Bab 22 Merak Yang Angkuh

1278 Words
Wataru hanya mengawasi mereka berdua seraya menikmati minumannya. Semenjak mereka masuk ke dalam hotel yang entah berapa lantai menjulang ke langit itu, ia tak banyak bicara. Pembawaan Lelaki itu sangat elegan dan berkelas. Dari balik kacamatanya ia mencuri-curi pandang Misaki yang tampak salah tingkah dengan perlakuan ramah dan bersahabat Reiko. "Jadi keluargamu tinggal di kota lain?" Reiko tersenyum. Bohong. Misaki bohong. Jika sampai mereka tahu kondisi keluarga mereka, bisa-bisa merembet ke masa lalu dan jati dirinya. Segalanya bisa terkuak, dan iblis di sampingnya itu akan semakin mempermainkannya seperti bola ping-pong tanpa ampun! "Ya. Aku tinggal sendirian di Tokyo." Misaki menatap isi piringnya, kedua tangannya menggenggam erat peralatan makan, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Misaki anak baik, ya, Wataru-kun? Bahkan rajin mengirimi kedua orang tuanya uang dari hasil jaga toko yang tak seberapa. Padahal hidup di kota besar itu, kan, sangat berat." Ujarnya sungguh-sungguh. Mata Reiko berkaca-kaca memandang calon adik iparnya, kedua tangannya menggenggam erat tangan kiri Misaki. "Aku suka berhemat, kok." Jawabnya singkat. "Tapi, Misaki~!" erangnya penuh rasa iba. "Memang kau aslinya berasal darimana, sih?" selidik Reiko. "Hmmmm. Itu. Aku dari Prefektur Osaka." Kebohongan Misaki sangat lancar seperti keran bocor. Penulis gitu, loh! Sebenarnya, ia tak suka berbohong, tapi apa boleh buat. Lagipula, mereka tak akan melakukan kontak apapun setelah tiga puluh hari. Dia juga akan mencari apartemen lain demi hidup damai selama sisa hidupnya. "Osaka?" bola mata Reiko membesar, tampak bersemangat seperti menemukan sesuatu yang menarik. "Coba kau bicara pake aksen Osaka!" "Apa?" "Hooo. Boleh juga. Coba kau bicara pake aksen itu." Imbuh Wataru yang akhirnya mulai tertarik. Tertarik untuk menjahili Misaki, tentunya. "Oh! Wataru-kun juga sudah angkat bicara! Kalau begitu baiknya bilang apa, ya?" "Coba kau bilang ini: Aku adalah tunangan palsu yang bodoh dan ceroboh. Mana bisa disandingkan dengan si pangeran tampan sedunia itu." Katanya datar. Lelaki itu menggoyang pelan minumannya, matanya sibuk memperhatikan efek dramatis isi gelasnya. "Wataru~!" Reiko memandangnya galak. "Cepat. Ini perintah dari majikanmu, dasar  b u d a k!" Matanya melirik sinis. Kuping Misaki panas mendengarnya, tapi melayaninya secepat mungkin adalah solusi terbaik. "Aku adalah tunangan palsu yang bodoh dan ceroboh. Mana bisa disandingkan dengan si pangeran tampan sedunia itu." Ulang Misaki dengan aksen Osaka, wajahnya merona malu. Untung saja editornya adalah orang Osaka, jadi ia kadang mendengarnya keceplosan saat membahas pekerjaan melalui telepon. Wataru diam tak bergerak. Lalu tubuhnya berguncang menahan diri, sejurus kemudian gelak tawanya pecah. "Dasar Sadako yakuza*!" ledeknya. "Wataru!" tegur Reiko. "Sudahlah. Tidak apa-apa." Misaki melahap makanannya pelan-pelan, kepala tertunduk. Jengkel, sih, tapi percuma membantahnya. Lebih baik begitu. Daripada dia ketahuan berbohong. "Kau terlalu lembek Misaki!" Ia hanya tersenyum mendengar keluhan itu. Mau gimana lagi? Dia itu  b u d a k  seharga lima ratus juta yen. Kuasa apa dia membantah lelaki licik itu? "Kalau begitu, kapan-kapan kita mengunjungi kedua orang tuamu, ya!" Reiko bersemangat. Sebelum Misaki mencoba menanggapi perkataan wanita bak ratu itu, Wataru menegurnya. "Jangan melakukan hal yang sia-sia. Kami hanya tunangan palsu semalam. Setelah itu statusnya murni hanya  b u d a k rendahan." "Bodo amat! Mau dia tunangan semalammu atau bukan, aku akan tetap mengunjungi kedua orang tua Misaki." Ia bersandar, lalu menyilangkan tangan. "Segala hal tentang Misaki tak selamanya harus berhubungan denganmu, kan? Lelaki itu terdiam. Kata-kata Reiko terlalu kuat untuk dibalasnya. Sementara itu, Misaki berkeringat dingin mendengarnya. Apa aku bisa lepas dari Reiko setelah kontrak itu berakhir? Pikirnya cepat. "Nah, Misaki! Kenapa masih saja memakai kacamatamu? Bukannya terakhir kali kau pakai lensa kontak?" Tanpa alasan yang jelas, mood Wataru jadi jelek. "Apa? Jangan suruh dia buka kacamata! Bukannya aku sudah bilang? Dia tanpa kacamata, jadinya jelek kuadrat, kan!" ia menyeringai licik pada Misaki yang kini memelototinya seperti kucing galak. "Kau dan mulutmu, ya, Wataru-kun!" sudut bibir Reiko berkedut. "Jangan buka kacamatamu. Awas kau! Bikin rusak pemandangan saja!" "Hey! Mana bisa kau mengatai Misaki seperti itu? Memang matamu buta, ya? Kau tidak memperhatikan riasan yang aku lakukan padanya malam itu?" "Huh! Memang penting aku harus lihat dia apa?" dengusnya cuek. "Wuah! Lihat! Ternyata kau belum tahu sosok Misaki dengan dandanan dan lensa kontak, ya? Pantas saja kau menyia-nyiakannya selama ini. Tenang saja, Misaki! Aku sudah mendapat beberapa profil pria yang hebat untukmu." Ia mengamati reaksi Wataru, tapi lelaki itu hanya menyisip minumannya dengan tenang. "Reiko-san..." Misaki cuma bisa ciut saat kedua orang itu bertengkar. "Wataru-kun. Kau tidak akan menyesal menyerahkan Misaki pada pria lain? Aku punya banyak foto Misaki malam itu, kau tak penasaran? Cantik banget, loh!" Sesaat lelaki berkacamata itu bergeming. Sama sekali tampak tak peduli. Tapi, tanpa dilihat siapa pun ia melirik Misaki sekilas. "Reiko-san. Hentikan saja. Aku tak secantik itu, kok." Sadako mini market itu panik. Bukan hal bagus jika Watar melihat fotonya. Pujian? Mustahil! Yang ada malah mungkin ia diledek sebagai wanita penuh kepalsuan dari ujung kaki sampai kepala. Cukup sudah sejauh ini ledekan yang diterimanya. Bisa-bisa ia bakal disindir sebagai perempuan genit kesepian yang mencari tumbal lelaki. Memikirkan hal itu, Misaki bergidik. Memang dia itu apa dihina terus olehnya? Mentang-mentang tajir melintir punya uang lima ratus juta yen yang diniatkan dibuang hanya untuk semalam! Dasar orang kaya! "Kau tak mau lihat?" Reiko menggoyangkan ponselnya di udara, mencoba memancing rasa penasaran lelaki dingin itu. "Mau dipoles bedak setebal tiga puluh senti pun, dia itu aslinya tetap jelek, tahu! Jadi percuma saja aku melihat dia dandan." Senyum bengis terpancar kuat dari wajah dinginnya, kacamatanya berkilau hingga membuat sosoknya semakin sombong dan tinggi. "Huh! Baiklah! Coba kita lihat. Apa kau bisa menahan matamu dari satu foto Misaki yang akan kutunjukkan padamu?" Reiko mengutak-atik ponselnya. [Kazuki calling….] Sebelah kening Reiko naik. "Aku angkat telepon dulu. Permisi!" Reiko berdiri dan berjalan menjauh dari meja. Kini hanya mereka berdua di sana. Wataru kembali diam. Musik lembut dan ringan mengisi celah kekosongan itu. Misaki memotong pelan dagingnya, takut jika sampai bunyinya membuat lelaki itu menyumpahinya dengan berbagai macam istilah yang bikin hati panas. Tatapan Wataru mengarah pada sekumpulan orang yang memainkan musik dengan penuh penghayatan. Sesekali ia menyisip minumannya sambil menutup mata. Pikirannya sulit ditebak. Sosoknya kini seperti merak angkuh berdarah biru dengan segala kuasa berada di tangannya. Hanya sekali jentik, apa yang ia inginkan akan terpenuhi dalam sekejap mata. Misaki tak berani mengganggunya sedikit pun. Terlalu berbahaya! "Bagaimana Kazuki? Apa kau bisa?" Reiko memunggungi meja mereka, menatap pemandangan malam Tokyo di bawah sana. Ia berdiri cukup jauh untuk menghindari telinga yang menguping. Kazuki memelas di telepon. "Hmmm… Apa kau sudah memberitahu sokongan apa saja yang akan kita berikan jika agensi mereka setuju bekerjasama?" "Gila juga mereka menolak sokongan Miyamoto Group. Atau mereka itu bodoh?" Wanita cantik itu mendengus. Reiko mendecakkan lidah, kesal mendengarnya. "Aku tahu Kurosawa Group itu lebih hebat dari Miyamoto Group, tapi sombong sekali sikap agensinya tak menerima tawaran kita. Apa mereka tak paham aturan bisnis?" Kazuki tertawa di ujung telepon. "Reiko. Itu cuma perasaanmu saja. Berhentilah bermain-main sebelum celaka." "Apa katamu? Siapa yang bakal celaka?" ia nyaris berteriak, tapi sebisa mungkin suaranya ditahan dan mengecil. "Boleh juga." Reiko berbalik, matanya menangkap siluet adiknya yang berdiri di depan Misaki. Sebelah keningnya naik. Mau apa dia? *** "Ayo!" kata Wataru dingin. Satu tangannya menjulur ke arah Misaki, sebelah kacamatanya berkilau tertimpa cahaya lampu dari langit-langit. "Untuk apa, Toshio-san?" Misaki memucat. Jantungnya berdegup kencang seperti mau meledak saja. Tatapannya penuh kecurigaan, takut jika ia akan jadi objek mainan dan dipermalukan di depan banyak orang. "Berdansalah denganku."  ----------- Note Yakuza : mafia atau gangster Jepang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD