Faisya kembali berjalan menghampiri Ica dan Naila setelah menghabiskan nasinya tadi, gadis itu cemberut ketika melihat kalau Ica tertawa terbahak di sana dengan Naila yang sepertinya tengah mengulum senyumnya seakan ikut meledeknya. Sepertinya dua temannya itu tahu kalau ia habis dimarahi oleh Ustad Akbar, jarak antara kotak sampah dengan Ica dan Naila juga tidak terlalu jauh sehingga dua gadia itu jelas saja melihat semuanya dengan jelas. Meskipun tidak dapat mendengarkan percakapan antara Faisya dan Ustad Akbar, tetapi jelas saja dari gelagat Faisya yang langsung menghabiskan nasinya dengan diawasi oleh Ustad Akbar, gadis itu pasti habis dimarahi. Faisya kesal ketika diledek oleh dua temannya itu, padahal ia sedang tidak berniat mencari masalah. Namun, masalah sepertinya memang selalu saja mencari-carinya, baik itu ketika bersama Ica maupun sendirian.
Tawa Ica semakin kencang ketika melihat piring yang Faisya bawa sudah kosong, bukan karena dibuang ke kotak sampah, melamunkan dibuang ke dalam perut Faisya. Faisya berdecak sebal ketika Ica malah ssmakin tertawa meledeknya, sedangkan Naila sendiri menutup mulutnya dengan tangan berusaha untuk tidak tertawa ketika melihat wajah masam Faisya. Namun, sepertinya ia tidak bisa menahan tawanya lagi ketika Ica semakin senang tertawa, tawa itu pun pada akhirnya menular juga pada Naila. Dua gadis itu menertawakan kesíalan Faisya yang bisa-bisanya kepergok Ustad Akbar ketika gadis itu ingin membuang sisa makanannya sehingga menimbulkan makanan itu yang harus masuk semuanya ke dalam perut.
"Kalian bisa diam nggak!? Kesal gue dengar tawa kalian berdua!" ujar Faisya ketus.
Inginnya ia mencubit Ica dan Naila cukup kencang, tetapi Faisya tahu kalau Ica pasti akan membalas cubitannya tak kalah kencang. Bukannya ia puas, yang ada malah ia jadi ikutan sakit karena dibalas cubitan maut Ica.
"S-sebentar ... hahahaha!" Ica memegangi perutnya sambil terus tertawa.
"Ada Gus Faris tuh!" ucap Faisya yang membuat Ica langsung menghentikan tawanya dengan gaya sok anggun.
"Mana? Mana!?" tanya Ica antusias.
"Tapi boong!" Kali ini Faisya yang balas tertawa puas karena berhasil menipu Ica. Wajah Ica nampak kesal karena tipuan j*****m dari Faisya.
"Ih! Lo ngeselin, Fai! Gue pikir beneran ada Pak Ustad kesayangan gue, nggak tahunya lo tipu-tipu." Faisya hanya tersenyum meledek Ica.
"Lo duluan yang ngetawain gue, ralat, bukan lo aja tapi Naila juga." Faisya menatap Ica dan Naila dengan kesal.
"M-maaf, Fai, habisnya tadi lucu banget," ucap Naila dengan jujur yang mendekati polos.
"Lagian kenapa bisa lo kepergok Ustad Akbar, Fai? Mana tampang lo tadi bikin orang mau ketawa tahu nggak?" Ica terkekeh geli ketika kembali mengingat ekspresi Faisya tadi saat berhadapan dengan Ustad Akbar.
"Mana gue tahu? Emangnya gue peramal?" tanya Faisya sinis.
"Nggak usah ikutan galak gitu dong, Buk! Habis digalakkin sama Ustad Akbar, masa iya mau ngelampiasin ke kita-kita?" Naila mengangguki perkataan Ica yang memang benar adanya, Faisya yang kena marah Ustad Akbar, mengapa mereka yang terkena pelampiasan dari gadis itu?
"Terus gue harus lampiasin ke siapa? Ke Ustad Akbarnya langsung gitu?" tanya Faisya sebal.
"Hmm, kalau lo mau nantang maut sih gue saranin ide lo tadi boleh dicoba," ujar Ica sambil mengetuk dagunya tanda orang jenius yang sedang berpikir.
"Tambah keliyengan otak gue kalau gitu caranya, Ca!" Ica kembali terbahak.
"Duh, mana perut gue ini langsung kenyang banget karena dipaksa makan nasi sisa tadi sampai habis." Faisya memilih duduk di samping Naila, gadis itu menaruh piring yang telah kosong di sampingnya kemudian ia mengusap perutnya yang jelas saja sangat kekenyangan.
"Emang tadi Ustad Akbar bilang apa sama lo, Fai?" tanya Ica penasaran.
"Ya, dia ceremahin gue tentang gue yang buang makanan itu bisa jadi teman sétan terus dia nyuruh gue ngabisin itu nasi putih."
"Tapi enak 'kan makan sambil ngeliatin wajah ustad galak itu yang biarpun galak tapi tetap ganteng?" tanya Ica sambil menaik-turunkan alisnya.
"Enak dari mananya? Dari Hongkong!?" tanya balik Faisya sinis.
"Lagian, bukannya enak tahu! Malahan gue jadi horor diperhatikan kayak gitu. Kalian tahu nggak? Pas gue nyuap dan dia ngeliat gue tajam gitu gue berasa terancam. Dari tatapan matanya seakan bilang gini 'habisin makanan kamu, kalau nggak kamu akan saya bunuh' nah horor banget 'kan? Gue kayak lagi main film horor aja!" Ica dan Naila tertawa mendengar cerita Faisya yang menurut mereka terlalu lucu.
"Lo berlebihan ah, Fai! Mana mungkin dia mau ngebunuh lo? Lo pikir Ustad Akbar itu psikopat? Lagian, Ustad Akbar itu ganteng dikit sih walau banyak galaknya. Orang ganteng mana mungkin begitu," ucap Ica sambil menggelengkan kepalanya.
"Lo salah besar kalau orang ganteng nggak bisa kayak gitu, Ca, buktinya dari novel yang gue baca justru kebanyakan orang ganteng itu yang sifatnya misterius dan seram."
"Lo kebanyakan baca novel, Fai. Ini kalau sampai Ustad Akbar dengar bisa-bisa lo dihukum loh karena udah menuduh dia yang nggak-nggak," ujar Ica menakut-nakuti Faisya.
"J-jangan gitu dong, Ca, gue takut beneran kalau sampai kepergok lagi sama Ustad Akbar. Bisa habis gue! Horor ngeliatnya!" Faisya melirik kanan kiri, mencoba mencari sosok pria galak yang sejenak menggetarkan hatinya, tetapi juga membuatnya takut secara bersamaan.
"Baru kali ini gue ngeliat lo takut sama seseorang, Fai," ucap Ica sambil menggelengkan kepalanya.
"Emangnya lo nggak takut sama Ustad Akbar, Ca?" tanya Faisya.
"Nggaklah! Ngapain gue takut? Orang dua juga manusia kok, makannya juga sama kayak kita yaitu nasi." Ica menegakkan dagunya, membuktikan kalau ia tidak takut pada siapapun.
"Yakin? Kalo gitu, coba lo panggil Ustad Akbar, Nai, bilang kalau Ica lagi cari masalah dan mau nantang beliau. Gue penasaran apa yang mau dilakukan oleh sahabat pemberani kita, Ica," ucap Faisya pada Naila. Seketika Ica langsung melotot, meskipun ia berani, tetapi tidak segitunya 'kan, ya, memang dasar Faisya!
"Nggak gitu juga maksud gue, Fai! Ini mah namanya menantang maut! Orang gue nggak lagi cari masalah kok, ya, kalian mau ngaduin gue? Nggak sekalian aja kalian ngadunya ke Pak Ustad Ganteng, biar gue bisa balas kegalakannya dengan seribu kali lipat cinta di hati gue." Faisya memperagakan kalau ia ingin muntah tatkala mendengar perkataan Ica yang benar-benar mengocok perutnya.
"Dih! Diketawain! Gue lagi serius juga!" ujar Ica sebal.
"Kata-kata lo nggak berguna banget, Ca, bukannya Gus Faris jatuh cinta malah jadi ilfeel nanti sama lo." Faisya tertawa.
"Gitu, ya?" tanya Ica.
"Iya!"
"Ah bohong lo! Kayak lo pernah jatuh cinta aja sok ngasih tahu gue."
"Nggak usah diperjelas kali! Sementang lo pakar cinta." Faisya berusaha mencubit lengan Ica hingga Naila yang berada di tengah-tengah kedua gadis yang tengah bertengkar itu merasakan kelimpungan, ingin diam saja atau melerai pertengkaran yang benar-benar ada di depannya?
"A-aduh, kalian kalau mau bertengkar, jangan jadiin aku di tengah-tengah. Aku jadi bingung," ucap Naila membuat kedua gadis yang sedari tadi bertengkar pun akhirnya diam.
"Gara-gara lo, Fai!" Ica menyalahkan Faisya membuat Faisya menatap Ica tak terima, enak saja ia disalahkan.
"Lah? Kok jadi gue yang salah? Kan lo tadi yang mulai duluan!" Puas bertengkar dengan kedua tangan, mereka kini malah adu mulut membuat Naila pun yang pusing mendengar pertengkaran kedua temannya itu memilih berdiri hingga pertengkaran Faisya dan Ica terhenti.
"Stop! Kalian stop! Jangan bertengkar lagi!" Naila pun akhirnya mencoba melerai dua gadis yang tengah bertengkar itu.
"Wah, seorang Naila yang pendiam dan jarang berbicara tiba-tiba berteriak-teriak kencang, ini sangat langka sekali," ucap Ica terperangah.
"Iya, Naila yang pendiam akhirnya bisa berteriak juga." Faisya menimpali, kedua gadis itu saling merangkul sambil menatap Naila dengan tatapan tak percaya. Mereka seakan lupa kalau mereka tadi sedang bertengkar, Naila yang mendapati reaksi aneh temannya pun hanya bisa menghela napas sambil mengelus dàdanya. Berusaha menyabarkan hatinya, ternyata baik Ica maupun Faisya, mereka sama saja. Sama-sama gesrek.
"Aku juga manusia, jelas aja aku bisa berteriak seperti manusia lainnya. Memangnya kalian pikir aku ini makhluk apa kalau bukan manusia?" tanya Naila.
"Kami pikir lo itu manusia yang sama sekali nggak bisa berteriak, Nai, nggak disangka-sangka ternyata lo bisa berteriak. Wah wah." Faisya mengangguki perkataan Ica, kedua gadis itu bertepuk tangan seakan tadi baru saja ada sebuah pertunjukkan yang begitu membagongkan.
"Terserah kalian lah." Naila menepuk dahinya, tak habis pikir dengan jalan pikiran dua gadis di hadapannya.
"Yang penting mereka udah baikan," gumamnya.
Naila mengambil piring bekas makannya, Ica dan Faisya. Ia berniat membawanya untuk dicuci, tetapi langkahnya terhenti dengan suara Faisya dan Ica.
"Eh, lo mau ke mana, Nai?" tanya Faisya ketika Naila akan pergi meninggalkannya dan Ica sambil membawa piring kotor.
"Aku mau nyuci piring bekas makan kita," jawab Naila.
"Wah, Naila baik banget deh. Makasih, ya, Nai, nanti gue beliin jajan deh buat bales kebaikan hati lo," ucap Ica sambil mengedip-ngedip matanya.
"Nggak usah nolak, anggap aja rezeki buat lo, Nai." Belum sempat Naila menjawab, Faisya sudah lebih dulu bersuara membuat Naila hnsya bisa menghela napas. Terserah dua gadis itu saja, pikirnya.
"Nanti lo langsung ke kamar aja, ya, gue sama Ica mau pergi ke suatu tempat dulu," ucap Faisya sebelum Naila benar-benar pergi dari hadapan mereka.
"Iya."
Setelah Naila tak terlihat lagi, Faisya berdiri dan mengajak Ica juga berdiri. Kedua gadis yang masih memiliki hubungan saudara itu pun berjalan menyusuri area pesantren, mau tahu mereka ingin pergi ke mana? Hohohooo, jelas saja mereka akan pergi ke warung. Apalagi alasan mereka selain ingin jajan? Kenyang dengan makan siang sih sudah, tetapi jelas saja mereka masih butuh cemilan. Stok cemilan mereka pun sudah habis, tak ada salahnya membeli stok lagi agar bisa dibagikan dengan teman sekamar mereka. Untuk apa uang pemberian ayah dan ibu mereka kalau tidak dipergunakan dengan baik, bukan? Lagipula, keluarga mereka bukanlah orang yang pelit masalah uang, mereka memberi uang jajan pada Faisya dan Ica dengan jumlah yang sangat cukup sekali.
"Kayaknya anak-anak kamar lebih suka makanan yang gurih deh, Fai," ucap Ica ketika mereka sudah berada di warung.
"Iya, gue juga lebih suka makanan gurih-gurih pedes ketimbang manis, Ca," balas Faisya.
"Ya udah kita beli ini, ya? Satu pack?" tanya Ica sambil menunjuk kerupuk seblak rasa pedas daun jeruk.
"Iya, sama pilus kacang ini juga, ya, Ca." Faisya mengambil satu renceng pilus kacang.
"Makanan manis juga boleh deh satu." Ica mengambil satu kotak wafer coklat.
Setelah puas memilih, mereka pun akhirnya membayar makanan yang telah mereka beli. Keduanya kemudian berjalan keluar dari warung pesantren sambil membuka bungkus kerupuk seblak dan memakannya sambil sesekali mengobrol.
"Harusnya tadi kita juga beli minum, Ca, pedes banget ternyata ini kerupuk," ucap Faisya.
"Iya benar, tapi udah ah males juga gue balik lagi. Mana udah lumayan jauh 'kan jaraknya." Faisya mengangguk, napas mereka huh hah huh hah karena kepedasan.
Tanpa sadar, dua gadis itu menguyah makanan sambil berjalan dan juga membuang bungkusan plastik makanan itu di sembarang tempat. Begitupun juga dengan makanan selanjutnya, hingga seorang ustad yang kebetulan lewat pun menghentikan langkahnya ketika melihat beberapa bungkus makanan ringan di sepanjang jalan. Ia melihat arah di mana si penyebab kekotoran ini, siapa lagi kalau bukan dua gadis yang asyik mengunyah kerupuk, pilus dan wafer? Ustad yang tak lain adalah Ustad Akbar, berjalan cepat menghampiri kedua gadis itu. Hingga ketika langkahnya semakin dekat, ia langsung berdiri menghadang tepat di depan dua gadis yang sibuk makan.
"Assalamualaikum!" Suara salamnya cukup kencang hingga membuat dua gadis itu terperanjat, apalagi dengan kemunculan tiba-tiba di hadapan mereka.
"W-waalaikumsalam, Ustad!" Serempak mereka menjawab salam itu.
"Ini ustad apa titisan demit sih? Munculnya tiba-tiba," bisik Ica di telinga Faisya. Faisya mendelik, mengkode agar Ica diam karena bisa saja Ustad Akbar mendengar bisikan mereka.
"Ehem, enak, ya makannya. Santai sekali sambil jalan-jalan," ucap Ustad Akbar sambil bersedekap dàda.
"Hehehe, iya enak, Ustad. Makan sambil menikmati pemandangan pesantren yang sejuk ini indah banget, ya 'kan, Fai?" Faisya mengangguk ragu, ia menatap ekspresi Ustad Akbar yang sangat galak sekali. Roman-romannya akan ada sesuatu hal buruk yang akan menimpa mereka.
"Hmm, begitu. Saking santainya sampai tidak sadar kalau membuang sampah sembarangan." Perkataan Ustad Akbar memang santai, tetapi jelas saja itu berupa sindiran. Baik Faisya dan Ica saling pandang, keduanya langsung menoleh ke belakang. Mereka terkejut ketika melihat ada beberapa sampah plastik bertaburan di tanah, siapa lagi pelakunya kalau bukan mereka berdua? Mereka meringis, benar-benar sedang berada dalam masalah, pikir mereka.
"Kalian tahu tidak? Membuang sampah sembarangan itu dilarang. Dalam islam, ada sebuah hadist yang artinya berbunyi 'kebersihan sebagian dari iman' bukankah di sekolah kalian juga diajarkan? Mengapa sekarang malah terang-terangan membuang sampah? Saya minta kalian bersihkan semua ini setelah itu buat papan nama dengan tulisan 'saya tidak akan membuang sampah sembarangan lagi'. Papan nama itu kalian beri tali dan kalungkan di leher kalian, kalian berdiri di sini sampai waktu yang saya tentukan. Paham!?" Faisya dan Ica tergagap mendengar hukuman yang Ustad Akbar berikan pada mereka, mengapa banyak sekali? Sepertinya Faisya benar-benar dalam kesíalan karena dua kali ini dia mendapatkan hukuman dari orang yang sama.