Prolog–musuhnya, obsesinya

747 Words
Jakarta, lima belas tahun yang lalu. Langit malam tampak kelabu. Hujan turun deras, menghantam jendela rumah besar milik keluarga Mahesa di kawasan elit Menteng. Di dalamnya, suasana jauh dari tenang. Suara pecahan barang pecah belah, tangisan tertahan, dan amarah yang nyaris meledak mengisi setiap sudut ruangan. Di balik anak tangga, seorang anak laki-laki usia delapan tahun berdiri membeku. Andre Mahesa. Dengan piyama kusut dan mata yang memerah, ia menyaksikan punggung ayahnya menghilang perlahan ke balik pintu utama, membawa koper besar dan meninggalkan keheningan dingin yang mencekik. Ibunya terduduk di lantai ruang tamu, bahunya bergetar menahan isak. Gaun malamnya sobek, rambutnya berantakan, dan wajah cantiknya penuh luka batin yang tak bisa diobati siapa pun. Di sebelahnya, foto keluarga mereka tergeletak dalam bingkai pecah. "Ayahmu memilih dia," suara sang ibu lirih, parau, tapi cukup jelas bagi Andre untuk mendengarnya. "Perempuan itu… dan anaknya." Andre hanya bisa berdiri diam. Tapi di dalam dadanya, ada sesuatu yang retak. Anak itu… Lina Ardiani. Teman masa kecilnya. Gadis kecil dengan tawa cerah yang dulu sering bermain dengannya di taman belakang. Kini, namanya terdengar seperti racun. Tahun itu, dunia Andre hancur. Ayahnya pergi dan tak pernah kembali. Nama keluarganya jatuh dalam skandal. Ibunya sakit dan harus dirawat. Andre dikirim ke panti sementara hingga ia cukup umur untuk keluar dan bertahan sendiri. Ia tumbuh tanpa bimbingan, tapi dengan satu hal yang selalu ia jaga: Kebencian. --- Lima belas tahun kemudian – Jakarta sekarang. Langit malam masih terlihat sama mendungnya. Tapi pria di balik jendela gedung Mahesa Group kini bukan anak kecil yang ketakutan lagi. Dia berdiri tegap, jas hitam mahal membalut tubuhnya, wajahnya tegas dan tak tersenyum. Andre Mahesa. Usia 27 tahun. CEO termuda yang menguasai setengah pasar properti kota. Dingin, cerdas, tanpa belas kasihan. Banyak yang mengaguminya. Lebih banyak lagi yang takut padanya. Tapi hanya Andre yang tahu: semua itu ia bangun bukan untuk kebanggaan. Tapi untuk pembalasan. Tangannya membuka sebuah dokumen di layar laptop. Di sana tertulis satu nama yang membuat waktu seolah berhenti. > Lina Ardiani. Lina. Setelah semua tahun, akhirnya dia muncul kembali. Bukan lagi sebagai gadis kecil ceria, tapi sebagai pemimpin cabang perusahaan pesaing—perusahaan milik ayahnya, yang dulu menghancurkan hidup Andre. Dia kembali ke Jakarta. Berdiri di medan bisnis yang sama. Tanpa sadar bahwa Andre sudah menunggunya. Andre menatap foto profil Lina yang terlampir dalam dokumen. Wajahnya telah berubah. Lebih dewasa, tenang, dan cantik. Tapi ada sesuatu di balik sorot matanya—kehilangan. Luka yang dipoles ketegaran. “Aku akan balas semua yang kau ambil, Lina…” gumamnya pelan. “Tapi tidak dengan kemarahan. Aku akan buatmu jatuh. Perlahan. Tanpa kau sadari.” Tapi Andre tahu, dia harus hati-hati. Karena meski Lina adalah target, dia bukan perempuan lemah. --- Lina Ardiani – beberapa hari kemudian. Gedung Ardiani Corp berdiri kokoh di sisi barat kota. Lina berdiri di depan kaca ruangannya, memandangi langit yang baru saja diguyur hujan. Tangannya menggenggam folder presentasi merger yang akan ia bawa ke rapat esok hari. Di halaman pertama, tertulis jelas: Kemitraan Strategis – Mahesa Group. Nama itu membuat dadanya sesak. Andre Mahesa. Dia ingat nama itu. Anak lelaki pendiam yang dulu sering membantunya memanjat pohon. Anak dari pria yang pernah menjadi sahabat ayahnya. Lalu menjadi musuh. Karena keputusan-keputusan orang dewasa, hubungan mereka—kedua keluarga mereka—berakhir dengan kehancuran. Lina kehilangan ibunya karena tekanan media. Ayahnya dituduh korupsi, meski tak pernah terbukti. Nama keluarganya dicemarkan, dan mereka terpaksa pindah keluar negeri. Selama bertahun-tahun, Lina berjuang. Bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi untuk mengembalikan martabat keluarganya. Dan kini, dia kembali. Bukan untuk balas dendam. Tapi untuk membuktikan bahwa dia tidak hancur. Meski di balik itu semua, hatinya tahu—ada rasa takut. Bukan pada Andre. Tapi pada apa yang mungkin ia rasakan jika pria itu kembali hadir dalam hidupnya. “Semoga kau tidak berubah terlalu banyak, Andre…” bisik Lina lirih. “Dan semoga aku tidak… lemah seperti dulu.” --- Malam itu – Dua dunia yang berbeda. Dua hati yang sama gelisah. Andre duduk di ruang kerjanya, memandangi layar yang memunculkan jadwal rapat bersama Ardiani Corp. Di sisi lain kota, Lina menatap bintang samar dari balik jendela apartemennya. Mereka belum bertemu. Tapi waktu itu akan datang. Dan saat itu tiba… masa lalu akan bangkit. Luka akan terbuka kembali. Dan entah cinta atau dendam yang akan menang—tak ada yang tahu. Tapi satu hal pasti. Mereka bukan dua orang yang sama seperti dulu. Dan kali ini, mereka berdiri bukan sebagai teman masa kecil. Tapi sebagai musuh. Atau mungkin… sesuatu yang lebih rumit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD