebenarnya cowok itu gak peduli dengan pemikiran itu. Tetapi ia juga gak minat untuk ikut andil "Lepas-lepas...!" preman itu terus memerintah seraya mengeram dengan mata terpejam kuat. Sedang Dony masih memasang mimik tenang dan bersahajanya "Gue cuma mau lo minta maaf kok, karna udah menginjak kaki gue" titah Dony bagai suatu penghinaan untuknya. Gimana bisa ia di luluh lantahkan dengan satu kepalan tangan. Di lihat oleh semua pedagang yang selama ini memberikannya uang sembah berkedok uang keamanan. Jika ia menyerah sama saja ia melepaskan mata pencariannya selama ini. Tak habis akal. Ia menghunuskan tangan satunya lagi untuk meninju perut Dony. Tapi Dony terlalu luwes. Ia menghindar dalam hitungan detik. Membuat mata pria itu melotot. Sebenarnya dalam ukuran nyali ia sudah kalah, sayang egonya tidak ingin mengakuinya "Minta maaf" tekan Dony "Sampai mampus juga gue gak akan minta maaf!" murka preman itu "Kalau gitu biar gue yang bikin lo mampus" ia semakin memelintir tangan musuh, berputar sembilan puluh derajat dari posisi awal jadi ke atas punggung preman itu Setelahnya, Dony menendang pinggul pria itu Kebetulan di depannya banyak tong kosong. Tubuh pria itu jadi menimpa tong-tong. Menjadikan dirinya mirip seperti bola bowling dan tong-tong itu adalah pinnya Suara kelentang yang berasal dari tong kosong yang jatuh semakin menambah riuh suasana pasar Bunyi gaduhnya mengundang semua mata memandang. Entah apa yang terlintas di benak mereka. Tetapi pria itu rasanya sudah hilang muka. Ia sudah kehilangan wibawanya cuma karna bocah tengik macam Dony ini Ia berjanji dalam hatinya akan membalas penghinaan Dony padanya suatu saat nanti. Lihat saja kau! "Wah... Kamu hebat!" puji tukang bubur ayam setelah yakin preman yang tadi lari seperti orang habis melihat hantu "Sebelumnya gak ada orang yang berani sama dia. Biarpun semua orang disini gak suka sama dia" ia bercerita tanpa Dony minta. Dony mendengarnya malas-malasan. Tapi juga gak mau ketahuan tidak peduli "Kenapa gak di lawan ajah?" "Wah... Kamu bercanda, dia itu kuat. Kalau gak mau kasih uang keamanan, dagangan kita di lempar dia" Dony menaiki sebelah alisnya 'Masa sih?!' senyum tersunggil. Berarti dia lebih hebat dong. Menyadarinya membuat ia bangga luar biasa. "Kalau gitu mulai sekarang jangan kasih uang keamanan ke dia. Kalau dia berulah lagi, biar aku yang hadapi" jiwa mudanya terpanggil. Dony selalu suka dan merasa lebih hidup saat berkelahi Tetapi sewaktu sekolah ia tidak punya alasan untuk menyalurkan 'hobi-nya' itu. Berbeda dengan di pasar, ia punya segudang alibi salah satunya menjaga keamanan dalam arti yang sebenarnya "Karna kamu hebat, saya kasih buburnya gratis buat kamu" ujar Pak pedagang seraya memberikan kantung putih berisi sterofoam. Dony melirik "Kalau gitu minta dua deh!" Dia bukan orang bodoh yang menyia-nyiakan kesempatan. Yang tadinya wajah pedagang di selimuti senyum manis. Segera berubah jadi masam saat mendengar permintaan Dony "Sama ajah!" gumamnya. Dony mendengar tetapi ia tidak peduli, fikirannya masih fokus mencari letak penjual kue. Sebentar saja dua kotak bubur sudah siap "Ini...!" wajah pedagangnya masih gak ikhlas, mengundang tanya dari bibir Dony "Ikhlas gak nih?!" tanyanya jail. Memangnya kalau gak ikhlas dia mau bayar, enggak juga! "Ikhlas" ucapnya dengan nada lesu "Hehhe... Gitu dong. Aku doain semoga dagangannya lancar!" Baru saja Dony jalan, seorang Ibu datang mendekati penjual "Pak buatin sepuluh porsi,ya!" Dony jadi tersenyum, Ahk... Gak sangka do'anya terkabul secepat kilat. Tau gitu tadi dia berdoa biar dapat jodoh, eh! "Lumayan karna buburnya gratis aku jadi gak usah keluarin banyak uang. Masih ada sisa. Kira-kira Yunia mau es gak,ya?!" Meski ditangannya sudah banyak tentengan berisi makanan tapi Dony belum mau balik. Ia sedang asik berwisata kuliner, semua makanan di belinya masing-masing satu bagian. Ia yakin Yunia tak akan menolak semua itu *** "Mana anak anda!" teriak Pak Sultan murka. Ia sampai mendatangi rumah Martini. Pria itu merasa tertipu mentah-mentah dengan keluguaan Yunia "Masih untung di kasih kerja. Taunya kayak gini!" gerutunya dilanda amarah. Martini yang baru pulang dari pasar menjadi ciut, wajahnya pucat pasi berdiri seorang diri menghadapi amukan Pak Sultan serta tiga orang bodyguardnya berwajah garang "Ma-Maaf, tapi anak saya yang mana, Pak?!" tanyanya berani. "Siapa lagi. Anak kamu yang gak berguna itu, Yunia Amelia!" Spontan mata Martini mendelik kaget, semula perkiraannya orang-orang bertbuh tinggi besar itu datang karna ulah Maura 'Hm, Yunia... Kamu hanya bisa merepotkanku!' "Anak saya... Kenapa memangnya, Pak. Apa yang ia lakukan?!" ia merunduk bagaikan seorang babu menghadap bendoronya. "Dia merusakkan toko klontong saya. Sampai hancur tak bersisa. Kalau anda gak mau ganti rugi. Saya akan memenjarakan anak anda" tutur Pak Sultan seraya bertolak pinggang. Sebenarnya Martini tidak keberatan Yunia di penjara. Ia tidak begitu peduli dengan anak suaminya itu. Yah, Yunia bukan seutuh miliknya. Ia menjadi Ibu gadis itu setelah menikah dengan ayah Yunia. Semula ia berfikir, menikah dengan duda muda beranak satu akan memudahkan hidupnya. Nyatanya sama saja... Bahkan rasanya semakin hari kebutuhan hidup semakin menghimpitnya. Mencekik tanpa ampun. Terlebih ayah Yunia meninggal tanpa meninggalkan sepeserpun harta yang bisa ia gunakan Menjadi Ibu tunggal dari dua orang anak bukan impiannya. Penolakan atas kemalangan hidup ia tumpahkan ke Yunia. Anak yang semula ia kasihi. Perasaannya semakin gamang. 'Kemana Maura, kenapa kamu gak ada disaat seperti ini, Nak? Disaat ibu membutuhkan kamu' "Jawab...!" bentak Pak Sultan yang sudah hilang akal. Suara melengkingnya membuat Martini semakin gugup. "Ka... Kasih saya waktu, sa-saya juga tidak tahu bagaimana caranya ganti rugi" ia mengepal tangan kuat. Dalam benaknya sedang mengumpat sikap Yunia yang dianggapnya t***l! 'Jadi ini pekerjaan yang kamu bilang kamu dipecat baru sehari kerja. Oh, pantas saja kamu di pecat. Ternyata kamu sudah melalukan hal yang merugikan banyak orang. Kemana kamu, mau kabur sampai mana?' Bibirnya komat-kamit merapal sumpah serapah yang biasa ia lontarkan tanpa ampun ke Yunia. Matanya mendelik membayangkan kalau sampai gadis itu berani sekali saja menginjakkan kakinya. Tak akan ada ampun untuknya "Rumah ini bagus juga" gumam Pak Sultan. Mendengarnya, menjadikan fokus Martini berpindah ke pria itu lagi "Maksud anda?!" "Kalau sampai satu minggu ini kalian gak bisa bayar ganti rugi. Maka jaminanya rumah ini!" tubuh Martini lunglai, jatuh bertumpu dengan kedua lututnya bersimpuh di hadapan Pak Sultan. Ia memegangi Bangi Pak Sultan erat "Tolong jangan, jangan rumah ini" rengeknya Tetapi Pak Sultan terlalu tak peduli. Ia tidak mau menggubris larangan Martini. Ia bahkan menggoyangkan kakinya keras supaya pegangan Martini lepas "Ayok kita pergi ajah dari sini... Kayaknya saya terlalu banyak buang waktu sama orang miskin kayak mereka" ujar Pak Sultan ke para bodyguard yang sengaja ia sewa *** "Kamu bener gak mau pulang, Sayang?!" tanya Devid sembari menciumi tengkuk Maura "Males, ahk...! Mendingan aku sama kamu ajah" ia berbalik, mengalungkan tangannya di leher Devid. Keduanya sesaat saling bertukar saliva, mengecup mesra dimanapun tempat yang mereka kehendaki. Tepat seperti perkiraan Yunia, pekerjaan pemotretan di luar kota hanya ide Devid untuk menipu Martini. Sebenarnya tak pernah ada pekerjaan tersebut. Maura hanya ingin bebas lepas bagai burung tanpa sangkarnya Devid jadi terkekeh mengingat tingkah kekasihnya yang berusaha lepas dari introgasi para Polisi dan Pak Sultan dengan beralasan ingin pergi ke toilet. Nyatanya Maura malah kabur dengannya "Nanti... Nanti gimana kalau Polisi itu ke rumah kamu, hehhee?!" Cowok itu menggeleng, Ia sudah berhasil mengambil hati Maura bahkan Ibu kandungnya saja di abaikan dan lebih memilih dirinya. Oh bukan, bukan hanya hati tetapi semua yang menjadi milik Maura sudah ada di genggamannya. Ia yakin, Maura tak akan meninggalkannya meski separah apapun sikap yang akan ia aplikasikan ke gadis itu "Biarin ajah, Ibu ini kok yang hadapi mereka. Bukan aku, lagi tuh Yank, aku udah capek banget sama Ibu yang selalu ajah menyuruh aku kerja, Aku juga butuh hiburan" tekan Maura merasa frustasi. Devid tahu, jika seperti ini kekasihnya hanya perlu di belai mesra. Kecupan-kecupan ringan ia berikan ke leher Maura, gadis itu mendesah, sama persis seperti suara pada film adegan dewasa yang sering mereka tonton bersama Setelahnya Devid merebahkan Maura di ranjang kostnya tempat mereka saling berbagi kehangatan. *** "Kak Dony lama!" Yunia bergerutu sambil memegangi perut. Sejak tadi ia sudah panjang mata melirik ke kiri dan ke kanan mencari sosok Dony. "Katanya mau beliin aku bubur, Mana?" hatinya semakin pilu. Yunia memang akan mellow kalau lapar. Mau nangis ajah rasanya "Hikss... Hikss...!" Baru satu intro ia mainkan. Dony sudah sampai "Cengeng... Nih bubur lo" "Aku gak cengeng!" sahutnya sambil melap air mata yang baru keluar satu tetes "Terus itu apa?" Dony menunjuk hidung Yunia yang memerah menggunakan dagunya karna ia tidak sempat menunjuk pakai tangan "Ini!," Yunia menunjuk hidungnya sendiri "Aku alergi" lanjutnya dengan mata fokus ke kotak bubur "Berarti mulai sekarang lo harus tahan. Karna kita gak ada tempat lain selain disini" Yunia menarik kotak bubur, membukanya perlahan. Harumnya seakan menggeletik perutnya sampai ia tidak bisa mendengar apapun lagi, tepatnya gak peduli Ia mengangkat kotak buburnya "Makasih,ya, Kak" ucapnya polos. Tak perlu Dony jawab, Yunia sudah melahap bubur begitu nikmat. Cara makannya mengundang liur Dony menetes "Segitu enaknya apa?" Dony ikut-ikutan membuka kotak bubur. "Aahk!," di tutupnya kembali "Kenapa, Kak?" Yunia jadi penasaran. Kenapa wajah Dony berubah "Buburnya keaduk. Kayaknya gara-gara gue bawa kemana-mana deh" ujar Dony menyesal tidak bisa menjaga tatanan bubur "Bubur di adukkan enak, Kak" sahut Yunia bahagia "No... Gue tim bubur di pisah!" "Kalau aku apa ajah boleh!," cicit Yunia masih terus makan dengan lahap. Dony tersenyum ketika memperhatikan Yunia "Ya udah ini buat lo ajah,ya... Dan tadi gue juga beliin lo es krim. Habis makan, lo boleh makan es krimnya" tutur Dony halus
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD