Seperti yang sudah dijanjikan kepada mamanya. Luna akhirnya menjelaskan semuanya setelah ia bangun dari tidur singkatnya. Pukul tujuh malam, mamanya kembali memasuki kamarnya seraya membawa setoples nastar dan segelas teh jahe.
Sebelum memulai pembicaraan, mereka berdua basa-basi terlebih dahulu. Seperti Luna menanyai resep nastar yang bahkan Luna tidak ada niatan untuk membuatnya. Luna hanya bingung mau memulai bercerita dari mana.
Sampai akhirnya mama Luna yang bertanya terlebih dahulu perihal masalahnya.
“Jadi Luna sama Gama kenapa?” tanya mamanya.
“Tapi Luna malu mau cerita sama Mama.”
“Kenapa? Luna sama Gama kenapa? Cerita aja sama mama. Siapa tahu mama bisa bantu Luna. Mungkin mama bisa kasih solusi juga.”
Luna menelan kunyahan nastar. Gadis itu menyamankan posisi duduknya. “Sebelumnya Luna mau tanya.”
“Luna mau tanya apa, sayang?”
“Kenapa suami istri wajib melakukan itu, Ma?” tanya Luna.
“Itu apa?”
“Itu, Ma. Hubungan suami istri.”
Mama Luna mengernyit. “Aneh pertanyaan kamu. Itu hal normal. Menikah bukannya untuk memiliki keturunan juga, kan? Terlebih, melakukan hubungan suami istri itu normal banget. Nafsu manusia itu normal, Lun. Memuaskan diri satu sama lain.”
Luna meminum teh jahenya. Gadis itu mulai gusar setelah mendengar ucapan mamanya. Normal kah? Jadi sekarang Luna yang salah karena menganggap hal itu adalah hal yang sensitif?
“Tapi Luna belum siap, Ma. Luna belum bisa puasin Om Gama.”
Mama Luna mengernyit semakin bingung. “Sebentar, jadi selama ini kalian belum berhubungan suami istri?”
Lemas, Luna menggeleng. Gama dan Luna memang seranjang, tapi tidak pernah melakukan hubungan suami istri layaknya pasangan normal. Meski Luna sering memeluk Gama, mencium, namun mereka belum melakukannya karena Luna belum siap. Luna takut.
“Astaga! Gama menahan dirinya selama ini?” tanya Mama Luna kembali memastikan.
“Kan sudah menjadi perjanjian keluarga kita sama keluarga Om Gama kalau Luna masih remaja dan Om Gama nggak boleh sentuh Luna dulu, Ma.”
“Itu beberapa tahun lalu saat usia kamu sembilan belas tahun, Lun. Mama tanya sekarang kamu umur berapa?”
“Jalan dua puluh satu.”
“Itu tandanya kamu sudah dewasa dan bisa melayani Gama, memberikan haknya. Kamu istri Gama, Lun.”
Ada perasaan geli dan tidak enak di hati Luna. Gadis itu tidak bisa membayangkan melihat tubuh telanjang Gama, ia juga tidak bisa membayangkan jika nantinya Gama melihat tubuh bulatnya. Luna takut.
“Luna masih takut, Ma. Lagian Luna juga masih kuliah.”
“Apa hubungannya? Toh kamu kuliah pake biaya sendiri, dan Gama juga yang tanggung semuanya. Kampus kamu nggak ada aturan dilarang menikah untuk mahasiswa jalur mandiri. Dia itu suami yang bertanggung jawab, dia memenuhi tugasnya sebagai seorang suami. Dan kamu? Kamu malah pergi dari rumah Gama karena suami kamu mau menagih haknya?”
“Katanya, ngelakuin hubungan suami istri itu sakit, Ma.”
“Kata siapa?”
“Temen Luna.”
“Bohong temen kamu.”
Luna terkejut, ia menatap kedua mata mamanya. Mengira bahwa mamanya bohong, namun mamanya tampak serius.
“Jadi Luna salah?”
“Kamu salah karena pergi dari rumah Gama, Lun. Sekarang kamu pulang, minta jemput Gama. Mama nggak mau sampe kakek tahu masalah ini. Nanti mama lagi yang dimarahin. Jam sepuluh malam kakek pulang, dan sebelum itu, mama mau kamu pulang.”
“Jadi mama ngusir Luna? Luna nggak boleh nginep sini sehari?” tanya Luna sedih.
“Mama nggak izinin. Mama akan telepon Gama, kamu pulang sebentar lagi. Ini sudah jam delapan malam. Lebih cepat lebih baik.”
“Mama, tapi Om Gama marah sama Luna.”
“Mama nggak mau tahu.”
Mama Luna keluar dari kamar gadisnya itu. Mama Luna langsung menelepon menantunya Gama saat ia sudah berada di dalam kamar. Tak lama, Gama cepat menerima telepon darinya.
“Halo, Gama.”
“Iya, Ma?”
“Kamu jemput Luna, ya? Bisa?”
“Gama mau, Ma. Tapi apa Luna mau? Kami sempat bertengkar tadi. Maaf sebelumnya, Gama sudah menahan Luna, tapi Luna bersikeras untuk pulang.”
“Mama sudah dengar semuanya. Harusnya mama yang minta maaf. Luna menyusahkan kamu.”
“Harusnya Gama bisa tahan diri. Luna pasti terkejut.”
“Tidak, Gama. Itu sudah hak kamu. Kamu sudah menjaga Luna dengan baik. Tapi memang anak itu tidak tahu apa-apa masalah seperti ini. Dia juga tidak pernah kenal dekat dengan laki-laki mana pun kecuali sahabatnya Tara itu. Jadi mama berharap kamu bisa maklum dengan Luna, ya?”
“Iya, Ma. Jadi Gama jemput kapan, Ma?”
“Sekarang juga. Sebelum kakek datang dari memancing. Biasanya jam sepuluh sampai rumah. Biar mama nggak diomelin juga.”
“Iya, Ma. Gama berangkat sekarang.”
***
Sesampainya Gama di rumah Luna, pria itu tampak ragu. Maukah Luna pulang bersamanya setelah ia lancang terang-terangan ingin Luna?
Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Gama turun dari mobilnya. Pria itu menekan bel saat sampai di depan pintu, dan kebetulan sekali mama mertuanya yang membukakan dirinya pintu. Mama Luna langsung menyuruh Gama untuk ke kamar Luna di lantai dua.
Gama menaiki satu per satu anak tangga menuju kamar Luna. Setelah itu, ia mengetuk pelan pintu kayu berwarna putih itu.
“Lun, ini saya.” Ujar Gama pelan.
“Masuk aja, Om. Nggak dikunci.” Balas Gama dari dalam.
Gama masuk ke dalam kamar, pria itu melihat Luna duduk di tepi ranjang seraya menautkan tangan satu sama lain tampak gusar.
Gama duduk di samping Luna. Keduanya dilanda rasa canggung satu sama lain. Terdiam beberapa saat. Sampai Gama bersuara lebih dulu. “Mama telepon. Suruh jemput kamu.”
“Iya, Mama suruh Luna pulang.”
“Terus?”
“Ya, Luna pulang.”
Gama melirik Luna yang menunduk dalam. Gama sadar Luna takut kepadanya. Dan itu memang salahnya. “Kalau kamu masih mau tetep di sini, gapapa. Biar saya pulang dulu. Kalau kamu mau pulang ke rumah, tinggal telepon saya aja.”
“Kasihan mama, nanti dimarahin sama kakek kalo tahu.”
“Biar saya bilang. Gak papa, kamu tinggal di sini aja kalo belum mau pulang.”
Gama berdiri, pria itu hendak pergi meninggalkan kamar Luna. Namun Luna menahan lengan Gama. “Luna mau pulang.”
Tanpa bersuara, Gama mengangguk. Pria itu membawa koper Luna.
Mereka berdua turun dari kamar. Tampak Mama Luna yang bernapas lega saat melihat kedua anaknya turun dari tangga. Itu tandanya Luna mau diajak pulang.
“Ma, Luna sama Om Gama pulang dulu.” Ujar Luna mencium tangan mamanya.
“Kami pulang dulu, Ma. Maaf Gama merepotkan mama.” Ujar Gama menyusul mencium tangan mertuanya.
“Kalian ini sudah lebih dari setahun menikah, kenapa harus sih bertengkar masalah sepele? Luna juga, kamu buang sikap kekanak-kanakan kamu. Sekarang kamu bukan lagi seorang anak remaja, kamu itu sudah menjadi seorang istri.”
“Maaf, Ma.”
“Yaudah hati-hati kalian pulangnya.”
***
Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan. Gama yang fokus menyetir, sedangkan Luna yang bingung dan canggung. Sesekali ia melirik ke arah suaminya. Tangan Gama terluka, Luna semakin merasa bersalah.
Luna membuka kaca jendela mobil, menghirup udara segar dari luar. Baru saja beberapa detik, Gama sudah memperingati. “Tutup kaca jendelanya, Lun. Nanti kamu masuk angin dan sakit.”
“I... iya, Om.”
Setelah kaca jendela ditutup, Luna kembali diam memperhatikan jalanan di depan matanya. Cukup canggung.
Ia bingung, Luna merasa dirinya tidak salah karena Gama sudah tidak sopan akan dirinya, tapi di lain sisi, Gama adalah suaminya dan sudah kewajiban Luna sebagai istri untuk mau menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Gama. Mengingat Gama berhak akan itu.
“Soal tadi pagi, Luna ...,” belum selesai Luna bersuara, Gama sudah memotongnya.
“Jangan dibahas, Lun. Nanti kita bertengkar lagi. Saya minta maaf karena tadi pagi sudah lancang dan nggak sopan ke kamu. Maaf buat kamu nggak nyaman. Kedepannya, saya akan lebih berhati-hati.”
“Maksud Luna, Luna ....”
“Oh, ya. Kalau kamu mau pisah ranjang juga nggak masalah. Saya akan tidur di kamar sebelah. Saya juga mau mengatakan ini.”
“Om Gama dengerin Luna ngomong dulu.”
“Nggak mau, saya nggak mau berdebat malam ini. Saya capek.”
Gama terlihat dingin. Pria itu memang tidak meninggikan suaranya, namun Luna tahu persis Gama menahan marah.
Luna menggigit bibir bawahnya, ia mengambil satu tangan Gama yang menganggur, namun sebelum Luna membawa tangan itu untuk ia genggam, Gama sudah melepasnya untuk memegang setir.
Om Gama menghindari Luna. Om Gama marah lagi. Batin gadis itu.
Sedangkan di lain sisi, Gama sudah lelah, pria itu benar-benar menghindari pertengkaran dengan istrinya. Bisa dibilang Gama muak dan marah pada dirinya sendiri. Ia tergoda akan Luna, padahal sudah tahu Luna tidak akan pernah siap melayaninya mengingat mereka tidak saling mencintai. Sialnya, Gama sudah punya rasa itu.
Entah sejak kapan, tapi Gama merasa ada yang berbeda. Ia tertarik pada istrinya sendiri. Mungkin itu yang membuatnya marah. Ia menyimpan rasa itu sendiri, sementara Luna belum. Gama kesal.
***
Di dalam kamar, saat mereka berdua selesai mandi, Luna mengobati tangan Gama yang terluka. Meski tak ada percakapan antara mereka berdua. Gama maupun Luna sama-sama bungkam.
“Terima kasih.” Ucap Gama saat Luna selesai mengobati tangannya.
Gama bangkit dari sofa, pria itu hendak pergi dari kamar. Buru-buru Luna menahan tangannya lagi.
“Ada apa?”
“Om Gama beneran mau tidur di kamar sebelah?”
“Ya, saya takut nggak bisa tahan diri saya lagi. Saya nggak mau bersikap nggak sopan ke istri saya sendiri.” Balas Gama sedikit menyindir.
“Luna minta maaf, Om.”
“Nggak perlu minta maaf, itu hak kamu menolak saya. Saya siapa?”
“Om Gama suami Luna. Jangan ngomong gitu, Luna nggak suka.”
Gama hanya tersenyum remeh. Pria itu melepas tangan Luna. Namun sebelum benar-benar pergi, Luna menghadang jalan Gama dengan berdiri di hadapannya.
“Ada apa lagi?”
“Luna... Luna mau coba.” Ujar Luna seraya gugup menautkan kedua tangannya.
“Mau apa?” tanya Gama sedikit terkejut. Meski Gama tahu maksud Luna apa. Gama tahu Luna mau apa.
“Kasih hak Om Gama atas Luna. Luna... Luna mau coba. Tapi... tapi pelan-pelan. Jangan buat Luna takut.”
“Kalau ragu nggak usah, saya nggak mau berhenti di pertengahan dan ujung-ujungnya buat diri saya sendiri tersiksa.”
Luna melewati tubuh Luna, ia hendak membuka pintu, namun lagi-lagi Luna menarik tangan Gama. “Luna serius. Luna nggak ragu. Luna cuma gugup, Om. Tapi... tapi Luna serius.”
Gama menoleh lagi ke arah Luna. Jantungnya berdegup dengan cepat. Ia mengumpat dalam hati. Malam ini Gama sudah berusaha untuk menahan dirinya. Tapi saat Luna sukarela menawarkan dirinya, bagaimana Gama tidak tergoda? Ini yang ia tunggu selama ini, menyentuh Luna. Membuat Luna mendesah di bawah tubuhnya.
“Kamu yakin?” tanya Gama memastikan.
Luna mengangguk.
“Saya nggak bisa berhenti di tengah jalan. Saya nggak bakal berhenti meskipun kamu memohon untuk berhenti. Jadi saya tanya sekali lagi. Kamu yakin?”
“Yakin, Om.”
Gama melangkah mendekati Luna, membuat Luna refleks mundur selangkah sebelum Gama meraih pinggang Luna.
“Kamu milik saya malam ini.”
Dan Luna mengangguk dengan tangan gemetar meremas baju tidurnya.
Gama mengangkat Luna, membawa Luna tidur di ranjang mereka. Pria itu membuka kaitan piyama Luna.
“Om Gama janji buat pelan-pelan? Luna takut.”
“Of course, Luna.” Bisik Gama.
Setelah Luna telanjang bulat, Luna memejamkan kedua matanya seraya menutupi dua buah dadanya dengan tangan menyilang. Ia juga merapatkan kakinya agar inti tubuhnya tak dilihat Gama.
Sedangkan Gama? Ia kesulitan bernapas. Setelah hampir dua tahun pernikahan mereka, akhirnya ia bisa melihat tubuh Luna tanpa berbusana. Gama seperti hendak panen buah yang ia rawat.
Gama melebarkan kaki Luna, ingin melihat dengan jelas milik Luna yang akan menjadi surga dunianya.
“Om, Luna malu.”
“Rileks, Luna.”
Gama menunduk, ia mencium milik Luna. Hal itu membuat Luna beringsut mundur karena merasa geli.
“Om, Om Gama nggak jijik cium itu?” tanya Luna merasa aneh dan berusaha mendorong Gama agar pergi dari bawah tubuhnya.
“Diem, Lun.” Suruh Gama.
Luna merapatkan bibirnya, ia memperhatikan Gama yang berada di bawahnya. Dan sedetik kemudian Luna terkejut saat Gama menjilat miliknya tanpa rasa jijik. Hal itu membuat napas Luna tercekat, geli, semuanya menjadi satu. Dan Luna merasa miliknya basah dan hangat.
Beberapa jilatan, Gama berhenti. Pria itu merangkak naik menindih Luna setelah ia membuka semua bajunya.
Gama memperhatikan wajah merah Luna lekat. “Kamu cantik, Luna.” Puji Gama mencium bibir merah Luna.
Luna mengalungkan tangannya di leher Gama. Membalas ciuman suaminya.
“Saya gila karena kamu, Lun. Saya hampir gila.” Racau Gama setelah ciuman mereka terlepas.
“Om, Luna malu.”
“How cute my baby girl.”
- To be continue -