3. Hukuman untuk Putra

1258 Words
“Baiklah, semua udah pada maju memperkenalkan diri ya. Aku saranin kalian bikin grup kelas nantinya agar memudahkan kalian berkomunikasi. Nah setelah ini Kak Ethan akan menyampaikan beberapa aturan yang harus kalian taati selama kegiatan PLS berlangsung. Dan juga nanti akan diumumkan perlengkapan yang harus kalian bawa untuk kegiatan besok. Silahkan Kak Ethan.” Ehtan mengangguk. Ia berdiri dari duduknya menggantikan Mita yang sedari tadi memandu anak–anak X–IPA 3 berkenalan. Kini giliran Mita yang menempati kursi guru yang sedari tadi diduduki Ethan. “Aturan yang harus kalian taati selama kegiatan PLS. Yang pertama, wajib memanggil ‘kakak’ pada semua kakak kelas selama di sekolah, apabila melanggar akan mendapat hukuman.” “Yaelah, gila hormat tuh aturan,” celatuk Putra. “Tolong ya mulutnya dijaga! Kita buat aturan ini bukan kayak yang kamu katakan. Kita mengajarkan untuk saling menghormati yang lebih tua,” tegur Mita. “Kamu, Putra Darmawan? Betul? Maju!” perintah Ethan. Dengan ogah–ogahan Putra berjalan kembali ke depan Kelas. Berdiri menghadap teman–temannya yang terlihat tegang menantikan hukuman apa yang akan diberikan padanya. “Nyanyikan lagu Indonesia Raya Tiga Stansa!” ucap Ethan tanpa ekspresi. Semua yang melihat Putra hanya mampu menelan ludah. Di depan sana, Putra diam tak mengucapkan apa–apa. Pasalnya ia tak hafal lagu Indonesia Raya Tiga Stansa. Ia hanya tahu lagu Indonesia Raya yang umumnya dinyanyikan saat upacara bendera. “Ayo nyanyikan!”Lagi, Ethan memerintah. “Lagu yang lain aja, Kak,” nego Putra pada akhirnya. “Lakukan atau akan aku tambah hukumanmu!” “Indonesia Raya yang biasa aja deh, Kak.” “Kamu pikir aku jualan martabak? Ada yang biasa sama spesial gitu?” Sontak anak–anak tertawa mendengar perkataan Ethan. “Saya bisanya lagu yang biasanya dinyanyikan pas upacara, Kak,” tutur Putra. “Oke, Lagu Indonesia Raya dan satu lagu lagi,” ucap Mita menengahi. “Kalian request lagu apa buat dinyanyikan Putra?” tanya Mita pada anak–anak yang lain. “Lagu balonku, liriknya di ganti huruf i.” “Lagu galau.” “Lagu Los Dol.” Berbagai lontaran judul lagu yang diajukan anak–anak, terutama anak laki–laki. Mita menggelengkan kepalanya melihat tingkah mereka. “Lagu kalian gak ada yang bener. Mana ada di sekolah dangdutan. Aku pilih usulan yang balonku tadi aja,” putus Mita. “Nyanyikan!” perintah Ethan. Putra yang sedari tadi tersenyum percaya diri kini menampilkan wajah masam. Mau tak mau ia menyanyikan dua lagu yang sudah ditentukan sebagai hukumannya. Jika ia menolah Ethan mengancam tidak memberikan jam istirahat pada mereka. ***** Vena dan kedua teman barunya tengah ikut mengantre di kantin untuk membeli makan siang. Ada banyak pilihan stand makanan di kantin SMA Insan Cendekia. Vena lebih dulu mendapatkan makanannya. Ia berdiri menunggu kedua temannya untuk mencari tempat duduk bersama – sama. Tak berselang lama, Ara menghampiri Vena dengan membawa piring makanan di tangannya. Hanya tinggal menunggu Asti yang masih belum selesai mengantre. “Kita duduk di sana yuk. Kelihatan kok nanti kalau Asti nyariin,” ajak Ara. Vena setuju dan mereka berjalan menuju tempat duduk yang kosong. Perlahan mereka mulai menikmati makanan masing-masing. “Ra, menurut kamu, Naren gimana?” tany Vena. “Naren itu yang mana?” “Yang tadi waktu kenalan cuma nyebutin nama aja.” “Oh, yang mukanya datar gak bisa senyum itu ya,” kata Ara memastikan. “Iya, menurut kamu gimana?” “Ya gak gimana – gimana. Orangnya gitu mana bisa menilai,” jawab Ara sambil menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. “Asti! Sini!” seru Vena saat melihat Asti yang mengedarkan pandangannya mencari mereka berdua. Asti berjalan cepat menghampiri Vena dan Ara. Wajahnya terlihat berseri – seri. Ia duduk dan meletakkan mangkuk berisi soto ayam di atas meja. “Ya ampun! Aku tadi ngantre makanan barengan sama Naren! Gila ya, dia ganteng banget kalau di lihat dari dekat,” ucap Asti menggebu–gebu. Vena dan Ara saling berpandangan, namun dengan artian yang berbeda. Vena memberi kode pada Ara untuk diam tidak mengatakan apapun tentang bahasan mereka sebelumnya. “Kamu beneran suka sama Naren?” tanya Vena. “Ya iyalah. Dia tuh tipe aku banget, cowok cool, pendiam, irit bicara. Di mata aku tuh dia keren banget dengan gaya kayak gitu.” “Makan dulu, Ven, Asti. Nanti cerita lagi.” Interupsi Ara. “Ih, Ara ganggu aja deh. Aku lagi seneng tahu!” gerutu Asti. “Sebentar lagi masuk, Asti. Ntar kita belum selesai makan udah bel masuk, kamu mau?” Kembali Ara mengingatkan temannya. “Iya – iya.” Asti sedikit kesal dengan terguran Ara. Mereka bertiga kembali menikmati makanan masing-masing hingga habis. Sesekali Asti masih bercerita mengenai Naren. Terlihat jelas di wajah Asti kalau ia sangat menyukai teman sekelasnya itu. Vena hanya tersenyum menanggapi perkataan temannya. “Udah semua? Yuk ke kelas,” ajak Ara. Ketiganya berjalan beriringan kembali ke kelas. Belum sampai mereka di kelas, bel tanda masuk berbunyi nyaring di seluruh pengeras suara yang tersedia. “Ayo, ntar kita dihukum kalau telat.” Vena menarik tangan kedua temannya dan mengajaknya berlari. “Astaga, Vena! Nanti kita jatuh!” pekik Asti. “Vena, pelan – pelan,” peringat Ara. Tetapi Vena tak menghiraukan keduanya dan malah tertawa dan terus menyeret kedua temannya menaiki tangga. “Hah, capek! Perutku sakit,” keluh Ara saat mereka berhenti di depan kelas. “Samah, akuh jugah,” timpal Asti dengan terengah. “Kalian gak pernah olah raga nih,” ejek Vena. “Ayo, udah pada masuk kelas tuh yang lain,” lanjutnya. Vena berjalan mundur sambil menarik lengan kedua tangannya. “Jangan lemah gitu deh. Padahal baru makan juga,” ejeknya lagi. “Aduh!” pekik Vena karena menabrak seseorang. “Duh,” desis orang yang ditabrak Vena karena bibirnya terbentur kepala Vena. Vena berbalik sambil mengusap–usap kepala bagian belakangnya. Ia sangat terkejut saat mengetahui bahwa Naren-lah yang ia tabrak. Dan sialnya bibir bawah Naren berdarah karena benturan dengan kepala belakang Vena. “Naren… maaf, aku gak sengaja,” ucap Vena merasa sangat bersalah. “Apa perlu kita ke UKS?” tanya Vena. “Gak. Minggir!” ucpa Naren dengan nada dingin. Membuat mereka yang ada di kelas terdiam menyaksikan Vena dan Naren. Vena menggeser tubuhnya sehingga Naren bisa melewatinya. “Naren, mau aku bantu obtain luka kamu?” tawar Asti saat Naren melewatinya. Namun, laki – laki itu mengabaikan pertanyaan Asti dan pergi begitu saja meninggalkan kelas. “Vena! Kamu bikin Naren marah tuh, gimana sih? Makanya jangan aneh–aneh!” omel Asti. “Aku kan juga gak sengaja, Asti. Ini kepala aku juga sakit benturan sama dia.” “Kamu mah gak papa. Kamu gak lihat apa , tadi bibir Naren berdarah gitu.” “Kamu kok jadi marah – marah sama aku?” tanya Vena sedikit tak terima. “Ya iya aku marah. Kamu kan bikin Naren luka. Dan kamu juga tahu kan, kalau aku suka sama dia. Jelas dong aku marah.” “Udah – udah. Kok kalian pada nyolot sih. Ayo duduk. Ven, apa mau ke UKS?” lerai Ara dan menanyai Vena. “Gak papa kok. Aku gak perlu ke UKS,” jawab Vena. Ia mendudukkan dirinya di bangkunya, begitu juga Ara dan Asti. Terlihat Asti masih kesal pada Vena. Vena hanya bisa mengehela napas kasar. Padahal ia juga tidak sengaja. Kenapa Asti begitu marah padanya. Ia sendiri juga sangat menyesal karena kecerobohannya Naren jadi terluka. Ia akan meminta maaf nanti kalau laki – laki itu kembali. Atau mungkin nanti saja saat jam pulang sekolah. Bersambung.... --------
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD