Episode 2. Pembalasan Yang Pedas

1720 Words
Setelah beberapa lama Ryan akhirnya tersadar. Dia perhatikan tubuhnya dalam keadaan terbaring di lantai berselimutkan taplak meja warung bakso Larasati, begitu menoleh kesamping didapatinya gadis itu sedang tidur dengan bersandar di dinding. Saat akan bangun, dia baru tahu bila sebelah tangannya sedang berada di pangkuan Laras, di dalam genggaman kedua tangan gadis itu juga. Lalu pelan-pelan dia menarik tangannya. Meskipun badannya masih terasa lemah dan nyeri, tapi tetap dia berusaha bangun, perlahan-perlahan agar tidak membuat gadis itu terbangun juga. Lalu dengan hati-hati dia selimutkan juga taplak meja yang menyelimutinya tadi, pada tubuh Laras. Untuk sesaat dia pandangi gadis itu, sungguh tidak pernah mengira, misinya memberi peringatan keras juga pelajaran yang sesadis mungkin sehingga tidak bisa dilupakan seumur hidup Laras jadi gagal total. Justru dia berubah jadi hero baginya. Masih mau menolong dirinya ketika jatuh pingsan saat ada petir tadi. Ketika kemudian dilanda demam dia pun sudi merawat dan menjaganya. Diam-diam Ryan kagum dengan kebaikan hati Laras. Pelan-pelan Ryan melangkah menuju pintu, dan keluar. Di luar hujan telah reda. Jalan raya di depan warung juga tampak lengang. Hanya sesekali ada kendaraan melintas di sana. Tak tahu pukul berapa sekarang, di dalam warung tadi Ryan lupa melihat jam dinding. Sementara dia tadi juga lupa tidak memakai jam tangan atau membawa handphone karena dia taruh di mobil setelah renang tadi siang di rumah Danil. Ryan segera menghampiri mobilnya dan meluncur pulang. Pagi harinya betapa kaget Mbak Surti mendapati Laras tertidur di warung dengan berselimutkan taplak meja warung. “Lho... lho... lho... Laras, ternyata kamu semalam tidur warung tho?” tanya mbak Surti begitu membuka pintu. Kaget mendegar suara Mbak Surti secara tiba-tiba, Laras pun terbangun kebingungan. Diperhatikannya kanan kiri dan seluruh bagian dalam warungnya. Dia bingung kenapa tubuhnya jadi berselimutkan taplak. Mbak Surti jadi curiga memperhatikan sikap Laras. “Siapa sih Ras, kamu cari siapa? Disini nggak ada siapa-siapa selain kita” “Hayoo.. kamu bermalam dengan siapa tadi? Kamu ada yang nemanin ya?” tanya mbak Surti penuh selidik. Laras bangkit mengemasi taplak meja yang tadi menempel di tubuhnya. “Eng.. enggak dengan siapa-siapa mbak. Kemarin sore tuh, saat aku mau pulang, hujan deras banget mbak. Ya udah aku nunggu reda saja, tapi malah ketiduran sampai pagi. Pasti karena aku kecapekan” jawab Laras sengaja berbohong. Karena untuk menceritakan perihal pinangan sampai pelabrakan Ryan akan membutuhkan waktu yang lama. Sementara hari ini dia harus segera bersiap diri berjualan. Jadi kapan-kapan saja dia akan bercerita pada mbak Surti. “Ooo.. Gitu tho, pantes saat aku ke pasar sehabis subuh tadi, rumahmu kok lampunya gelap semua” jelas Mbak Surti. “Sudah, sekarang kamu segera pulang bersihin diri sana dulu. Kamu lupa ya? Kita hari ini ada pesanan bakso banyak dari tuan pak bos” kata mbak Surti mengingatkan. PLOKKK.. Laras menepok jidatnya. “Oh iya, kok aku sampai lupa sih. Kalau gitu aku pulang dulu ya mbak. Aku janji nggak pakai lama” ucap Laras. “Iya, cepat pergi sana. Pakailah baju yang bagus dan sopan. Kamu hari ini harus ke kantor tuan bos besar” nasihat mbak Surti. “Iya mbak, beres.. Nggak usah khawatir” jawab Laras kemudian berjalan keluar. Tuan bos besar yang dimaksud mbak Surti adalah Tuan Darmawan Raharja sang Billionaire ayah dari Ryan Raharja. Sejak masa kanak-kanak, tuan Darmawan memang telah jadi pelanggan tetap warung bakso Laras. Karena Kakek nenek Ryan, orang tua tuan Darmawan, memang bersahabat dengan almarhum kakek nenek Laras sejak mereka masih SMA. Jadi dia sering diajak menikmati bakso lezat buatan Kakek Nenek Laras. Sekarang meskipun Nenek dan Kakek serta orang tua Laras sudah meninggal, Tuan Darmawan tetap jadi pelanggan setia warung bakso itu. Apalagi kini Laras hidup sebatang kara tanpa keluarga, jiwa kebapakannya meronta ingin terus menjaga gadis itu. Itulah kenapa beberapa hari lalu, dia mengungkapkan keinginan dari hati terdalam pada Laras agar mau menikah dengan Ryan. “Nak, mau kah kamu menikah dengan Ryan?” tanya Tuan Darmawan beberapa hari lalu saat warung hanya ada mereka berdua. “Apa tuan? Me..me.. menikah dengan Ryan?” tanya Laras balik pada pria lima puluh enam tahun itu. DEG... Laras lumayan kaget mendengar permintaan Tuan billionare itu. Walau sudah sejak lama keluarganya memiliki kedekatan dengan keluarga Tuan Darmawan, namun tak sekalipun terlintas di benaknya bermimpi menikah dengan Ryan. Sekalipun setelah mereka dewasa juga tidak pernah bertemu. Laras hanya sesekali melihat Ryan di televisi atau media sosial. Itupun kalau kebetulan akunnya melintas di media sosialnya. Laras tahu, Ryan punya teman wanita banyak sekali, tidak hanya di negeri ini saja tapi dari berbagai negara. Saat dia berkunjung ke satu negara hingga ke negara lainnya dia selalu dikelilingi banyak wanita cantik di manapun dia berada. Laras tidak yakin Ryan akan menyukai dirinya jika dia menerima pinangan ini. Tapi andai dia menerimanya pun, pasti karena paksaan tuan Darmawan. Dan begitu mereka menikah, Laras bisa menebak posisinya di rumah itu sebagai apa. Pasti tak lebih seperti kepala asisten rumah tangga saja. Punya status Nyonya Ryan hanya di KTP dan di mata masyarakat, namun tidak di hati Ryan. “Kamu tidak harus menjawab sekarang, Nak. Kamu bisa memikirkan dan mempertimbangkannya dengan perasaan tenang” tutur Tuan Darmawan. “Rumah itu akan jadi rumahmu, kita akan jadi satu keluarga. Kamu akan lebih terlindungi” jelas Tuan Darmawan kemudian mulai menyantap semangkuk bakso yang dihidangkan Laras. “Jangan pikirkan Ryan, biar aku yang atur. Dia memang sedang tersesat, pasti suatu hari nanti dia akan sadar” katanya lagi ketika mulutnya sedang kosong. Untuk beberapa lama Laras hanya terdiam mendengarkan perkataan tuan Darmawan dengan serius. Sebenarnya tanpa pikir panjang pun Laras sudah punya jawaban. Dia tidak ingin menikah dengan Ryan. Bukan apa-apa, Laras hanya tidak memiliki perasaan cinta pada putra Tuan Darmawan itu. Laras tidak ingin menikah dengan siapa pun tanpa perasaaan saling mencintai satu sama lain. Tapi dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada pria baik yang duduk di depannya ini. Laras baru menyampaikan jawabannya ketika Tuan Darmawan telah menghabiskan baksonya. “Tuan, bolehkah saya memberi jawabannya sekarang,” tanya Laras dengan hati-hati dan penuh perasaan. “O.. tentu.. tentu, Nak. Katakanlah aku akan mendengarkan apapun jawabanmu,” jawab pria ramah dan sabar itu. “Kamu tidak usah khawati ya” tuturnya. “Saya sangat berterima kasih sekali dengan kepedulian Tuan pada saya. Sungguh Ini adalah sebuah kehormatan buat saya, anda sudi menjadikan saya menantu. Saya yakin di dunia ini tidak akan pernah lagi, menemukan orang sebaik Anda Tuan” “Maaf Tuan, saya belum ingin menikah sekarang.” Tuan Darmawan manggut manggut sambil tersenyum bijak menatap Larasati. “Iya, Nak... Tidak apa-apa. Aku mengerti, Nak. Jangan khawatir ya. Aku terima jawabanmu,” katanya. “Saya masih ingin mengembangkan usaha bakso saya. Saya ingin kaya seperti Anda Tuan” “O bagus itu. Aku suka anak muda yang penuh semangat, pekerja keras tidak suka menggantungkan diri pada orang lain seperti kamu” “Itulah sebabnya Om selalu berdo’a, semoga kamu nanti akan jadi menantu Om atau dapat menantu seperti dirimu” jelasnya tidak menyerah berharap pada Laras tertawa renyah. Laras pun ikut terkekeh” Aah, Tuan bisa saja. Tetap ya, tidak mau menyerah” sahut Laras. “Ooo.. iya dong” jawab Tuan Darmawan. Kemudian keduanya tertawa bersama. Balik ke situasi sekarang, di mana Laras sedang sibuk menata mangkuk-mangkuk bakso di dapur perusahaan Darmawan. Kuah dan baksonya sedang dia panaskan tinggal menunggu mendidih saja. Laras tidak sendirian, dia dibantu para pelayan dapur di perusahaan ini, setiap kali memesan baksonya, semua digerakkan untuk membantu menyiapkan hidangan baksonya. Jadi Mbak Surti bisa tetap standby di warungnya sana. Begitulah pesan tuan Darmawan, sehingga Laras bisa dapat rezeki dobel hari ini. Jam sebelas lewat lima puluh menit, sekretaris Tuan Darmawan menelpon untuk mengantar hidangan ke ruang rapat. Sampai di ruang rapat para pelayan langsung mengantar bakso-baksonya pada masing pesrta rapat. Laras tak melihat tuan Darmawan duduk di kursi pimpinan seperti biasanya. Namun malah Ryan yang mendudukinya sekarang. Kepalanya sedikit menunduk serius menatap layar handphone. Dia belum menyadari kehadiran Laras membawa baki berisi bakso dan beserta bumbu pendukungnya. “Biar saya saja yang melayaninya Mbak,” pinta sekretaris Nia pada Laras. “ Baik Mbak, silahkan,” Ryan menoleh, raut mukanya agak terkejut melihat Laras sudah berdiri di dekat sekretaris Nia. Pikiran dia pun langsung nyambung pada tingkah aneh papanya pagi tadi. Dia bilang kalau kepala agak pusing, dan menyuruhnya untuk menggantikan rapat perusahaan hari ini. Ryan yakin ini pasti sudah direncanakan oleh papanya.“Kamu..? Tunggu.. tunggu.. mau kemana kamu,” tanyanya pada pada Laras. “Mbak, biar dia saja yang melayani saya. Dia penjual baksonya kan. Mbak silahkan menikmati baksonya,” perintah Ryan. “Baik Pak Ryan,” jawab mbak Nia dengan sopan. “Aku nggak pakai kecap, saos tomat sedikit dan sambal yang banyak,” kata Ryan dengan dingin. “Baik, sambelnya berapa sendok Pak?” tanya Laras tenang. “Sepuluh sendok,” jawab Ryan ketus. Semua orang yang ada di ruangan itu langsung menoleh pada Ryan. “Sepuluh sendok?” tanya Laras tidak yakin. “Iya, taruh saja,” jawab Ryan. “Pak Ryan nanti perutnya sakit lho. Jangan, Pak,” kata Bu Nia mengingatkan. “Wah.. Pak Ryan suka pedas rupanya,” celetuk Pak Feri manajer marketing. “Pak Ryan kan suka tantangan” sahut Bu Meli manajer keuangan. “Nggak apa-apa kok, saya sedang ingin makan yang pedas-pedas.” Dengan lahap Ryan langsung menyantap baksonya. DUAARR terasa seperti ada mercon yang meledak di mulutnya ketika menyeruput pertama kali kuahnya. Selanjutnya, tubuh Ryan bagai di bakar diatas bara api neraka. Keringat dingin mulai bercucuran di seluruh tubuhnya tanpa terkendali. Semua sedang asyik menikamati baksonya, hanya bu Nia dan Laras yang tampak khawatir melihat Ryan. “Nih, minumlah,” Laras menyodorkan botol air mineral pada Ryan. “Sudah jangan habiskan kuah itu, nanti perutmu akan sakit. Makan baksonya saja,” Ryan tak peduli, siapapun tidak bisa menghalangi niatnya untuk menghabiskan kuah bakso super pedasnya sampai tetes terakhir. Pokok dia harus membuat papanya menyesali perbuatannnya hari ini. Karena orang tuanya terus saja ngotot tidak henti-henti usahanya untuk terus mendektakan dirinya dengan Laras. Padahal jelas-jelas gadis itu telah menolaknya. Dari dulu papanya juga tahu kalau dirinya tidak akan mau menikah. Menurutnya untuk apa menikah membangun keluarga kalau pada akhirnya mereka juga akan meninggalkan kita. Ryan hanya mau bermain-main saja dengan para wanita-wanita di dunia ini. Tapi dari awal dia sudah memberitahunya, tidak akan pernah ada yang serius. Semua itu just for fun baginya, tidak ada yang lebih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD