10. Semakin Terlihat

1303 Words
Ada rasa kecewa di hati Faisya ketika hari ini yang mengajar ngaji bukanlah Ustad Akbar, melainkan Gus Faris. Meskipun kemarin-kemarin ia dan Ica sempat dihukum karena melakukan kesalahan yaitu membuang sampah, tetapi entah mengapa sebagian hatinya tak rela jika sekarang dan seterusnya Gus Faris lah yang mengajari mereka mengaji karena Gus Faris sudah kembali. Sedangkan, Ustad Akbar sendiri kembali mengajar di tingkatan akhir. Bukan tanpa alasan Faisya merasa kecewa, semakin hari semakin terlihat kalau Ustad Akbar benar-benar mirip dengan seseorang dan Faisya ingin membuktikan semua itu dengan cara mengamati pria dewasa itu. Namun, sepertinya hal itu tidak akan pernah bisa ia lakukan lagi karena saat ini dan seterusnya ia pasti akan sangat jarang bertemu dengan Ustad Akbar. Berbeda dengan Faisya yang kecewa, Ica justru sebaliknya. Gadis itu merasa senang bukan main karena akhirnya Gus Faris kembali mengajar lagi setelah pria itu pergi beberapa hari, sungguh Ica sangat merindukan wajah datar ustad ganteng itu. Karena kehadiran Gus Faris, Ica bahkan tidak sadar dengan perubahan sikap dan ekspresi Faisya yang berbeda dari hari-hari biasanya. Ica terlalu fokus ingin melepaskan kerinduan dengan menatap wajah Pak Ustad ganteng itu sehingga ia tak lagi mempedulikan sekelilingnya, benar-benar luar biasa dahsyat sekali kebucinan Ica yang sedang jatuh cinta. "Asyik, ternyata Pak Ustad ganteng gue yang ngajar hari ini." Ica begitu semringah ketika melihat kehadiran ustad kesayangan, siapa lagi kalau bukan Gus Faris? "Lebay lo, Ca. Kayak nggak pernah ketemu Gus Faris setahun aja," komentar Faisya sambil menggelengkan kepalanya. "Ih! Bahkan lebih dari setahun tahu rasanya, Fai. Lo tahu 'kan kalau calon suami masa depan gue itu berminggu-minggu nggak hadir, itu berarti bagi gue udah bertahun-tahun. Alhamdulillah, akhirnya tiba juga saat-saat di mana gue bisa menikmati kegantengan hakikinya." Mata Ica berbinar-binar ketika melihat Gus Faris yang berada di hadapan mereka sedang menyapa semua santri, beruntung mereka duduk di barisan paling belakang sehingga Gus Faris tidak terlalu melihat dan mendengar obrolan ricuh dua gadis absurd itu. "Jatuh cinta nggak separah itu ah, Ca, dasar lo lebay banget. Nanti Gus Faris kayaknya bakalan ilfeel kalau lo begini terus," ucap Faisya membuat Ica cemberut. "Ih, Fai! Hukum mematahkan semangat seseorang itu dosa tahu!" "Mana hadist dan ayatnya? Ayo sebutin," tantang Faisya membuat Ica semakin kesal. "Nggak tahu! Pokoknya lo nggak boleh matahin semangat gue mengejar cinta Pak Ustad Ganteng kesayangan." Faisya menghela napas, Ica dan rasa sukanya pada Gus Faris benar-benar menyeramkan. "Nai, nanti kalau lo ngerasain jatuh cinta, jangan kayak Ica, ya," ucap Faisya pada Naila. "Memangnya kenapa, Fai?" tanya Naila sambil menghentikan tawanya. "Malu-maluin!" BUK! Satu pukulan mendarat dengan sempurna di bahu Faisya. "Ish! Sakit tahu, Ca!" Faisya memekik sakit sambil mengusap bahunya yang habis dipukul Ica, sepupunya itu benar-benar bar-bar sekali ya. "Habisnya lo ngeselin, coba aja kalau nggak ngeselin. Nggak mungkin gue pukul!" balas Ica santai. "Yang di belakang, dari tadi berisik terus. Apa kalian ingin menggantikan saya mengajar di depan sini!?" tanya Gus Faris setengah berteriak ketika sadar ada sedikit keributan di belakang. Siapa lagi dalang keonaran itu kalau bukan Ica dan kawan-kawan? "Hehehe, maaf, Ustad. Nggak lagi, silakan dilanjut mengajarnya, Ica dengerin sepenuh hati kok." Ica menjawab pertanyaan Gus Faris sambil memasang senyum manis semanis kopi yang sama sekali tidak diberikan gula. Gus Faris menghela napas, akhirnya pria itu kembali melanjutkan kegiatannya sesekali mengawasi para biang onar. Mereka yang diawasi pun akhirnya memilih diam, tak mau mencari gara-gara dan ujungnya dihukum. Hukuman yang biasanya diberikan oleh Gus Faris benar-benar tidak mengenakkan bagi mereka, mereka tahu itu karena mereka pernah dihukum dan mereka tak mau lagi mengulangi hal yang sama. "Lihatlah, betapa indahnya mahakarya yang tersaji di depan sana," ucap Ica setengah berbisik. Matanya menatap Gus Faris dengan tatapan penuh kagum, seakan ia baru saja melihat orang tertampan sedunia. Faisya dan Naila saling pandang, keduanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Tak habis pikir dengan kebucinan Ica yang semakin menjadi, tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain menyimak. Karena kalau membuka suara, mereka selalu salah di mata Ica karena orang yang jatuh cinta itu selalu benar. Ica ... Ica ... sungguh luar biasa sekali cintamu pada Gus Faris, meskipun terkadang pernah merasa sakit karena ulah dan perkataan pria itu, tetapi tetap saja Ica masih mengharapkan ustad ganteng itu. Seperti tidak ada pria lain yang mau dengannya saja, padahal yang suka dengan Ica itu banyak. Bahkan tidak terhitung jumlahnya. Setelah acara mengaji pada hari ini telah selesai, dua gadis itu pergi keluar dari langgar. Sesekali Ica sempatkan untuk melirik Gus Faris yang tengah membereskan buku-bukunya yang berada di atas meja itu, tetapi ia cemberut ketika Faisya menariknya agar segera keluar dari langgar itu. Padahal, ia 'kan masih ingin menikmati ketampanan Gus Faris yang luar biasa itu, dasar sepupu yang tidak pengertian! maki Ica dalam hati. "Kalian duluan deh, gue mau ke toilet bentar," ucap Faisya ketika di tengah jalan ia merasa ingin buang air. "Nggak perlu dianter 'kan, Fai?" tanya Ica. "Ya nggaklah, ngapain juga dianter? Kayak gue masih bayi aja. Ini gue titip Al-Qur'an gue, ya, tolong dibawa dengan selamat sampai tujuannya yaitu lemari gue. Awas aja kalo sampe kegondol tikus, dosa nanti lo, Ca," ujar Faisya sambil menaruh paksa Al-Qur'an yang ia bawa di atas Al-Qur'an Ica. "Iya-iya, lo pikir tikus kurang ajar mana yang mau gondol Al-Qur'an?" "Tikus jahat kali, dah ah!" Faisya melambaikan tangannya sebelum pergi meninggalkan Ica dan Naila ke toilet terdekat. Faisya merasa lega ketika ia telah selesai membuang hajatnya, gadis itu akhirnya keluar dari toilet dan memutuskan untuk pergi kembali ke kamarnya. Namun, belum sempat itu terjadi, ia melihat sebuah pemandangan yang begitu tidak asing. Perlahan-lahan gadis itu berjalan mendekati seseorang itu, matanya memicing ketika melihat apa yang pria dewasa itu lukis di tanah. "Ustad, sedang apa?" Sebuah suara mengagetkan Ustad Akbar, ya, pria yang sedari tadi mencuri perhatian Faisya adalah Ustad Akbar. "A-ah, bukan apa-apa. Mengapa kamu ada di sini?" tanya balik Ustad Akbar sambil menyembunyikan sesuatu di balik tubuhnya. "Tadi saya tidak sengaja lewat dan melihat Ustad," jawab Faisya. Gadis itu melongokkan kepalanya, berusaha melihat apa yang Ustad Akbar sembunyikan di belakang tubuhnya. Semakin disembunyikan, maka semakin membuat Faisya penasaran. Apalagi yang dilakukan Ustad Akbar ini cukup familiar baginya, seakan mengingatkannya pada seseorang yang entah sekarang ada di mana. "Apa tang sedang Ustad sembunyikan?" tanya Faisya penasaran. "B-bukan apa-apa, santri dilarang kepo. Lebih baik kamu kembali ke kamarmu!" titah Ustas Akbar tanpa melihat ke arah Faisya, yang Faisya tangkap sepertinya Ustad Akbar tengah gugup. Faisya semakin penasaran, dengan berani gadis itu semakin berjalan mendekati Ustad Akbar untuk melihat apa yang tengah Ustad Akbar lakukan. Ketika ia melihat apa yang pria itu sembunyikan, Faisya tidak bisa menahan kekehannya ketika melihat itu. "Saya tidak menyangka, Ustad yang dikenal galak oleh seluruh santri ternyata memiliki hobi seperti anak kecil," ucap Faisya sambil terkekeh. Namun, kekehannya tak berlangsung lama ketika ingatannya kembali jatuh ke beberapa tahun silam. Di mana ia pernah melihat hal seperti ini dan bahkan gambar yang sama, tetapi dilukis oleh orang yang berbeda, mungkin? "Siapa Ustad sebenarnya? Mengapa saya sepertinya begitu familiar dengan semua yang Ustad lakukan dan katakan? Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Faisya dengan berani. Sungguh, ia tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya lagi karena semakin ia menelaahnya semuanya semakin terlihat. "Saya tidak akan menjawab pertanyaanmu." Ustad Akbar menghapus lukisan di tanah itu dengan telapak kakinya dan berniat pergi dari sana, tetapi Faisya menghalangi langkahnya. "Bagaimana agar saya bisa mengetahui jawabannya? Apa yang harus saya lakukan?" tanya Faisya. Ustad Akbar menatap Faisya dengan tajam, ia mengatakan sesuatu yang membuat Faisya begitu terkejut kemudian ia pergi dari hadapan Faisya. Meninggalkan Faisya yang merasa kalau jantungnya berpacu berpuluh kali lipat dari biasanya, sungguh tak menyangka dengan apa yang ia dengar tadi. Apakah ia bermimpi? Ataukah ini nyata? Selama beberapa menit ia masih terdiam di tempatnya berdiri sambil menatap kepergian Ustad Akbar yang kali ini tak terlihat lagi, kemudian ia melihat ke bawah, tepatnya tanah yang digunakan oleh Ustad Akbar menggambar sesuatu tadi. Mungkinkah?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD