7. Ganteng Tapi Galak

2078 Words
Rasa kantuk menyerang Faisya karena tadi malam ia tidur sangat malam sekali, apalagi alasannya kalau bukan karena ia yang menghadiri pengajian rutin itu? Ia memang selalu merasa seperti ini tiap kali usai mengikuti pengajian malam jum'at. Setelah shalat subuh berjamaah tadi, Faisya langsung merebahkan tubuhnya lagi di atas kasur tipis yang sengaja ia bentangkan. Ia masih sangat ngantuk sekali, matanya bahkan sangat berat untuk terbuka. Berbeda dengan Ica dan Naila yang meskipun hanya memiliki jam tidur sedikit, dua gadis itu saat ini sibuk mengobrol. Mengabaikan Faisya yang sudah berada di alam mimpi kembali, padahal sebentar lagi mereka harus berangkat ke langgar untuk mengaji di pagi hari ini. Jadwal mengaji di pesantren ini memang cukup padat, satu hari bisa sampai lima kali yaitu setiap selesai melaksanakan shalat wajib maka mereka langsung harus pergi ke langgar. Mereka libur hanya setiap hari minggu saja, itupun ada kegiatan lain seperti ekstrakulikuler yang memang setiap santri diharuskan mengikutinya. Baik itu hadroh, rebana, tilawah, dan lain sebagainya. Beberapa kegiatan yang memiliki banyak manfaat tentunya, tetapi jelas saja tidak bermanfaat bagi Faisya dan Ica yang memang lebih suka melakukan urusan duniawi yang tidak berfaedah. Ketimbang mengikuti kegiatan semacam itu, lebih baik tidur untuk melepas lelah. "Fai, bangun woy! Sebentar lagi kita harus ke langgar! Lo harus siap!" Ica berteriak sambil menarik selimut yang menutupi tubuh Faisya. "Eumm ...." Faisya tanya bergumam pelan, sama sekali tidak terganggu dengan kelakuan Ica. "Ish, ini anak kebo banget! Kalo aja gue nggak peduli, ogah ah gue bangunin. Biarin nanti dipanggil sama ustadnya terus dihukum sekalian!" gerutu Ica sebal karena Faisya tak mau bangun juga. "Fai! Bangun woy! Bangun! Ada Ustad Akbar di sini!" teriak Ica lagi kali ini tepat di telinga Faisya. "M-mana!?" Faisya kelabakan, ia langsung mengambil asal hijabnya kemudian mengenakannya. Matanya yang setengah mengantuk melihat ke arah pintu kamar, mencari-cari keberadaan ustad galak itu karena takut dihukum. "Nah! Giliran nama ustad galak itu disebut baru lo mau bangun," ujar Ica sambil tersenyum meledek. "Síalan lo nipu gue, Ca!" Faisya bersungut-sungut. "Habisnya lo dibangunin susah banget, kayak kebo! Udah gue teriak-teriak sampai suara gue habis, si kebo nggak bangun-bangun juga!" ucap Ica sambil terkekeh. "Lebay lo! Gue dengar, ya, kalau lo cuma teriak dua kali, dari mana bisa suara lo habis?" tanya Faisya kesal. "Perumpamaan doang, Fai anaknya Om Fahri yang dingin dan datar." Faisya mendelik, sebal dengan Ica yang membawa-bawa ayahnya yang pada kenyataannya memang seperti apa yang Ica katakan. "Beresin itu tempat tidur lo, terus siap-siap biar kita segera pergi ke langgar. Kalo lo lama, gue sama Naila tinggal, ya!" ancam Ica kemudian pergi untuk kembali menemui Naila yang berada di depan kamar mereka. "Ica nyebelin! Ngatur-ngatur, huh, kalau aja tadi malam tidurnya nggak malam, gue juga nggak mungkin bakalan tidur lagi. Hoam, mana masih ngantuk lagi." Faisya menguap lebar, dengan malas-malasan ia membereskan tempat tidurnya tadi kemudian menaruhnya ke tempat semula. Faisya pergi ke luar kamar menuju tempat wudhu, sejenak ia melihat kalau Ica dan Naila yang telah siap itu sedang mengobrol. Lagi, ia menguap kemudian melanjutkan perjalanannya. Setelah selesai, ia kembali menuju kamar. Mengganti pakaiannya dengan pakaian yang bersih, jika dipikir-pikir pakaian kotornya ternyata sudah banyak dan ia tidak memiliki waktu untuk mencuci semua itu. Bukan tidak mempunyai waktu, melainkan merasa sangat malas sekali. Mungkin nanti ia akan bawa semua pakaian kotor itu ke tempat laundry, tepatnya rumah yang berada di samping pondok pesantren Al-Awaliyah yang memang membuka jasa laundry. "Gue udah siap, ayok kita berangkat!" Faisya menghampiri Ica dan Naila yang tengah mengobrol. "Fai? Lo serius mau ke langgar pakai baju itu?" tanya Ica menatap Faisya heran, begitupun juga dengan Naila. "Iya emangnya kenapa?" tanya balik Faisya merasa heran. Sesekali ia menguap karena masih ngantuk. "Ya ampun, Fai. Lo serius? Coba lo ngaca deh!" Ica mendorong paksa tubuh Faisya agar kembali memasuki kamar. "Ih! Apaan sih, Ca, lo dorong-dorong gue?" Faisya kesal karena Ica asal mendorongnya. "Noh! Lo lihat penampilan lo sekarang!" Faisya akhirnya mulai memperhatikan penampilannya melalui pantulan cermin, seketika matanya membelalak terkejut dengan penampilannya saat ini. "Astaga! Gue kok bisa sih pakai baju ini? Bisa-bisa gue diketawain semua orang yang ada di sana nanti!" pekik Faisya begitu terkejut. Bahkan, rasa kantuknya menghilang seketika. "Ngapain lo nanya gue? Kan lo sendiri yang pilih dan pakai baju. Udah ah, gue tunggu di luar. Ingat, pakai gamis jangan pakai baju tidur lagi, Fai." Sebelum pergi, Ica menepuk bahu Faisya pelan. "Parah sih ini, efek ngantuk apa gimana sih gue?" gerutu Faisya kemudian mengambil gamis di dalam lemarinya. Setelah memastikan kalau kali ini penampilannya tidak salah, Faisya pun akhirnya kembali keluar dari kamar tak lupa membawa Al-Qur'an. "Nah! Gue udah selesai nih, kali ini gue pakai baju yang benar." Faisya menekan setiap kata-katanya. "Good, harusnya emang begitu. Ya udah, yuk ah kita ke langgar." Ketiganya pun akhirnya berjalan menyusuri kamar-kamar untuk tiba di sebuah gedung yang biasanya disebut langgar dan memang gedung itu digunakan untuk acara mengaji bagi tingkat awalan seperti mereka. Ada beberapa tingkatan dalam mengaji, yaitu tingkat satu, dua dan tiga. Mereka masih berada di tingkat satu dan katanya untuk mencapai tingkat dua dan tiga itu sangat sulit, ada beberapa santri yang tidak lolos dalam ujian penaikan tingkatan mengaji hingga akhirnya ia kembali mengulang ke tingkat awal alias tingkat satu. Saat mereka akan pergi ke langgar tempat mereka mengaji, mereka berpapasan dengan mbak-mbak pengurus pondok yang sepertinya usianya lima tahun di atas mereka. Mbak-mbak itu berjalan melewati mereka sambil membawa banyaknya bahan makanan. "Mbak, itu mau dibawa ke mana?" tanya Ica menghentikan langkah mereka. "Oh, ini mau dibawa ke ndalem. Sebentar lagi 'kan ada salah satu sahabat Kyai Malik datang, jadi untuk menyambut tamu, Nyai Ziah meminta Mbak dan lainnya membawa bahan makanan ini untuk dimasak," jawab Mbak Ike. "Ooh, gitu. Kalau gitu kami pamit, ya, Mbak. Mau ngaji soalnya." Mbak Ike mengangguk dan membuat ketiga gadis itu pergi. "Banyak banget acara deh perasaan di sini, ya," ucap Ica pada Faisya dan Naila. "Bukannya lo senang kalau banyak acara, Ca? Itu berarti bisa jadi kalo nanti siang libur. Lo 'kan paling suka kalau libur," balas Faisya. "Itu mah dulu, kalo sekarang ogah ah gue libur. Kalo libur palingan nanti banyakan di kamar, gue nggak bisa ketemu sama Pak Ustad Ganteng kesayangan gue dong. Lo tuh kali yang sekarang suka banget libur, mau ngelanjutin ngebo lo tadi 'kan?" tanya Ica yang dibalas cengiran Faisya. "Hehehe, gue sebenarnya masih ngantuk sih ini. Ngarep banget ada libur biar bisa tidur sepuasnya," jawab Faisya. "Harusnya Tante Aira itu ganti nama lo jadi Fai kebo, kebagusan lo dikasih nama Faisya Fahira." "Lo pikir gue anak kebo apa? Lagian nama Fahira itu ada artinya, ya, Fahira, Ayah Fahri dan Bunda Aira." Ica hanya mencibir, gadis itu merangkul kedua bahu gadis di sampingnya dan mengajaknya segera menuju langgar. "Loh? Kok malah Ustad Akbar lagi sih yang datang? Harusnya 'kan Pak Ustad Ganteng gue. Yaah, penonton kecewa ini mah," ucap Ica ketika ia melihat Ustad Akbar berjalan menuju pintu langgar. "Ya biarin aja sih, Ca, mungkin Gus Faris lagi sibuk makanya digantiin Ustad Akbar," komentar Ica. "Eh! Mana bisa gitu dong! Nggak boleh, seharusnya yang datang itu Pak Ustad Ganteng. Bosan gue kalau diajar lama-lama sama Ustad Akbar, dia sih ganteng, tapi masih gantengan calon suami masa depan gue, ya, mana galak banget lagi. Kalo Pak Ustad, galak-galak 'kan bikin gue kangen." Ica mengedip-ngedip, membayangkan ekspresi datar Gus Faris yang menurutnya terlihat sangat keren itu. "Bosan gue lama-lama sama bahasan lo, Ca, nggak jauh-jauh dari Gus Faris. Lo juga bosan dengan bahasan Ica 'kan, Nai?" Faisya meminta persetujuan Naila. "Nggak kok, Ica bebas mau bahas apa aja. Namanya juga suka, pasti yang dibahas orang yang dia suka," balas Naila sambil tersenyum. Ica tersenyum penuh kemenangan mendengar perkataan Naila, sontak gadis itu merangkul bahu Naila erat. "Nah, ini baru sahabat gue, sangat pengertian. Dengerin itu yang Naila omongin, kalo orang jatuh cinta itu nggak salah, Fai." Faisya hanya mendengkus, suka-suka Ica sajalah. Gadis itu meninggalkan Ica dan Naila untuk pergi lebih dulu ke langgar karena sepertinya Ustad Akbar sebentar lagi akan memulai acara mengajinya. Bisa-bisa habis dirinya jika sampai beneran telat. "Eh, kita malah ditinggal nih, Nai. Yuk kita susul si ambekan yang nggak kenal cinta itu." Ica kembali semangat, gadis itu merangkul bahu Naila dan mengajaknya berhak menyusul Faisya. "Assalamualaikum." Faisya memasuki langgar itu membuat Ustad Akbar menghentikan perkataannya pada para santri. "Waalaikumsalam, bagus sekali datangnya terlambat," ucap Ustad Akbar cenderung sinis. "Maaf saya terlambat, Ustad, saya tadi habis keti ...." Faisya langsung menghentikan kata-katanya, kalau ia mengatakan ia ketiduran bisa-bisa ia semakin dimarahi. "Maksud saya, tadi ada sedikit urusan makanya sekarang terlambat, maaf, Ustad." Gadis itu menundukkan kepalanya. "Hmm, alasan yang sudah sering saya dengar. Mana kedua temanmu!?" tanya Ustad Akbar. "Kami di sini, Ustad!" Ica langsung bersuara ketika ia dan Naila telah berdiri bersama Faisya. "Kamu, silakan duduk, Naila!" Naila mengerjap ketika mendengar perkataan Ustad Akbar, gadis itu melirik ke arah kedua temannya kemudian dengan pelan berjalan untuk menemui santri lainnya dan duduk di tikar paling belakang. "Saya bilang Naila yang boleh duduk! Kalian tetap berdiri!" ucap Ustad Akbar lagi ketika Faisya dan Ica hendak ikut menghampiri Naila. "Yaah, Ustad kok gitu sih? Kan kami datangnya bareng, masa iya terpisahkan gini? Ada yang duduk dan ada yang berdiri? Nggak asyik ini mah," ucap Ica dengan berani. "Ca," tegur Faisya mendelik sambil mencubit pelan lengan Ica. Menurutnya perkataan Ica ini agak kurang sopan. "Ih, apaan sih, Fai? Kan emang benar apa yang gue bilang. Ustad galak ini nggak adil," balas Ica kali ini berbisik lirih di telinga Faisya. "Ternyata memang benar apa yang Ustad Faris katakan, selain suka telat kalian berdua ini juga tidak sopan, ya," ucap Ustad Akbar sambil menggelengkan kepalanya. "Kok jadi gue juga sih yang kena? Perasaan dari tadi gue diam aja," gerutu Faisya kesal. "Maaf-maaf, ya, Ustad Galak. Eh maksudnya Ustad Akbar yang baik hati dan tidak galak, 'kan saya cuma mengatakan hal yang sebenarnya. Naila aja dibolehin duduk kok, ya, saya dan Fai nggak boleh? Kan kami berangkatnya bareng," ucap Ica. Biarlah nanti hukumannya akan semakin bertambah, soalnya ia kesal sekali dengan Ustad Akbar ini. Sudahlah moodnya jelek karena tidak bertemu dengan Pak Ustad Ganteng kesayangannya, eh dia digalakkin lagi sama ustad rese satu ini. Untung ustad, kalau bukan ustad sudah Ica gantung di pohon tauge biar tahu rasa. Eh? Sepertinya dia berdosa karena sudah memiliki niat jelek pada ustad galak ini. Astaghfirullah, Ica, nggak boleh gitu, batinnya. "Kalau Naila baru pertama kali ini telat, sedangkan kalian sudah berkali-kali. Jelas kalian paham 'kan apa perbedaannya?" tanya Ustad Akbar. Baik Faisya dan Ica menggeleng, sebenarnya mereka tahu, tetapi memang pura-pura tidak tahu saja. Biar si Ustad Galak ini tahu rasa. "Nggak tahu, Ustad, soalnya materi yang ini belum dijelasin." Ica benar-benar parah, Faisya mendelik pada Ica. Faisya sudah memberi banyak kode, tetapi memang pada dasarnya Ica ini bandel. Jadinya ia sama sekali tidak peduli dengan kode yang Faisya berikan, Faisya sudah ketar-ketir sendiri. Sudahlah ia tidak melakukan apa-apa, ia juga pasti harus dihukum karena mulut kurang ajar Ica. "Dasar gadis ini, herannya mengapa bisa si Faris suka?" gumam Akbar berusaha sabar dengan kelakuan bar-bar Ica. "Kalian berdua! Keluar dari langgar ini! Bersihkan halaman depan pesantren sampai bersih!" titah Ustad Akbar galak. Pria itu berkacak pinggang, menatap dua gadis yang masih berdiri di depan pintu dengan galak. "Ustad, ganteng-ganteng kok galak sih? Kasihan nanti yang jadi istri Ustad pasti panas dingin terus gara-gara digalakkin Ustad," ucap Ica lagi. "Eh jangan marah dong, Ustad. Ini cuma saran dari saya aja, ganteng boleh, tapi galak nggak boleh, ya, Ustad. Kalau gitu saya dan teman saya kabur dulu, ya, Ustad Galak. Mau ngerjain hukuman dulu! Assalamualaikum!" Ica langsung menarik tangan Faisya dan mengajaknya keluar dari langgar sebelum taring Ustad Akbar keluar. "Ica, parah lo, Ca! Segitunya lo berani sama Ustad Akbar. Nggak habis pikir gue," ucap Faisya ketika mereka sudah berada sedikit jauh dari langgar. "Ih, gue 'kan cuma ngomongin fakta doang. Nggak salah dong gue, lagian itu ustad kok galak banget sih? Iya gue mengakui kalau dia gantengnya di bawah Pak Ustad kesayangan gue. Tapi masa iya galak banget? Ih mereka kok mirip banget sih sifatnya!? Ngeselin! Pak Ustad ngangenin, si ustad galak tadi ngeselin!" Ica mengucapkan itu menggebu-gebu. "Gara-gara lo, gue jadi ikut dihukum padahal dari tadi gue diam aja loh, Ca," gerutu Faisya. "Hehehe, nggak apa-apa dong, Fai. Anggap aja lo nemenin sepupu lo yang cantik ini 'kan?" Ica menyengir, Faisya kesal, ia meninggalkan Ica lebih dulu ke halaman depan pesantren. Masih tak terima karena harus ikut dihukum, padahal 'kan ia masih ingin melihat Ustad Akbar. Eh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD