10 - Weird

1293 Words
Gama ke kamar mandi, pria itu memuaskan dirinya sendiri dengan cara m********i untuk menuntaskan hal yang tidak ia dapatkan dari istrinya. Lagi-lagi Gama harus mengalah. Ia yang memuaskan dirinya sendiri dengan membayangkan wajah Luna dan tubuhnya. Berkali-kali Gama mengumpat, berkali-kali ia berusaha untuk tidak berlaku gegabah. Tapi, dilain sisi ia tidak bisa sabar lebih lama. Mereka tinggal bersama, tidur satu ranjang, dan betapa susahnya bagi pria normal menahan hal itu. Usai pelepasan, Gama mengatur napasnya. Ia tersenyum getir. Apa bedanya ia punya istri dan melajang? Sepertinya tidak ada bedanya. Istrinya yang masih muda belum bisa melakukan tugasnya dengan benar. Gama keluar dari kamar mandi, saat ia hendak mengganti pakaiannya, ia melihat Luna yang sudah berpakaian seraya mengemasi bajunya ke dalam koper. Tentu Gama terkejut melihat itu, ia menghampiri Luna, mencekal tangan Luna untuk berhenti berkemas. Namun Luna malah menepis tangannya, gadis itu menangis dan melanjutkan kegiatannya untuk mengemas baranya ke dalam koper. “Lun, mau apa kamu kemasin baju kamu kayak gini?” tanya Gama. “Mau pulang. Luna nggak mau di sini lagi. Luna mau pulang.” Balas Luna tak berhenti menangis. “Lun! Jangan kayak anak kecil.” “Luna takut sama Om Gama! Om Gama udah berubah, Om Gama nggak sopan sama Luna.” Gama memejamkan kedua matanya rapat. Ia menjambak rambutnya frustasi. “Oke! Saya minta maaf masalah tadi, tapi kamu nggak perlu pulang ke rumah kamu juga, Lun! Saya Ini masih suami kamu. Sadar nggak?! Dengan cara ini kamu nggak menghormati saya!” “Ngapain Luna menghormati Om Gama kalau Om Gama sendiri nggak menghormati Luna? Sekarang Luna tanya, apa tadi Om Gama menghormati Luna? Enggak, kan, Om?! Om Gama rendahin Luna!” “Bukan itu maksud saya, Lun. Bukan itu.” “Terus apa? Om Gama... Om Gama ...,” Luna tidak bisa meneruskan ucapannya. Gadis itu menutup wajahnya dan menangis semakin keras. Membayangkan Gama berada di antara tubuhnya, bahkan menekan miliknya yang mengeras itu pada pusat tubuh Luna membuat harga diri Luna ternodai. “Saya masih suami kamu, Lun. Dan kejadian tadi itu bener-bener di luar kendali saya. Saya keluar dari pikiran saya, saya tergoda sama kamu, istri saya sendiri. Saya pria normal. Apa salah kalau saya ingin kamu? Ingin istri saya sendiri? Terlebih hal itu adalah hak saya sebagai suami kamu.” “Luna belum siap. Luna udah bilang kalau Luna belum siap. Luna takut, Om. Luna takut.” Gama tersenyum meremehkan. Lama-lama ia muak dengan keadaan mereka. “Apa gunanya saya nikah? Saya nikah sama enggak juga nggak ada bedanya.” “Maksud Om Gama ngomong gitu apa?” “Bener, kan? Apa gunanya saya nikah? Nggak ada bedanya sama sebelum nikah. Malahan setelah nikah, saya seperti punya keponakan baru, harus ngurus dia.” Luna semakin deras menangis. “Om Gama nyakitin hati Luna.” “Kamu juga nyakitin saya, Lun. Kamu menatap saya seolah saya ini pria hina yang sudah buat kamu kotor!” “Om Gama berubah.” “Berubah kamu bilang? Lama-lama saya muak! Kamu tahu? Saya muak! Saya muak harus menahan napsu saya yang itu adalah normal selama ini. Saya muak tunggu kamu siap melayani saya, dan saya muak kamu kayak anak kecil setiap kita bertengkar dan ada masalah.” Bentak Gama tersulut emosi. Ia tidak bisa lagi bersabar. “Yaudah! Kalo Om Gama udah nggak bisa sabar ngadepin Luna, Luna pulang aja!” “Saya mungkin bisa perkosa kamu tadi, saya bisa paksa kamu melayani saya, tapi saya masih bisa menahan dan menghormati kamu. Kalau kamu nggak bisa lihat usaha saya tadi menahan diri, terserah kamu. Kalau kamu mau pulang, saya nggak akan tahan kamu. Kamu mau aduin saya? Aduin aja. Toh saya sudah gagal sebagai seorang suami. Karena saya nggak dianggap sama istri sendiri.” Gama keluar dari kamar, meninggalkan Luna yang semakin keras menangis. Gadis itu kembali mengemasi bajunya. Keputusan Luna sudah bulat. Ia ingin pulang ke rumahnya. Ia ingin menghindari Gama. Luna takut pada suaminya itu setelah kejadian di kolam renang. Namun saat Luna hendak keluar dari kamar mereka seraya menyeret kopernya, Luna mendengar Gama mengamuk di kamar sebelah. Luna bahkan mendengar Gama membanting barang. Untuk pertama kalinya Luna melihat Gama semarah itu. Apa ia keterlaluan lagi kepada Gama? Apa Luna kembali melakukan kesalahan? Tapi, Gama juga salah terhadapnya. Setelah meyakinkan diri sendiri, akhirnya Luna pergi dari rumah. Ia mencari taksi untuk mengantarnya pulang ke rumahnya. *** Puas mengamuk, Gama terduduk. Barang di dalam kamar sebelah kamar utama sudah berantakan. Kaca rias juga sudah hancur tak berbentuk karena Gama tonjok. Pria itu seperti muak, lelah, semua jadi satu. Kenapa Luna tidak mengerti akan kondisinya? Kenapa Luna tidak bisa paham usaha yang ia lakukan? Luna egois. Sangat egois. “Menikah saja sudah membuat pusing, lagi menikahi bocah ingusan itu. Papa, dan semua orang memang egois.” Ujar Gama. “Siapa peduli? Yang jelas aku sudah menahan gadis itu. Kalau dia tetap pergi, itu bukan urusanku lagi.” Gama mengusap wajahnya. Dan bau anyir tercium. Darah segar mengalir deras dari tangannya. Lagi, Gama tertawa keras meledek dirinya sendiri. Bodoh sekali dirinya melukai diri sendiri hanya karena masalah ini. Luna, semua karena gadis itu. *** Luna yang memencet bel pintu rumahnya tampak panik. Ia takut diomeli kakeknya, takut diomeli mamanya yang sedikit cerewet karena pergi dari rumah Gama. Luna benar-benar takut. Beberapa saat kemudian, salah satu asisten rumah tangga Luna membukakan pintu untuknya. Asisten rumah tangganya tampak terkejut melihat Luna pulang seraya membawa koper besar. Ia menyuruh Luna masuk dan membawa kopernya. “Mama, papa, sama kakek mana, Mbak?” “Tuan besar sedang memancing. Kalau tuan masih di kantor, nyonya ada di dapur, Non. Buat kue.” “Yaudah, bantuin Luna bawa koper ke kamar Luna ya, Mbak. Luna mau istirahat.” “Baik, Non.” Luna dibantu asisten rumah tangga itu membawa koper ke kamarnya. Saat sampai di dalam kamar, Luna tersenyum tipis, ia rindu sekali suasana kamar lamanya. Kamar serba pink dan putih yang dulu menjadi tempatnya tinggal sebelum menikah dengan Gama. Luna merebahkan tubuhnya di atas ranjang saat asisten rumahnya keluar. Ditatapnya langit-langit kamarnya yang terdapat hiasan bintang. Bukannya tenang setelah pulang ke rumah, hati Luna semakin gundah dan tidak tenang. Ia juga sempat memikirkan Gama yang mengamuk. Apa Om Gama baik-baik aja? Batinnya. Namun saat Luna merasa iba, ia jadi ingat perlakuan Gama yang tidak sopan padanya saat di kolam renang. Luna menggigit bibir bawahnya, jantung gadis itu berdetak di atas normal setiap mengingat kejadian itu. Bahkan saat ini, Luna masih bisa membayangkan milik Gama yang tadi menekan miliknya. Jika seperti itu saja terasa aneh dan sakit, bagaimana jika nanti Gama benar-benar membenamkan miliknya ke dalam Luna. Gadis itu merinding seketika. “Sampai kapan pun Luna nggak siap. Luna takut.” Ujarnya. Baru saja ia memejamkan kedua matanya untuk istirahat, namun, pintu kamarnya terbuka tanpa ada suara permisi atau ketukan pintu. Saat melirik ke arah pintu, Luna melihat mamanya dengan wajah panik. Wanita itu menghampiri putrinya yang masih membaringkan tubuhnya. “Luna, kenapa kamu pulang? Kenapa harus bawa koper besar? Gama ke mana? Apa dia ada kerjaan di luar negeri sampai kamu pulang ke rumah bawa koper besar begini?” cerca mama Luna tanpa jeda. Sampai Luna bingung mau menjawab pertanyaan mana dulu. “Luna cuma mau tenangin diri, Ma. Luna bertengkar sama Om Gama. Jadi Luna mau nginep untuk sementara waktu di sini.” “Astaga, kalian bertengkar? Terus kamu tanpa mikir dua kali malah pulang dan tinggalin suami kamu di rumah?” “Luna marah sama Om Gama.” “Emangnya kalian bertengkar masalah apa sih? Kenapa sampai kabur gini? Nggak baik, Lun. Kamu ini bukan anak baru pubertas lagi, kamu itu seorang istri.” “Luna bakal cerita ke Mama nanti. Tapi sekarang biarin Luna istirahat, ya, Ma. Luna capek. Luna mohon Mama ngertiin Luna kali ini aja.” Mama Luna memaklumi. Di usia anak gadisnya yang terbilang muda harusnya masih asik berpacaran, atau menjalin kasih, namun, Luna sudah menjadi seorang istri, ditambah suaminya adalah pria dewasa. Pasti sulit untuk mencocokkan kepribadian satu sama lain. “Oke, mama akan biarin kamu istirahat. Tapi, kamu punya hutang penjelasan ke mama. Nanti mama balik lagi buat tanya.” “Iya, Luna jelasin nanti. Sekarang Luna mau istirahat dulu, Ma.” Mama Luna mengangguk. Wanita itu pergi dari kamar Luna. Meninggalkan putri semata wayangnya istirahat, sebelum nanti ditagih penjelasan. - Ti be continue -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD