✉ 23 || Titania Raya

1035 Words
Aku tidak menyangka kalau Kak Langit akan begitu malu mendengar kejujuran dariku. Kuakui niatnya memang baik. Tapi dia terlalu gegabah. Dia berniat membantuku tanpa tahu apa masalahku. Dia berpikir masalahku hanya soal Kak Agas. Padahal yang tadi itu sudah lain urusannya. Ah, ngomong-ngomong barusan aku sudah mengecek email. Ternyata aku sudah benar kok mengirimkan bukti-bukti bullying itu menggunakan email pengurus Raja dan Ratu. Lalu bagaimana bisa cewek-cewek itu tahu kalau aku lah yang melaporkan mereka pada BK? Ah, s**l. Siapa yang memergokiku merekam aksi bullying itu? Aku memejamkan mata. Aku berusaha memutar lagi ingatanku di hari itu. Lalu aku teringat kalau aku sempat bertemu Riga. Jangan bilang dia yang membeberkan semua ini! Tapi itu tidak mungkin. Dia itu tahu konsekuensi kalau sampai berani mencari gara-gara denganku. Dia tidak akan berani bersikap kurang ajar padaku. Apalagi sampai menjebloskanku ke dalam permasalahan begini. Jadi siapa yang mungkin membeberkan identitasku? Guru BK? Tidak, mereka juga tunduk pada kepengurusan Raja dan Ratu Sekolah. Lalu apa ini kerjaan Melodi? Konsentrasiku untuk berpikir terpecah saat pintu markas terbuka dan Kak Langit kelihatan memasuki markas dengan tergesa-gesa. "Ada apa, Kak?" tanyaku serius. Kak Langit berhenti berjalan. Ia menoleh ke arahku dan menjawab, "Agas penasaran soal keberadaan lo yang menghilang gitu aja di halaman belakang sekolah." Aku menatap heran, "Terus kenapa lo kelihatan panik gitu?" Kak Langit menggeleng, "Gue bukannya panik, gue cuma buru-buru masuk ke sini lagi setelah memastikan Agas menjauh dari bagian belakang sekolah." Aku ber-oh-ria dan kembali fokus pada apa yang tengah aku pikirkan. Sampai mana tadi? Ah iya, mungkin Melodi pelaku yang membeberkan hal itu. Tapi masa Melodi sih? Dia kelihatan bukan tipe-tipe orang bermuka dua. Oh, atau mungkin saat itu dia membeberkannya saat ia berada di bawah tekanan. "Ray," gumam Kak Langit menyebut namaku. Aku mendongak cepat dan menatap Kak Langit yang berdiri di dekat lemari penyimpanan berkas. "Kenapa Kak?" tanyaku setelah Kak Langit justru terdiam lama. Kak Langit kelihatan meneguk ludahnya, "Tadi Agas ngomong ke gue. Dia bilang kalau waktunya udah tepat, dia bakal ajakin lo balikan." Aku bingung, "Terus?" "Dia ngelarang gue buat deketin lo," tambahnya. Kernyitan di dahiku makin kentara. "Apa hak dia buat ngelarang lo deketin gue?" "Tapi kan gue emang lagi nggak deketin lo," ujarnya nyaris sama bingungnya denganku. "Ah, udah deh. Daripada ribet dituduh yang enggak-enggak sama Agas, gimana kalau sekalian aja kita pacaran?" Sial, dia lagi-lagi menembakku? Oh my God. Mana dengan gaya santai yang membuatku bingung antara ucapannya serius atau tidak. Tapi kali ini, aku merasa tertantang. Apalagi mendengar tadi Agas berniat mengajakku balikan. Aku justru ingin memberinya pelajaran. "Deal," gumamku membuat Kak Langit menatapku dengan kernyitan di dahinya. "Kenapa? Lo nggak serius sama tawaran lo itu?" "Enggak, gue serius kok," balasnya dengan wajah yang dibuat biasa saja. Tidak seperti tadi yang kelihatan sekali kalau dia itu tengah bingung. "Jadi mulai sekarang, lo urus Agas buat gue," tambahku membuatnya kembali menatapku. "Kok jadi gue yang ngurus Agas?" protes Kak Langit. Aku mengedikkan bahu, "Bukannya sebagai pacar, lo nggak akan rela kalau pacar lo masih dideketin mantannya?" Kak Langit tidak membalas ucapanku. Ia justru mengusap wajahnya kasar. Kelihatannya, dia tidak habis pikir dengan sikapku. Aku memperhatikan Kak Langit yang berusaha mengalihkan perhatian dariku. Ia sibuk menata lembaran kertas menjadi satu bendel berkas. Setelah beres dengan berkas-berkas itu, Kak Langit bergegas berjalan keluar markas. "Mau ke mana?" tanyaku yang kedengaran seperti pacar super posesif. Kak Langit berhenti melangkah secara mendadak. Ia menggerak-gerakkan berkas di tangannya sembari menjawab, "Ke ruang bagian keuangan." Aku ber-oh-ria. Sementara Kak Langit lanjut jalan. Sepeninggal Kak Langit, aku merutuki kegilaanku. Pacaran dengan orang yang membuatmu merasa tidak nyaman setiap berdekatan adalah kegilaan terbesar dalam hidup, bukan begitu? Ponselku berdering, tanda ada panggilan masuk. Nama yang tertera di layar membuatku agak bertanya-tanya. Kenapa Kak Agas masih berusaha menghubungiku? "Hallo," sapaku setelah telepon tersambung. "Gue ada di depan. Lo keluar sekarang ya," ujarku membuat kaki dan tanganku terasa lemas. Depan mana? Depan markas? Tidak mungkin kan dia tau? Jangan-jangan Kak Agas mengikuti Kak Langit! "Depan mana?" tanyaku dengan suara bergetar yang kentara. "Depan kelas lo. Lo lagi jam kosong, kan? Jadi temuin gue sebentar," jawabnya membuatku menghela napas lega. Rupanya dia taunya aku ada di dalam kelas. Jadi soal markas ini masih aman kan? "Kak Agas mau ngapain minta aku keluar kelas?" tanyaku memastikan. Takutnya dia hanya menjebak agar aku keluar dari markas. Jangan-jangan dia ada di bagian belakang sekolah dan ingin melihat di bagian mana aku muncul dan menghilang! "Ada yang mau gue bicarain," balasnya. "Soal apa?" cecarku. "Soal video yang tersebar itu," ujarnya membuatku melebarkan mata lumayan antusias. "Kita bicara di kolam renang aja. Kak Agas ke sana dulu, nanti gue nyusul," putusku setelah menimbang-nimbang beberapa saat. *** Aku tiba di kolam renang indoor. Seperti biasa, kolam renang itu akan sepi saat jam KBM masih berlangsung. Bahkan sore hari pun, kolam renang akan tetap sepi kalau anggota club renang tidak mengadakan latihan. "Kak Agas," panggilku untuk meminta perhatian Kak Agas. Kak Agas menoleh. Ia menungguku agar mendekat dan barulah ia bicara, "Gue ingat kalau gue lihat cewek keluar dari ruang ganti putri sesaat setelah lo masuk ke sana sore itu. Mungkin dia yang merekam kita waktu itu?" Aku mengernyit heran. Kenapa aku tidak menyadari kehadiran orang lain di ruang ganti saat itu? Atau dia bersembunyi dan saat aku sudah masuk ke bilik ganti, barulah dia kabur? Terlebih soal lens cap yang ditemukan Riga dan Kak Langit di ruang ganti putra, apa itu bukan apa-apa? "Ray, soal video itu gue minta maaf banget. Gue denger tadi pagi lo kembali diganggu sama cewek-cewek itu." "Itu bukan masalah video kok. Mereka ganggu gue karena gue laporin mereka ke BK. Masalah video udah kelar. Jadi nggak ada yang perlu dibahas lagi," ucapku pura-pura sudah melupakan masalah video itu. "Lo nggak penasaran sama siapa orang yang merekam dan nyebarin?" tanyanya. Aku menggeleng yakin. Padahal sejauh ini, hal itu tentunya masih membuatku bertanya-tanya. Karena itu lah misiku. "Oh," gumamnya kelihatan kecewa. Ia lalu menatapku serius dan menanyakan, "Gue denger tadi pagi ada cowok yang bantuin lo. Dia siapa?" "Dia pacar gue yang baru," jawabku enteng. Kak Agas kelihatan terkejut. "Jadi bener yang dibilang orang-orang?" Aku mengangguk-angguk saja. Kak Agas tersenyum kecut. Bukannya aku GR, tapi sepertinya memang Kak Agas masih menaruh hati padaku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD