4. Vena-Naren

2498 Words
Naren kembali masuk ke kelas setelah tadi sempat keluar beberapa saat. Langsung saja dirnya duduk di bangkunya tepat di tengah–tengah Al dan Putra. “Kamu, dari mana?” tanya Ethan padanya. “Kamar mandi,” jawab Naren acuh tak acuh. Vena yang duduk di tempatnya hanya mampu menggigit bibir. Bagaimana nanti dirinya meminta maaf jika sikap Naren sedingin itu. Kini ia justru takut untuk meminta maaf pada laki–laki itu. “Oke, kalian udah catat semua kan perlengkapan buat PLS besok?” tanya Mita memastikan. “Sudah, Kak,” jawab mereka serempak. “Baiklah. Sebelum kita bubar, gimana kalau kita bentuk ketua sementara untuk kelas ini? Masih ada waktu setengah jam sebelum bel,” usul Mita sambil melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Giman, Than?” tanya Mita meminta persetujuan temannya. “Terserah.” “Gimana? Kalian setuju? Nanti sekalian kalian bikin grup kelas ya, kalau ada info menyusul aku akan kasih tau ketua kelas biar dia yang memberi info kalian.” “Setuju, Kak.” “Siapa kira – kira yang cocok jadi ketua kelas?” tanya Mita. Seisi kelas langsung gaduh saling menunjuk satu sama lain. Terutama kaum laki – laki yang mayoritas suka sekali membuat rusuh. “Tenang semua!” teriak Ethan. Langsung saja anak – anak di kelas Vena diam dan duduk manis di tempatnya. “Aku akan tunjuk beberapa calon, dan kalian bisa memberikan suara. Biar gampang dan gak berisik.” “Kandidiat pertama, Aldi. Kedua, Naren, ke-” “Aku gak mau,” tolak Naren. Semua mata memandang penuh tanya pada Naren. Tetapi taka da yang berani berkomentar saat melihat raut wajah Naren yang memancarkan aura dingin. “Eum, baiklah. Aku akan ganti,” kata Mita ikut merasa tidak nyaman dengan tatapan Naren. “Kandidat kedua Akbar, dan ketiga Gio. Silahkan kalian ambil kertas kecil dan kumpulkan ke depan!” “Tunggu, Kak. Kenapa aku tidak diikutkan jadi kandidat?” protes Putra. “Karena kamu tidak memiliki jiwa pemimpin yang terpancar dalam dirmu,” ketus Mita. “Wah, curang nih. Diskriminasi ini namanya. Gak terima aku diginiin. Sakit hati dedek.” “Huuuuuu!!!” sorak anak – anak di dalam kelas. “Jangan hiraukan dia. Segera kumpulkan pilihan kalian,” perintah Ethan.” Di bangkunya, Putra masih terus menggerutu karena tidak dipilih menjadi calon ketua kelas. Ia menuliskan namanya sendiri di kertasnya dan mengumpulkannya ke depan. Satu persatu mengikuti Putra mengumpulkan suara mereka. “Sudah semua?” tana Mita. “Sudah.” “Than, bantuin ngitung.” Nathan berdiri dan membantu Mita menyebutkan nama – nama yang ada di kertas. Sementara Mita mencatat perolehan suara yang didapat ketiga kandidat. Ia mengernyit saat membaca tulisan dengan nama Putra. “Lihatlah anak itu pasti,” kata Ethan menunjukkan kertas itu. “Astaga. Dasar anak somplak. Biarin aja.” Mereka kembali menghitung sisa kertas suara. Hingga semuanya terekap. Dari total dua puluh delapan siswa mereka memperoleh satu nama yang akan menjadi ketua sementara di kelas itu. “Suara terbanyak didapat oleh Aldi. Maka ketua kelas kita selama PLS adalah Aldi. Buat Aldi, silahkan buat grup kelas, untuk mempermudah komunikasi, dan aku juga minta nomor kamu ya.” “Cieeeee,” sorak anak–anak mendengar perkataan Mita. “Kalian tuh ya, dari tadi cia–cie mulu. Awas aja besok kalau kalian malu–maluin kita,” gerutu Mita. Tak memperdulikan sorakan adik kelasnya, ia menghampiri meja Al dan bertukar nomor kontak. ***** Bel tanda berakhirnya kegiatan hari ini telah berbunyi sekitar sepuluh menit yang lalu. Masih banyak beberapa siswa yang berkeliaran di sekolah. Salah satunya Vena yang sedang menunggu jemputan di halaman depan sekolah. Asti dan Ara telah pulang terlebih dahulu. Mereka berdua ke sekolah mengendarai motor. Membuat Vena sedikit merasa iri. Cukup lama Vena menunggu Pak Mamat dating menjemputnya. Satu persatu siswa yang berada di sekitarnya telah meninggalkan sekolah. Ia merasa kakinya mulai kesemutan, hingga dengan perasaan kesal ia mendudukkan dirinya di tepi jalan yang masih halaman sekolah. Tiba – tiba sebuah motor sport berwarna biru berhenti tepat di depannya. Vena berdiri dan sedikit mundur memberi jarak dengan kendaraan besar itu. “Ngapain?” tanya Naren yang tak lain pengendara motor itu dengan membuka kaca helm-nya. “Na-Naren?” tanya Vena terkejut. “Itu, aku masih menunggu jemputan,” lanjutnya. Naren melihat ke sekeliling dan tak mendapati seorangpun di sana. Hanya ada mereka berdua. Venapun mengikuti arah pandang teman sekelasnya itu. “Udah sepi,” guman Vena. “Naik!” kata Naren tiba – tiba. “Apa?” “Naik! Kuantar pulang.” Naren mengulangi kata–katanya dengan lebih jelas. “Tapi aku sudah minta jemput Pak Mamat. Kasihan nanti orangnya kalau datang ke sini aku gak ada,” kata Vena terlihat bingung. “Ck. Ya udah.” Naren menyalakan mesin motornya, tetapi buru–buru Vena menghentikannya. “Tunggu! Aku ikut denganmu, sebentar, aku kirim pesan dulu ke Pak Mamat.” Dengan cepat Vena mengetikkan pesan untuk supirnya dan segera memasukkan ponselnya ke dalam tasnya. “Udah, Ren.” “Ndang! (cepat)!” Vena menelan ludah kasar. Bagaimana ia menaiki motor sebesar itu sedangkan dirinya memakai rok. Jika ia duduk miring pasti akan sangat menyulitkan. Tapi kalau ia duduk seperti Naren roknya akan menyingkap dan itu sangat tidak mungkin ia lakukan. “Kenapa lagi?” tanya Naren mulai tidak sabar. “Rokku pendek,” kata Vena menunduk. “Ck.” Naren melepas tas ranselnya dan mengulurkannya pada Vena. Gadis itu terkejut saat menerimanya. Kemudian Naren melepas jaket jeans yang ia kenakan dan memberikannya pada Vena. Setelah itu ia mengambil lahi ransel yang berada di tangan Vena. “Buat tutup. Cepetan.” Tak berkomentar apapun, Vena segera naik ke atas motor sport itu. Ia memegang pundak Naren agar bisa naik dengan mudah. Lalu menutupkan jaket milik Naren pada pahanya. “Udah.” Tanpa menjawab, laki – laki itu segera menancap gas meninggalkan sekolah mereka. Dengan kecepatan tinggi ia menyalip kendaraan yang ada di depannya. Vena berpegangan erat pada seragam Naren. Beberapa kali ia memejamkan mata saat laki–laki itu menyalip kendaraan besar di depannya. “Di mana?” tanya Naren saat mereka berhenti di perempatan lampu merah terminal Gadang. “Apanya?” tanya balik Vena yang tidak paham dengan pertanyaan teman sekelasnya itu. “Ck. Rumahmu.” “Oh. Perempatan ini lurus aja. Arah ke Turen.” Lampu kuning telah berganti hijau. Naren kembali melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Sampai di pertigaan Kendalpayak memelankan laju motornya. “Lurus apa kiri?” “Kiri.” Vena mulai sedikit paham dengan bahas yang digunakan oleh Naren. Laki – laki itu hanya akan mengatakan satu atau uda kata yang mengarah langsung pada inti pertanyaannya. “Nanti sebelum SPBU ada gapura kecil, masuk ke sana,” ucap Vena sedikit keras di dekat telinga Naren. Laki – laki itu tak menjawab dengan kata – kata. Hanya menganggukkan kepalanya. Motor yang mereka kendarai memasuki gapura perumahan tempat tinggal Vena. Gadis itu memberikan petunjuk arah pada Naren hingga sampailah mereka di sebuah besar dan paling megah di perumahan itu. Kembali Vena menggunakan pundak Naren sebagai tumpuan. Ia mengembalikan jaket yang ia kenakan untuk menutup kakinya pada sang empunya. Dorongan pintu pagar yang terbuka mengalihkan perhatian mereka berdua. “Mama,” sapa Vena lalu mencium tangan wanita yang ia panggil mama itu. Naren pun turun dari motornya dan juga melepas helm-nya. Ia menghampiri Vena dan mamanya, ia ikut mencium tangan Mia seperti yang dilakukan Vena. “Wah, baru hari pertama masuk sekolah udah punya gebetan,” goda Mia pada anaknya. “Mama apaan sih. Pak Mamat gak jemput aku. Untung tadi Naren mau anterin aku pulang,” beri tahu Vena. “Em, iya – iya. Terima kasih ya, Nak Naren sudah mengantarkan Vena. Masuk dulu ayo.” “Lain kali saja, Tante,” jawab Naren sopan. “Ya sudah kalau begitu. Kamu hati – hati ya, jangan ngebut.” “Iya, Tante. Saya pamit.” Kembali Naren mencium tangan Mia dan juga disertai senyum yang membuat Vena terlongo melihatnya. Vena dan Mia masuk ke dalam rumah setelah motor Narem hilang dari pandangan mereka. Rumah megah itu terlihat sepi. “Pak Mamat kok gak jemput aku sih, Ma?” tanya Vena dengan cemberut. “Maaf ya, Sayang. Tadi papamu pulang dan ngajak Pak Mamat ikut ke luar kota.” "Lah, terus Mama kok gak jemput aku?” “Mama kira kamu pulang sore. Pak Mamat gak bilang kamu pulang siang.” “Tadi aku bilang ke Pak Mamat kalau mau pulang aku kirim pesan. Soalnya aku juga gak tahu pulangnya jam berapa, takutnya molor jam pulangnya.” “Ya sudah. Sana ganti baju terus makan. Mama udah siapin makan siang buat kamu.” Vena mengiyakan perintah mamanya. Ia segera naik ke lantai dua di mana kamarnya berada. Begitu ia masuk ke dalam kamarnya ia melemparkan ranselnya ke sembarang arah. Dihempaskannya tubuhnya yang masih terbalut seragam putih abu – abu itu ke atas kasur kesayanagannya yang berkarakter hello kitti. “Aaaahhh, Nareeenn! Padahal tadi pagi waktu pertama kali ketemu juteknya minta ampuunn!!! Gak tahunya dia malah nolongin aku, nganterin aku pulang. Astaga! Nggak nyangka bangeet!” Vena histeris sendiri memikirkan Naren. “Gini mana bisa aku nggak suka sama dia? Ughhh! Diem – diem dia bikin aku kesemsem.” “Eh, tapi besok gimana ya kalau aku ketemu sama dia?” Vena menegakkan tubuhnya memikirkan hal itu. “Kira–kira dia bakanan gimana ya? Apa aku harus menyapanya duluan ya?” “Ahh, tapi kalau dia balik lagi jadi kulkas dua pintu gimana? Auah, kenapa aku jadi pusing mikirin dia gini sih. Kesel deh!” “Vena! Kok gak keluar–keluar?” Suara Mia terdengar dari balik pintu disertai ketukan. “Iya, Ma. Bentar. Mama duluan aja. Nanti aku nyusul,” balas Vena. Ia melupakan perintah mamanya untuk ganti baju dan makan siang gara-gara memikirkan Naren. Ia segera ke kamar mandi dengan membawa baju gantinya. Tak sampai sepuluh menit ia keluar dengan mengenakan baju santai. Kaos lengan pendek bergambar bunga di tengahnya dan celana hotpants setengah paha berwarna biru navy. Ia segera menuruni tangga dan menghampiri Mia yang tengah duduk santai di ruang keluarga. “Uwes kono ndang makan. Kaet maeng dikongkon makan kok nggak ngereken sih? Mosok kongkonanae mangan kok angel temen,” kata Mia dengan menggunakan bahasa Jawa. (Sudah sana cepat makan. Dari tadi disuruh makan kok gak dengerin sih? Masak kalau disuruh makan susah sekali) “Mama nggak makan?” “Keburu kelaparan Mama kalau nungguin kamu.” “Gitu banget. Padahal katanya akutuh anak satu–satunya Mama sama papa, tapi kok kayak gitu sama anaknya sendiri,” gerutu Vena. Gadis itu beranjak meninggalkan Mia yang tengah asik menonton serial India di salah satu channel tv lokal. ***** Naren baru saja memasuki rumahnya. Tak ada yang menyambutnya seperti gadis yang tadi ia antarkan pulang. Rasa hampa menyelimutinya tiap kali pulang ke rumah. Tempatnya menumpang tidur lebih tepatnya. Karena ia hanya akan pulang untuk berganti pakaian dan kemudian pergi lagi. “Mas Naren barusan pulang?” sapa Bi Munah, asisten rumah yang sejak ia kecil sudah bekerja dengan keluarganya. “Makan dulu, Mas? Saya sudah siapkan makan siang buat Mas Naren.” “Buat Bibi saja.” Naren melenggang ke kamarnya yang berada di lantai dua. “Kasihan Mas Naren. Pasti setiap hari merasa kesepian,” lirih Bi Munah. Naren kembali melangkahkan kakinya keluar kamar. Ia telah berganti pakaian dan dan hendak pergi lagi. Mengabaikan Bi Munah yang menyuruhnya makan, ia tetap mengayunkan kakinya keluar rumah dan pergi begitu saja dengan mengendarai motor sportnya. Sepanjang jalan laki – laki itu berkendara dengan kecepatan tinggi. Menyalip beberapa kendaraan yang berada di depannya. Sampai ia berhenti di sebuah lapangan basket yang terletak di belakang stadion Gajahyana. Ia memarkirkan motornya di tempat penitipan motor. Setelah itu berjalan memasuki lapangan. Di sana sudah ada beberapa orang yang tengah bermain basket. Usia mereka terpaut cukup jauh dengan Naren yang masih berusia lima belas tahun. “Ayo main,” ajak salah seorang melemparkan bola basket pada Naren dan dapat ditangkap dengani-baik oleh laki – laki itu. Ia ikut bergabung dalam permainan itu. Mendrible bola dengan lihai. Berlari kesana – kemari dengan menghindari lawan yang menghadang. Sesekali lepas dari genggamannya, tetapi ia kembali dapat merebutnya. Lawan yang lebih besar darinya tak membuat Naren takut kalah. Beberapa kali Ia melakukan shooting yang tepat sasaran. Umpan dari sesama timnya juga dapat ia sambut dengan baik. Tak jarang pula ia mengoper bolanya pada timnya yang tidak mendapat penjagaan. Keringat bercucuran membasahi tubuh mereka. Rasa lelah yang mulai melanda membuat mereka menghentikan permainan. Taka da hitungan menang atau kalah, karena mereka tidak bertanding. “Gimana sekolah hari pertama?” tanya Romi yang duduk di samping Naren. Usia mereka terpaut empat tahun. Ia baru saja lulus dan tengah mendaftar kuliah di salah satu perguruan negeri di Malang. Di sana, hanya naren yang paling muda. Rata–rata mereka telah kelas tiga SMA dan mahasiswa. “Biasa aja,” jawab Naren tak berminat. “Udah dapet cewek belum?” celatuk Dean yang hanya dibalas lirikan jengah oleh Naren. Semua orang di sana tahu, kalau remaja kecil itu adalah korban broken home. Kedua orangtua Naren berpisah saat ia kelas lima SD. Papanya memilih pergi karena tidak tahan dengan kakek – nenek Naren yang selalu merendahkan status papa Naren yang tidak setara dengan keluarga mamanya. Mama Naren menyandang nama Atmaja yang merupakan keluarga kaya dan terpandang di kota Malang. Sedangkan mama Naren kini juga meninggalkannya di rumah besar itu. Mamanya terpaksa mengikuti kakek – neneknya tinggal di Jakarta untuk mengembangkan bisnis mereka. Dengan kata lain Naren sengaja ditinggalkan di Kota Malang ini karena memiliki darah keturunan yang tidak setara dengan mereka. Mereka yang ada di sana selalu memberikan dukungan pada Naren. Tak peduli mereka berbeda usia, mereka selalu menganggap Naren sama dengan mereka, semata – mata agar remaja kecil itu tidak merasa kesepian dan tersisih. Dulu, saat baru masuk SMP, Romi yang merupakan saudara jauh dari papanya mengajaknya untuk bermain dengan teman – temannya yang tak lain adalah mereka yang saat ini berada di sana, Hanya dengan Romi dan teman – temannya, Naren merasa masih memiliki keluarga. Mereka memperlakukan Naren dengan baik dan selalu menjaganya. “Laper nih, cari makan yok,” ajak Dean pada yang lainnya. “Baru juga bakar lemak udah mau isi lagi,” celatuk Reno. “Kaga mau ya udah. Balik dulu lah,” kata Dean. Ia berdiri dan menyalami semuanya berpamitan pulang duluan. Satu persatu yang lain juga meninggalkan lapangan. Menyisakan Naren dan Romi yang masih tetap duduk di tempatnya. “Setelah ini mau ke mana?” tanya Romi memecah keheningan mereka berdua. Langit senja telah menyapa keduanya. “Pulang.” “Langsung pulang, jangan suka keluyuran tengah malam. Dapat salam dari ibu, lama kamu gak main ke rumah,” ucap Romi. Ia berdiri dan menepuk punda Naren bermaksud untuk pamit. “Balik dulu.” “Heem.” Kini tinggal ia seorang diri di lapangan itu. Menyaksikan langit yang perlahan semakin gelap. Merebahkan tubuhnya menikmati warna langit yang berwarna biru gelap dengan semburat oren di ufuk barat. Bersambung….. --------
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD