BAB 19

4121 Words
"Menjengkelkan sekali! Kenapa di saat penting begini ramuan yang telah kuracik hilang! Di mana aku menyimpannya! Astaga!" Agnes, gadis berambut cokelat keriting yang selalu mengenakan gaun hitam itu terlihat mengacaukan kamarnya sendiri untuk mencari sebuah ramuan yang dia buat, semua pakaiannya yang ada di lemari di lemparkan ke segala arah, kasur miliknya digulingkan, cermin besar yang terpasang di tembok kamarnya langsung di pecahkan, sampai lampu yang menggantung di atap kamar jatuh karena terkena benda yang dilemparkan acak oleh gadis menyeramkan itu. Kesal, Agnes pun memilih untuk mencarinya keluar, dia berjalan tergesa-gesa hingga melewati Ayahnya, Raja William, dengan angkuh. Dia sampai di kamar khusus para pelayan istirahat, kemudian dia masuk ke sana, ada beberapa pelayan yang sedang bersiap-siap untuk bekerja langsung dimarahi oleh Agnes, memaki-makinya karena kekesalannya pada ramuannya yang menghilang, pikirannya menyatakan kalau itu adalah salah para pelayan karena tidak menjaganya dengan baik. Padahal Agnes tidak pernah memerintahkan satu orang pun pelayan untuk menjaga ramuannya, sebab itulah, pelayan-pelayan yang kena marah Agnes terheran-heran karena mereka tak tahu masalah yang sedang menimpa mereka secara tiba-tiba ini. "Anu, Tuan Putri Agnes, jika Anda memarahi kami karena ramuan Anda menghilang, mungkin Tuan Putri Laila mengambilnya, soalnya, Tuan Putri Laila sering terlihat membawa sebuah botol ramuan ke laboratoriumnya." Kemarahan Agnes sedikit reda mendengar ucapan salah satu pelayan yang barusan dimarahinya. "Katakan! Di mana dia sekarang!" *** Setelah diberitahu di mana Laila berada oleh satu pelayan, Agnes pun segera pergi ke sana, yaitu ke laboratorium milik adiknya itu. BRAK! Pintu utama laboratorium langsung didobrak oleh Agnes menggunakan tendangan kakinya, Laila yang sedang beres-beres kaget dengan suara dobrakan tersebut. Laila berlari untuk melihat apa yang terjadi pada pintu utama, sesampainya di sana, ia terkejut karena sudah ada bayangan seseorang yang berdiri di dalam kepulan asap tebal, perlahan-lahan, asap itu pudar dan memperlihatkan Agnes yang memasang wajah murka memandang Laila. "Kak Agnes? A-Ada apa sampai Kakak menghancurkan pintu utamaku?" "Berisik," geram Agnes dengan seram. "Sekarang, jawab pertanyaanku, adik sialan. Apakah kau telah mengambil ramuan terbaruku?" Mendengar itu, Laila tersenyum heran, dia sama sekali tidak pernah mengambil apa pun dari Agnes, tapi mengapa kakaknya menyalahkannya? "Ra-Ramuan?" Laila menggelengkan kepalanya. "Aku tidak pernah mengambil ramuan apa pun dari kamar Kak Agnes, percayalah, Kakak." "Kau tidak mau mengaku, begitu?" Laila tersentak mendengarnya, kali ini, dia bingung harus membela dirinya bagaimana lagi, karena kakaknya sudah dalam mode kemarahan besar. "Kalau kau tidak mau mengaku, ikutlah denganku. Aku akan memasukanmu ke--" "Oi-oi-oi, ada apa ini?" Perkataan Agnes terpotong karena suara Arga dan lelaki itu muncul di belakang gadis keriting itu dengan menyentuh pundaknya. "Lancang sekali kau memotong ucapanku, sialan." Perlahan-lahan Agnes menoleh ke belakang dan tiba-tiba, wajah yang sebelumnya berurat saking jengkelnya kini berubah, pipi Agnes merona, matanya membulat, bibirnya bergetar gugup, baru kali ini gadis itu merasa canggung setelah memandang lelaki. "Si-Siapa kau?" Melihat reaksi Agnes yang gugup membuat Laila mau pun Arga terkejut. "Aku Arga, dari penampilan dan gaya bicaramu, apakah kau Putri Agnes?" "Me-Memangnya kenapa jika aku ... Ag-Agnes!?" Muka Agnes benar-benar merah saking gugupnya. "Ah, tidak. Hanya saja, kenapa kau dengan mudahnya menyalahkan adikmu? Apa kau punya bukti?" Kepalanya tertunduk, Agnes tidak tahu harus berkata apa, dia jadi malu sekali. Bahkan, di dalam dirinya, dia kesal mengapa bisa segugup ini hanya karena kehadiran lelaki bertanduk itu? "Ma-Maafkan aku." Mengejutkan, seorang Agnes yang terkenal dengan sifat menyeramkan tiba-tiba meminta maaf pada Arga dan Laila, bahkan gadis itu membungkuk pada adiknya. Mengapa aku meminta maaf, sialan! Batin Agnes menjerit tidak mengerti mengapa tubuh dan mulutnya melakukan hal yang bodoh seperti itu. "Wow, aku tidak menyangka kau langsung meminta maaf pada kami setelah ditanyai olehku." Arga menggaruk tengkuk lehernya karena tidak percaya melihat sikap Agnes yang berubah drastis. Begitu juga dengan Laila, selama ini, seingatnya, jika Agnes marah, maka kemarahannya pasti tidak akan pernah padam sampai seminggu penuh, tetapi mengapa kini kakaknya itu bisa dengan mudah meminta maaf padanya? Apa karena kedatangan Arga? Tapi, biasanya Agnes yang dia kenal tidak begitu peduli pada siapa pun yang melerai kemarahannya. Ini benar-benar aneh, batin Laila keheranan. "Kakak, apakah karena Arga Kakak bisa segugup itu?" Mendengar Laila bertanya begitu langsung membuat Agnes melirik adiknya dengan tatapan diam saja kau, adik sialan! Dan Laila pun mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih pada Agnes. "Hey, Laila, apa kau telah memaafkan kesalahan Agnes?" tanya Arga dengan menghela napasnya. Laila tersenyum tulus. "Tentu saja, aku tidak mau ada perselisihan antar saudara." Mendengar adiknya berkata begitu, Agnes mendecih jengkel, suci sekali kau, adik sialan. "Hey, Agnes, aku tidak tahu ini perasaanku atau bukan, tapi kau tidak perlu canggung begitu padaku. Santai saja." "I-Ini bukan urusanmu!" Agnes langsung keluar dari laboratorium itu dengan sengaja menabrakkan bahunya pada pundak Arga, sementara Laila hanya bisa pasrah melihat kakaknya pergi. *** "Arga Gelisto, jadi dia lelaki yang berkehendak untuk menikahi salah satu dari kami? Sialan! Mengapa dia tampan sekali! Dan juga tanduknya! Aku suka sekali pada tanduknya! Itu melambangkan kejantanan yang luar biasa! Ini gawat! Aku tidak bisa menahan kerinduanku pada lelaki sialan itu!" Di kamarnya yang berantakan, Agnes menjambak-jambak rambut keritingnya dengan wajah memerah, gadis itu sepertinya terkena cinta pandangan pertama pada sosok Arga, tidak, mungkin lebih tepatnya, terpesona pada tanduk lelaki itu. Mungkin, karena selama ini Agnes berkecimpung pada ilmu hitam, dia jadi menilai sebuah tanduk yang ada di kepala Arga seperti sosok iblis yang dia idolakan. Tidak aneh jika gairah Agnes memuncak karena melihat tanduk Arga, itu membuatnya gugup saking gembiranya. "Menjijikan! Aku benar-benar menjijikan! Aku harus memandikan tubuhku di lembah setan! Aku tidak mau terus-terusan resah pada perasaan ini!" Keringatnya bercucuran, tubuhnya bergetar, Agnes benar-benar tak tahan ingin bertemu dengan Arga. Tok! Tok! Tok! Bahkan, suara ketukan saja hampir membuat Agnes terlonjak pingsan. "Masuk!" Pintu kamarnya berderik, didorong oleh seseorang yang masuk, siapa yang berani mengganggu diriku yang sedang berfantasi liar membayangkan aku dan Arga melakukan itu. "Wah, wah, wah, selain jiwamu yang berantakan, ternyata kamarmu juga mengalami hal yang sama, hahahah! Ada apa ini? Kudengar ramuanmu hilang dan kau memarahi para pelayan dengan wajah bodohmu itu? Hahahaha!" Rupanya orang yang berkunjung ke kamarnya adalah adik bungsunya, Charlotte. Agnes gemas sekali mendengar mulut Charlotte yang merendahkan dirinya. "Lancang sekali kau, b******k! Sebenarnya, siapa yang mengajarkan gadis polos sepertimu mengatakan hal-hal yang tak sopan padaku? Sialan!" Charlotte tersenyum sinis memandang kakaknya merespon sindirannya. "Wajahmu berkeringat, ada apa? Apakah kau ketakutan karena kedatanganku, wahai rambut keriting? Hahaha!" Karena rasa jengkelnya sudah membludak ke kepalanya, Agnes menghampiri Charlotte dengan kepalan tangan yang begitu kuat, dan kemudian, BUAG! Wajah Charlotte langsung dihantam oleh Agnes hingga tubuh gadis itu terbanting ke lantai. "Berisik sekali kau." ucap Agnes dengan melototi Charlotte. "Sa-Sakiiiiiiit!" *** "Aku juga tak tahu, tapi sepertinya, Kak Agnes menyukaimu, Arga." ucap Laila. Mereka sedang berada di taman bunga yang ada di halaman depan istana, duduk di kursi kayu panjang, membicarakan hal yang baru saja terjadi. "Menyukaiku? Itu konyol sekali, hahaha. Tidak mungkin," Arga tertawa renyah mendengar ucapan Laila. "Mungkin lebih tepatnya dia membenciku." "Kau tahu, 'kan? Kalau aku bisa membaca ekspresi seseorang? Setelah k****a dengan teliti, Kak Agnes menunjukkan raut wajah gadis yang gugup karena orang yang disukainya muncul di hadapannya," kata Laila dengan lembut. "Tapi, aku tidak percaya kalau Kak Agnes bisa jatuh cinta secepat itu padamu." Bingung harus merespon apa, akhirnya Arga hanya bisa melanjutkan tawanya dengan hati yang gundah, sementara Laila menundukkan kepalanya, sepertinya gadis itu sedang patah hati. *** "PEMBERITAHUAN! UNTUK PARA PUTRI KERAJAAN! DIMOHON BERGEGAS KE SINGGASANA RAJA! ADA SESUATU PENTING YANG AKAN DIKATAKAN OLEH RAJA! KEDATANGAN KALIAN SEDANG DITUNGGU OLEH BELIAU!" Laila dan Arga terkejut mendengar suara prajurit yang berteriak di sumber suara, sepertinya akan ada sesuatu yang menimpa kelima putri Kerajaan Vanterlock. "Terima kasih telah mendengar curhatanku, Tuan Arga. Kalau begitu, aku harus pergi." Laila berpamitan pada Arga dan dia berjalan cepat untuk ke tempat singgasana ayahnya. Sementara Arga menarik napas beratnya dengan duduk santai di kursi taman. "Yang benar saja, mengapa tiba-tiba Raja William memanggil mereka? Aku jadi penasaran." Siang itu, ketika matahari sedang semangat-semangatnya mengeluarkan sinarnya, para putri di istana Vanterlock dipanggil oleh Raja William untuk segera datang ke hadapannya. Merasa terpanggil, masing-masing dari lima perempuan itu lekas pergi ke singgasana ayahnya, mencari tahu ada hal apa hingga mereka dipanggil di waktu yang bersamaan. Charlotte yang wajahnya babak belur tergesa-gesa masuk ke dalam singgasana ayahnya, diikuti oleh Emilia yang menundukkan kepalanya, Victoria yang meloncat-loncat ceria, Laila yang memamerkan senyumannya, dan Agnes yang mukanya bersemu merah. Kelima putri kerajaan yang William panggil sudah ada di hadapannya, berdiri tegak dengan gaunnya yang warna-warni. "Sebenarnya, ada masalah apa sampai Ayah memanggil kami berlima? Apakah--" perkataan Victoria-putri berambut pirang yang ceria-dipotong oleh William dengan cepat. "Sejujurnya," William mengatur nadanya agar lebih berwibawa, ia juga mengetuk-ngetuk jemarinya di lengan kursi singgasananya. "Aku sudah memutuskan siapa yang berhak untuk menjadi seorang pemimpin di kerajaan ini untuk menggantikanku." Bersamaan, kelima putri kaget, mata mereka terbelalak tidak percaya dengan keputusan ayahnya yang terlalu cepat, padahal ia bisa memimpin kerajaan ini puluhan tahun lagi, tetapi mengapa ia ingin turun takhta secepat itu? "Konyol," Agnes mendesis. "Kau sengaja melakukan itu untuk memaksa kami menggantikanmu, begitu? Dasar bodoh, usia kami masih belum cukup matang untuk mengatur kerajaan yang luas ini serta mengurus jutaan manusia di luar sana." Mata William menyoroti kelima wajah putrinya dengan tenang, lalu dengan ketegasan seorang ayah, ia menjawab protes dari putri keduanya, Agnes. "Kalian tidak perlu cemas, Anak-anak. Aku sudah membulatkan niatku untuk tidak memaksa kalian, para putriku, mengurusi urusan kerajaan yang rumit ini sendirian." Merasa ada kejanggalan pada ucapan Ayahnya, Emilia bertanya, "Jika bukan kami yang menggantikan posisi Ayah, lalu siapa?" "Apakah para bangsawan?" sindir Charlotte. "Atau rakyat jelata?" tambah Victoria. "Mungkin sepupu kita?" duga Laila. "Jangan-jangan ...." sambar Agnes dengan mulut yang menganga. "Kau benar, Agnes," jawab Raja William dengan mata menyoroti Agnes. "yang akan menggantikan posisiku sebagai Raja di Kerajaan Vanterlock adalah ... Arga Gelisto." BUM! Bunyi kekagetan yang tercipta di antara Emilia, Agnes, Victoria, Laila, dan Charlotte telah berhasil membuat Raja William yang mengamati mereka senyam-senyum sendiri. Inilah bagian yang ditunggu-tunggu oleh William, yaitu melihat reaksi lima putrinya setelah mendengar keputusannya yang telah matang. "APA AYAH GILA!?" Karena keterkejutannya yang sudah menggunduk, Emilia sampai menghancurkan topeng yang dia jaga dari dulu dengan berteriak tak terima atas keputusan yang ayahnya ambil. Tidak peduli lagi pada seberapa pentingnya dalam menjaga topeng sempurnanya, Emilia, dengan percaya diri, menunjukkan diri aslinya demi mencegah ayahnya melakukan hal segila itu. Keempat adiknya bahkan terkejut mendengar teriakan Emilia yang sangat ganas, melambangkan amarah yang sudah tak terbatas, mereka berempat mendelik pada kakak pertamanya itu yang kini maju selangkah dari posisi mereka untuk lebih dekat ke hadapan ayahnya. "DI DALAM ATURAN KERAJAAN, JIKA SEORANG RAJA HENDAK TURUN TAKHTA, MAKA ORANG YANG WAJIB MENGGANTIKAN POSISI KEPEMIMPINANNYA ADALAH ISTRINYA, PUTRA-PUTRINYA, SAUDARA-SAUDARANYA, SEPUPU-SEPUPUNYA, ATAU ORANG YANG DIBERIKAN KEPERCAYAAN UNTUK MEMIMPIN. TETAPI, MENGAPA ARGA GELISTO YANG AYAH PILIH DALAM MENGGANTIKAN POSISIMU! DI SINI MASIH ADA KAMI! MUNGKIN KEEMPAT ADIKKU MASIH BELUM KUAT UNTUK MENGEMBAN TUGAS SEBESAR ITU! TAPI, PERCAYALAH! AKU SUDAH CUKUP UNTUK BISA MENGGANTIKANMU, AYAH! JADI KUMOHON ...." "Cukup, Emilia!" William membentak Emilia yang tingkahnya sudah kelewatan, berteriak-teriak pada ayahnya yang kini menjabat sebagai raja adalah tindakan yang sangat tak sopan. "Jika kau keberatan dengan keputusanku, maka berikanlah padaku saran dan pendapatmu dengan benar untuk bisa mengubah pola pikirku, bukan dengan teriakan-teriakan yang memekikan telinga, Emilia." Rambut hitamnya tergerai pasrah, Emilia menundukkan kepalanya, kekesalannya merasa sedang ditekan, urat-urat di keningnya masih terlihat, bertanda kemarahannya belum reda. Emilia mundur selangkah untuk kembali berdiri di baris yang sama dengan keempat adiknya, perasaanya campur aduk antara jengkel dan putus asa. "Siapa yang keberatan dengan keputusanku, angkat tangan!" Tak disangka kalau seluruh putri William mengangkat tangan kirinya serentak, mereka seperti bekerja sama untuk menggulingkan ayahnya untuk merebut takhta. Karena terkesan dengan semangat mereka berlima, William mencoba untuk menanyakan satu-persatu dari mereka, apa alasannya hingga mereka menolak keputusan yang ia buat secara matang-matang itu? "Apa alasanmu mengangkat tangan, Charlotte? Dan ada apa dengan wajahmu yang babak belur itu? Dengan siapa kau berkelahi? Padahal kau seorang putri, tapi kelakuanmu--" "Apa kau bisa diam, Yang Mulia Raja?" potong Charlotte dengan intonasi yang tajam. "Bisa kau abaikan terlebih dahulu mengenai apa yang terjadi pada wajahku? Aku sangat senang jika kau bilang 'iya', baiklah, sekarang, biar kujabarkan dengan jelas mengapa aku keberatan dengan usulanmu mengangkat seekor serangga untuk menjadi penerusmu. "Coba kau pikirkan. Dia datang ke istana ini tanpa menyebutkan dari mana dia berasal, bukan? Aku dengar itu dari gosip, lalu, dia juga tanpa rasa malu menawarkan diri untuk menjadi menantumu? Dari sini kita sudah menemukan sesuatu mengenai letak bahaya pada diri Arga Gelisto yang tidak lain hanyalah seorang tamu tak diharapkan di istana ini. Aku hanya khawatir kalau Ayah telah dihipnotis oleh serangga itu untuk melakukan keputusan yang mengejutkan ini." Kumis William bergerak-gerak seperti ulat bulu, tampaknya, pria buncit itu sedang menahan tawa setelah mendengar alasan dari putri bungsunya, Charlotte. Tentu saja, ia tak bermaksud meremehkan alasan dari putri Charlotte sedikit pun, malahan, dia bangga karena putri bungsunya bisa mengemukakan pendapatnya tanpa rasa canggung sedikit pun walau sedang diperhatikan oleh kakak-kakaknya, hanya saja, dia merasa terhibur karena bisa melihat keberanian-keberanian dari lima putrinya. "Setelah kusimak baik-baik, sepertinya Charlotte sangat penasaran dengan tempat tinggal Arga Gelisto, sampai-sampai kau ingin tahu secara detail di mana letak rumahnya atau bahkan kamarnya? Sebelum pria itu menduduki posisi Raja, begitu?" Sindirian macam apa ini? batin Charlotte geram mendengar ayahnya dengan sengaja menggodanya di depan kakak-kakaknya. Padahal biasanya, Charlotte lah dalang dari segala masalah yang bermula dari sindir-menyindir atau goda-menggoda, dan sekarang, gadis itu terkena balasannya. "Kurasa aku tidak perlu menjawab pertanyaan konyol seperti itu." dengus Charlotte dengan memalingkan mukanya ke samping agar kakak-kakaknya tak dapat memandang ekspresinya yang sudah dipermalukan oleh ayahnya. "Lalu, bagaimana denganmu, Victoria?" perhatian William sudah dialihkan sepenuhnya pada gadis berambut pirang itu. "Akhirnya aku diberikan kesempatan untuk berbicara~ hehehehe! Aku senang sekali! Aduh! Aku senaaaaaaang. Okay-okay, aku akan menjawabnya demi Ayah tercinta. Jadi, alasannya begini, ummmm ... mungkin karena lelaki memang tak cocok untuk dijadikan sebagai pemimpin," mendadak, wajah Victoria yang sebelumnya ceria berubah menjadi kesal. "Lelaki itu sampah! Lelaki itu jelek! Lelaki itu bodoh! Lelaki itu payah! Lelaki itu menjijikan! Mereka semua bagusnya dilenyapkan dari muka bumi ini!" "Hm? Apa maksudmu Ayah juga tak pantas untuk menjadi seorang Raja?" Tiba-tiba Victoria terdiam, dia mendongakkan kepalanya, menatap mata ayahnya yang sedang memperhatikannya. Kedua kaki Victoria gemetar hingga menjatuhkan pantatnya ke karpet merah yang terhubung ke singgasana ayahnya. Kedua mata Victoria berkaca-kaca, secara tak sadar, lewat makiannya barusan pada sosok lelaki, dia sudah seperti menghina ayahnya sendiri. Saat ini, air mata Victoria menetes-netes karena menyesal telah menghina sosok lelaki yang juga bagian dari ayahnya itu. Kedua betis Victoria sudah tak bisa menahan berat badannya untuk kembali berdiri karena lemas tak berdaya. "Ma-Maafkan aku~ Ayah! Hiks! Aku tidak bermaksud ... merendahkanmu, menghinamu, meremehkanmu, menghujatmu! Aku tidak bermaksud seperti itu, Ayah! Hiks! Kumohon ... maafkan aku!" Dengan dingin, perhatian William berpaling ke Agnes, mengabaikan permintaan maaf serta suara tangis dari Victoria. "Jelaskan alasanmu kenapa kau keberatan dengan keputusanku, Agnes?" "Sebenarnya hanya satu hal mengapa aku tidak setuju dengan keputusanmu, Ayah," ujar Agnes dengan serius. "Karena kau tidak memilihku. Aku yakin seratus persen jika kau memilihku untuk menggantikan pekerjaanmu, Kerajaan Vanterlock pasti akan sejahtera selamanya." "Apa sejahtera yang kau maksud itu adalah memaksa seluruh rakyatmu untuk menghormati iblis-iblis yang kau dongeng, 'kan? Lalu, mengajarkan mereka untuk menjadi penganut setan dan memberikan segala pengetahuanmu tentang cara membuat ramuan-ramuan aneh serta ilmu-ilmu hitammu, begitu?" Merasa tertampar oleh kata-kata ayahnya, Agnes membisu di posisinya, dia tak bisa membela dirinya lagi karena apa yang diduga William memang benar. "Laila, aku penasaran pada alasanmu, bisa kau jelaskan mengapa kau menolak usulanku?" Dengan anggukkan kepala, Laila pun membuka suaranya, "Maaf jika sekiranya alasan yang kukeluarkan terdengar lancang atau tak sopan. Aku keberatan jika yang menjadi Raja berikutnya adalah Arga Gelisto, karena setahuku, setelah aku mengenal dekat dengannya, dia tidak punya kewibawaan seorang lelaki, tata bahasanya pun kurang sopan, gaya tubuhnya juga tidak enak dipandang, aku sarankan untuk memberikan dia pengajaran terlebih dulu sebelum dia diangkat menjadi seorang Raja olehmu, Ayah." "Bagus sekali, alasanmu terdengar sangat mulia, Laila. Namun, aku merasa kalau kau sedang memandang rendah seorang Arga, mungkinkah di matamu dia hanyalah sosok pria yang tak bisa mengatur sikapnya? Astaga, aku terkejut kau menilai seseorang hanya dari luarnya saja, Laila? Bukankah kau selalu mendapatkan peringkat pertama di akademi? Tapi mengapa pandanganmu terhadap orang lain hanya sebatas menilai tampilan luarnya saja? Aku kecewa padamu." Saat ini, jantung Laila berdegup kencang karena kaget pada ucapan ayahnya pada dirinya, dia sudah tak bisa berkata apa-apa lagi karena menurutnya dia memang layak untuk dimarahi seperti ini. "Dan sekarang, aku ingin kau mengutarakan alasanmu, Emilia. Kuharap tidak ada teriakan serigala lagi di dalam suaramu." Mendengar namanya disebut membuat Emilia menarik napasnya panjang lalu dihembuskan melalui mulut, dia sudah menstabilkan emosinya dan bersiap untuk mengucapkan alasannya. Kini, giliran Emilia yang diberi kesempatan untuk mengutarakan alasannya menolak Arga Gelisto sebagai penerus ayahnya, dia mengatur napasnya terlebih dulu agar tidak seceroboh saat dia meneriaki ayahnya dengan bahasa yang sarkas, karena itu sangat tidak sopan. Bukan hanya untuk menstabilkan emosinya saja Emilia melakukan persiapan napas, dia juga siap menerima resiko karena telah mengeluarkan sifat aslinya di hadapan keluarganya. Sejujurnya Emilia malu untuk berada di tengah-tengah keluarganya setelah dia membentak-bentak ayahnya seperti itu, tapi dia tidak bisa begitu saja kabur dari tempat ini sebelum urusannya selesai. "Sebelumnya, aku minta maaf pada Ayah dan juga keempat adikku karena telah berbuat kehebohan yang berisik dan menjadi contoh yang tak baik untuk adik-adikku," Suasana sepi ketika Emilia berbicara, kesunyian itu membuat gadis sipit itu agak tak percaya diri untuk bersuara karena dipikirannya, ia sudah tak berhak meminta maaf. "Langsung pada intinya. Aku, dengan sepenuh hati, menolak Arga Gelisto untuk menjadi pengganti Ayah di kerajaan ini. Bukan karena dia misterius, tidak sopan, tak disiplin, atau karena terlahir memiliki dua tanduk di kepalanya, bukan itu yang kupermasalahkan, karena soal penampilan atau pun sifat manusia, itu bisa dengan mudah diubah oleh yang bersangkutan, tapi yang jadi poin utama adalah ... mengapa harus Arga? Maksudku, lima putrimu pun bisa menggantikanmu, Ayah. Atau jika kau tidak percaya pada kami, maka setidaknya, pilihlah sepupu-sepupu kita? Atau para bangsawan? Aku jadi ingin bertanya pada Ayah, atas alasan apa sampai Ayah begitu tertarik untuk mengangkat Arga Gelisto menjadi penerusmu?" Senang, William tersenyum pada Emilia sebab gadis itu sudah berhasil menyentuh faktor utama dalam masalah ini, ia juga kagum pada usahanya untuk tidak melontarkan teriakan-teriakan kasar seperti sebelumnya. Inilah yang William suka pada sisi Emilia, yaitu dapat menahan sesuatu dengan usahanya dan mengolah tata bahasanya hingga terdengar berbeda dari yang lain. "Begitu rupanya," Cengiran William masih terpatri di wajahnya, hiburannya masih belum usai, senang sekali rasanya memandangi lima putrinya yang tegang pada situasi ini, biasanya, dia selalu mengalah pada mereka, tapi untuk saat ini, dia harus bersikap bijaksana. "Emilia, kau penasaran pada alasanku, kan? Karena memilih Arga untuk menggantikan posisiku padahal di luaran sana masih banyak orang-orang lebih cocok daripada Arga Gelisto, maka, mengapa itu bisa terjadi? Jawabannya adalah ... karena bocah itu menarik perhatianku." Kaget, alis Emilia terangkat serentak, bibir Charlotte menganga, mata Agnes membelalak, telinga Victoria berkedut, dan pipi Laila mengembang. Mereka berlima terkejut mendengar alasan ayahnya yang terkesan sangat remeh. Apa hanya karena menarik sampai Arga ditujukan sebagai calon raja berikutnya? Para putri sampai keheranan pada akal sehat ayahnya. Kalau mencari orang yang menarik, banyak di luaran sana yang lebih menarik dibanding Arga Gelisto. Pasti ada hal lain yang membuat Raja William sangat yakin memilih Arga sebagai raja berikutnya, mereka berlima meyakini itu. "Oh, tentu saja," William melanjutkan ucapannya. "Bukan karena menarik saja aku sampai memilihnya untuk menjadi penerus takhta, ada beberapa hal yang aku kira cocok untuknya menjadi sebagai seorang raja baru, yaitu sifat beraninya, percaya dirinya, konyolnya, polosnya, dan juga kuatnya kesabaran yang dia miliki dalam menghadapi kelima putri yang terkenal kejam di istana ini. Itulah alasan mengapa dia bisa membuatku tertarik, bagaimana? Apa kalian memahami alasanku?" Kicauan burung yang riuh di luar istana seakan melengkapi suasana tegang di ruang singgasana ini, tampaknya, kelima putri di hadapan William tak ada yang merespon ucapannya, membuat ia mengira kalau mereka sudah setuju terhadap usulannya untuk mengangkat Arga sebagai raja berikutnya. Sepakat, mereka menganggukkan kepala pada omongan ayahnya untuk menyetujui Arga sebagai penerus pemimpin Kerajaan Vanterlock walau William tahu kalau mereka berlima tidak sepenuhnya setuju pada kemauannya. Selesai, William pun mempersilakan Emilia, Agnes, Victoria, Laila, dan Charlotte untuk pergi dari singgasananya. Para putri pun keluar dari ruang singgasana setelah sebelumnya membungkuk hormat pada ayahnya. Seperti biasa, setelah melakukan pertemuan penting, mereka akan pergi ke suatu tempat yang disukainya masing-masing, tidak ada interaksi antar saudara saat mereka berjalan berdampingan di lorong, entah sejak kapan itu terjadi, tapi sepertinya penyebab utamanya karena perebutan harta dan takhta, mereka jadi sedingin itu pada saudara kandungnya sendiri. Bahkan mungkin, tidak ada lagi kasih sayang antar kakak dan adik di hati mereka. *** Sementara itu, di halaman belakang istana, Arga terlihat sedang memasak daging tusuk yang dipanggang di alat pemanggang. Dia memasak di tengah-tengah rerumputan yang hijau, asap hitam hasil dari panggangannya mengepul ke udara, terayun-ayun ke atas, bercampur dengan angin dan menghilang. Aroma daging panggang yang lezat telah masuk ke dalam istana, sampai orang-orang yang tak sengaja menghirup baunya langsung berlarian mengikuti sumber bau tersebut dan lihatlah, satu-persatu orang berdatangan ke tempat Arga memanggang. Mereka semua mengantri ingin merasakan daging yang dipanggang Arga, kebanyakan yang datang ke tempat lelaki bertanduk itu adalah para bangsawan kaya raya. Karena banyaknya jumlah permintaan, Arga terpaksa menyuruh seorang pelayan untuk ikut membantunya memanggang dan menyiapkan makanan. Ramai, Arga gembira karena masakannya berhasil mengundang banyak orang, mereka semua, yang sudah menyantap daging panggang ala Arga, tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih pada lelaki pirang itu karena telah membuat makanan yang sangat lezat. "Sepi juga akhirnya," Kelelahan karena telah melayani banyak orang, Arga berbaring di rumput lembut itu, matanya menyoroti langit sore yang dipenuhi dengan burung-burung beterbangan, angin sepoi-sepoi menggelitik kulitnya, nikmat sekali rasanya. "Tidak kusangka bakal secapai ini melayani banyak orang, aku jadi berpikir kalau para koki benar-benar hebat, karena mereka sudah terbiasa dengan tekanan banyaknya permintaan dari pelanggan, tidak sepertiku yang langsung tumbang hanya beberapa jam saja memanggang untuk orang banyak. Aku merasa tak pantas jika impianku adalah menjadi seorang koki, karena tantangan dunia memasak tidak kalah kejam dari permasalahan dunia nyata. Hah~ Melelahkan." Tap! Tap! Tap! Jejak kaki terdengar mendekatinya, Arga dengan cepat mendongakkan lehernya untuk memandangi seseorang yang berjalan mendekatinya itu. Seorang gadis berambut pirang yang memakai gaun ungu rupanya adalah orang yang barusan mendekatinya. Dilihat secara teliti, tidak salah lagi kalau gadis itu adalah Victoria, putri yang terkenal dengan sifat cerianya yang menghibur. Namun, ada yang berbeda, gadis itu kini sedang menundukkan kepala, menatap muka Arga dengan air mata menggunduk di kelopak matanya. "Arga," lirih Victoria mencemburutkan bibirnya sedih, dan air mata pertamanya jatuh ke kening Arga tanpa disengaja. "Maafkan aku." "Eh?" Tidak tahu apa ini efek dari kelelahan atau bukan, tapi kenapa Victoria yang dia kenal keji mendadak meminta maaf padanya dengan air mata menetes-netes begitu? Arga semakin tak mengerti. "Ada apa, Victoria?" Tak tega melihat perempuan menangis, Arga membangkitkan tubuhnya, lalu menyentuh pundak Victoria-mengisyaratkan untuk duduk di rerumputan bersamanya-syukurlah gadis itu menurutinya. Duduk dengan saling berhadapan di bawah langit sore, Arga dan Victoria saling menatap. Wajah Arga tampak tenang menunggu gadis itu menjawab pertanyaannya, sementara Victoria terus menangis pilu di depan lelaki bertanduk itu. Tak kunjung diberi penjelasan, akhirnya Arga yang menduga-duga pada Victoria, "Apakah kau menangis karena tidak kebagian daging panggangku?" Konyol, Arga malah menanyakan sesuatu yang jelas-jelas tak mungkin membuat Victoria menangis pilu begitu, lagipula, jika hanya sebatas daging, gadis itu sudah bosan memakannya. "Aku ... sepertinya telah melakukan kesalahan besar di depan ayahku." Sesenggukan, Victoria menutupi mukanya yang basah itu dengan telapak tangannya, malu diperhatikan oleh Arga yang sebelumnya lelaki itu adalah target siksaannya. "Kesalahan apa?" Bingung, Arga semakin menampakkan muka tak mengerti pada Victoria yang tiba-tiba datang dan menangis di hadapannya. "Dari kecil, aku selalu dibenci oleh para lelaki, mereka bilang, aku ini gadis yang manja, yang tak bisa hidup tanpa keluarga. Aku tidak terima, karena kesal, aku memerintahkan prajuritku untuk menyiksa mereka, dan membuat keluarganya menderita, aku senang melihat mereka bersujud untuk meminta maaf padaku, walaupun mereka telah meminta maaf, aku tetap membenci mereka, para lelaki, hingga saat ini. "Apa pun yang berhubungan dengan lelaki, aku muak, ingin muntah, dan jengkel. Sampai aku tak menyadari kalau Ayahku juga ... seorang lelaki. Dan tadi, saat di pertemuan, aku tak sengaja menyinggungnya ketika mulutku menghina para lelaki. Aku merasa bersalah, aku minta maaf dan menangis di sana, tapi Ayah terlihat dingin padaku, bahkan dia mengabaikanku. Apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan kasih sayang dari Ayah lagi, Arga?" Tersenyum, Arga mulai memikirkan sesuatu, tak bisa dipercaya, rupanya Victoria yang terkenal keji punya masalah sendiri di kehidupannya, padahal sebelumnya, dia agak kesal pada gadis ini karena telah mengerjainya waktu kemarin di ruang pemenggalan kepala, tapi lupakan saja, hari ini dia tidak bisa merasa kesal pada seorang gadis yang menangis. "Ikutlah denganku, Victoria."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD