BAB 15

4704 Words
Musim dingin telah turun, menyelimuti panti asuhan Antaroza dengan hujan salju, membuat genting dan pepohonan tertutupi oleh salju yang tertiup kencang. Hawa dingin mulai menusuk kulit para manusia yang tinggal di sana, apalagi mereka yang terkurung di sel bawah tanah, karena angin super dingin itu berhembus masuk melalui sela-sela atap yang berlubang, membuat para tahanan hampir mati membeku. Termasuk aku yang berada di salah satu sel bersama dua temanku, kami bertiga meringkuk di lantai karena tidak kuat menahan hawa dingin yang semakin lama semakin membunuh. Kami juga memeluk tubuh kami sendiri dengan erat, mencoba menghangatkan diri. Tidak adil sekali melihat Liona dan Susy yang tertidur nyenyak menggunakan selimut super tebal pemberian robot kucing itu, kalau tahu akan jadi begini, seharusnya aku juga meminta satu untukku, tapi sayangnya, robot itu hanya datang ketika waktu tertentu saja. Padahal, tadi sore cuaca masih hangat-hangat saja, tapi mengapa tiba-tiba datang badai salju saat semua orang akan pergi ke alam mimpi? Tentu saja itu membuat kami tidak bisa tidur nyenyak jika terus begini. Ternyata cuaca memang sulit diprediksi, ya? Aku cukup penasaran pada para tahanan yang punya insting kuat untuk meminta selimut pada robot kucing itu tadi sore, termasuk Liona dan Susy, apakah mereka sudah mengetahui sejak awal bakal ada badai salju yang akan turun di malam hari? Mengerikan sekali, membayangkannya saja membuatku takut, maksudku, mungkin saja, Liona dan Susy itu memiliki indera keenam, sama seperti tahanan-tahanan lain yang juga meminta selimut dalam waktu bersamaan. "Hey, Niko, jangan menilai aneh-aneh tentang mereka." tiba-tiba Merki bersuara dari sebelahku, kami sedang dalam posisi yang sama di lantai, yaitu meringkuk seperti kucing. "Huh? Apa maksudmu?" Jujur saja, aku barusan memang berpikir hal-hal aneh tentang orang-orang yang meminta selimut tadi sore, karena kupikir mereka seperti seseorang yang memiliki indera keenam, tapi, bukankah aku tidak mengatakan apa pun pada Merki soal itu? Ayolah, aku kan sedang berbicara dipikiranku? "Kau sudah lupa, ya?" Merki menggeserkan badannya mendekatiku, lalu dia tersenyum tepat di depan wajahku, senyumannya sangat menakutkan. "Aku punya pendengaran yang tajam, lho." Ah, aku lupa soal itu! Merki memang memiliki kelebihan itu, yang bisa mendengar suara apa pun walau terhalang oleh dinding atau pun baja sekali pun. Wajar saja, dia pun bisa mendengar pikiran orang lain, tapi tetap saja, tidak sepenuhnya bisa didengar. Aku menghembuskan napas. "Huh, iya-iya, aku tahu," ucapku dengan memutarkan bola mataku. "Aku berpikir begitu karena aku iri melihat mereka yang bisa tidur enak dengan selimut yang tebal, sedangkan kita ...." "Kurasa begini menyenangkan," kata Merki. "Aku mengerti perasaanmu, tapi, jika kau memutar balikkan fakta, bukankah di tempat ini hanya kita yang bisa bersenang-senang? Dengan posisi meringkuk begini, kita bisa melakukan apa saja, seperti," Merki langsung melebarkan lengannya membuat tubuhku dan tubuh Marcell bergeser ke pojokan. "Menyingkirkan teman-temanmu dari areamu sendiri." Aku beranjak dari lantai dan tersenyum lebar. "Dan kurasa, aku akan memberi pelajaran pada dia yang telah menyingkirkan tubuh teman-temannya! Haha!" Dan aku langsung menggelitik badan Merki hingga kami berdua tertawa bersamaan. Bug! Mendadak, Marcell bangun, dia menoleh padaku dan Merki dengan tatapan tajamnya yang menusuk. "Aku tidak suka tidur nyenyakku diganggu oleh orang-orang bodoh seperti kalian." Kemudian, dia kembali berbaring, memunggungi kami. Ada yang aneh, aku langsung bertanya pada Marcell. "Hmm, ngomong-ngomong dari mana kau mendapatkan kaca mata baru itu, Marcell?" "Bukan urusanmu." balas Marcell yang masih tidur memunggungi kami. Dia itu kalau tidur sangat merepotkan, kami pasti harus menjaga suara agar dia tidak terbangun dan melontarkan kalimat-kalimat tajam seperti tadi. Benar-benar merepotkan. Merki mencolek pinggangku, lantas aku menengok padanya. "Ada apa?" tanyaku dengan antusias. "Tadi siang, Marcell meminta sendiri pada robot kucing untuk diberikan kaca mata yang baru, dan robot itu langsung memberikan benda itu sore tadi, di saat Liona dan Susy meminta selimut hangat." jelas Merki dengan tersenyum hangat. "Hey, Niko, kurasa aku tidak pernah melihatmu meminta sesuatu pada robot itu, apa kau tidak punya rencana untuk meminta suatu benda?" Aku merenung seketika, Merki benar, selama ini, aku tidak pernah meminta apa pun pada robot itu, padahal semua orang di sekitarku selalu melakukannya. Aku terlintas sesuatu, ya, mungkin itu bisa kujadikan sebagai permintaan pada robot itu. "Baiklah!" Aku menepuk telapak tanganku dengan semangat. "Aku akan meminta celana dalam pada robot itu!" Mendengarnya, Merki menahan tawa. "Yah, kurasa itu permintaan yang bagus." ☆☆☆ "Niko bodoh! Niko bodoh! Niko bodoh! Mana mungkin Gerry mengabulkan permintaan bodohmu itu! Niko bodoh!" Esoknya, aku malah dimarahi oleh Gerry, robot kucing yang selalu memberikan makanan pada para tahanan. Dia berkata kalau permintaanku mengenai celana dalam adalah hal yang bodoh, jika itu salah, lalu aku harus meminta apa? "Jangan menyebutku bodoh tiga kali, Gerry!" Aku gemas sekali pada robot itu, mulutnya itu terlalu pedas, mirip seperti Marcell, tapi raut wajahnya selalu saja tersenyum walaupun kata-katanya kasar. Dasar robot. "Karena Niko memang bodoh! Gerry tidak suka orang bodoh seperti Niko! Orang bodoh tetaplah orang bodoh!" "Uuuuurghh!!" Aku benar-benar kesal sekali mendengar Gerry mengatakan itu padaku, rasanya aku ingin membanting tubuhnya hingga rusak dan melemparkan semua benda yang ada di dalam badannya. Sayangnya, dia selalu saja mengeluarkan pistol laser jika ada seseorang yang membahayakan dirinya. Sungguh, mama memang hebat bisa merancang dan menciptakan robot semenyebalkan Gerry. "Aku setuju pada robot payah itu." ucap Marcell dengan tersenyum dingin, membuatku semakin kesal saja. "Gerry tidak payah! Marcell yang payah di sini! Marcell payah! Marcell payah!" Mendengar dirinya diejek oleh Gerry membuat Marcell sedikit berkedut jengkel. Merki yang melihat kami bertengkar bersama robot hanya bisa tertawa riang, mencoba mencairkan suasana agar tidak terlalu serius. Dia memang ahlinya dalam menstabilkan keadaan. ☆☆☆ Seperti biasa, kegiatan kami selain dikurung di dalam sel, kami juga diperintahkan untuk bekerja di kebun yang terletak di halaman belakang panti. Para tahanan selalu mengenakan baju belang-belang berwarna hitam dan putih, saat melakukan pekerjaan kebun. Para pria tugasnya mencangkul, membuat cangkokan, mengubur sayuran yang busuk, dan menanamkan sayur-sayuran yang masih mungil ke dalam tanah. Sementara para gadis pekerjaannya hanya menyiram, membuat makanan dan menyemangati lelaki. Sungguh perbedaan yang sangat mencolok, bukan? Padahal sedang hujan salju, tapi kami tetap saja dipaksa untuk berkebun, ini memang penyiksaan. Apakah mama memang sengaja membuat kami kedinginan di luar? Kejam sekali. "Aku tidak tahan lagi!" Aku langsung membanting cangkulku ke tanah, membuat Susy yang ada di sebelahku terkejut. "Eh? Ka-kau kenapa, Niko?" "Aku ingin protes pada Mama! Dia jahat sekali memerintahkan kita berkebun pada musim dingin seperti ini tanpa dibaluti jaket berbulu yang selalu dia pakai! Aku kedinginan sekali di sini!" Susy tersenyum gugup melihatku marah-marah, dia menyibak poninya yang hampir menutupi mata dan berkata, "Ja-jangan khawatir, sebentar lagi, kita pasti diberikan jaket itu, tetaplah bertahan, Niko." ucap Susy menyemangatiku, mendengar gadis itu berbicara membuatku terharu. Baru kali ini aku berbicara empat mata dengan Susy, biasanya aku juga agak malu jika hanya berdua dengannya. "Um!" Aku mengangguk cepat, seperti seorang tentara yang menghormati jenderalnya. "Aku pasti akan bertahan!" Susy tersenyum lega mendengar jawabanku, melihat senyumannya benar-benar membuatku senang. Semua tahanan sibuk dengan urusannya masing-masing, mereka semua melakukan tugasnya dengan sangat cepat. Karena udara salju yang tebal membuatku tidak bisa melihat dengan jelas pada orang-orang yang ada di dekatku, bahkan, dari sini, aku seperti memandang bayangan saja. Badainya semakin kencang saja. Ini gawat! Tapi, mengapa mereka semua masih bersikap seperti biasa, berkebun, mencangkul, menyiram, bercanda, seolah-olah mereka lupa kalau saat ini badai salju sedang berlangsung. "Susy!" Tidak ada jawaban, semuanya tampak tidak jelas karena angin yang berhembus sangat kencang, sampai butiran-butiran salju itu bertumpuk di tubuhku, sampai kakiku saja sulit melangkah karena menginjak bongkahan salju yang mengumpul di tanah. "Marcell! Liona! Merki! Susy! Kalian masih ada di sana, kan?" Tiba-tiba, ada sebuah tangan yang mencengkram kedua betisku dari dalam tanah, aku terkejut menyadarinya, tapi, saat aku akan berteriak, tubuhku langsung ditarik ke bawah, tenggelam di tumpukan salju dan masuk ke dalam tanah, meninggalkan para tahanan yang masih bekerja di halaman belakang panti. "WOAAAH!! SIAPA PUN! TOLONG AKU!" Di pagi hari pada musim dingin, aku dan para tahanan lainnya diperintahkan oleh mama untuk berkebun di halaman belakang. Aku dan yang lainnya menuruti kemauan wanita itu dan pergi untuk berkebun. Salju semakin lebat, mengakibatkan beberapa dari para tahanan menghentikan kegiatannya dan beristirahat di dalam tenda, tapi, semua yang masih kuat untuk bekerja tetap berada di kebun walaupun tanah sudah tertumpuk-tumpuk oleh salju. Termasuk aku yang masih tetap semangat dalam berkebun di tengah badai salju. Namun, karena badainya semakin parah, mataku jadi sulit untuk melihat keadaan yang ada di depan, butiran-butiran salju yang berjatuhan secara beruntun terus menghalangi pandanganku, membuatku merasa gelisah, ditambah, kulitku hampir membeku karena suhu yang sudah semakin dingin. Grab! Tiba-tiba saja, aku merasakan sebuah tangan manusia mencengkram kedua betisku dengan sangat kuat sehingga aku tidak bisa berkutik. Aku sudah memanggil nama teman-temanku berurutan, tapi tetap saja, tidak ada jawaban dari mereka, seolah-olah, keberadaan mereka telah lenyap ditelan bumi. Karena ketakutan, aku mencoba menggerak-gerakkan kedua kakiku agar cengkraman itu lepas, tapi sayangnya, itu tidak berhasil. Akhirnya, aku menyerah, dan membiarkan cengkraman itu terus melukai betisku. Aku pikir, itu hanyalah ulah orang-orang yang usil, ternyata tidak, nyatanya, tangan itu malah menarik kedua kakiku secara paksa untuk masuk ke dalam bongkahan salju di tanah dengan sangat kuat. Lantas, karena bingung harus melakukan apa, aku berteriak untuk meminta pertolongan pada siapa pun yang mendengarku. Namun, harapanku pupus seketika karena aku tahu kalau mereka semua tidak dapat mendengar suaraku. Dan akhirnya, seluruh tubuhku telah tenggelam ke dalam tanah bersalju, kedua kakiku terus ditarik ke bawah oleh tangan itu, sesekali kulitku bergesekan dengan bebatuan keras, cacing-cacing yang menggeliat, dan beberapa hal yang mengerikan lainnya. Aroma tanah tercium masuk ke dalam hidungku, aku masih merasakan sensasi jatuh, aku heran dengan hal ini, mengapa aku terus-menerus dihadapkan dengan peristiwa-peristiwa aneh. Aku sudah muak dengan ini semua, ya Tuhan. BUG! Akhirnya, punggungku telah mendarat di sesuatu yang sangat empuk seperti kasur, aku bingung mengapa di bawah tanah ada benda sekenyal ini? Semuanya masih gelap, dan itu wajar, karena aku sedang berada di kedalaman ribuan meter dari permukaan tanah, setelah menyadari itu, aku malah kaget karena pikiranku jadi mengarah kepada 'bagaimana caranya aku kembali ke permukaan setelah berada di kedalaman yang sangat-sangat-sangat dalam ini?' begitulah singkatnya otakku mencerna mengenai keadaan saat ini. Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya, woah, ternyata di sini masih ada oksigen. Syukurlah, soalnya jika udara tidak ada, maka aku tinggal menunggu ajal menjemputku dan itu memilukan sekali. "Sebenarnya, mengapa aku di bawa ke sini? Dan tangan siapa yang telah menarik kakiku hingga aku dibawa ke tempat gelap seperti ini?" gumamku dengan tubuh merinding. "Halo? Apakah di sini ada orang?" Tik! Tiba-tiba ada sebuah lampu tidur menyala di sampingku, rupanya dugaanku memang benar. Kini pantatku sedang duduk di atas kasur yang empuk, dan aku terkejut setengah mati saat sadar kalau saat ini ada tiga orang yang sedang menatapku tepat di depan wajahku, hanya terpisah beberapa senti kedekatan mukaku dengan muka mereka. Mereka semua terlihat seperti sekelompok orang yang mencoba mengenali bau badanku dengan mengendus-endus kedua pipiku. Sebenarnya, apa yang mereka inginkan dari orang sepertiku? "Hm? Masih kurang, Gizel." ucap pria berwajah cantik dengan rambut pirang terurai seperti Liona pada temannya. Lelaki berambut merah bernama Gizel yang ada di sebelahnya mengangguk dengan serius. "Kau benar, Harmon, yang ini masih kurang. Bagaimana menurutmu, Heyna?" Dan wanita imut berambut ungu yang ada di sudut paling kiri menganggukkan kepala mungilnya dengan bibir cemberut mendengar namanya disebut. "Ya! Kalian benar! Orang ini masih kurang! Menurut kalian, apakah dia layak untuk direkrut ke dalam kelompok kita?" Aku yang mendengar pembicaraan mereka merasa kurang paham karena dari tadi, mereka hanya berkata 'masih kurang dan masih kurang' tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya mereka bicarakan dengan memandangi mukaku sedekat ini. "Ma-maaf," ucapku mencoba menyela pembicaraan mereka. "Aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan tentangku, tapi, mengapa aku dibawa ke sini? Dan siapa kalian?" Mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulutku membuat mereka terkejut secara serempak, kedua mata dari tiga orang itu tampak menampilkan bintang-bintang kecil yang berputar-putar, menandakan kalau mereka saat ini sedang sangat senang. "Uww! Dia bisa bicara! Aku mendengarnya bicara! Apa kalian mendengarnya juga, Gizel, Heyna?" pekik Harmon, pria feminim berwajah cantik dan berambut pirang, dia memukul-mukul pundak temannya yang bernama Gizel. Gizel tersenyum lebar sambil memandangku, dia membiarkan pundaknya dipukul-pukul oleh Harmon. "Ini sangat raaah sekali! Rasanya aku seperti guaaah sekali! Bahkan aku jadi ingin urraah sekarang juga! Aku juga mendengarnya bicara, Harmon! Bagaimana denganmu, Heyna?" Heyna dengan wajah super imutnya tersipu malu melihat wajahku. "Ummm! Setelah mendengar suaranya, aku jadi malu! Dia jantan sekali, tidak seperti kalian! Aku-aku-aku ingin mengecupnya!" Saat bibir Heyna akan mengecup bibirku, aku langsung menahannya dengan telapak tanganku, membuat mukanya sepenuhnya tertutupi oleh tanganku. "Aku tidak mau dikecup oleh gadis asing sepertimu! Cepat katakan padaku! Sebenarnya, siapa kalian? Mengapa kalian tinggal di bawah tanah? Dan kenapa membawaku ke sini?" Setelah melihat reaksi mereka, aku jadi berpikir kalau mereka bertiga hanyalah sekumpulan remaja bodoh yang tidak punya masa depan. Harmon yang tingkahnya feminim walaupun dia itu lelaki. Gizel yang tidak bisa menjelaskan sesuatu dengan benar. Dan Heyna yang punya wajah imut tapi cukup murahan sebagai perempuan, mereka bertiga benar-benar bodoh, bahkan kebodohan mereka sepertinya melebihiku. Buktinya, mereka malah tinggal di bawah tanah di saat semua manusia hidup di permukaan. Mendengar pertanyaanku, muka Harmon berseri-seri seperti seseorang yang baru saja mendapatkan kado spesial dari pacarnya. "Uwww, jika kau bertanya begitu, terpaksa aku harus menjawabnya. Sebenarnya, kau dibawa ke sini karena kami tertarik padamu. Dan soal siapa kami, biar Gizel saja yang menjawabnya!" "Tertarik padaku?" kataku dengan alis mengkerut tidak mengerti. "Ehem!" Gizel berdehem, membuat semua mata menatap ke arahnya. "Aku, Harmon, dan Heyna adalah anak-anak dari panti asuhan Gantaroz, kami tinggal di sini karena tidak tahan dengan tekanan dari pria yang mengurus kami, dia selalu mengancam kami jika kami berbuat ulah. Pokoknya, jika dibayangkan seperti graaaaaah! Begitulah." "Huh?" Aku kaget mendengarnya. "Panti asuhan Gantaroz? Aku tidak pernah mendengarnya, tapi jika tempat itu memang ada, itu artinya--" Belum sempat aku melanjutkan ucapanku, Heyna langsung memotongnya secara sepihak. "Itu artinya, kita adalah teman! Yeaaay!" ucap Heyna dengan tersenyum ceria, tingkahnya benar-benar imut, aku ingin mencubit pipinya tapi aku takut dia mengecupku tiba-tiba, jadi kuurungkan saja niatku itu. "Te-teman?" Aku mengedikkan bahu. "Aku tidak bilang begitu, lho? Seharusnya kau menunggu aku menyelesaikan omonganku!" "Oh, maaf-maaf, hihihi!" Bahkan, saat dia tertawa pun, suaranya sangat imut. Dia lebih imut jika dibandingkan dengan Susy dan Liona. "Oh ya, aku penasaran, mengapa kalian tadi berkata 'masih kurang-masih kurang' padaku? Sebenarnya, apa maksudnya itu?" Heyna, Harmon, dan Gizel terkikik-kikik bersamaan mendengar itu. "Kami tadi hanya sedang menilai penampilanmu saja, 'masih kurang' yang kami maksud itu mengenai ketampananmu! Hahah!" Aku cukup tersinggung mendengar ucapan Harmon padaku, dia sedang meledekku rupanya. "Namamu siapa, ngomong-ngomong?" tanya Gizel padaku dengan nyengir kuda. Tampaknya lelaki ini cukup keren juga, karena gayanya cukup gagah dibandingkan denganku. "Niko Antarez," jawabku dengan spontan. "Aku berasal dari panti asuhan Antaroza." Mendadak, wajah mereka menunjukkan rasa kesal padaku, seolah-olah aku telah menghina harga diri mereka, padahal yang kulakukan hanyalah memperkenalkan diriku itu siapa dan berasal dari mana? Lantas, apa-apan itu? Mereka memasang muka seperti memusuhiku saja. "Uwww, Antaroza, ya?" ucap Harmon dengan mendesis tajam, bahkan, sikap feminimnya agak menghilang dari suaranya. "Aku tidak sadar kalau aku telah menarik kaki orang di tempat yang tidak seharusnya kusentuh tanahnya." "Ap-apa maksudmu, Harmon? Mengapa kau berkata seperti orang yang sangat membenci Antaroza?" tanyaku terheran-heran karena bingung dengan perubahan suasana hatinya yang disebabkan mendengar nama tempatku berasal. "Itu jelas, Antarez!" Kini Gizel yang bersuara dengan menyebut nama belakangku. "Kami sangat membenci Antaroza! Mendengar namanya saja membuatku grrraaah!" Gizel mengatakan itu dengan memukul-mukul kasur yang kududuki. Mereka bertiga secara bersamaan turun dari kasur dan duduk di kursi yang telah hadir di tempat ini. Harmon duduk dengan menyilangkan kakinya seperti seorang wanita seksi walaupun dia lelaki, sedangkan Gizel duduk dengan menumpu lengannya di pegangan kursi, sementara Heyna malah membiarkan punggungnya terembas di punggung kursi. Mereka bertiga masih memasang wajah super jengkelnya padaku, karena risih diperlakukan begitu, aku turun dari kasur dan berdiri berhadapan dengan mereka bertiga yang duduk di kursi masing-masing. "Aku tidak mengerti ini," ucapku dengan menggeleng-gelengkan kepala. "Jelaskan padaku, ada masalah apa kalian dengan panti asuhan yang kutinggali?" "Dulu," Heyna mulai menjelaskan dengan suara imutnya. "Ada sebuah turnamen olahraga antar panti, seluruh panti asuhan di negara ini mengikuti turnamen itu, kami bertiga pun ikut ke dalam turnamen untuk mewakili panti asuhan Gantaroz. Awalnya, kami selalu memenangkan setiap lomba hingga semua penonton memuja-muja kami, tapi, kemenangan beruntun Gantaroz langsung lenyap ketika kami bertemu dengan perwakilan Antaroza di dalam lomba melukis! Jika kuingat-ingat, dia seorang gadis yang bernama Kitara Ezenwords! Sejak itulah, kami kalah telak hingga akhirnya, kami diusir dari Gantaroz karena telah mencoreng nama baik panti!" Aku terkejut mendengarnya. "Ja-jadi begitu," responku dengan gugup. "Alasan mengapa kalian tinggal di bawah tanah karena kalian telah diusir oleh pihak Gantaroz." Harmon merenung. "Bukan hanya itu saja," Harmon menggigit bibir bawahnya dengan kesal. "Papa juga menyebut kami sebagai anak yang tidak berguna, dan pantas untuk digantung di tiang listrik. Sungguh, padahal, selama ini kami termasuk anak-anak yang paling disayangi Papa, tapi semuanya berubah karena kami dikalahkan oleh Antaroza!" "Papa?" Aku tidak paham maksudnya. "Siapa itu Papa?" "Pria yang merawat dan menjaga kami dari bayi hingga remaja di Gantaroz. Kudengar, di Antaroza yang berperan seperti itu seorang wanita, ya? Dan kalian menyebutnya sebagai Mama, apa aku benar?" tanya Gizel dengan menaikan sebelah alisnya. Aku mengangguk. "Ya, orang dewasa yang merawatku di Antaroza adalah seorang wanita yang kami sebut sebagai Mama." "Berkebalikan dengan kami," Heyna tersenyum simpul. "Jika kami diurus oleh Papa, maka, anak-anak di Antaroza diurus oleh Mama. Jika Papa dan Mama saling bertemu, mungkin kita akan jadi saudara, hihihihi!" "Oh, aku lupa," Tiba-tiba Gizel beranjak dari kursinya dan berjalan menuju pintu kayu. "Sebelum Harmon membawamu ke sini, aku juga telah membawa anak lain dari panti asuhan lain, lho!" Lalu Gizel membuka pintu itu dengan perlahan, dan setelah pintunya terbuka, terlihatlah seorang gadis berkerudung hitam dengan mengenakan cadar di wajahnya, membuat aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. "Dia berasal dari Panti asuhan Telentaraz, namanya adalah Elena Mirdad, ayo! Sapa dia, Elena!" Elena, gadis yang mengenakan kerudung itu membungkukkan punggungnya kepadaku, padahal dia belum masuk ke kamar. "Selamat siang," ucap Elena dengan sopan padaku. "Senang berkenalan denganmu." Aku memaksakan diri untuk tersenyum. "Iya, selamat siang juga, Elena. Aku Niko Antarez, senang berkenalan denganmu!" Wuush! Tiba-tiba, Elena melesat seperti kucing ke arahku dan dia mendorong tubuhku hingga aku terhuyung jatuh ke kasur, posisi gadis itu sedang menduduki badanku yang terlentang saat ini. Crak! Elena langsung merobek cadar yang menutupi mulutnya, aku terkejut saat tahu kalau ternyata, dia itu bukanlah gadis biasa. "Sepertinya hari ini perutku akan kekenyangan." ucap Elena dengan mulut yang penuh darah. "Sekarang, mari kita mulai, uji cobanya, Tuan Antarez." Mendengar Elena berkata demikian membuat Gizel menyeringai, Harmon tersenyum, dan Heyna menatapku dengan memasang wajah orang yang kelaparan. "Sepertinya hari ini perutku akan kekenyangan." ucap Elena dengan mulut yang penuh darah. "Sekarang, mari kita mulai, uji cobanya, Tuan Antarez." Mendengar Elena berkata demikian membuat Gizel menyeringai, Harmon tersenyum, dan Heyna menatapku dengan memasang wajah orang yang kelaparan. "U-Uji coba? Apa maksudnya?" tanyaku dengan tubuh yang merinding ketakutan, jujur saja, melihat seseorang yang mulutnya bermuluran darah di dekat wajahku membuat siapa pun pasti ngeri. Apakah dia akan membunuhku? Atau memakanku? Pertanyaan-pertanyaan konyol seperti itu mulai bermunculan di pikiranku. "Eh? Kau belum mengetahuinya? Jadi, mereka masih belum memberitahumu soal itu?" Elena menoleh pada Heyna, Harmon, dan Gizel, sepertinya dia jengkel karena mereka tidak memberitahukan sesuatu yang penting padaku. Sebenarnya apa sih yang mereka bicarakan? Aku tidak mengerti! "Hahah, maaf-maaf, sepertinya kami lupa," ucap Gizel dengan tertawa sendiri, mungkin dia hanya ingin mencairkan suasana yang tegang ini. "Jadi, begini, uji coba yang dimaksud Elena adalah kau akan dijadikan sebagai objek percobaan kami. Percobaannya yaitu kau harus diam ketika Elena menjilati kulitmu, menggigitnya maupun mengunyahnya. Rasanya memang sakit, tapi itu tidak akan bertahan lama, kok. Aku yakin lelaki jantan sepertimu pasti kuat menahannya." "Hah? Kau bercanda! Mana mungkin aku membiarkan tubuhku digigit orang lain! Aku tidak mau merasakan rasa sakit! Aku tidak mau! Kau pikir aku itu makanan yang dengan mudahnya kau gigit dan kunyah?!" "Ck! Kau berisik sekali!" Elena langsung membekap mulutku menggunakan cadar hitam miliknya yang sudah robek. Aku mengguncang-guncangkan kepalaku, mulutku sudah tertutup rapat oleh cadar itu. Kedua tanganku ingin kugerakkan untuk melepaskan kain yang mengunci mulutku ini, tapi sayangnya, Elena langsung menginjak pergelangan lenganku dengan lututnya, sialan, dia kuat sekali. "Ini memang agak kasar, tapi kami melakukan ini untuk keselamatanmu, Antarez." ucap Heyna dengan suara imutnya yang menggoda. "Jadi, tolong bertahanlah sedikit lagi! Biarkan Elena mengunyah kulitmu itu, ya?" "TIDAK MAU!" Gizel, Heyna, Harmon, dan Elena terkejut mendengar teriakanku, mereka tidak percaya kalau aku akan berteriak sekencang ini. Bahkan, cadar yang barusan menutup mulutku sudah kulepas dengan menggunakan gigi-gigiku, memakai cara menggeser-geserkan kain itu secara perlahan dari mulutku. Menyadari aku mulai memberontak, Elena langsung melompat ke belakang, melepaskan posisi tindihannya pada tubuhku, dia sepertinya mulai merasa takut padaku. "Aku merasakan kekuatan," kata Elena dengan mata yang melotot kaget. "Kekuatan yang besar di dalam tubuhnya, seperti ada sesuatu yang menggeliat-geliat, aku bisa merasakannya dengan jelas!" Aku tidak peduli pada pengakuan Elena mengenai kondisiku, tapi yang jelas, aku sudah tidak tahan lagi diperlakukan seperti makanan oleh mereka berempat, karena kesal, aku langsung bangun dari posisi terlentangku dan menatap mata mereka satu per satu dengan tatapan kemarahan. "Tadi kau bilang, kau melakukan ini untuk menyelamatkanku?" tanyaku pada Heyna. "Apa maksudnya itu? Dan juga, apa yang kalian maksud dengan 'percobaan'? Aku tidak mengerti itu! Yang kutahu, kalian hanya memerintahkan Elena untuk memakanku! Dan itu keterlaluan!" Heyna menundukkan kepalanya, Harmon memalingkan wajahnya, Gizel menghela napas, dan Elena masih melotot ketakutan melihatku. Mereka berempat benar-benar parah, mencoba membiarkan tubuhku dimakan oleh sesama manusia adalah tindakan yang sangat tidak bermoral, aku memang bodoh, tapi aku tidak sebodoh itu dalam melakukan sesuatu! Hal itu mengingatkanku pada Clara yang menyantap leher Starrick, aku sangat jijik jika mengingat kejadian itu. Dengan santainya Clara mengunyah daging temannya sendiri, mengabaikan jeritan rasa sakit yang dikeluarkan Starrick. Itu mengerikan! Heyna menegakkan kembali kepalanya, matanya mulai berani menatapku secara serius. "Arti 'menyelamatkan' yang kumaksud adalah, kami akan memberikanmu kekuatan sihir yang dapat memudahkanmu dalam menyerang orang dewasa yang menipumu di panti asuhan, atau lebih tepatnya, kami ingin membantu anak-anak panti asuhan lain untuk kabur dari tempat yang mengurung mereka. Kedengarannya memang mustahil, tapi kami akan mencobanya sebisa mungkin. "Cara yang kami lakukan memang terlihat brutal dan menjijikan, tapi itulah satu-satunya cara untuk mentransfer kekuatan kami ke tubuhmu dengan cara menggigit dan mengunyah kulitmu. Kami menemukan sihir itu dari buku-buku yang pernah kami baca di perpustakaan. Rencananya, kami akan mengumpulkan satu-persatu anak-anak dari panti asuhan lain agar semua anak-anak memiliki sihir untuk melawan orang-orang dewasa." Penjelasan yang diucapkan Heyna cukup panjang dan lebar, hingga akhirnya aku dapat mengerti dari maksud mereka melakukan itu semua. Tapi tetap saja, aku tidak suka cara seperti itu! Lagipula, tidak ada bukti kalau mereka bisa melakukan sihir dari buku panduan yang mereka temukan di perpustakaan, bukan? "Aku mengerti. Tapi, jika kalian memang sudah menguasai suatu sihir, tunjukkan padaku, kekuatan yang kalian kuasai agar aku bisa mempercayai kalian." tantangku pada mereka dengan tersenyum bodoh. Aku hanya ingin mengetes mereka untuk menentukan apakah mereka dapat dipercaya atau tidak, lagipula, sihir adalah sesuatu yang langka, bukan? Aku pernah membacanya di buku bahwa ilmu sihir adalah sesuatu yang sangat dilarang di abad ini, jika siapa pun melihat ada seseorang melakukan sihir, pastikan orang itu harus ditangkap dan dibunuh. Katanya, jika membiarkan seorang penyihir tetap hidup hanya akan membuat dunia ini kiamat. Aku masih tidak paham soal sihir dan penyihir, tapi jika itu memang ada, aku ingin melihatnya secara langsung. Gizel tersentak mendengar tantanganku, dari melihat wajahnya saja, aku menduga kalau dia pasti menolak dengan ucapanku. "Antarez, kami memang bisa melakukan sihir, tapi kami belum mampu mengendalikannya dengan baik. Bisa-bisa, tempat ini akan beledar! Buar! Dan jelegar! Seperti itulah." "Intinya, kau takut?" aku masih belum puas. Aku akan menggunakan cara apa pun agar mereka menunjukkan sihir itu padaku sekarang juga. "Aku tidak takut, hanya saja--" "Sudahlah, Gizel," ucapan Gizel langsung dipotong oleh Harmon, si lelaki feminim. "Lebih baik kita lakukan saja apa yang dia inginkan, kita keluarkan sedikit sihir, agar kita bisa mengendalikannya, bagaimana?" "Tapi itu terlalu beresiko! Nanti tempat ini akan Bruaaaah! Pokoknya, aku tidak ingin itu terjadi!" BLATS! Tiba-tiba, Harmon langsung mencengkram kerah baju Gizel dengan kesal. "Lakukan saja apa yang se-ha-rus-nya- kau lakukan!" kata Harmon dengan memberikan penekanan pada kata-katanya, membuat Gizel mulai pasrah. Aku tersenyum. Aku benar-benar tidak sabar menantikan hal itu, kira-kira sihir apa yang dikuasai oleh mereka berempat, ya? "Baiklah," Elena maju selangkah, meletakkan dua telapak tangannya di d**a, dan mengucapkan mantra dengan suara yang sangat pelan hingga aku tidak dapat mendengarnya. BRUSH! Tiba-tiba, tubuh Elena berubah menjadi cairan lengket yang menetes-netes, terlihat seperti adonan kue. Elena masih terbentuk manusia, hanya saja kulitnya yang berubah menjadi lengket. Bahkan, lantai yang dia pijakki mulai basah karena tetesan-tetesan dari tubuh Elena, dia jadi seperti lilin saja. "Si-Sihir apa ini? Mengapa tubuhmu berubah menjadi selengket lilin cair?" Elena agak ketakutan saat aku mendekatinya, dia mulai menjawab pertanyaanku dengan nada yang gemetar. "Sihirku bernama 'kemalasan', tubuhku bisa mencair seperti air dan memadat seperti batu, tapi aku masih belum menguasai bagian pemadatan, yang aku bisa hanya pencairan saja. Dan juga, aku bisa menyatu dengan air sehingga tubuh manusiaku lenyap untuk sementara, tapi, efek samping sesudah melakukan sihir ini, tubuhku bisa kepanasan seperti tersengat api." Aku terkagum-kagum mendengar perkataan Elena, ini benar-benar keren sekali. Aku ingin mencobanya juga, tapi bagaimana caranya? "Aku juga ingin sepertimu! Ajarkan aku, Elena!" Mendengar permintaan yang kuucapkan membuat Elena menonaktifkan sihirnya dan memundurkan langkah. "Tubuhmu harus dikunyah terlebih dahulu jika kau ingin menguasai sihir kemalasan ini." Aku cemberut mendengarnya. "Lupakan, lupakan," Perhatianku langsung teralihkan pada Harmon. "Bagaimana denganmu? Apa sihirmu, Harmon?" Harmon mengibaskan rambut pirangnya secara seksi padaku, dia menjijikan. "Uww, apakah kau penasaran? Jika kau bertanya begitu, terpaksa aku harus menunjukkan kebolehanku padamu, Antarez." SRRRR!!! Berbeda dengan Elena yang tubuhnya mencair, Harmon malah membuat rambut pirangnya diselimuti oleh petir yang mengericis di sana, aku terkejut melihatnya. "Biar kujelaskan padamu, sihirku bernama 'keangkuhan', rambutku bisa mengeluarkan energi listrik tingkat tinggi yang dapat membuat siapa pun yang menyentuhnya ... mati. Sebenarnya, jika aku bisa menguasainya secara penuh, mungkin tidak hanya rambut saja yang dialiri listrik, tapi seluruh tubuhku bisa diselimuti oleh tegangan listrik yang sangat tinggi. Efek samping setelah mengeluarkan sihir ini akan membuat lidahku mati rasa dalam seharian penuh. Aku tidak bisa makan dan minum karena rasanya terasa kosong, seperti memakan udara." Aku mengangguk-ngangguk paham. "Hebat sekali! Aku juga ingin punya sihir sepertimu! Harmon!" "Itu mustahil," sela Harmon dengan tersenyum. "Karena kulitmu harus dikorbankan terlebih dahulu, Antarez." "Baiklah, lupakan itu!" Aku menoleh pada Heyna. "Ayo, tunjukkan padaku mengenai sihirmu, Heyna." "Eng ... bagaimana, ya? Aku sendiri takut untuk mengeluarkan sihir ini karena itu akan membuat tubuhku terluka," ucap Heyna dengan gelisah. "Tapi, aku tidak mau membuatmu kecewa. Apa boleh buat, aku harus melakukannya untukmu." Dengan terpaksa, Heyna menunjukkan kemampuannya padaku dan secara mengejutkan, seluruh kulitnya berubah menjadi sisik hewan reptil, sebenarnya, perwujudan apa itu? "Sekarang, aku sedang berproses untuk melakukan perubahan menjadi manusia bunglon. Sihirku dinamakan 'kedengkian', aku bisa melakukan apa pun yang biasa seekor bunglon lakukan, seperti mengubah warna kulit, menjelerkan lidah sepanjang yang kumau, melompat-lompat, dan semacamnya. Tapi, jika terlalu lama menggunakannya, tubuhku bisa terluka seperti munculnya cacar air dan sebagainya." Heyna langsung menonaktifkan sihirnya, padahal dia masih belum berubah menjadi manusia bunglon. Apa dia takut? "Maaf, aku tidak kuat menahan rasa sakit ketika proses perubahan berlangsung, setidaknya, kau tadi melihat kulitku berubah menjadi sisik, 'kan? Mungkin itu cukup." Aku mengangkat bahu, menandakan kalau aku belum puas melihat perubahan Heyna menjadi manusia bunglon, tapi ya sudahlah. "Sekarang, giliranmu, Gizel!" seruku pada lelaki berambut merah yang sedari tadi menatapku dengan penolakan. "Sudah kubilang, 'kan? Itu terlalu berbahaya! Aku tidak mampu mengendalikannya walaupun hanya sedikit, mengertilah Antarez! Kau tidak ingin aku membuat tempat ini jelegarr! Bukan?" Aku tidak mengerti mengapa dia masih mempertahankan penolakannya itu, tapi aku benar-benar penasaran. "Oke, aku mengerti, kau ternyata hanyalah seorang lelaki pengecut, Gizel, padahal teman-temanmu mampu melakukannya walaupun mereka semua perempuan." Harmon agak tersinggung mendengarnya. "Kau bilang apa tadi?" Gizel mulai meledak. "Aku? Lelaki pengecut? Aku bukan pengecut! Aku hanya tidak ingin--" "PENGECUT TETAPLAH PENGECUT!" Gizel terkejut saat aku berteriak padanya, aku tidak peduli, pokoknya aku penasaran pada sihir yang dia kuasai. Aku ingin melihatnya. Gizel mengepalkan kedua tangannya, dia mulai kesal terhadapku. "Baik," ucap Gizel dengan suara yang tegas. "Aku akan melakukannya! Tapi jangan menyesal!" Aku tersenyum lebar. "Tentu saja! Ayo! Tunjukkan kemampuanmu, Gizel!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD