8. Familiar

1723 Words
Setiap hari, ada saja ulah Ica yang membuat Faisya juga ikut kena hukuman karena Ica yang memang selalu saja mencari masalah. Mau itu pada Ustad Akbar ataupun pada Gus Faris, Faisya juga yang senantiasa harus bersabar ketika ia hanya diam saja, tetapi ia harus menemani Ica melakukan semua hukuman yang diberikan. Lama-lama kalau begini caranya, namanya juga jadi ikutan buruk gara-gara Ica. Padahal, ia sama sekali tidak melakukan apa-apa, mengapa tidak sekalian ia ikut melakukan keburukan? Biar nyemplungnya sekalian ke empang, nanggung kalau hanya ke siring kecil saja. Jelék di mata orang lain, belum tentu di mata Allah mereka terlihat búruk 'kan? Toh segala kewajiban selalu mereka laksanakan, ya, meskipun terkadang harus dipaksa dulu sih. Ini nih akibat pergi ke pesantren karena paksaan dan bukannya kemauan sendiri, semua kenakalan yang dilakukan itu pemberontakan karena tidak ikhlas ketika dipaksa betah di sini. Faisya sebenarnya juga tidak betah berada di pesantren ini, tetapi sikapnya setidaknya bisa lebih dikontrol. Tak seperti Ica yang memang suka berlaku seenaknya, Faisya dari dulu nakal juga karena ikut-ikutan Ica, Ica berkata kalau masa muda itu harus dihiasi kenakalan agar hidup lebih berwarna dan tidak flat. Kalau hanya menjalani hari seperti anak kebanyakan, sama sekali tidak asyik dan begitu membosankan. "Fai! Ayo! Lo mau makan nggak?" tanya Ica setengah berteriak ketika Faisya malah masih sibuk berada di kamar, entah apa yang tengah Faisya lakukan. "Sabar, Ca!" Faisya ikut berteriak, ia membereskan isi lemarinya yang sedikit berantakan kemudian berjalan keluar kamar menghampiri Ica dan Naila. "Lo lagi ngapain sih, Fai? Dari tadi dipanggilin juga," ucap Ica. "Itu, tadi gue mau beresin isi lemari gue." "Bisa nanti 'kan tadi itu, lo lama banget. Gue udah laper nih." Ica mengusap perutnya melingkar, menunjukkan pada Faisya kalau ia benar-benar lapar. "Lebay lo, Ca, nggak sampai lima menit juga gue tadi," ucap Faisya sambil menggelengkan kepalanya. "Lo 'kan tahu kalau satu menit aja semua lauk bisa aja ludes kalau kita telat, Fai, apalagi dengar-dengar lauk hari ini lumayan enak. Bisa-bisa kehabisan nanti." Ica sangat takut sekali kalau sampai kehabisan lauk karena ia sudah trauma, waktu itu mereka pernah kehabisan lauk karena telat datang sepuluh menit. Lauk di hari itu adalah daun singkong santan yang dicampur dengan ikan tongkol goreng. Menurut Ica itu menu yang enak karena waktu mereka hanya kebagian sedikit saja daun singkong dengan kuah yang melimpah juga remah-remah ikan tongkol goreng, rasanya sangat nikmat. Apalagi kalau makan dengan utuh? Hmm, mengingatnya saja membuat perutnya semakin lapar. "Iya-iya gue tahu, Ca! Udah yuk! Sekarang kita harus buru-buru, biar nggak telat lagi." Ketiga gadis itu berjalan setengah berlari agar tidak telat sampai saat mbak-mbak yang ditugaskan memasak itu menaruh hidangan di tempat biasanya. "Huh, untung nggak telat." Ketiganya dapat bernapas dengan lega, mereka berdiri di belakang para santriwati yang tengah mengantri untuk mengambil nasi dan lauk pauk. Antrian kali ini cukup panjang, tetapi mereka yakin kalau mereka tidak akan kehabisan jatah lauk dan pauk itu. Melihat ada satu panci besar lauk itu ditambah mereka hanya diperbolehkan mengambil maksimal dua potong, mau tahu apa yang sudah mbak-mbak itu masak? Ternyata itu adalah rendang daging sapi, sangat nikmat bukan? Sudah lama mereka tidak memakan makanan nikmat seperti itu. Melihat begitu lezatnya rendang sapi yang berwarna sedikit kecoklatan itu membuat perut semakin keroncongan. Entah ada acara apa sehingga hari ini hidangan yang disuguhkan untuk makan siang adalah rendang daging sapi. Jelas saja ini semua adalah nikmat yang Allah berikan bagi para santriwati, terlihat di wajah para santriwati kalau mereka begitu gembira dengan lauk pauk yang ada. Sama halnya seperti Faisya dan Ica, meskipun mereka adalah orang kaya dan dulunya sangat sering mengkonsumi makanan enak seperti ini. Karena Bunda Aira dan Bunda Asa yang memang sangat piawai memasak di dapur, tetapi saat berada di pesantren ini mereka sangat jarang sekali bisa makan-makanan enak. Maka dari itu, hari ini seakan menjadi anugerah bagi mereka yang kangen terhadap makanan enak seperti ini. Senyum terukir indah di kedua belah pipi ketiga gadis itu ketika akhirnya mereka mendapat giliran untuk mengambil jatah makan. Karena merasa sangat lapar sekali dan kebetulan lauknya sedang enak, Faisya dan Ica tidak sadar kalau sudah menyendokkan banyak nasi ke dalam piring mereka tanpa tahu kalau bisa saja mereka tidak akan menghabiskan makanan yang mereka ambil. "Gue udah selesai nih, yuk kita cari tempat buat makan. Kalo bisa yang agak sepi," ucap Faisya pada kedua gadis di hadapannya. "Di situ kayaknya agak sepi." Naila menunjuk sebuah tempat. "Ah iya bener, ya udah yuk kita ke sana," ajak Ica membuat mereka semua pun akhirnya pergi ke tempat itu. Ketiganya duduk lesehan di sana dengan memangku piring berisi makan siang mereka, Ica berada di tengah, Faisya berada di samping kanan Ica dan Naila berada di samping kiri Ica. Ketiganya langsung menyantap makan siang mereka setelah membaca doa makan, rasanya begitu nikmat sekali karena setelah lama tidak makan, akhirnya mereka bisa makan dengan lauk daging seperti ini. "Hmm, lumayan enak ini. Tapi yang jelas masih enakan buatan Bunda Asa, kalo yang ini bumbunya kurang berasa. Kalau buatan bunda 'kan berasa banget tuh bumbunya," ucap Ica saat menyantap makan siangnya. "Bisa-bisanya lo bandingin buatan mbak-mbak sini sama buatan nyokap lo, Ca, lagian ini bumbunya kurang berasa karena yang dimasak sama mbak-mbak itu porsinya besar. Mungkin kalau kurang sedikit, ya, nggak apa-apa lah. Ini udah lumayan, kapan lagi coba bisa makan daging?" tanya Faisya yang diangguki oleh Ica. "Iya lo benar, Fai." "Gue udah kenyang banget nih, tapi ini nasi masih banyak," ucap Faisya merasa begah di perutnya, tetapi piringnya masih tersisa banyak nasi putih. "Ah parah lo, Fai, habisin sana nasi lo. Nih lihat, biarpun gue ambil banyak tapi gue habisin nasinya sampai tak bersisa lagi." Ica menunjuk piringnya yang sudah kosong melompong. Di antara ketiga gadis itu, memang hanya Faisya dan Ica saja tadi yang menyendokkan nasi dengan jumlah yang banyak, Naila sendiri hanya mengambil sedikit sesuai dengan porsi makannya seperti biasa. "Udah nggak kuat, Ca, perut gue udah kenyang banget karena tadi malah kebanyakan minum. Gue nih suka begini, minum yang banyak dulu sampai makannya sering kenyang, soalnya kalo nggak minum, tenggorokan gue bisa-bisa kering." Faisya memang suka begitu, minum lebih banyak masuk ke tubuhnya ketimbang makanan. "Terus lo mau gimana, Fai? Nanti kalau mbak-mbak yang masak ngeliat lo bawa piring isi banyak nasi, mereka pasti ngerasa sedih. Makanan yang udah capek-capek dia masak malah mau lo buang," ucap Ica membuat Faisya terdiam. "Hmm, apa gue buang aja, ya, nasinya ke kotak sampah besar itu biar nggak diliat sama mbak-mbaknya? Soalnya gue udah kenyang banget, nggak bisa lagi nampung makanan di perut gue." Faisya menatap Ica dan Naila dengan raut wajah memelasnya membuat dua gadis itu pun tak tega juga dengan Faisya. "Ya udah deh, gue sama Naila sepakat nggak akan bilang-bilang apa yang mau lo lakuin. Tapi ingat, lain kali jangan diulang lagi, Fai. Lo harus ambil makanan sesuai porsi lo biar nggak buang-buang makanan lagi kayak gini," ucap Ica yang tumben sekali begitu bijak hari ini. "Tumben lo bijak, Ca," ujar Faisya membuat Ica mendelik. "Ngeselin lo, Fai! Gue lagi serius juga nasihatinnya." Ica mencubit keras lengan Faisya hingga membuat gadis itu meringis. "Oke-oke makasih buat kalian semua. Tungguin gue, ya, gue mau ke kotak sampah itu dulu." Faisya berdiri kemudian pergi menuju kotak sampah besar yang letaknya dekat dengan tembok penyekat antara gedung santriwati dan santri putra. Faisya akan memasukkan nasi yang ada di piringnya itu ke dalam kotak sampah itu, tetapi ia urungkan ketika ia mendengar sebuah deheman yang cukup keras. Sontak, Faisya terkejut, apalagi ketika ia melihat orang itu yang tak lain adalah Ustad Akbar. Di pikirannya, mengapa Ustad Akbar ada di sini? "E-eh, Ustad." Faisya menyengir, gadis itu berusaha menyembunyikan piring berisi nasinya di belakang tubuhnya, tetapi terlambat karena Ustad Akbar sudah melihat apa yang ia sembunyikan. "Assalamualaikum." "W-waalaikumsalam." Tergagap, Faisya menjawab salam Ustad Akbar. "Apa yang akan kamu lakukan dengan setengah piring nasi itu?" tanya Ustad Akbar, seperti biasanya wajahnya selalu tak bersahabat. Entah Faisya memiliki dosa apa pada Ustad Akbar sehingga pria itu tak pernah menatapnya ramah, terkadang Faisya merasa heran dan suka bertanya-tanya di dalam hati. "Eum, s-saya tidak habis makannya, Ustad. Makanya saya berniat membuangnya ke dalam kotak sampah," ucap Faisya jujur. Ia sudah ketahuan, tidak mungkin lagi ia berbohong. Kalau sampai ia berbohong, bisa-bisa si ustad galak ini semakin marah. "Kamu tahu? Hukum membuang makanan itu sama dengan mubazir. Kalau memang kamu tidak habis makannya, ya, seharusnya sadar diri. Jangan mengambil banyak-banyak, sesuaikan dengan porsi makan kamu. Apa kamu tidak tahu? Sétan sangat menyukai orang-orang yang mubazir seperti kamu. Kamu mau menjadi teman sétan?" Raisya mengerjapkan matanya mendengar perkataan Ustad Akbar, mengapa kata-katanya sedikit familiar? Dulu saat kecil, ia pernah mendengar kata-kata seperti ini, tetapi di mana, ya? Faisya berpikir hingga mengabaikan Ustad Akbar yang menceramahi gadis itu panjang lebar. "Faisya, apa kamu mendengar kata-kata saya!?" tanya Ustad Akbar pada Faisya yang entah berada di alam mana pikirannya itu. "Faisya!" Kali ini suaranya setengah menggertak, kesal karena Faisya yang sama sekali tidak menyimak apa yang sudah ia katakan. "I-iya, Ustad. M-maaf," ucap Faisya terbata-bata. "Kamu mendengarkan perkataan saya tidak!?" tanya Ustad Akbar galak. "D-dengar kok, Ustad." Ragu, Faisya menjawab. "Sekarang, habiskan nasi itu!" titah Ustad Akbar masih menatap Faisya tajam. "S-sekarang, Ustad?" "Iya, sekarang!" Faisya meneguk ludahnya susah payah, astaga mengapa ia bisa bertemu dengan ustad galak ini sih? Mana kepergok ingin melakukan sesuatu yang tercela yaitu ingin membuang makanan. Gadis itu hendak menyuapkan nasi ke dalam mulutnya, tetapi terhenti ketika lagi dan lagi Ustad Akbar bersuara cukup keras. "Kalau makan itu sambil duduk, Faisya, kamu mau makan atau mau apa!?" tanya Ustad Akbar. "I-iya, ini mau duduk kok, Ustad." Faisya bergegas duduk di undakan semen yang dibuat memanjang agar di dalamnya bisa ditanami dengan bunga. Faisya makan dalam diam, sesekali ia mencuri-curi pandang Ustad Akbar yang tengah mengawasinya makan. Sungguh, kalau seperti ini caranya bagaimana bisa ia makan dengan tenang? Ustad Akbar terus mengawasinya seakan ia adalah seorang murid yang sudah pernah ketahuan menyontek oleh seorang guru sehingga dihukum dan diminta mengerjakan di dekat papan tulis. Mana perutnya sudah sangat begah, rasanya ia tidak sanggup jika harus menghabiskan semua nasi ini. Namun, ia tidak dapat berbuat apa-apa karena di sini ada Ustad Akbar yang mengawasinya. Bisa-bisa ia dihukum kalau kabur, ia bukan Ica yang bisa bertindak nakal sesuka hati. Ia adalah Faisya Fahira Darmawan yang masih memiliki rasa takut jika dihukum, ia tidak seberani Ica karena ia memang bukan Ica.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD