✉ 21 || Titania Raya

1046 Words
Pagi ini, aku bangun dan bergegas mandi. Rupanya aku lupa memasang alarm. Jadinya, aku bangun kesiangan hari ini. Aku menyelesaikan mandi secepat yang aku bisa. Lalu aku lanjut berdandan seadanya dan berpakaian. Sambil merapikan dandanan, aku menghubungi Carita. "Hallo," sapaku begitu telepon tersambung. "Kenapa?" Suara Carita terdengar seperti orang yang baru saja bangun tidur. Sial, jangan-jangan dia tidak ada agenda ke markas hari ini. "Lo bisa jemput gue nggak?" tanyaku panik. Mataku tak lepas dari jam dinding. Terdengar suara orang menguap. Tentunya itu ulah Carita. "Sorry ya, gue hari ini nggak ke markas dulu. Agak nggak enak badan nih," jawabnya membuatku kalang kabut. "Duh, gue berangkat sama siapa dong?" gumamku bingung. Carita diam sejenak. Mungkin dia masih berpikir. Dia berbicara dengan suara serak yang menyeramkan, "Langit. Siapa tau dia ke markas hari ini." Aku berdecak sembari memutus sambungan. Aku keluar dari kamar dan menuruni tangga menuju ke garasi. Sial, tidak ada satu pun mobil tersisa. Ke mana sih mobil-mobil itu? "Non Raya cari apa?" tanya bibi yang bekerja di rumahku. Aku menggeleng sambil memutar badan berjalan ke teras. Aku mencoba menghubungi Tino. Barangkali Raja angkatanku itu bisa memberiku tumpangan. "Hallo, Tin," sambarku cepat-cepat. Tino berdeham, "Tumben lo telepon gue. Ada apa?" "Lo ke sekolah kan hari ini? Jemput gue dong," pintaku dengan nada memaksa. "Gue lagi di luar kota. Ntar siang baru balik," terang Tino membuatku gelap mata. Aku mematikan sambungan telepon itu dan menghempaskan tubuhku ke kursi di teras rumah. Apa aku membolos saja hari ini? Tapi aku juga ingin datang ke sekolah. Setidaknya kalau aku datang ke sekolah, aku bisa mencari-cari pelaku perekaman dan penyebaran video itu. Dengan begitu, misiku akan cepat tertangani dan aku akan mendapatkan misi baru. Tentunya tanpa mengikut sertakan Riga dan Vienna atau bahkan Kak Langit. Ah, aku harus bagaimana sekarang? Sementara otakku sibuk berpikir, jempolku sudah bergerak lebih dulu. Tiba-tiba saja, aku sudah membuat sambungan telepon dan Kak Langit. "Hallo," sapa Kak Langit dengan suara berat yang mampu mengejutkanku. Aku meneguk ludah. s**l, kalau sudah begini, masa aku akan menghindar. Kuputuskan untuk membalas sapaannya dan langsung mengutarakan niatanku, "Hallo, Kak. Lo ke markas nggak pagi ini?" "Iya, ini mau jalan," jawabnya. Terdengar pintu mobil ditutup, itu artinya dia memang sudah siap cabut dari rumahnya. "Bisa jemput gue?" Aku bertanya perlahan. "Bisa, ntar gue mampir ke rumah lo sebelum ke sekolah," balasnya. "Thanks, gue tutup teleponnya." Aku memutus sambungan telepon. Ternyata memang nasibku pagi ini harus berurusan dengan Kak Langit. Padahal aku sudah bertekad untuk sebisa mungkin tidak mencari urusan dengannya. Lamunanku terputus saat mobil Kak Langit berhenti di depan gerbang. Pak satpam rumahku bergegas membuka gerbang. "Oh, jemputannya Non Raya," ujar pak satpam saat aku berjalan melintasinya. Aku membuka pintu mobil Kak Langit dan langsung duduk serta menutup pintu mobilnya lagi. Kak Langit tak membuang waktu lagi dan segera kembali mengemudi. "Tumben lo jam segini belum ke sekolah," celetuk Kak Langit dengan tatapannya yang masih fokus ke jalan. Aku mengangguk perlahan. "Carita nggak ke markas. Gue nggak ada tebengan." Kak Langit ber-oh-ria. Ia lalu menawarkan, "Besok-besok berangkat sama gue aja. Gue tiap hari ke markas karena masih ada urusan bantuan bagian keuangan sekolah." Aku mengangguk-angguk. Sebenarnya dalam hati aku berteriak tidak mau. Pokoknya kalau tidak dalam keadaan terpaksa, aku tidak mau dijemput Kak Langit. Kami butuh waktu hingga lima belas menit untuk tiba di sekolah. Sesampainya di sekolah, Kak Langit menurunkanku di koridor yang akan mengarah ke gedung kelas. Sementara Kak Langit masih harus menuju ke parkiran. Kami berpisah di sana. Aku merasa cukup lega karena sejauh ini Kak Langit tidak pernah membahas hal-hal aneh lagi. Tapi rasa lega itu berganti dengan perasaan was-was. Tak seberapa jauh dariku, berdiri sekelompok siswi dengan tampang menor dan seragam super ketat. Siapa lagi kalau bukan kelompok cabe-cabean yang kemarin kulaporkan ke BK. Mereka menghadangku. Aku memasang sikap was-was bukan karena aku takut, tapi lebih kepada aku sedang memasang kuda-kuda kalau mereka tiba-tiba menyerangku. Kali ini, aku tidak akan membiarkan mereka memperlakukanku dengan kasar. Aku bukan Melodi yang akan terima-terima saja diperlakukan dengan buruk. Salah satu siswi dari kelompok itu maju. Ia menatap ke wajahku dengan penuh permusuhan. "Lo berani ya laporin kita-kita ke BK?" Sial, kok mereka tahu kalau aku membuat laporan ke BK? Padahal seingatku, aku menggunakan email pengurus Raja dan Ratu. Ah, atau tidak ya? Aku hanya membalasnya dengan senyuman miring. Aku melanjutkan langkahku, hendak menerobos mereka. Tapi salah satu dari siswi itu menahan pundakku dan mendorongku hingga aku kembali ke posisi semula. "Minggir, gue nggak mau cari masalah," ucapku sambil kembali berjalan. Pundakku kembali ditahan. Kali ini sebelum orang itu mendorongku, aku mencengkeram tangannya yang ada di bahuku dan memutar lengannya dengan arah kebalikan arah gerak sendinya. Cewek itu berteriak-teriak histeris. Tentunya karena kesakitan. Tapi aku tidak peduli. Aku tidak melepaskan cengkeramanku dan mempertahankan posisi itu. Sayangnya, aku mendapatkan tendangan dari arah belakang. Cewek-cewek itu ternyata cukup bar-bar. Tapi asal mereka tahu saja, aku juga bukan cewek manis yang hobi nangis. Aku berbalik menatap ke cewek yang menendang punggungku. Dia kelihatan memasang senyum puas telah membuatku terhuyung dan melepaskan cengkeramanku pada lengan cewek pertama. Baiklah, sudah cukup bermain-main dengan yang pertama. Kini aku membuat kuda-kuda dan melayangkan tendangan ke kepala cewek yang tadi menendang punggungku. Tendanganku mengenai kepala sebelah kirinya dan ia kini terjerembab ke lantai. "Wah, lo main-main sama kita!" ujar seorang cewek dengan tubuh paling gempal dan baju seragam super kecil nan ketat. Bahkan bagian rok seragamnya nyaris tidak menutupi pahanya. Apalagi bagian lengan seragamnya yang sepertinya siap robek sewaktu-waktu karena lengan cewek itu benar-benar kekar. Meski begitu, aku tidak gentar. Sebelum dia melayangkan tinjunya, aku lebih dulu menarik lengannya, memposisikan cewek itu di punggung dan sedikit mengangkatnya di bahu, lalu membantingnya ke lantai tepat di hadapanku. Cewek gempal itu mengerang kesakitan. Sementara aku masih sehat. Lihat kan, mereka itu lemah tapi hobi menindas. Satu cewek yang masih tersisa kelihatan mengkeret takut. Dia berjalan mundur ke arah kerumunan siswa-siswi yang entah terbentuk sejak kapan. Aku merangsek mendekati cewek sok-sokan yang saat terpepet begini memilih melarikan diri. Aku sudah hampir meraih kerah kemeja, tapi seseorang justru memelukku dari belakang. Sial, siapa yang berani menghalangiku? Ah, ini pasti ulah Kak Agas lagi, kan? Aku menoleh pada orang yang mendekapku dengan tujuan menahanku agar tidak lagi bergerak menyerang cewek yang kabur itu. Dan sialnya, orang itu adalah Kak Langit! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD