Episode 3. Semakin Menjauh Semakin Mendekat

2163 Words
Ryan sedang tersiksa di dalam toilet kantornya. Perutnya terasa mulas dan panas seperti terbakar. Sementara keringat terus bercucuran di sekujur tubuhnya. Bagaimana tidak, semangkuk bakso tadi adalah makanan terpedas yang pernah dia makan selama dia hidup di dunia ini. Telinga mendenging, jantung jadi berdebar kencang, kepalanya juga sakit. Badannya terasa lemas, panas dingin tidak karuan. Ryan terus saja bertahan di dalam toilet kantornya untuk beberapa saat. Dia menunggu kantornya mulai sepi atau para pegawainya sedang sibuk. Keadaannya kini, tidak boleh ketahuan oleh sekretaris Nia. Sebab, kalau sampai tahu, Ryan takut, wanita itu akan membawanya ke dokter. Sekarang ini, Ryan belum ingin sembuh. Dia mau membawa rasa sakit, dan penderitaannya sekarang ke rumah, ke hadapan Papanya seorang. Ryan berharap, agar Papanya benar-benar menyesali konspirasi jahat yang sengaja dibuatnya hari ini. Setelah lolos dari sekretaris Nia dan para pegawai kantor yang lain, Ryan langsung masuk ke dalam lift untuk turun. Apesnya, di lantai berikutnya, ada Laras yang masuk begitu saja. Laras tidak tahu, Ryan sedang jongkok dengan wajah menunduk di atas lutut di pojokan lift. Awalnya Laras hanya Laras hanya melihat sekilas saja. Dia pikir pria yang sedang berjongkok itu mungkin sedang lelah. Namun, setelah beberapa lama, Laras baru menyadari, kalau ada ketidakberesan dengan orang yang ada di pojokan itu. Karena dari tadi diam saja tak bergerak. Dia pun berbalik dan mendekatinya. Karena terus menunduk dan gemetar. Laras memberanikan diri untuk bertanya, “Maaf, Mas. Anda baik-baik saja kan?“ Tak ada jawaban atau pun respon. “Mas, apa Anda sakit?” tanyanya lagi. Tetap tak ada respon. Bahkan kali ini tidak gemetar lagi. Laras pun turut berjongkok dan menyentuhnya. “Haaah.... Ryan,” sebutnya terkejut. “Kamu kenapa? Kamu sakit, ya?” tanya Laras namun Ryan tetap diam saja. Lalu Laras mencoba menggoyangkan tubuh Ryan, namun justru jatuh ke samping. Laras jadi panik. “Haah.. Tidak. Kenapa dia malah jatuh?” Laras tambah bingung. “Aduuh... Bagaimana ini? Apa kamu pingsan lagi seperti kemarin?” rengeknya. “Kenapa setiap ketemu, aku selalu berubah jadi perawat begini sih? Benar-benar merepotkan,” gerutunya. Disentuhnya kening Ryan yang panas dan basah oleh keringat. Dia ambil air dari dari botol minuman di dalam tasnya. Lalu Laras percik-percikan ke muka Ryan. Ryan tersadar, tapi hanya merintih lirih dan menggerak-gerakkan kepalanya di lantai lift. Laras bernafas lega. “Pasti ini efek dari sambal sepuluh sendok tadi. Makanya, jadi orang jangan sok begitu. Makan sambal satu sendok saja belum tentu kuat. Eeee... Tadi malah sepuluh sendok. Ya sudah, inilah akibatnya. Sekarang, kamu rasakan sendiri bagaimana rasanya perutmu,” omel Laras sendiri sambil menatap wajah Ryan dengan kesal. Laras mencoba menghubungi Tuan Darmawan melalui handphone. Namun sayang tidak tersambung. Kemudian dihubunginya Bu Nia, tersambung tapi tidak diangkat. Hanya itulah nomer yang Laras punya di perusahaan ini. Apa boleh buat. Laras harus bersabar dengan ujian seperti ini lagi. Kali ini dengan terpaksa dia harus mengantar Ryan pulang ke rumahnya. Kemudian dia papah Ryan keluar lift, “Tapi... Gimana aku bonceng dia nanti, kalau tubuhnya lemas begini,” katanya sambil kepayahan memapah tubuh Ryan di lantai dasar. “Ya sudah. Naik taksi saja,” “Aneh sekali, kenapa kantor ini tiba-tiba jadi kantor mati sih? Sepi begini nggak ada orang lalu lalang sama sekali. Masak sudah pulang semua. Aduuh, mana rasanya aku nggak sanggup lagi memapah tubuhnya hingga ke depan,” gerutu Laras dengan nafas ngos-ngosan. Laras melihat satpam sedang berjalan di lobi, “Pak, tolong....” panggil Laras dengan suara berat karena terus menopang tubuh Ryan. Untung saja, Pak satpam sekali panggil langsung menoleh dan berlari menghampiri. “Ohh, Pak Ryan... Kenapa beliau ini, Mbak Laras?” tanyanya ketika datang tergopoh-gopoh. Pak Satpam di gedung Raharja Grup ini memang sudah banyak yang mengenal Laras. Karena mereka sudah terbiasa membantu Laras bila mengantar bakso kemari. Tak lupa, Laras selalu membagikan beberapa bungkus untuk mereka. “Sakit, Pak. Tolong Bapak bantu saya antar dia ke depan. Kita cari taksi di depan,” pinta Laras. “Baik, Mbak,” Pak satpam langsung turut memapah Ryan. Tiba di luar gedung Laras melambaikan tangannya pada taksi yang baru saja tiba mengantar orang. Bersyukur, kebetulan sekali langsung ada taksi tanpa menunggu lagi. Pak satpam langsung memasukkan tubuh Ryan kedalam mobil diikuti dengan Laras. “Ke jalan perjuangan, Pak,” kata Laras pada sopir taksi. “Baik, Mbak,” jawab Pak sopir. Dalam perjalanan, Laras sebenarnya masih bingung. Antara dia antar ke rumah sakit atau pulang ke rumahnya. Akhirnya Laras memilih mengantar pulang saja. Laras takut salah bila membawanya ke rumah sakit. Membutuh waktu sekitar empat puluh lima menit dengan kecepatan sedang untuk sampai di rumah Ryan. Satpam membuka pintu gerbang dan mempersilahkan taksinya masuk. Setelah dari jendela mobil, dia mengatakan mengantar Ryan yang sedang sakit. “Tidak ada orang, Non. Tuan pergi dan para pekerja sedang berwisata bersama ke luar kota semua” jelas Pak satpam. “Aduh... Terus ini gimana dong, Tuan Muda lagi sakit ini? Apa saya antar ke rumah sakit saja, ya?” tanya Laras bingung. “Jangan, Non. Biar di rumah saja. Mari saya bantu antar ke kamar Tuan Muda. Nanti biar saya telpon dokter keluarga,” jelas Pak satpam. “Kalau begitu baiklah. Saya bayar taksi dulu,” Laras memberikan sejumlah uang pada sopir taksi. Kemudian membantu Pak satpam memapah Ryan yang tampak semakin pucat dan lemah memasuki rumahnya yang megah, mewah, berwarna bergaya klasik berwarna putih. “Kamar Tuan Muda ada di atas, Non. Kita naik lift saja. Ada di samping tangga itu,” kata Pak satpam dengan suara menahan berat, begitu mereka berada di ruang tengah, setelah melintasi ruang tamu yang luas dan mewah. Setelah sampai di kamar Ryan yang berada di lantai dua, Laras dan pak satpam langsung membaringkan Ryan di atas sebuah ranjang mewah berukuran besar. Laras juga langsung duduk di tepiannya untuk menghilangkan lelah dan mengatur nafasnya. “Saya telpon dokter dulu, Non,” kata Pak satpam dengan terengah-engah keluar kamar. “Iya. Silahkan, Pak,” jawab Laras seraya menganggukkan kepalanya. Setelah lelahnya sedikit berkurang, dengan telaten, Laras melepas dasi, melepas tiga kancing baju bagian atas, juga sepatu Ryan, lalu menyelimutinya. “Saya sudah menelpon dokter, Non. Sejam lagi, Beliau sampai di sini,” kata Pak Satpam yang baru saja masuk lagi. “Tapi sebelum itu, beliau berpesan, untuk memberi minum air hangat Tuan Muda dulu,” jelas Pak satpam berusia sekitar empat puluh lima tahun itu. “Iya Pak benar, air hangat memang bisa menetralisir rasa pedas. Di mana dapurnya, Pak?” “Mari saya antar, Non. Dapur bersihnya ada di lantai bawah. Di sana ada kulkas berisi macam-macam, Non. Termasuk s**u sapi,” “Baik. Mari, kita ke sana, Pak.” Laras mengikuti Pak satpam keluar kamar Ryan. “Oh ya, kita belum kenalan ya, Pak. Siapa nama Bapak?” tanya Laras. “Kalau saya, Laras Pak,” kata Laras kemudian memperkenalkan dirinya. “Nama saya, Prasetya, Non,” jawab Pak Prasetya tersenyum ramah. “Itu dapurnya, Non,” tunjuk Pak Prasetya. “Semoga ada stok air perahan sapi kemasan, di sana ya, Pak,” Laras membuka kulkas besar di dapur mewah itu. Hatinya lega sekali ketika melihat dua kotak air perahan sapi kemasan, bertengger di dalamnya. “Syukurlah, masih ada. Biar saya hangatkan dulu,” “Non. Omong-omong tadi Tuan Muda makan apa, sih? Kenapa sampai kepedesan begitu,” tanya Pak Prasetya penasaran. “Makan bakso di kantor, Pak. Dengan sambal sepuluh sendok,” jawab Laras Pak Prasetya langsung terbelalak, begitu juga mulutnya langsung menganga, “Waaaah.... Banyak sekali, Non. Mau bunuh diri, atau apa Tuan Muda itu. Padahal dia itu nggak suka pedas, sama sekali,” ungkap Pak Prasetya. “Entahlah Pak. Sudah dikasih tahu juga, tapi masih nekat,” “Mungkin Tuan lagi kesal, Non. Putus asa dia mungkin sekarang,” kata Pak Prasetya setengah berbisik. “Putus asa kenapa, Pak?” tanya Laras sambil menuangkan ke dalam gelas. “Dengar-dengar dari pelayan dalam, paspor Tuan Muda ditahan Tuan Besar sekarang. Kartu kreditnya juga dibatasi,” kata Pak Pras dengan berbisik-bisik. “Oh ya. Benarkah itu Pak,” “Iya. Benar, Non. Biasanya tuh, sepanjang tahun, Tuan Muda hampir tidak pernah pulang. Keliling dunia terus. Dari kutub utara sampai selatan. Dari ujung barat sampai ujung timur. Bersenang-senang dengan ditemani banyak wanita cantik. Silih berganti, di setiap negara, hampir di seluruh di muka bumi ini kabarnya dia punya, Non,” ungkap Pak Prasetya panjang lebar sambil terkekeh mengikuti Laras berjalan, balik ke kamar Ryan lagi. “Ah... Masak iya, Pak, hampir di seluruh muka bumi ada? Apa itu nggak berlebihan?” tanya Laras tak percaya. “Nggak tahu juga, Non. Saya kan cuma kabarnya,” jawab Pak Pras terkekeh. “Tapi, itu pasti sangat berat sekali bagi Ryan ya, Pak,” kata Laras merasa prihatin. “Pastinya, Non. Biasanya hidup bebas lepas tanpa batas. Sekarang, pasti bagai di penjara, Non,” jawab Pak Prasetya. “Benar, Pak,” Sampai di kamar. Laras segera meminumkan itu pada Ryan. Perlahan-lahan dia angkat kepala Ryan, untuk menambah satu bantal lagi supaya lebih tinggi. Kemudian disuapi sesendok demi sesendok ke mulut Ryan yang gemetar, dengan minuman hangat itu. Bibir tipisnya tampak pucat dan kering mengelupas. “Non Laras, saya ke pos depan dulu ya. Sambil nunggu dokternya datang. Nanti saya antar kemari.” pamit Pak Prasetya setelah melihat kondisi Tuannya sedikit demi sedikit terlihat stabil. “Iya Pak Pras, silahkan ke depan saja dulu,” jawab Laras sambil dengan telaten terus menyuapi Ryan. Sembari terus menyuapi Ryan. Laras berpikir mengenai situasi dan kondisi rumah Tuan Darmawan saat ini yang menurutnya sangat janggal. Bagaimana mungkin rumah semegah dan semewah ini, tiba-tiba meliburkan semua pegawai rumah tangganya, dan tak menyisakan seorang pun di rumah. Laras tahu. Setidaknya ada sepuluh pelayan yang bekerja di rumah ini. Sungguh aneh dan mencurigakan sekali, bila semua diajak berlibur bersamaan. Tuan Darmawan pun juga tidak ada. Bahkan sampai sekarang juga belum bisa dihubungi. Laras yakin, jika ini bukan suatu kebetulan. *** Pak Pras datang mengantar dokter keluarga Tuan Darmawan sekitar jam enam lebih empat puluh menit. Dokter wanita berparas cantik, berusia sekitar lima puluh tahun itu, kata Pak Pras sudah puluhan tahun menjaga kesehatan keluarga Darmawan. Setelah memeriksa dan memberi suntikan pada Ryan, dokter cantik itu bertanya pada Laras dan Pak Pras. “Ini aneh sekali, Ryan tidak suka makan pedas. Tapi mengapa dia nekat makan pedas?” tanya Dokter itu. Laras dan Pak Pras tidak tahu harus menjawab apa. Mereka saling berpandangan saja dan agak bingung. Dokter itu sepertinya juga tidak memaksa untuk mendapatkan jawaban dari keduanya. Dia langsung melanjutkan perkataannya. “Saya sudah memberikan suntikan. Nanti kalau dia bangun, tolong obatnya supaya diminum ya,” perintahnya. “Oh ya, tolong jangan beri makan yang kasar dulu ya. Berikan dia bubur saja dulu. Karena pencernaannya sedang mengalami iritasi,” Pesan Bu Dokter. “Baik, Dok,” Laras mengangguk. “Kalau begitu saya pulang dulu,” pamit Bu Dokter. Laras mengangguk dan mempersilahkan dengan gerakan tangannya. “Mari, saya antar ke depan, Dok,” kata Pak Prasetya lalu mengikuti Bu Dokter keluar dari kamar Ryan. *** . Laras sedang merenung. Kalau dipikir-pikir apa yang dialaminya saat ini memang sangat menggelikan. Bagaimana tidak. Kemarin mereka sudah saling tolak dan saling bertengkar. Tak terbayangkan akan berurusan lagi. Namun sekarang, dirinya malah tengah duduk di ranjangnya bagai istri atau perawat saja. Menjaganya, memandangi wajahnya yang terlihat pucat, mengkhawatirkannya, bahkan berharap supaya dia cepat sembuh. Seperti halnya kemarin, tanpa diduga dia datang tiba-tiba langsung mengamuk dan mengajak bertengkar lalu tiba-tiba pula malah pingsan dan jatuh sakit, kemudian menolong dan merawatnya di warung sampai tak bisa pulang. Sekarang Laras juga tak bisa meninggalkannya sendiri lagi. Bahkan meskipun di rumahnya sendiri. Tentu saja, alasannya karena Tuan Darmawan. Pria itu sangat baik padanya. Selalu menyayangi dan menjaganya bagai anak sendiri. Sebagai balasannya, tentu Laras tak bisa mengabaikan putra semata wayang ini begitu saja. Laras menghela nafas panjang. Asyik memandangi Ryan yang makin lama makin memesona, sampai membuat Laras tak menyadari kedatangan Pak Prasetya. “Ehemm.. “ Pak Pras berdehem sambil senyum-senyum. Laras menoleh sedikIt malu-malu, “Eh, Pak Pras.. Ada apa, Pak?” “Maaf, Non. Saya hanya mau bilang, kalau Non Laras mau istirahat, di ujung sana ada kamar tamu?” “Iya Pak, terima kasih. Saya di sini saja menemani dia, nanti kalau ngantuk, tidur di sofa itu saja. Dia kan masih lemah, masih harus dibantu. Kalau saya tidur di kamar lain, siapa yang menjaganya,” jelas Laras. “Iya ya Non, benar. Baiklah kalau begitu saya ke depan dulu,” pamit Pak Pras. Laras mengangguk, “Iya pak, silahkan,” Pak Pras berjalan keluar kamar. Melihat Ryan sudah stabil dan tertidur, Laras pun beranjak menuju sofa mewah yang tadi dia tunjuk. Sudah beberapa saat berada di kamar mewah ini, baru sekarang Laras memperhatikan kamar Ryan yang luas, mewah dan nyaman. Disesuaikan dengan cat rumahnya yang berwarna putih, bergaya klasik elegan, ruang kamarnya pun demikian. Menggunakan king bedroom set, furnitur, hiasan dengan gaya sama juga. Sehingga menimbulkan nuansa sangat serasi, nyaman dan menenangkan. Tak sadar baru sebentar saja merebahkan diri, membuat Laras terbuai dalam kenyamanan lalu terlelap karena kelelahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD