✉ 22 || Bentang Langit

1038 Words
Aku memarkirkan mobilku di tempat biasanya aku memarkirkan mobil. Sebenarnya tidak banyak siswa SMA ini yang membawa mobil sendiri ke sekolah. Kebanyakan dari mereka memilih diantar jemput sopir pribadi. Maklum lah, latar belakang siswa-siswi di SMA ini memang bikin geleng-geleng kepala. Kalau bukan anak pimpinan ya anak pemilik perusahaannya. Atau anak pejabat dengan kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan. Pokoknya hampir semua murid di sini berasal dari keluarga berpengaruh. Aku berjalan keluar dari parkiran. Niat awal akan langsung menuju ke markas, tapi aku justru melihat keramaian di koridor menuju ke kelas. Perasaanku tidak enak. Tadi aku menurunkan Raya di sana. Bagaimana kalau Raya terlibat masalah? Aku memutuskan mengecek ke sana terlebih dahulu sebelum pergi ke markas. Aku berusaha menerobos kerumunan. Alhasil, aku bisa melihat Raya dengan tampang bengisnya menghajar cewek-cewek yang kelihatannya agak-agak nakal. Oke, aku tidak tahu siapa duluan yang cari ribut dalam kasus ini. Tapi setahuku, Raya tidak pernah menyerang lebih dulu kalau ia tidak diserang. Jadi kusimpulkan cewek-cewek itu lah yang memulai semua masalah ini. Yang lebih jadi masalah, sepertinya Raya enggan mengakhiri semua ini dengan mudah. Setelah membanting cewek berbadan kekar, ia justru mengincar cewek kurus yang kelihatan siap kabur karena ketakutan. Raya merangsek cepat mendekati cewek itu. Ia hendak meraih kerah kemeja cewek itu tapi berhasil kugagalkan. Ya, aku berhasil menghentikan Raya dari aksinya yang kelewat brutal. Berhubung aku bingung bagaimana caranya membuat Raya diam di tempat, aku malah memeluknya. Tapi tujuanku tidak macam-macam kok. Terbukti kini Raya berhenti bergerak dan justru menatapku dengan penuh permusuhan. s**l, padahal niatku baik karena ingin menghindarkannya dari kasus remeh seperti menyerang habis-habisan para siswa SMA ini. Bukannya tidak boleh melindungi diri. Tapi sebagai mantan Ratu, Raya harus bisa mengendalikan emosinya. Tugasnya di sini adalah mengayomi dan menjaga kelancaran segala macam urusan di SMA ini. Kalau dia berulah, tak pelak lagi dia akan disidang oleh atasan-atasan kami. "Udah, Ray," bisikku lembut. Tapi Raya tidak terpengaruh. Matanya mengobarkan bendera permusuhan padaku. Oke, belum tentu dia marah padaku. Mungkin dia hanya belum bisa menguasai emosinya dan bertingkah lebih baik pada orang tidak bersalah. Raya melepaskan dirinya dari dekapanku. Ia berjalan mengambil tasnya yang sepertinya tadi sempat ia campakkan ke lantai sebelum menyerang cewek-cewek itu. Dia hendak berjalan ke kelas. Tapi aku menahan tangannya. Raya menoleh dengan tatapan datar. Aku menatap ke kerumunan siswa-siswi itu lalu mengarah ke beberapa cewek yang semula terkapar tapi sekarang sudah mulai bangkit berdiri. Aku mengangkat tanganku yang menggandeng tangan Raya. "Raya pacar gue. Dia emang centil. Tapi kalian salah menilai kalau dia yang deketin Agas," ucapku lantang. Kerumunan itu ber-oh-ria me dengar penjelasanku. Sementara cewek-cewek yang tadi terkapar karena ulah Raya itu menatapku penuh selidik. Mungkin mereka masih mempertanyakan kebenaran ucapanku. Aku melanjutkan dengan sebuah peringatan, "Jadi kalian jangan berani-berani gangguin Raya. Bukan gue yang bakal bertindak. Tapi Raya sendiri. Dia lebih sangar dari kebanyakan preman." Semua orang meringis ngeri mendengar penuturanku. Sementara saat aku menoleh ke Raya, cewek itu sedang menyeringai. Sumpah deh, yang kubicarakan tadi tidaklah berbohong. Kurasa kesadisan Raya memang tidak ada duanya. Raya menggerakkan kepalanya ke arah luar koridor. Kami berjalan memotong taman kecil yang ada di sepanjang sisi koridor. Sepertinya Raya tidak sadar kalau tangannya masih bergandengan dengan tanganku. Ia masih terus berjalan hingga ke bagian belakang sekolah. "Lo nggak ke kelas?" tanyaku agak heran. Tadi dia buru-buru ke sekolah gara-gara takut terlambat, kan? "Males ah," jawabnya sembari mengakses pintu rahasia untuk memasuki markas. Kami tiba di ruang bawah tanah yang merupakan markas pengurus Raja dan Ratu Sekolah ini. Tidak ada orang lain selain kami berdua. Aku menggoyangkan tanganku yang masih bergandengan dengan tangannya. Raya kelihatan tersadar dan segera melepaskan genggamannya. "Thanks ya, udah bantuin gue." Raya berkata demikian sembari meletakkan ranselnya di sofa. Ia sendiri bergerak ke mejanya. "Hmm," gumamku sebagai balasan. Raya berhenti melangkah. Ia bersandar pada meja dan menatapku dengan mata menyipit. Raya juga melipat tangannya di depan d**a. Dia menatapku penuh curiga. "Lo kenapa?" tanyaku heran sekaligus was-was. Raya bicara perlahan, "Lo sebenernya suka ya sama gue sampai ngaku-ngaku di depan siswa-siswi SMA ini?" Tawaku meledak. Kenapa dia berpikir begitu? Padahal kan niatku hanya ingin membebaskannya dari tuduhan menggoda Kak Agas. Setelah berhasil meredakan tawaku, aku bertanya, "Kenapa lo mikir gitu? Gue cuma nggak mau lo jadi bulan-bulanan mereka karena Agas. Padahal sekarang lo sama Agas juga udah nggak ada hubungan apa-apa." "Ehm, masalahnya tadi itu gue diserang bukan karena Agas." Raya menjawab sambil menahan senyum geli. "Maksud lo?" tanyaku yang belum paham betul apa yang dimaksud Raya. Raya berhenti senyum-senyum dan menjawabku dengan serius, "Tadi gue diserang karena gue laporin cewek-cewek itu ke BK. Gue laporin mereka atas bullying yang mereka lakukan ke Melodi." Aku terdiam. Benarkah demikian? s**l, aku malu banget sekarang. Padahal awalnya kukira mereka membully Raya karena Raya dekat dengan Agas. Tapi ternyata bukan itu masalahnya. Aku berdeham dan berusaha bersikap biasa saja, "Oh ya udah. Kalau emang masalahnya bukan soal Agas. Sorry gue sok tau." Raya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia lalu melanjutkan jalan dan duduk di kursi kerjanya. Raya sudah tidak mempedulikanku lagi. Raya berkutat dengan kesibukannya. Sementara aku? Aku meratapi nasibku. Gila, ini benar-benar memalukan. Harusnya aku menggunakan otakku dengan baik untuk berpikir sebelum bertindak. Kenapa aku asal menyimpulkan? Sekarang aku benar-benar frustasi. Rasanya aku tidak bisa ada di dalam markas ini. Apalagi berdua saja dengan Raya. Aku harus mencari udara segar terlebih dahulu. Aku harus menenangkan pikiranku. Kuputuskan untuk keluar dari markas dan berjalan-jalan di area di belakang sekolah ini. Aku berusaha mengalihkan pikiranku dari mengingat hal memalukan itu. Tapi apa yang sekiranya menarik untuk kupikirkan sekarang? Tiba-tiba saja aku tidak bisa memikirkan apa-apa selain hal konyol itu. "Permisi Kak," ujar seseorang dari arah belakangku. Mau tak mau aku menoleh dan mendapati cowok yang sepertinya kukenali sebagai Agas itu tengah berdiri tak jauh di hadapanku. Mau apa dia berkeliaran di bagian belakang sekolah? s**l, jangan-jangan tadi dia melihatku masuk dan keluar markas! "Ya?" tanyaku dengan nada yang agak tidak ramah. Agas menggaruk tengkuknya. Rupanya ia juga tengah kebingungan. Ia lalu menatapku ragu, "Tadi lo bukannya pergi sama Raya, ya? Sekarang Rayanya mana?" Aku menyipit. Sejauh mana dia melihat aku dan Raya saat pergi ke sini? Aku berdeham, "Raya udah pergi. Mungkin balik ke kelas." Agas kelihatan mengangguk-angguk. Tapi dari sorot matanya, aku bisa melihat dia tengah mempertanyakan kebenaran ucapanku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD