Chapter 2

1094 Words
‘’Dari Tuhan untuk aku?’’ Alicia tersenyum sembari mengusap air matanya yang hampir saja mendarat di bagian surat yang begitu manis bahkan tak pernah ia duga seorang Charles Morgan akan menulis beberapa kata yang cukup indah dan mampu membuatnya terdiam sembari sekaligus tidak bisa melakukan apapun selain menerima tanpa berusaha mengembalikan atau merasa mengkasihani dirinya sendiri. ‘’Thank you Charles Morgan,’’ bisiknya dengan lirih lalu tersenyum dan segera ia meletakan amplop berisi uang tersebut ke dalam tas gendongnya dan membawanya pergi. Setelah menyelesaikan studi singkat hingga pukul dua siang gadis dengan rambut sebahu dan rok selutut langsung mengganti seragam sekolahnya dengan celana jeans kumal serta kaus yang cukup longgar sehingga semua pria tidak akan bisa melihat lekuk tubuhnya dengan gampangan. Gadis yang Sudah lama meninggalkan rumah mewahnya sudah merubah gaya hidupnya setelah ia bertemu dengan pria bernama Farel yang selama sisa hidupnya ia akan menganggap lelaki itu sebagai kaka kandungnya bahkan tidak lebih. ‘’Oke, I am ready!’’ ucapnya sembari tersenyum melihat wajahnya yang Nampak di cermin tepat di depannya. Sembari tersenyum si gadis kemudian mengenakan sepatunya kepada kedua kaki yang sudah selama tiga tahun ini membawanya berkelana dan berkenalan dengan dunia yang semakin hari Nampak semakin sakit. Ia begitu telaten mengikat tali sepatu hingga akhirnya tangan mungilnya yang kasar menarik knop pint uke arah bawah hingga terbuka, kemudian menutupnya Kembali lalu memasang kunci dan memutarnya sampai pintu yang menjadi akses masuk ke dalam ranah pribadinya tidak bisa dibuka oleh orang lain. ‘’Yuk Caca! Semangat!!’’ ujarnya kepada diri sendiri sambil tersenyum riang dan berjalan melewati gang sempit yang hanya berukuran satu setengah meter yang menghubungkan kos-kosan kecilnya dengan jalan raya. Suara kendaraan yang lalu-lalang mulai terdengar, hal itu menandakan dengan jelas bahwa beberapa Langkah lagi ia sudah bisa berdiri di depan halte dan mempertemukan dirinya dengan kendaraan roda empat yang akan membawanya menuju tempat kerja pertamanya hingga pukul delapan malam. ‘’Yok yok yok!!! Pusat kota, pusat kota!!!!’’ Suara ramai dan memenuhi hampir di tempat Alicia berdiri berasal dari seorang pria yang bertugas menjadi kernet dari bus milik perseorangan ini. Suara ramai yang hanya berasal dari satu orang saja sudah mampu menggiring beberapa orang yang berdiri di halt ke dalam ruang bus yang cukup penuh, bahkan Alicia kini berdiri tepat di depan pintu dan hanya berjarak beberapa inci saja dengan tukang kernet yang menjaga penumpang tetap aman alias tidak jatuh sebab bus ini pasti selalu membawa penumpang hingga terlihat sampai keluar, bahkan ia juga pernah terlambat masuk ke dalam ruang kerjanya sebab bus ini sudah beberapa kali dihentikan polisi karena terlalu penuh Ketika membawa penumpang. Tapi sialnya, Alicia yang berusaha menghindari berangkat kerja menggunakan bus ini terlalu sulit untuk berpindah ke lain hati karena semua bus dan kendaraan yang sanggup membawanya pergi ke tempat kerja punya ongkos yang jauh lebih mahal bahkan selisih sekitar lima ribu rupiah, bagi anak rantau yang hidupnya bergantung dengan gaji bulanan tentu ini adalah masalah yang serius dan ia harus membuat diri sendiri bertahan bagaimana pun caranya. ‘’Pulang naek apa kau Alicia?’’ tanya Sarman, seseorang pria paruh baya yang berprofesi menjadi kernet yang juga salah satu orang yang membuatnya tetap bertahan menaiki bus sesak ini. ‘’Di jemput Pak, kan Pak Sarman tau dah gak ada bus lah di jam segitu,’’ kata Alicia sambil mengangguk-angguk. ‘’Iya bener juga kata kau ya nak, masih kerja juga kau rupanya? Padahal diam-diam saya suka tunggu kau nggak naek bus ini,’’ Alicia sontak menatap Pak Sarman dengan tatapan bingung, dahinya berkerut dan wajahnya Nampak curiga. ‘’Lah kenapa Pak?’’ ‘’Ya saya cape aja liat anak muda jam segini berangkat kerja padahal kau masih sanggup lah dibiayain orang tua andai kata kau punya bapak ibu kau,’’ kata Pak Sarman sambil enggan melihat ke arah gadis yang tersenyum singkat. ‘’Pak Sarman nih kalo ngomong suka bener,’’ kata Alicia mencoba mencairkan suasana yang sempat sedikit mengharukan. ‘’Ya benar kan apa kataku nak, kau sekolah pun gratis, makan kau aja yang harusnya dibayarin bapak kau sama ibu kau, tapi ya apalah jalan hidup orang memang masing-masing, hanya tidak rela saja aku melihat kau yang masih muda begini naik bus milik bos ku yang tiap hari penuh, andai kata ku punya bus lain akan ku bawa kau ke tempat kerja tanpa perlu berdiri seperti ini,’’ Alicia tersenyum menatap pria paruh baya yang sudah mengenalnya lebih dari satu tahun sebab ia sudah langganan dengan bus reot tua yang hampir saja tidak bisa digunakan sebab sudah semakin tua nyatanya. Belum lama ini, Pak Sarman banyak menanyakan bagaimana kabarnya, apa yang ia alami di sekolah, hingga menanyakan apa yang ia makan di setiap ia berdiri di sebelah Pak Sarman dan menikmati perjalanan dengan terpaksa. ‘’Pak Sarman tenang aja, bapak tau juga kan saya orangnya kuat. Pasti saya akan tetap hidup kok, bapak cukup kasih saya semangat ya!’’ ujar Alicia berbicara dengan lirih, lebih lirih dari ucapan Pak Saraman yang berbicara dengan logat orang dari utara. ‘’Ya lah nak, terserah kau saja ini juga hidup kau. Aku sebagai orang tua hanya tak sanggup saja melihat kau lontang-luntung begini padahal kau cukup belajar saja jadi orang pintar supaya kelak kau hidup enak dengan kerja kau yang bagus,’’ ‘’Iya, Terima Kasih Pak Sarman!’’ jawab Alicia dengan nada girang namun tetap lirih. ‘’Kiri-kiri’’ teriak Pak Sarman tepat di depan sebuah bangunan cukup besar yang dialih fungsikan sebagai toko kue. ‘’Nih pak,’’ Alicia menyodorkan selembar uang kertas berwarna hijau cukup tua namun di tolak. ‘’Bayar pak,’’ kata Alicia memperjelas. ‘’Tak usah bayar kau, aku saja yang bayar. Ku doakan dipermudah kerjamu hari ini nak! Yo yo yo!!! Jalan!’’ kata Pak Sarman langsung naik ke atas bus dan meninggalkan senyum di bibir seorang gadis yang hampir saja meneteskan air mata. Sudah lama, terhitung tiga bulan semenjak ibu tidak pernah datang, aku mulai mengakui jika kau merindukan nasehatnya. Batin si gadis lalu masuk ke dalam toko dan mulai menyapa beberapa orang di pintu masuk hingga akhirnya ia berdiri di depan sebuah oven pemanggang roti yang berukuran besar melebihi tubuhnya. Hari ini, ia memulai sore harinya dengan pekerjaan yang menjadi bagaian dari hidupnya, bahkan membuat roti dan menghiasnya sudah menjadi candu yang tidak bisa ia tinggalkan. Alicia mencintai pekerjaannya hingga menganggap baking adalah hal yang mampu membuatnya melukis kisahnya di atas design sebuah cake yang indah. ‘’Alicia! Pesanan dari vvip tiga, besok diambil siang hari!’’ teriak salah satu teman kerjanya yang berjarak tiga meter darinya dan tengah membungkus roti kering ke dalam sebuah plastic. Teriakan ini membuat Alicia tersenyum sumringah lantas menjawab dengan nada begitu Bahagia. ‘’Siappp! Akan ku selesaikan malam ini,’’ ujarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD