Langit senja memerah seperti darah yang baru saja mengering. Jalanan kota terlihat biasa saja, tapi bagi Andre, setiap sudut jalan yang ia lalui sore itu adalah labirin kenangan yang menganga. Sudah enam tahun sejak malam itu—malam di mana segalanya berubah. Malam ketika dia kehilangan segalanya, malam ketika satu nama tertancap dalam-dalam di benaknya: Lina Ardhana.
Satu nama, satu wajah, satu luka.
Dan luka itu belum sembuh.
Mobil hitam berhenti di depan sebuah gedung perkantoran bergaya modern, tertulis jelas di fasadnya: Ardhana Group – Jakarta HQ. Andre tidak segera turun. Tangannya mengepal di kemudi, matanya menatap lurus, tajam. Pikirannya tidak di sini. Ia kembali ke malam hujan di prolog itu—jeritan, tangisan, dan dentuman peluru yang menjadi akhir dari satu kehidupan yang damai.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu turun. Jas hitamnya rapi, langkahnya tegap, dan setiap anak tangga yang ia injak menuju lobi gedung itu terasa seperti menghancurkan sedikit demi sedikit sisa masa lalunya. Tapi bukan itu yang ia inginkan. Ia tidak ingin melupakan. Ia ingin membalas.
Receptionist wanita yang menyambutnya tampak gugup melihat pria asing dengan aura dingin seperti itu.
“Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?”
“Meeting dengan Bu Lina Ardhana. Nama saya Andre Wijaya.”
Nada suaranya tenang, terlalu tenang hingga terasa mengancam.
Wanita itu mengecek jadwal dengan ragu, lalu mengangguk. “Silakan naik ke lantai 23. Bu Lina sudah menunggu.”
Sudah menunggu?
Tentu saja. Lina selalu tahu lebih banyak dari yang terlihat. Itulah yang membuatnya berbahaya—dan memikat.
**
Lina duduk di balik meja besar dengan pemandangan Jakarta dari balik kaca. Cahaya sore menyorot wajahnya, menambah kesan dingin sekaligus elegan. Tapi mata itu… mata itu sama seperti enam tahun lalu. Tajam. Mendeteksi. Menelanjangi.
Pintu diketuk.
“Masuk.”
Ketika Andre masuk, waktu seakan berhenti. Lina tidak berdiri. Ia hanya menatap pria yang kini berdiri di hadapannya—pria yang dulu ia hancurkan hidupnya. Atau, setidaknya, bagian paling berharganya.
“Andre,” ucap Lina pelan, nyaris seperti gumaman. “Akhirnya kau datang juga.”
Andre tak menjawab. Ia hanya melangkah perlahan, lalu duduk tanpa dipersilakan. Tatapannya menusuk. “Kau pikir aku takkan kembali?”
Lina tersenyum tipis. “Aku tahu kau akan kembali. Tapi aku tidak tahu… kau akan kembali secepat ini. Atau sekeras ini.”
“Enam tahun cukup bagiku untuk tumbuh… dan membenci.”
Suara Andre datar. Tidak ada ledakan emosi, tapi justru itulah yang membuatnya menakutkan.
Lina menautkan jemarinya di atas meja. “Kau di sini karena ingin menjatuhkanku?”
Andre mencondongkan tubuhnya sedikit. “Bukan cuma menjatuhkan. Aku ingin kau tahu rasanya ketika semua yang kau bangun—semua yang kau jaga—direnggut darimu. Seperti yang kau lakukan padaku.”
Lina diam. Pandangannya tak berubah. Tapi ada kilatan di matanya. Bukan ketakutan. Bukan penyesalan. Sesuatu yang lebih rumit.
“Kau salah paham, Andre. Apa yang terjadi enam tahun lalu bukan sesederhana yang kau pikirkan.”
“Sederhana? Ayahku mati di tanganku. Perusahaanku dirampas. Ibuku gila dan bunuh diri. Apa itu terlalu rumit untuk disebut ‘pengkhianatan’?”
“Dan kau pikir semua itu karena aku?” suara Lina mulai meninggi. Ini pertama kalinya emosinya terguncang.
“Bukti-buktinya mengarah padamu. Tanda tanganmu. Perintah eksekusi. Dana yang mengalir dari Ardhana Group. Kau dalangnya.”
Lina berdiri. “Kau terlalu pintar untuk mempercayai hal yang begitu mentah. Aku tak menandatangani apapun. Semua itu… manipulasi. Aku dijebak sama seperti ayahmu.”
Andre tertawa dingin. “Ah, jadi sekarang kau juga korban?”
“Bukan korban. Tapi aku juga kehilangan. Aku kehilangan diriku sendiri malam itu. Aku kehilangan kepercayaanku pada semua orang. Termasuk… padamu.”
Ucapan itu menggantung di udara.
Sunyi. Padat. Terlalu banyak hal yang belum dikatakan.
Andre berdiri. “Jangan bermain drama. Aku tidak datang ke sini untuk bernostalgia. Aku datang untuk membuatmu jatuh.”
Lina menatapnya lama. Lalu, dengan suara rendah tapi jelas, ia berkata, “Kalau begitu… silakan. Tapi bersiaplah. Aku tidak akan diam. Jika kau mau perang, aku akan menyambutmu.”
**
Malam itu, Andre berdiri di balkon apartemennya. Angin dingin menusuk, tapi pikirannya jauh lebih dingin. Pertemuan tadi tak memberinya kepuasan. Tapi ia mendapatkan satu hal: konfirmasi bahwa Lina masih menyimpan sesuatu.
Dia berbohong. Tapi bukan sepenuhnya. Ada sesuatu yang disembunyikan Lina. Dan Andre akan menggalinya. Akan dia telanjangi sampai habis.
Dia tak ingin hanya menghancurkan Lina. Dia ingin membuatnya mengemis. Ingin melihat matanya penuh ketakutan dan penyesalan. Sama seperti matanya sendiri, enam tahun lalu, saat darah ayahnya membanjiri tangannya.
Tapi kenapa…
Kenapa ketika dia menatap wajah Lina dari jarak begitu dekat, dia merasakan sesuatu yang aneh?
Bukan kelemahan. Bukan ragu. Tapi sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Kerinduan.
“Jangan bodoh,” gumam Andre pada dirinya sendiri.
“Dia musuhmu. Bukan... cintamu.”
Namun hatinya berdenyut tidak karuan.
Dan itulah awal dari segalanya.
Perang yang tak hanya melibatkan dendam…
Tapi juga hasrat yang mematikan.