BAB 18

3782 Words
Aku hampir tertawa setelah membaca isi pesan itu, siapa sangka kalau aku mendapatkan sebuah ajakan untuk ikut serta dalam sebuah pertarungan antar penulis w*****d. Astaga, aku tidak mengerti, tapi aku tergoda dengan hadiahnya, di sana tertulis kalau aku memenangkan kompetisi itu, maka uang satu milyar akan menjadi milikku. Siapa pun pasti akan terlena dengan tawaran seperti itu, kan? Tapi, aku agak takut jika pesan itu hanyalah ulah dari para penipu. Karena itulah, kubalas saja dengan huruf 'O' saja tanpa merespon dengan baik ajakan tersebut. Namun, dia langsung membalasnya dengan 'kau tidak bisa menolak ajakan ini' membuatku sedikit merinding. "Apa-apaan ini? Dia pikir dia siapa sampai memaksa penulis populer sepertiku untuk terlibat dalam pertarungan aneh begitu!" Aku kesal, jadi aku langsung membalas pesan tersebut dengan 'aku terima tawaran itu jika kau mau membuktikan padaku kalau dirimu bukan penipu' dan baru saja aku kirim, dia membalasnya dengan cepat, aku jadi heran, kenapa dia bisa membalas pesanku sangat cepat? Mengabaikan pemikiran itu, aku membaca balasannya. "Eh? Dia bilang saat ini dia ada di luar jendela kamarku? Hahahha! Ya ampun, aneh-aneh saja, mana mungkin orang asing bisa masuk ke dalam pekaranganku, siapa pun tidak akan bisa memasukinya karena rumahku dikelilingi pagar bertenaga listrik yang dapat menyetrum siapa saja yang hendak mencuri. Itu mustahil! Hahaha!" Namun, tawaku langsung berhenti ketika jendela kamarku ada yang mengetuk-ngetuk. "Eh?" Aku kaget. "Siapa sih yang mengetuk jendelaku? Mungkin tukang rumput." Aku lempar ponsel ke permukaan kasur yang empuk, lalu aku berjalan menghampiri jendela yang masih tertutupi oleh gorden. Setelah kugeser gordennya, mataku terbelalak saat menyadari ada pria bertopeng tengkorak dan berjubah hitam di luar jendelaku. "Si-Siapa dia!?" Aku memundurkan langkahku, tubuhku bergetar, seluruh kulitku merinding, aku tidak percaya ada yang mampu masuk ke dalam pekarangan rumahku. Pria bertopeng tengkorak itu membuka jendelaku yang terkunci dengan mudahnya, dia masuk lewat jendela dan kini aku ketakutan saat orang asing itu sudah berdiri tepat di depanku. Keringat dingin mengucur-ngucur dari leherku. Aku harus menelepon polisi. Tapi, aku tidak bisa menggapai ponselku yang terlalu jauh dari posisiku. Sialan. Apa yang harus kulakukan sekarang? "Tenang saja, Saudara Anita, aku kemari bukan untuk membunuhmu, sebaliknya, aku ingin menunjukkan padamu kalau aku bersungguh-sungguh mengajakmu untuk mengikuti pertarungan itu. Apa kau mau?" "Mu-Mustahil! Aku tidak punya waktu untuk ikut dalam hal-hal aneh seperti itu! Aku harus menuliskan bagian baru pada cerita-ceritaku! Aku tidak mau mengecewakan pembaca-pembacaku!" Pria bertopeng itu menghembuskan napasnya. Suara beratnya kembali bersuara. "Justru inilah keseruannya, Saudara Anita. Kau harus tetap melanjutkan ceritamu di tengah pertarungan itu, aku sudah mengundang para penulis w*****d yang populer, mereka diharuskan untuk mewakili berbagai genre dan untuk genre romantis, hanya kau yang membuatku tertarik, Saudara Anita." Aku meneguk salivaku. Aku benci mendengar ajakan-ajakan aneh yang pria itu katakan padaku. Sungguh, itu benar-benar menjengkelan! Seharusnya sekarang adalah waktuku untuk membalas komentar dari jutaan pembacaku! Dan dia telah merusak waktuku! "Dengar ini! Pria bodoh! Saat ini, aku sangat benci pada orang aneh yang tanpa permisi masuk ke dalam kamarku! Jika orangtuaku melihat ini, kau pasti akan dibawa ke kantor polisi!" "Semua itu sudah kuurus. Mereka tidak akan tahu soal ini. Aku akan membuat replikamu untuk tetap hidup di rumah ini sementara kau pergi ke arena pertarungan bersamaku. Kau tidak bisa menolak ajakanku, Saudara Anita." "Pergi dari kamarku! Pergiiiiii!" Aku melemparkan segala benda yang ada di kamar, tak peduli betapa mahalnya benda-benda itu, aku hanya ingin pria menyeramkan itu pergi dari kamarku. BUP! Secepat kilat, pria itu langsung berada di belakangku dan membekap mulutku dengan kain yang sepertinya sudah diolesi dengan aroma tidur. Perlahan-lahan, penglihatanku mengabur, entah kenapa, rasa kantuk menyerangku tiba-tiba membuatku tidur di pelukan pria bertopeng itu. *** Kubuka perlahan mataku dan aku terkejut karena tiba-tiba, aku berada di sebuah aula luas yang terdapat beberapa orang yang sedang berdiri memunggungiku, mereka kelihatannya sedang mendengarkan pidato dari seseorang yang berdiri di atas podium. Kutelisik lebih jelas, ternyata yang sedang berpidato adalah pria bertopeng yang tadi siang membekapku. Aku menoleh-noleh ke segala arah, tempat apa ini? Dan apa yang mereka dengarkan dari pria aneh itu? Mengapa mereka terlihat serius dalam mendengar pidato itu? Tunggu dulu! Sejak kapan bajuku berubah menjadi sebuah kaos pink bertuliskan 'romantis' ini? Aku tidak mengerti! Tapi, kurasa mereka yang sedang berdiri mendengarkan pidato pun memakai kaos yang sama denganku, hanya saja warna dan tulisannya berbeda. Ada yang memakai kaos bertuliskan 'fantasi' 'misteri' 'fiksi ilmiah' 'horor' dan semacamnya, itu seperti sebuah nama genre-genre sebuah cerita. Eh? Apa mungkin mereka adalah penulis-penulis yang diundang oleh pria aneh itu untuk ikut dalam sebuah pertarungan? Jangan-jangan, dugaanku benar! Soalnya, mereka juga membawa smartphone masing-masing digeggamannya, dan di layar ponselnya sudah terbuka aplikasi w*****d bewarna oren. Karena penasaran, kubangkitkan tubuhku dan berjalan menghampiri seorang wanita yang memakai kaos bertuliskan 'fiksi remaja'. "Maaf, sebenarnya, tempat apa ini? Mengapa aku berada di sini?" Wanita itu menoleh dan tersenyum padaku. "Oh, kau perwakilan dari genre romantis, ya? Perkenalkan! Aku Gina! Perwakilan dari genre fiksi remaja. Sekarang, kita sedang berada di lantai sembilan puluh sembilan di sebuah gedung milik perusahaan w*****d! Kau tahu, kita di sini untuk ikut dalam pertarungan para penulis yang sering di adakan tiga tahun sekali! Dan akhirnya~ aku bisa terpilih untuk mewakili fiksi remaja! Oh, ngomong-ngomong, namamu siapa?" Aku masih belum paham mengapa Gina terlihat senang dengan situasi ini. Tapi, sebaiknya aku pura-pura mengerti saja dan menjawab pertanyaannya. "Jadi begitu, ya? Terima kasih atas penjelasannya, Gina. Namaku Anita, seperti yang tertulis di kaosku, mungkin aku perwakilan dari genre romantis." Tiba-tiba datang seorang lelaki mendekati kami, membuatku agak canggung jika berhadapan dengan lelaki. "Ooooh! Jadi kau Anita penulis populer yang ceritanya selalu jadi ranking pertama di genre romantis, ya? Astaga! Senang sekali bertemu denganmu! Ngomong-ngomong, namaku Andre! Perwakilan dari Fiksi Ilmiah! Salam kenal!" Aku benar-benar tak mengerti dengan keadaan yang menimpaku saat ini, yang ada di pikiranku saat ini hanya satu, yaitu pulang. Aku ingin pulang dari sini. Namun, baru saja aku akan menjawab perkataan Andre, sebuah suara bell berbunyi kencang bersamaan dengan teriakan dari lelaki aneh itu. "PERTARUNGAN RESMI DIMULAI!" Mendengar itu, tiba-tiba, keramahan yang sebelumnya terpampang di wajah Gina dan Andre langsung berubah menjadi seringaian mengerikan, mereka berdua melihatku seperti predator yang menemukan mangsanya. "Ke-Kenapa kalian melihatku dengan seringaian?" Andre dan Gina tersenyum dan berlari menghampiriku. "Karena kami membenci cerita romantis!" BUAG! "PERTARUNGAN RESMI DIMULAI!" Teriakan dari lelaki bertopeng itu langsung mengubah suasana aula yang tadinya tentram menjadi penuh dengan perkelahian antar penulis. Sementara aku, kini tengah dipojokkan oleh Gina dan Andre. Tubuhku sudah terluka akibat sayatan-sayatan yang mereka lakukan padaku, rambut hitamku pun kusut tak beraturan serta wajahku babak belur, sungguh, aku tak menyangka kalau mereka tanpa rasa belas kasih mengeroyokku hingga aku tak berdaya. "Hah, hah, hah," Napasku terengah-engah, serasa sesak. Kepalaku juga pening, tak bisa berkonsentrasi dengan baik. Gina menggelengkan kepalanya melihat penampilanku yang amburadul karena ulahnya. "Oh, kau jadi terlihat seperti korban perisakan, Anita. Hihihi~ aku merasa terhibur." Dia tertawa-tawa seakan-akan aku ini makhluk rendahan yang dapat dia mainkan sesuka hatinya. Aku muak. Aku kesal. Aku ingin membalas perbuatan mereka, terutama Andre yang sudah membuat leherku berdarah karena gigitannya. "Kau lemah sekali. Kukira penulis populer dari cerita romantis memiliki gaya bertarung yang khas, tapi lihatlah? Aku menyesal berkenalan denganmu, Anita." ucap Andre dengan mendecih jijik memandangku. "Ayolah, Andre," Gina merespon ucapan temannya dengan senyuman mengejek ke arahku."Itu terdengar mustahil. Lagipula, dari pertama kali diadakannya pertarungan besar ini, penulis romantis pasti selalu mati paling pertama, kan? Perwakilan genre romantis dari dulunya juga lemah-lemah, bahkan, mungkin saja, seluruh penulis romantis memang tidak berguna dalam pertarungan ini. Hahahaha!" Aku menggelengkan kepala tak setuju, dia pikir siapa sampai seenaknya menilai bahwa penulis romantis semuanya tidak berguna, itu salah. Aku yakin, aku beserta penulis-penulis romantis lainnya mempunyai bakat dalam segala hal, termasuk dalam pertarungan. Tapi sayangnya, aku sejak dulu tidak pernah diajarkan latihan bela diri, membuatku mudah untuk ditindas oleh orang-orang yang sedikit lebih kuat dariku. "Aku tak menyangka kalian memiliki pemikiran pendek seperti itu," Aku memberanikan diri untuk berbicara. Aula ini sudah sepi, sepertinya para penulis yang lain sedang mencari tempat yang cocok untuk melindungi diri dari mara bahaya, membuat suaraku memantul-mantul menimbulkan gema yang indah. "Penulis romantis tidak seburuk yang kalian kira! Aku akan menunjukkan pada kalian kalau pertarungan kali ini, penulis romantis lah yang akan menang dan menjadi juara! Catat itu!" Benar-benar menjengkelkan ketika mereka berdua tertawa sebagai respon dari ucapanku yang penuh dengan keseriusan itu. Selagi mereka terbahak-bahak, aku cepat-cepat melarikan diri dari hadapan mereka. Menerobos pintu yang tertutup, aku berhasil lolos dari sergapan penulis fiksi ilmiah dan fiksi remaja. Syukurlah, setidaknya, aku bisa bernapas lega saat ini. Sekarang, aku sedang berada di ruangan khusus staff w*****d yang sudah tak terpakai, di sana terdapat banyak meja yang berjejer rapi dilengkapi dengan komputer di atasnya, temboknya dipenuhi dengan skedul-skedul penting dari pekerjaan para staff. Aku berjalan, melihat-lihat ruangan staff yang tak berpenghuni itu dengan terkagum-kagum, aku tak mengira kalau ternyata, para staff w*****d pun punya kesibukannya masing-masing dalam mengurusi perusahaannya, sama seperti para penulis yang sibuk dengan tulisannya. Ah, dan secara kebetulan, aku menemukan sebuah kertas-kertas berisi pertarungan antar penulis yang terjadi beberapa tahun yang lalu, kutelisik baik-baik dan aku terkejut. Ternyata apa yang dikatakan Gina dan Andre benar, setiap tahunnya, penulis yang gugur paling pertama dalam pertarungan selalu berasal dari genre romantis, seakan-akan semua orang tahu kalau genre romantis tidak perlu dikhawatirkan karena mereka pasti akan terbunuh dengan cepat karena staminanya yang lemah dan kurangnya keahlian dalam bertarung. Kenyataan itu membuatku tersinggung sebagai penulis bergenre romantis. Aku tidak mau kejadian yang sama terulang kembali. Pantas saja penulis-penulis lain terkesan meremehkan genre romantis, ternyata salah satu penyebabnya ini, ya? Memuakkan. Aku akan membuktikan pada mereka kalau tahun ini, akulah, sebagai penulis romantis, yang akan memenangkan pertarungan. Siapa pun yang berusaha menghalangiku akan kusingkirkan. Aku akan membuat mereka bertekuk lutut padaku. Lihat saja nanti. Aku meremas kertas itu dengan kekesalan yang memuncak. Tidak akan kubiarkan genre kesukaaanku dihina-hina lagi oleh para penulis sialan itu. Bug! Suara pintu digebrug-gebrug dari luar membuatku terkejut. Siapa yang menggedor-gedor pintu dengan kasar begitu? Aku penasaran. "Hey, Anita. Aku tahu kau sedang ada di dalam, kan? Cepat keluar atau kau kuhabisi." Bukankah itu suaranya Gina, bahaya, dia berhasil menemukan keberadaanku. Aku harus bersembunyi. Kemudian, aku menyembunyikan tubuhku di bawah meja, karena ukuran mejanya mungil, membuat badanku terasa sesak sekali di sana, seperti dihimpit oleh pakaian super ketat. BRAK! Pintu ruang staff didobrak hingga hancur berkeping-keping oleh Gina, aku berusaha untuk tidak bersuara agar gadis itu tidak menemukanku. Langkah kakinya yang mendekati meja tempat persembunyianku membuat ketegangan semakin meningkat, kututup mulutku agar tidak menimbulkan suara apa pun. Namun sialnya, ketika siku kananku bergerak, sebuah buku yang bertengger di atas meja tertenggor dan jatuh ke lantai, membuat mukaku langsung cemas, aku yakin, Gina pasti menyadari ada yang aneh di ruangan ini. Terbukti kalau langkahnya yang sebelumnya agak menjauh dari meja kembali mendekat, mungkin Gina berniat untuk mencari tahu ada apa di bawah meja ini sehingga buku sampai terjatuh sendiri dan tergeletak di lantai. "Kuharap aku menemukan sesuatu yang menarik di bawah sini." Ketika Gina menjongkokkan badannya untuk melihat sesuatu di bawah meja, aku langsung mengangkat meja ini sampai gadis itu terbanting ke samping mengenai meja-meja staff lain, membuat buku-buku yang ada di atas meja berjatuhan secara bersamaan. Aku langsung kabur, meninggalkan Gina yang kondisinya menyedihkan karena tertumpuk oleh buku-buku cetakan milik para staff. Sialnya, ada Andre yang berdiri sambil melebarkan tangannya, sepertinya lelaki itu sedang berusaha menghalangi dan menangkapku untuk kembali diculik olehnya. Aku tidak mau. Pokoknya, aku akan membuat mereka menyesal karena telah meremehkanku! "Mau ke mana kau, Anita?" Kedua tangan Andre semakin dilebarkan agar aku tidak bisa melewati jalan yang dihalanginya. Sialan. Bagaimana caranya agar aku bisa melewati lelaki itu? BUAG! BUAG! Andre, sang penulis fiksi ilmiah, langsung tumbang ketika punggungnya ditinju oleh sebuah bayangan yang muncul di belakangnya. Aku terperanjat melihat Andre terjungkal ke lantai dengan bantingan yang sangat keras. Bayangan itu perlahan-lahan menunjukkan wujudnya di mataku, rupanya bayangan itu adalah seorang wanita berkerudung dan bercadar hitam, dia mendatangiku dengan mata menyipit yang bisa diartikan kalau dia sedang tersenyum padaku. "Tidak baik berkeliaran sendirian di tengah pertarungan ini, Nona. Kau harus membuat tim agar bisa bertahan hidup di sini." Wanita itu datang dan mengusap-usap rambutku seperti seorang ibu menyayangi anaknya. "Te-Terima kasih sudah menolongku, Tante. Tapi, kau siapa?" Aku sedikit curiga pada wanita asing yang ada di depanku ini. Bukannya tidak tahu terima kasih atau apa, hanya saja, mengingat aku berada di tengah-tengah pertarungan, aku takut jika wanita itu sedang mengelabuiku dengan berpura-pura menjadi sosok malaikat baik hati, dan menusukku dari belakang. Aku tidak mau itu terjadi padaku. Karena itulah, aku menepis tangannya yang sedang mengusap-usap kepalaku. Wanita itu menghela napasnya saat menyadari kalau aku tidak mempercayainya. "Namaku Eliza, penulis w*****d yang berasal dari genre Acak. Kau bisa menyebutku sebagai tukang sampul karena aku selalu membuat sebuah sampul untuk penulis-penulis di w*****d yang membutuhkannya, itu adalah salah satu kesibukanku. Tapi, jangan cemaskan aku, walaupun begitu, tulisanku lumayan rapi, lho." Jadi dia tukang sampul? Kukira dia seorang penulis. Aku mengernyitkan keningku. Ternyata bukan hanya penulis dari genre umum saja yang diundang, bahkan penulis-penulis yang berasal dari genre konyol saja hadir di pertarungan ini. Membuatku semakin berpikir kalau pertarungan antar penulis ini menjadi semakin menarik. Bertemu dengan Tante Eliza membuatku sedikit tenang, dia terlihat seperti wanita kuat yang suka melindungi orang-orang lemah, buktinya, dia mampu membuat Andre yang notabanenya adalah seorang lelaki, bisa sampai pingsan dengan pukulannya. Aku yakin, Tante Eliza pandai bertarung, dia juga mengatakan padaku kalau aku harus membuat tim agar bisa bertahan hidup, seperti Andre dan Gina, mungkin kalau aku satu tim dengan wanita bercadar itu, aku dapat selamat dari bahaya apa pun. Baiklah, keputusanku sudah bulat, aku ingin satu tim dengannya. "Anu ... Tante Eliza," kataku mengeluarkan suara yang agak canggung saat kami telah berada di dalam lift untuk turun ke lantai sembilan puluh delapan. "Katamu aku harus membuat tim bersama seseorang, kan? Bagaimana kalau kita satu tim? Maksudku, aku ingin satu tim denganmu, mungkin aku hanyalah orang lemah di matamu, tapi aku berjanji, jika kamu menerimaku sebagai tim, aku akan berusaha untuk bisa berguna di pertarungan ini." Lift masih terus bergerak turun, suasana di dalam tempat sempit itu seketika mendingin, entah karena pendingin ruangannya diaktifkan atau perasaanku yang canggung, tapi ini seriusan, badanku kedinginan. "Ngomong-ngomong, kau belum memberitahu namamu padaku, Nona?" Ah, astaga, aku lupa soal itu. Kuhembuskan napas kemudian langsung menjawabnya. "Namaku Anita, Tante. Aku perwakilan dari genre romantis, aku tidak tahu mengapa aku bisa terlibat dalam pertarungan ini, tapi setelah aku bertarung dengan Gina dan Andre, aku jadi tertarik untuk memenangkan pertarungan ini, soalnya mereka meremehkanku, mengesalkan." Mendengar ucapanku membuat kelopak mata Tante Eliza menyipit, dia sedang tersenyum di balik kain hitam yang menutupi mulutnya itu. Suara 'ting!' terdengar dari dalam lift menandakan kami sudah sampai di tempat tujuan. Pintu lift secara perlahan terbuka, menampilkan ruangan kantor yang sudah berantakan, banyak sekali kertas-kertas yang berserakan di lantai, darah berceceran di mana-mana, dan benda-benda seperti meja, lemari dokumen, dan yang lainnya berada di tempat yang tidak semestinya. Mataku tidak henti-hentinya membulat, keterkejutanku memandang ruangan yang kacau balau membuatku berpikir kalau pertempuran antar penulis ternyata bisa semengerikan ini. Tante Eliza melintasi ruangan itu dengan kalem, mengabaikan segala kekacauan itu dan merespon ucapanku yang tadi tanpa menolehkan mukanya padaku. "Jadi namamu Anita, ya? Nama yang indah, melambangkan kedamaian yang sejahtera, cocok sekali seperti warna matamu yang kelam itu. Aku menyukainya," kata Tante Eliza sambil kakinya terus berjalan, menginjak darah yang berceceran di lantai. "Mengenai sebuah tim, maafkan aku, Anita, aku tidak bisa melakukannya. Walaupun aku juga ingin satu tim denganmu, tapi aturan dalam pertarungan yang hanya mengizinkan dua orang dalam sebuah tim, membuatku tak bisa satu tim denganmu karena aku sudah membuat tim dengan seseorang sebelum bertemu denganmu." Mengecewakan. Harapanku pupus setelah mendengar jawaban dari Tante Eliza, kukira dia akan menerimaku sebagai timnya, tapi ternyata, dia sudah membentuk tim dengan seseorang. Andai saja aturan di pertarungan ini mengizinkan seorang petarung membuat tim dengan lebih dari dua orang, sayangnya itu mustahil. Mataku sayu seketika, seperti orang yang tak punya gairah hidup. "Be-Begitu, ya. Aku tak tahu ada aturan seperti itu," Aku cengengesan, menutupi rasa kecewaku. Perhatianku langsung teralih pada kekacauan di sekeliling ruangan ini. "Ngomong-ngomong, aku heran, mengapa kita diharuskan membunuh sesama manusia untuk bisa memenangkan pertarungan ini? Bukankah itu terlalu kejam?" Langkah Tante Eliza berhenti ketika mendengar pertanyaanku. Wanita berkerudung itu menolehkan kepalanya sedikit padaku yang sedang berjalan di belakangnya. Sepertinya dia kaget mendengar pertanyaan itu, membuatku bingung melihat ekspresi matanya yang melemas. "Bukankah semuanya sudah dijelaskan oleh Ambassador w*****d yang tadi berpidato di aula? Kau tidak mendengarkannya, ya? Kalau begitu, akan kujelaskan padamu dari awal agar kau mengerti mengapa kita diharuskan untuk membunuh sesama manusia di pertarungan ini," ucap Tante Eliza dengan membalikkan badannya dan menghampiriku, membuatku tegang seketika. "Dari yang aku dengar, sebelum kita datang ke sini, lelaki bertopeng yang merupakan seorang Ambassador di sini telah menanamkan sebuah kristal kecil di kepala kita, benda itu merupakan poin awal dari diri kita yang bernilai seratus, untuk memenangkan pertarungan ini, kita diwajibkan mendapatkan setidaknya seribu poin, yang artinya, kita harus mengambil kristal yang ada di kepala orang lain agar poin kita bertambah. Namun, kita tidak akan bisa mengambil kristal tersebut jika pemiliknya masih hidup, maka, jalan satu-satunya agar kita bisa mengambil kristal orang lain adalah membunuh pemiliknya. Kedengarannya memang sangat kejam, tapi jika kita tidak membunuh orang lain, kitalah yang akan terbunuh di sini. Apa kau sudah paham, Anita?" Wow. Jadi begitu rupanya, karena tadi aku tidak mendengarkan penjelasan dari pria bertopeng itu, membuatku sedikit terlambat dalam memahami aturan dari pertarungan ini. Aku sangat bersyukur karena ada orang yang rela memberitahuku soal ini, jika tidak ada yang memberitahu, mungkin aku hanya akan menghabisi orang lain tanpa mengambil kristal di kepalanya. Ah, mengenai kristal, aku jadi penasaran, apa benar di kepalaku sudah tertanam sebuah kristal? Kemudian, aku langsung meraba-raba puncak kepalaku dan mendadak lenganku menyentuh sebuah benda yang licin dan berliuk, ternyata benar, ada sebuah kristal yang tertanam di sana. Aku tersenyum tipis. "Terima kasih, Tante, karena sudah menjelaskan hal itu padaku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana nasibku ke depannya jika terus melanjutkan pertarungan ini tanpa mengetahui aturannya." Aku menundukkan mukaku karena malu menatap mata Tante Eliza, lalu, sedetik kemudian, aku mendapatkan sebuah pertanyaan yang terlintas di kepalaku. "Oh iya, Tante. Aku ingin bertanya, siapa penulis yang menjadi bagian dari timnya Tante? Dia berasal dari genre apa?" Tiba-tiba saja, Tante Eliza memasang ekspresi dingin dari matanya, dia mengerlingkan bola matanya ke samping, seperti orang yang malas karena harus membahas seseorang yang tak disukainya. "Sebenarnya, dia dari tadi ada di sampingmu, Anita." "Eh? Di-Di sampingku?" Aku kaget. Apa maksudnya itu? Kurasa tidak ada seorang pun yang ada di sampingku, tapi mengapa Tante Eliza berkata demikian? Kebingunganku terus meninggi sampai akhirnya, aku sadar kalau ada suara napas yang menderu tepat di sebelahku. Kulirik ke samping, tidak ada siapa-siapa. "Halo." Terdengarlah suara serak-serak basah seorang lelaki di sampingku, membuatku bergidik ngeri hingga aku melarikan diri ke belakang tubuh Tante Eliza. Aku gemetaran di punggungnya Tante Eliza, ini mengerikan. Baru kali ini aku mendengar suara tanpa wujud tepat di dekatku, itu sangat menakutkan. Tidak mungkin seorang manusia bisa hidup tanpa menampakkan wujudnya, kan? Tapi mengapa telingaku bisa mendengar suara manusia tanpa rupa? Jangan bilang kasusnya sama seperti dalam novel Harry Potter yang dapat menyembunyikan wujud seseorang dengan mengenakan jaket sihir yang membuat orang tersebut seakan-akan hilang dari posisinya, tapi ayolah, ini bukan cerita fiksi! Ini kenyataan. "Ahaha, maaf-maaf, Anita. Tampaknya untuk saat ini dia sedang tak ingin menampilkan wujudnya. Dia orangnya agak pemalu, tapi percayalah, dia ahli dalam bertarung jarak dekat." kata Tante Eliza padaku yang ada di belakang punggungnya, aku meremas pakaiannya karena masih merinding. "Ta-Tante, suruh dia tampakkan wujudnya padaku, aku tidak bisa mengendalikan rasa takutku. Mungkin saja setelah melihat bentuk aslinya, ketakutanku bisa reda. Kumohon." "Baiklah," Kali ini, bukan Tante Eliza yang menjawab, melainkan lelaki tanpa rupa itu, bahkan, aku sendiri pun tak tahu dia berada di mana, bisa saja dia ada di belakangku. "Aku akan memperlihatkan wujudku padamu, Anita." WUSH! Sebuah angin kecil berputar-putar di hadapanku, perlahan, putaran angin itu tergantikan dengan kemunculan seorang lelaki berambut biru dengan wajah pucat seperti orang sakit, ia mengenakan sebuah jaket tebal dan sepasang sapu tangan. Penampilannya seperti seseorang yang tinggal di pemukiman bersalju. Apakah dia masih tergolong orang lokal? "Ini aneh, mengapa dia dapat menghilangkan wujudnya seperti di cerita-cerita fiksi, Tante?" Aku bertanya pada Tante Eliza, aku mulai melepaskan cengkramanku pada baju wanita bercadar itu, ketakutanku menurun setelah melihat wujud asli dari suara mengerikan itu. "Bahkan kau tak tahu soal itu, Anita?" respon Tante Eliza terdengar menyentilku, seolah-olah aku ini sosok manusia polos yang tak tahu apa-apa mengenai dunia ini. "Kristal itu," Kini lelaki pucat itu yang berbicara, membuat perhatianku berpaling padanya. "Kristal yang terdapat di kepala kita memiliki kekuatan masing-masing, aku ... tidak bisa menjelaskannya dengan teliti, tapi sepertinya, setiap orang yang terlibat dalam pertarungan ini diperbolehkan untuk bertempur menggunakan kekuatan dari kristal tersebut, hanya saja, tidak semuanya mampu mengaktifkan kekuatan itu, karena sejatinya, hanya penulis-penulis berkualitas lah yang bisa mengendalikan kekuatan itu. Aku bukannya berniat menyombongkan diri padamu, tapi itu memang kebenarannya, Anita." Hanya penulis-penulis berkualitas, katanya? Benar-benar menyebalkan. Itu artinya, walaupun aku punya kristal di kepalaku, aku tidak akan bisa mengaktifkan kekuatannya jika aku bukanlah seorang penulis berkualitas. Sungguh, mendengar perkataan lelaki pucat itu membuatku kesal pada kenyataan ini. Secara tidak langsung, dia mengatakan kalau mereka yang tak mampu mengendalikan kekuatan kristal adalah penulis-penulis tidak berkualitas atau bisa disebut, penulis rendahan. Mencoba untuk melupakan kemarahanku pada pernyataan yang lelaki pucat itu katakan, aku melontarkan pertanyaan personal padanya. "Aku kaget, ternyata tidak semua penulis bisa mengaktifkan kekuatannya, ya? hahaha. Lalu, sebelumnya, siapa namamu?" Lelaki pucat itu menatapku dengan tatapan malas. "Panggil saja aku Yoga. Aku seorang penulis yang berasal dari genre fantasi, aku suka salju, aku benci cabai. Itu saja. Kau tidak perlu memberitahu identitasmu padaku karena aku sudah mengetahuinya ketika mengikuti kalian berdua kemari." "Yoga, Anita, sepertinya sampai di sini dulu kita mengobrolnya, karena ada dua makhluk yang sudah tak sabar ingin melenyapkan kita di pojok ruangan." Ucapan Tante Eliza membuat aku dan Yoga langsung mengalihkan pandangan ke tempat yang disebutkannya dan rupanya benar, ada dua orang yang sedang berdiri memperhatikan kami bertiga dengan sorot mata mengintimidasi. "Rrrrrrr, kita sudah ketahuan, Eva. Bagaimana dong?" tanya seorang gadis yang mengenakan kaca mata sambil membawa buku tebal itu dengan nada yang manja pada temannya bernama Eva. "Penggal saja leher mereka, Devi. Ambil mutiaranya, lalu kita bagi hasilnya bersama-sama." kata gadis diketahui namanya adalah Eva, dia membawa gitar di punggungnya, kelihatannya dia merupakan sosok yang bisa diandalkan dalam tim. Setelah Eva mengatakan itu, Devi, si gadis berkaca mata, langsung berlari, melompati meja-meja yang menghalanginya, dan tersenyum ketika posisinya sudah sangat dekat dengan kami. "Rrrrrr~ Perkenalkan! Namaku Devi! Aku adalah penulis dari genre cerita pendek! Dan apa kalian tahu? Semua penulis yang berhadapan denganku pasti akan ... BERUMUR PENDEK!" BLEDAR!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD