5. MERASA BERSALAH

2051 Words
Tanpa sepengetahuan Laras atau sopir taksi, Ryan telah membuntuti mereka berdua. Tadi, sewaktu Laras baru keluar pintu, Ryan terbangun dan mengikutinya. Sengaja Ryan membiarkan gadis itu pergi, jika itu memang membuat dia merasa lebih baik dan merasa nyaman. Toh, lukanya juga tidak dalam dan berbahaya. Dari pada nanti kalau dipaksa justru akan membuatnya stres sehingga dia tidak cepat sembuh. Ryan ingin memastikan Laras sampai di rumah dengan selamat. Dan juga di rumahnya nanti dia bisa merawat atau mengurus dirinya sendiri, Ryan ingin memastikan itu. Ryan tahu dari Papanya, kalau gadis itu sekarang hidup sebatang kara di dunia ini. Laras turun dari taksi di depan rumahnya yang kecil, sederhana tapi terlihat nyaman. Rumah peninggalan Kakek dan Neneknya yang merawatnya sejak kecil setelah kedua orang tuanya meninggal dunia karena kecelakaan. Laras tinggal sendirian setelah Neneknya meninggal dua tahun lalu. Saat turun dari taksi kepalanya masih terasa sangat berat dan agak pusing. Hingga jalannya jadi terhuyung-huyung akan jatuh. Laras membungkuk akan mengambil kuncinya di bawah pot dekat pintu rumahnya. Namun saat bangun dia sampai harus berpegangan tembok karena merasa sangat lemas hingga mau jatuh. Dengan sigap Ryan langsung menangkap tubuhnya. Laras selamat dalam dekapan Ryan. “Kamu..!” Laras terbelalak kaget. “Lepaskan... “ katanya, segera berusaha berdiri. Ryan tak mengatakan apa pun. Dia mengambil kunci di tangan Laras lalu membuka pintunya. Kemudian tanpa permisi, menggendong Laras membawa masuk ke dalam rumah, “Eh, apa yang kamu lakukan ini. Dasar, tidak sopan santun kamu ya. Lepaskan... Lepaskan...” kata Laras meronta-meronta. Ryan tidak menuruti permintaan Laras. “Diamlah Nona,” perintah Ryan. Dia terus menggendongnya melewati ruang tamu menuju keruang tengah. Di situ dia menoleh ke kanan dan ke kiri kebingungan menentukan yang mana kamar Laras. “Aku bisa berjalan sendiri. Lepaskan!” “Diamlah Nona berisik! Atau tetanggamu akan dengar dan datang kemari. Kamu akan ketahuan membawa pria bukan muhrimmu ke dalam rumah ini,” jelas Ryan. Laras langsung terdiam tak meronta-meronta lagi. Dalam hati dia membenarkan perkataan pria tampan yang sedang menggendongnya ini. “Ini kan kamarmu?” tanya Ryan. Laras mengangguk dengan muka cemberut. Ryan membuka pintu kamar itu dengan mendekatkan tangan dan tubuh Laras pada gagang pintu. Lalu dia meletakkan tubuh Laras di ranjangnya yang sederhana tapi bersih rapi dan nyaman. Setelah itu berjalan menuju jendela, kemudian membukanya. “Diamlah di situ, jangan kemana-mana!” perintah Ryan sambil menunjuk ke arah Laras, lalu membalikkan badan keluar kamar. Laras tak menjawab. Dia hanya bisa pasrah saja sekarang, menuruti kemauan Ryan. Laras tahu, sebenarnya Ryan orang sangat baik dan suka menolong sesama. Mungkin hanya dirinya lah satu-satunya orang paling dia benci di dunia ini karena dijadikan kandidat mantu papanya. Dalam benak Ryan pasti sedang dihinggapi rasa bersalah karena telah membuatnya terluka seperti ini. Itulah kenapa dia jadi bersikap protektif pada dirinya seperti sekarang, pikir Laras. Dari kamarnya Laras sudah mencium aroma masakan yang menggoda dan membuat usus dalam perutnya jadi meronta-ronta minta di isi. Laras bisa menebak, pasti Ryan sekarang sedang memasak itu untuknya. Benar saja, setelah beberapa lama, Ryan datang membawa semangkuk mi instan ditambah telur dan sayur sawi hijau ke hadapannya. “Makanan sejuta umat datang... “ kata Ryan dengan ceria. “Mi instan rebus, pakai telur juga sayur. Cukup bergizi kan?” tanyanya sambil tersenyum meyakinkan Laras sembari menaik turunkan kedua alisnya. Ryan meletakkan nampan dengan semangkuk mi instan di tempat tidur di hadapan Laras, “Ayo, makanlah Nona. Ini adalah makanan paling cepat yang saat ini, bisa ku buat untuk kamu,” suruhnya menatap Laras sambil tersenyum berusaha dimanis –maniskan. Hingga membuat Laras merasa aneh. Rasanya sulit di percaya, Ryan sekarang malah sedang melayani dirinya. Untuk sesaat Laras hanya bisa terdiam memandang semangkuk mi instan yang menggoda itu. “Kenapa diam saja. Ayo cobalah kamu makan. Tenang saja. Itu tidak ku beri racun,” tegas Ryan tajam. Ketika melihat Laras ragu – ragu untuk menyantap mi instan buatannya. “Apa kamu tidak bisa makan sendiri? Perlu aku suapi, hah?” tanya Ryan. “Haa... Tidak... Tidak... Aku kan makan sendiri,” tolak Laras lalu segera mengambil sendoknya. Laras mulai menyendok mi itu, menyuapkan ke mulutnya. Dan Ryan pun menjadi lega memperhatikan itu. Tapi tiba-tiba saja perut Ryan berbunyi. Ryan langsung mendekap perutnya dengan sebelah tangannya sambil menatap Laras sambil tersenyum malu. Laras menaruh sendoknya dan mendorong semangkuk mi instannya kepada Ryan, “Makanlah. Perutmu lebih membutuhkannya sekarang. Kamu belum makan setelah makan bakso kemarin,” kata Laras ketus. “Hah... Dari mana kamu tahu?” tanya Ryan terkejut. Laras masih mengingatnya. “Tapi... Tidak.. Tidak. Di dapur masih ku sisakan satu porsi. Aku akan mengambilnya. Makan saja ini,” Ryan mendorong lagi mi itu mendekat ke Laras, lalu bangkit dan berjalan keluar kamar. Laras mengeleng –gelengkan kepalanya, “Dasar orang aneh.” Ryan masuk lagi ke kamar dengan membawa semangkuk mi juga. Lalu duduk di kursi dan menyantap mi instannya. “Setelah makan kamu pulanglah. Aku bisa mengurus diriku sendiri” kata Laras tanpa melihat ke arah Ryan. “Kamu tidak perlu mengatur diriku,” jawab Ryan ketus sembari menikmati minya.. “Apa? Tapi ini rumahku. Aku seorang perempuan. Kamu tidak bisa terus-terusan ada di sini,” jelas Laras. “Nggak usah khawatir, tidak akan ada yang mengetahui. Sopirku sudah aku suruh mengambil mobilku untuk di bawa pulang. Tadi juga aku parkir di tepi jalan raya sana. Jadi kamu akan aman, Nona. Nggak akan ada yang mengendus keberadaanku di sini,” jawab Ryan meyakinkan Laras. Baru saja Ryan menutup bibirnya. TOK.. TOK.. TOK.. bunyi pintu depan rumah Laras di ketuk. Keduanya pun saling berpandangan. “Laras.. Ras.. Laras.. Apa kamu ada di dalam? Kamu bisa buka pintu nggak? Katamu kamu lagi sakit. Aku ingin lihat keadaanmu. Kamu sakit apa Ras?” suara Mbak Surti di luar. “Aduh, Mbak Surti kok tiba-tiba kemari sih. Bukankah seharusnya dia ada di warung sana” kata Laras panik. “I.. iya Mbak. Aku tidak apa-apa kok. Sudah mendingan sekarang. Nggak usah khawatir, Mbak,” jawab Laras dengan mengeraskan suaranya supaya bisa di dengar Mbak Surti. “Harusnya pintunya tidak kamu kunci. Terus bagaimana ini, aku kan ingin tahu keadaanmu sekarang,” keluh Mbak Surti kecewa. “Baiklah Mbak, aku akan buka tapi sabar ya. Aku akan buka pintunya,” kata Laras. “Cepat kamu sembunyi sana,” katanya kemudian pada Ryan. Lalu turun dari ranjangnya. Tapi Ryan malah mengangkat dan mengantarkan Laras sampai dekat pintu. “E... Eh... Apa – apaan ini?” tanya Laras kaget. “Diamlah aku kan mengantarmu. Biar cepat,” Ryan memberi kode dengan menaruh jari telunjuk di mulutnya supaya diam. Setelah itu bergegas pergi ke belakang bersembunyi. Laras membuka pintunya. Mbak Surti sangat terkejut melihat kondisi Laras yang terlihat pucat dengan kepala di perban langsung memeluknya. “Oalah... Kamu kenapa to Cah Ayu. Bagaimana bisa begini?” tanyanya sedih. “Nggak apa-apa. Aku sudah mulai baikan, Mbak,” “Tapi kena apa kamu. Kenapa kepalamu sampai diperban begini?” selidik Mbak Surti. “Kemarin di kantor Tuan besar, kurang hati-hati Mbak lalu terpeleset saat bawa bakso” jawab Laras menutupi kejadian yang sebenarnya. “Oh begitu ya,” kata Mbak Surti turut prihatin. “Lain kali lebih hati - hati ya,” pesannya. “Iya mbak,” jawab Laras. “Ayo, ke kamar lagi sana. Ini aku bawakan makanan untukmu. Kamu sudah makan apa belum?” Wanita berwajah manis itu lalu menuntun Laras balik ke kamarnya. “Sudah mbak, makan mi instan tadi,” jawab Laras. Sampai di kamar, Mbak Surti curiga melihat ada dua bekas mangkuk mi instan di tempat berbeda. Satu di ranjang, satunya lagi di meja. “Laras... Ini mangkuk minya kok ada dua?” selidik Mbak Surti. “Oh itu to Mbak. Tadi aku kebanyakan masaknya. Karena sayang nanti nggak kemakan, aku makan lagi saja” jawab Laras sebisanya dan mencoba tidak gugup agar Mbak Surti tidak curiga. “Ooo... Begitu... ” jawab Mbak Surti manggut-manggut tapi terlihat kurang percaya. “Kalau begitu, aku ambilkan piring ya. Nanti siang kalau kamu makan nggak usah repot-repot ambil sendiri,” usul Mbak Surti. “Ja... ja.. jangan! Eh, maksudku nggak usah Mbak. Nanti aku bisa ambil sendiri,” cegah Laras. Khawatir Ryan saat ini sedang bersembunyi di dapur juga. “Ya sudah, Kalau begitu aku akan ke warung dulu,” pamit Mbak Surti. “Kenapa buru – buru Mbak? Belum juga duduk,” tanya Laras basa – basi. Karena yang sebenarnya dia ingin Mbak Surti cepat pergi dari rumahnya. “Tadi Mas Joko tak suruh jaga,” pamit Mbak Surti. “Oh ya... Yang jaga warung sekarang Mas Joko. Maaf ya Mbak, jadi merepotkan keluarga Mbak Surti” kata Laras merasa tidak enak hati. “Halah, kamu ini apa sih, Ras. Sudah nggak usah dipikir. Yang penting kamu sekarang cepat sembuh. Dan bisa jualan lagi,” tutur Mbak Surti bijak. “Sudah, aku pulang dulu. Kalau butuh apa-apa bilang saja aku ya,” pesan Mbak Surti. “Pasti Mbak. Mbak Surti jangan khawatir,” sahut Laras. Mbak Surti memeluk Laras lalu beranjak pergi. “Daa... “ kata seraya melambaikan tangannya. Akhirnya perasaan tegang Laras hilang sudah. Mbak Surti telah pergi. Sekarang nggak perlu khawatir, dia memergoki Ryan sedang ada di rumahnya. Dia memejamkan matanya sambil menghela nafas panjang. Namun alangkah terkejutnya dia, ketika tiba-tiba Ryan telah berdiri di hadapannya dengan bertelanjang d**a hanya mengenakan handuk yang dililitkan di pinggangnya. Berkacak pinggang menatap Laras. “Aaaa...” jerit Laras histeris menutup matanya dengan kedua tangannya, membuat Ryan panik tidak mengerti malah memegang kedua lengan gadis itu. Membuat Laras makin panik dan tegang gemetar ketakutan. “Ada apa? Kenapa kamu ketakutan begini. Ini aku bukan hantu,” tanya Ryan bingung. “Keluarlah. Menjauhlah dari ku. Pergilah sana, pakai bajumu. Memalukan sekali,” kata Laras sambil terus memejamkan matanya. Ryan tersenyum geli melihat tingkah gadis polos di depannya ini. Dia jadi faham, mengapa Laras bertingkah demikian. Sepertinya dia merasa risih melihat dirinya dalam keadaan setengah telanjang begini. Padahal, wanita lain, pasti langsung menerkamnya seperti singa, mengharapkan kehangatan darinya. Tapi Laras, sangat unik. Jangankan tertarik melihat tubuh seksinya yang digilai banyak wanita. Dia malah merasa risih dan malu. Benar-benar masih murni sekali hati dan pikirannya, pikir Ryan. “Hei, tenang... Tenang... Aku tak punya maksud apa-apa. Aku cuma mau tanya, apa kamu punya baju yang bisa ku pakai. Bajuku sudah kotor sekali. Aku baru mencucinya,” tanya Ryan Laras merasa lega. “Ooh itu... Ambilah di kamar itu. Di dalam lemari, ada baju alamarhum Kakekku dulu. Siapa tahu ada yang cocok,” jawab Laras tanpa melihat ke arah Ryan. Ryan keluar dari kamar. Tak berapa lama dia kembali lagi dengan mengenakan sebuah kemeja lengan pendek berwarna putih dan celana pendek selutut warna coklat tua. Baju itu semakin membuat Ryan terlihat macho dan seksi. Sangat pas dipakai di badannya. Maklum saja, perawakan badan Kakek Laras tinggi tapi kurus. Sedangkan Ryan badannya kekar, berotot dan tegap, sehingga kancing bajunya pun hanya sebagian di bawah yang biasa dikaitkan, bagain atas tak muat lagi. Alhasil tereksposlah d*d*nya yang bidang dan seksi itu. Namun sayang hal itu membuat Laras jadi agak risih dan aneh melihatnya. Gadis itu memang kuang menyukai sesuatu yang terkesan s*****l. “Gimana cukup keren kan?” Ryan berpose di depan Laras penuh percaya diri. “Hmm.. Lumayan” kata Laras datar. *** Ryan memberikan obat yang baru saja datang di antar ojek online pada Laras. Lalu menyuruhnya istirahat. Ryan mendapatkan resep obat dari rumah sakit tadi. Kemudian memesannya di apotik online. Malam harinya, Ryan yang tidur di kamar depan kamarnya Laras. Mendengar gadis itu sedang memanggil-mangil Neneknya, Ryan pun bangun dan Masuk ke kamarnya. “Nenek.. Dingin sekali Nek. Tolong peluklah aku Nek,” kata Laras dengan mata terpejam. Sementara, dia tampak menggigil kedinginan di dalam selimutnya. Ryan menyentuh keningya,” Astaga, panasnya tinggi sekali. Dia demam rupanya,” “Nek.. Kenapa tinggalin aku sendirian. Aku kangen Nenek. Ayo peluk aku nek. Dingin sekali rasanya,” ucap Laras tanpa sadar. Ryan melihat Laras meneteskan air mata. Hatinya seakan turut merasakan kesepian yang selama ini di sembunyikan di dalam hati gadis itu. Ryan langsung naik ke ranjang dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Dipeluknya Laras dengan erat seakan tidak akan dia lepas lagi. Mendongak dan melihat Ryan, “Nek, ini hangat sekali. Teruslah peluk aku seperti ini,” pinta Laras igauannya. “Tenanglah aku akan terus memeluk. Jangan khawatir, aku tidak akan meninggalkanmu,” jawab Ryan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD