Pagi-pagi sekali Luna bangun. Gadis itu melihat Gama masih nyenyak tertidur. Luna tahu kalau Gama kecapekan.
Minggu ini Luna ingin memanjakan Gama, dengan memasak sarapan, dan bangun lebih pagi. Luna mengecup lembut pipi Gama sebelum turun dari ranjang untuk cuci muka dan sikat gigi.
Gadis itu dengan riangnya memasak dua porsi nasi goreng yang kemarin diajarkan Gama padanya. Minggu ini ia ingin bersikap layaknya istri normal. Luna tidak ingin Gama yang selalu memasak untuknya. Kali ini ia ingin memasakkan nasi goreng untuk Gama.
Di dapur, Luna sudah menyiapkan bahan untuk membuat nasi goreng. Sosis, kornet, dan bahan lainnya. Setelah semuanya siap, tak lupa Luna berdoa untuk kelancaran membuat nasi goreng itu.
Alhasil, satu jam kemudian Luna berhasil membuat nasi goreng sendiri. Meski keadaan dapur sudah bisa dibilang kapal pecah. Sisa sayuran, bungkus sosis, kaleng kornet, serta banyak lagi sampah yang tercecer. Belum lagi lantai yang berminyak. Dapur sudah seperti peretelan kapal di film Titanic.
Senyum di bibir Luna terukir. Ia bangga pada hasil memasaknya. Nasi goreng yang warnanya sangat hitam karena kebanyakan kecap, serta rasanya yang keasinan karena Luna menambahkan garam terlalu banyak itu terasa sangat enak di lidah Luna. Ya, untuk ukuran baru belajar memasak seperti Luna, hasil seperti itu adalah sempurna.
Baru saja Luna hendak menyiapkan nasi goreng itu di atas meja, Gama yang sudah segar dengan pakaian kasualnya turun dari tangga.
Gama mengintip di dapur karena harum masakan Luna menerobos indra penciumannya. Ya meski sedikit tercium bau kecap gosong juga.
Gama langsung terperangah melihat keadaan dapur. Pria itu bahkan lupa berkedip beberapa saat karena kondisi mengenaskan itu. Ada apa dengan dapur mereka? Gama sempat mengira ada maling masuk ke dalam rumah.
"Lun, kotor banget dapurnya?" tanya Gama.
"Bentar lagi Luna beresin. Nih nasi goreng Luna udah mateng. Om Gama gantian yang siapin meja makan, ya? Luna beresin dapur dulu." Balas Luna dengan riangnya.
Gama mengangguk menurut, pria itu membawa dua piring nasi goreng berwarna hitam karena kecap itu ke meja makan. Tak lupa menyiapkan sendok dan garpu juga.
Luna yang masih di dapur Gama bantu membereskannya.
"Kenapa sampai berantakan gini?" tanya Gama lagi.
"Ya namanya juga bingung, Om. Luna takut masakan Luna gosong. Jadi nggak sempat beresin bungkusnya."
"Perasaan udah gosong, Lun." Gumam Gama pelan.
"Hah? Apa, Om? Om Gama ngomong apa? Luna ngga denger."
"Hah? E... enggak. Ya makanya kompornya dikecilin, Luna."
"Udah nggak kepikiran buat kecilin kompor. Tadi panik banget. Untung masakan Luna jadi."
Gama menggeleng. Percuma saja memberitahu Luna. Namun Gama berterima kasih karena Luna sedikit banyak sudah mau memasak sarapan mereka meski Gama tidak yakin dengan rasanya.
Usai membersihkan dapur, mereka sudah berada di hadapan nasi goreng hitam gosong itu. Gama menatap horor masakan Luna. Namun melihat Luna yang begitu antusias dengan mata berkaca-kaca, membuat Gama tidak tega sendiri. Bagaimanapun ia harus menghargai jerih payah Luna meski tidak meyakinkan.
"Om Gama yang coba pertama." Ujar Luna.
Gama mengangkat sendok dan garpu yang terletak di samping piring nasi goreng. Pria itu menelan ludahnya berat, ia mulai menyendokkan sesuap nasi goreng, diarahkannya nasi goreng itu ke mulutnya.
Saat nasi goreng hitam itu berada di dalam mulutnya, Gama terdiam. Pria itu mulai mengunyah. Rasanya tidak seburuk tampilannya, ya meski keasinan. Tapi masih bisa dimakan.
"Gimana, Om?" tanya Luna menunggu penilaian dari Gama.
"Enak, kok."
"Seriusan?!"
"Ya, masih bisa dimakan."
Senyum di bibir Luna terbit. Ya, senang sekali Gama mau memakan masakannya. Baru pertama kali Luna memasakkan makanan untuk Gama. Meski tampilannya tidak menarik, ia bersyukur Gama masih bisa memakannya.
"Besok-besok ajarin Luna masak lagi. Biar Luna bisa masakin Om Gama."
"Mau belajar masak apa emang?"
"Karena Om Gama udah mau ajarin Luna masak nasi goreng, dan kebetulan nasi goreng salah satu makanan kesukaan Luna. Jadi untuk selanjutnya, Om Gama ajarin Luna masak masakan kesukaan Om Gama."
"Mau?"
"Mau, dong. Kan Luna juga pengen masakin makanan kesukaan Om Gama."
"Yaudah kita masak pasta. Saya suka banget sama pasta."
"Susah nggak, Om?"
"Lumayan."
"Meskipun sudah, Luna bakal tetep belajar."
Ada sedikit rasa senang di hati Gama karena Luna mau berusaha untuknya. Istrinya memang masih terbilang sangat muda, namun gadis itu benar-benar bisa menghormati Gama layaknya seorang suami. Dia bisa dan mau berusaha untuk Gama dan dirinya sendiri. Dan Gama suka perempuan seperti itu. Tidak perlu hebat dalam segala hal, tapi mau berusaha.
“Cepet besar, Lun.” Ujar Gama.
“Luna udah besar, Om.”
“Coba kamu panggil saya dengan sebutan mas? Bisa? Om terlalu tua untuk saya. Kita hanya beda sebelas tahun.”
“Mas Gama? Ih!!! Luna nggak kebiasaan tahu, Om.”
“Ya belajar, Lun. Kita suami istri, dan setahu saya, nggak ada istri yang panggil om ke suaminya sendiri. Kecuali kalau kamu keponakan saya.”
“Iya, Luna belajar. Tapi nggak sekarang. Kalo sekarang Luna suka panggil Om.”
“Terserah kamu. Yang jelas, seumur hidup saya nggak mau kamu panggil om terus.”
“Iyaaa... iyaaa.”
***
Usai sarapan, Gama duduk bersandar di kursi kolam renang belakang rumahnya. Ia yang sudah mandi memang malas sekali untuk berenang. Jadi, ia putuskan untuk menemani Luna saja.
Sedangkan Luna izin untuk berganti bikini. Sudah lima belas menit namun gadis itu belum juga turun. Gama membaca majalah, hari minggunya kali ini benar-benar sangat santai. Biasanya di hari minggu, ia masih bergelut dengan laptop di ruang kerja rumahnya. Tapi sekarang Gama ingin merilekskan dirinya sendiri. Betul kata Luna, ia harus kerja sewajarnya.
Asik membolak-balikan majalah, Luna datang seraya membuka handuk kimononya. Awalnya Gama cuek saja, tapi setelah melihat tubuh Luna yang hanya ditutupi dengan bikini itu, mata Gama susah beralih. Bahkan untuk berkedip saja rasanya sangat susah.
Gama memperhatikan Luna dari atas sampai bawah, begitu seterusnya. Apa benar tubuh Luna adalah tubuh yang dimiliki seorang gadis? Dalam pikiran Gama, Luna sudah siap melayaninya. Luna, gadis itu, siap merintih di bawah tubuhnya.
Gama mengumpat dalam hati. Sialan sekali, kenapa bisa otaknya berpikir seperti itu.
Belum selesai dengan isi pikirannya, Gama dibuat terkejut saat Luna duduk di tepi kursi kolam renangnya seraya membawa sunscreen.
“Om Gama bantuin olesin sunscreen di punggung Luna.” Ujar Luna tanpa beban.
Gama sudah gugup, pria itu sedikit menegakkan punggungnya yang sedang bersantai. Ia mengambil botol sunscreen yang Luna bawa, ia membuka tutup botolnya, kemudian menuangkan sedikit demi sedikit krim sunscreen itu pada punggung Luna, kemudian meratakannya dengan telapak tangan.
Kulit Luna halus, batinnya.
“Lun.” Panggil Gama dengan suara serak.
“Ya?”
Gama menghembuskan napas beratnya. “Nggak apa-apa. Nggak jadi.”
“Kenapa? Om Gama kok setengah-setengah ngomongnya?”
Gama menggeleng seraya tersenyum.
“Oh ya, Om Gama nggak renang?” tanya Luna.
“Enggak, saya habis mandi, Lun.”
“Om Gama nggak asik. Yaudah Luna renang dulu.”
Luna berdiri, ia berjalan ke arah kolam. Gadis itu pemanasan sebentar, sebelum menceburkan dirinya ke dalam kolam.
Sejak Luna membuka handuk kimono dan memamerkan tubuh moleknya, mata Gama tidak berhenti memperhatikan gerak-gerik Luna. Bahkan saat Luna berenang, mata pria itu tak luput dari Luna. Majalah yang dipegangnya sudah tidak lagi menarik.
Sepuluh menit Gama bisa menahan semuanya, sampai otak Gama sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Pria itu menatap adiknya yang menegang tanpa disuruh.
“Sialan!” umpat Gama.
Pria itu membuka kausnya, ia yang memakai celana pendek selutut tanpa babibu berjalan cepat untuk menuju kolam. Gama menceburkan dirinya, menarik lengan Luna yang hendak kembali berenang.
Luna terkesiap, belum sempat Luna bertanya ada apa, Gama sudah menarik tengkuknya, mencium bibir Luna kasar.
Mata Luna membulat sempurna. Sejak kapan Gama membuka kausnya dan menampilkan d**a bidangnya itu? Dan sejak kapan Gama menceburkan dirinya ke kolam? Belum lagi, kenapa tiba-tiba Gama mencium Luna? Karena kali ini, Luna merasakan ciuman Gama berbeda dari biasanya. Ciuman kali ini sangat menuntut, dan Gama tidak ada tanda untuk memberi Luna napas barang sedetik.
Gama membawa tubuh Luna menepi ke kolam tanpa melepas pautan bibir mereka. Lebih tepatnya Gama yang masih memaksa mencium Luna meski Luna sudah berontak dan mendorong d**a Gama.
Saat punggung Luna menabrak tepi dinding kolam, Gama melepas ciumannya. Pria itu mengangkat Luna untuk naik ke tepi, setelah itu disusul dirinya.
Tak memberi Luna jeda, Gama mendorong pelan tubuh Luna hingga terbaring. Pria itu sudah berkabut, adiknya minta dimanjakan di bawah sana. Sedangkan Luna? Ia sudah pucat dan takut dengan perlakuan Gama yang baru pertama kali ia lihat. Gama seperti mau memakan dirinya bulat-bulat. Ada rasa takut meski Luna masih tidak paham kenapa Gama bersikap seperti sekarang.
“Om, Om Gama mau ngapain?” tanya Luna saat Gama melepas bra bikini yang Luna kenakan. Refleks, Luna menutup dadanya.
Gama melebarkan kedua kaki Luna, ia berada di antaranya setelahnya. Gama menekan miliknya yang sudah keras di pusat tubuh Luna. Dan Luna terkejut bukan main saat Gama melakukan hal itu.
Luna hendak memundurkan tubuhnya, namun Gama menahan pinggang Luna dan semakin menekan miliknya yang masih berada di dalam celana pendeknya.
“Om Gama nggak sopan.” Ujar Luna hendak menangis.
“Lun.” Ujar Gama serak.
“Luna mau pake baju. Lepasin Luna.”
Gama menindih Luna, mencium pipi Luna lembut. “Lun,” panggil Gama lagi. Sangat lembut.
“Om Gama nggak sopan sama Luna.”
“Bisakah saya menagih hak saya sekarang?” tanya Gama.
“Hak apa, Om?”
“Hak atas kamu. Bisakah?”
“Luna nggak ngerti. Luna risih Om Gama gini. Lepasin Luna.”
“Apa kamu beneran nggak tahu kewajiban seorang istri adalah melayani suaminya?”
“Luna belum siap, Om. Luna takut.” Ujar Luna akhirnya meneteskan air matanya.
Bukannya tidak tahu, Luna tahu suami istri tidak hanya tinggal bersama, tapi melakukan hubungan intim yang selalu menjadi ketakutan Luna. Ya, Luna takut. Semuanya terasa asing, bersentuhan secara intim sangat asing. Saat Gama menekan miliknya pada Luna, meski masih tertutup kain, tetap saja terasa aneh dan menakutkan.
“Berapa lama lagi?” tanya Gama putus asa. “Berapa lama lagi saya harus nunggu hak saya? Saya, hampir gila menahan semuanya, Lun.”
- To be continue -