Firasat

1551 Words
Arumi melirik sekeliling, ada lima pasang mata yang saat ini tengah menatapnya dengan tatapan berbeda. Ada yang kesal, penasaran, dan biasa saja. Gadis itu mendadak merasakan mulas karena grogi. Saat ini ia tengah berada di ruang tamu dan duduk di kursi yang hanya untuk satu orang. Keadaan benar-benar seperti tengah disidang. “Arumi,” jawabnya pelan karena masih berusaha menguasai diri. “Sebentar, kalau tidak salah kamu tinggal di sebelah, ‘kan?” pertanyaan kali ini datang dari anak laki-laki dari keluarga tersebut. Arumi pun memberi anggukan sebagai jawaban. “Benarkah, tapi perasaan aku tidak pernah melihat dia,” ucap si gadis yang tak lain adalah adik dari anak laki-laki tadi. “Aku pergi bekerja saat malam dan pulang terkadang pagi hari, itu pun aku masih harus ke kampus untuk menyelesaikan beberapa urusan sebelum wisuda, jadi mungkin itu yang membuat kita tidak pernah bertemu.” “Kerja apa memangnya?” “Aku seorang mahasiswa kedokteran dan pelayan di sebuah tempat makan yang cukup terkenal di sini.” “Oh, tempat makan yang dekat alun-alun itu, ya?” Arumi mengangguk karena memang di situ lah ia bekerja. Sebuah tempat makan yang buka di jam delapan pagi dan tutup jam tiga malam. Bahkan jika sedang ramai tempat itu akan buka dua puluh empat jam. Maka tak aneh jika gadis itu menyebutkan berangkat pagi dan pulang larut. Meski sistem kerja shift, nyatanya tetap saja tenaga tambahan selalu dibutuhkan saat pengunjung ramai. “Lalu apa yang membuatmu datang dan mengatakan hal yang sangat mengganggu menantuku?” tanya sang nenek sesaat setelah percakapan soal pekerjaan berakhir sepenuhnya. Arumi menghela napas panjang dan mengembusnya perlahan. Kemudian ia mulai bercerita tentang apa yang ia rasa dan lihat. Di sini pun dia menekankan bahwa kedatangannya hanya untuk memberi tahu, bukan menakuti apalagi menyumpahi. Semua tampak menganggukkan kepala mendengar penjelasan Arumi, kecuali wanita paruh baya yang memang sejak awal sudah merasa kesal dengan gadis itu. apa pun yang ia dengar tak sedikit pun mengubah perasaan yang sudah terlanjur tidak suka. Baginya sang tetangga hanya salah satu dari anak zaman sekarang yang tidak tahu sopan santun. “Bentar, kamu lagi bikin konten, ya? Sekarang kan lagi trend tuh konten prank sama pura-pura nangkep makhluk ghaib.” Arumi melongo mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh pria yang usianya tidak terlalu jauh dengan dirinya itu. konten dia bilang, yang benar saja. Arumi bukan orang yang tega mempermainkan perasaan. Apalagi perasaan satu keluarga seperti ini. “Aku sama sekali gak lagi bikin konten, apa yang aku bilang itu nyata. Terserah kalian mau percaya atau tidak,” putus Arumi pada akhirnya. Dia sudah menyerah untuk meyakinkan mereka jika apa yang dikatakannya bukanlah kebohongan semata. “Sudahlah, lebih baik aku tidur daripada mendengar ocehan gadis tak berguna itu.” wanita paruh baya yang menyambut Arumi tadi akhirnya memilih masuk ke kamar dan meninggalkan semua orang. "Tunggu, Bu aku ikut." Si gadis yang merupakan bungsu di keluarga itu pun ikut bangkit dan menuju kamar tidurnya. Bukan karena merasa kesal atau bagaimana, dia hanya ingin beristirahat dan menganggap jika semua ini sama sekali bukan hal teramat penting yang harus dia ikuti. Paling hanya salah paham itulah yang berada dalam pikirannya. Arumi memekik, tenggorokan mendadak kering hingga suara tak bisa keluar sama sekali. Mata gadis itu membulat sempurna saat melihat asap hitam mengikuti wanita paruh baya dan anak gadisnya tersebut. Ia ingin bangkit dan menahan, tetapi seluruh tubuh pun mendadak kaku dan tak bisa digerakkan. “Ada apa?” tanya nenek saat ia melihat gelagat aneh dari Arumi. Sedangkan yang ditanya hanya bisa memberi isyarat lewat mata karena tak mampu bicara. Bahkan napasnya pun mulai tersengal diiringi bulir keringat yang mulai memenuhi wajah. Arumi semakin tegang saat mendengar bunyi gedebuk cukup keras dari arah kamar. Namun, ia tak bisa memastikan yang mana. Gadis itu menatap semua orang berusaha memberi tahu, tetapi sayangnya tidak ada yang menyadari arti tatapan Arumi atau pun mendengar suara tersebut karena itu berasal dari benda ghaib yang melayang di atas genteng tadi. Ia lupa harusnya selain tidak tidur mereka juga harus mengisi malam dengan lebih mendekatkan diri pada sang pencipta. Sekarang, semuanya sudah terlambat dan Arumi amat menyesali itu. Andai wanita tadi bersedia membuka diri dan mengikuti sarannya pasti semua hal buruk ini bisa dihindari. Namun, berandai kini sungguh tak ada guna karena nyatanya semua sudah terjadi. Sampai akhirnya beberapa menit berlalu Arumi kembali seperti semula. Tubuh yang kaku dan lidah yang kelu telah normal seperti sedia kala. Namun, pikirannya sangat kacau, gadis itu akhirnya hanya bisa menangis karena bingung harus bagaimana. Ia dapat merasakan jika salah satu yang masuk ke kamar tadi tengah berada dalam bahaya. “Arumi, kenapa kamu menangis?” tanya pria paruh baya yang tak lain merupakan suami dari wanita tadi. Mendapat pertanyaan semakin membuat Arumi menjadi tak karuan. Ia ingin bicara, tetapi takut dikira menyumpah dan akhirnya dituduh sebagai sebab kemalangan wanita tadi. Namun, diam terus juga tidak mungkin dia lakukan karena ujung-ujungnya mereka juga pasti akan tahu. "Sudah jangan tanyakan apa-apa lagi pada gadis itu. Ini sudah malam lebih baik kita semua kembali dan beristirahat," ucap nenek terdengar tegas sehingga semua anggota keluarganya tak ada yang membantah dan hanya menghela napas pasrah. "Maaf jika anak dan cucuku terlalu menekanmu. Sebenarnya aku yang ingin bicara, tetapi entah kenapa mereka malah ikut-ikutan." Nenek memandang anak dan cucunya secara bergantian. Membuat yang ditatap menjadi salah tingkah. Namun tidak ada yang berani menjawab. "Ini sudah malam, kamu mau pulang atau menginap di sini?" tanya nenek kemudian. Ia menatap lekat pada gadis yang saat ini hanya bisa menunduk sambil memainkan jemari untuk sedikit mengurangi rasa gugup. "Saya …." Arumi sungguh ragu untuk mengambil sebuah jawaban. Ibarat simalakama, tak ada yang bisa dilakukan karena semuanya menjadi serba salah. Pergi tanpa memberi atau memberi tahu jatuhnya akan tetap sama saja. Tetap tinggal pun juga begitu, tuduhan bukan tidak mungkin akan terarah padanya. "Aku pikir kamu akan lebih nyaman di rumah, begitu 'kan?" Nenek kembali bertanya pada Arumi. Wanita tua itu seolah mengerti tentang apa yang berada dalam benak sang gadis. Arumi masih terdiam, tetapi kemudian mengangguk kecil sebagai jawaban. Benar, di rumah ia bisa lebih leluasa untuk menyalurkan perasaan. Namun, hatinya masih terganjal untuk mengatakan jika salah satu wanita yang berada di kamar saat ini tengah berada dalam pengaruh santet berbahaya. "Pak, tolong periksa anak dan istri bapak karena firasatku semakin tidak enak," ucap Arumi pada akhirnya, setelah menimbang dan siap dengan segala konsekuensi tuduhan yang terarah padanya. Bagaimanapun ia tak bisa membiarkan hal ini begitu saja, setidaknya dia sudah berusaha untuk memberi tahu dan memperingatkan. Tentang kepercayaan itu kembali lagi pada mereka sendiri. Orang yang dimaksud memandang Arumi dengan tatapan yang entah. Namun beberapa saat kemudian ia bangkit dan mendekati kamar kedua wanita yang berarti dalam hidupnya itu. Pertama ia membuka kamar sang anak. Dilihatnya si bungsu tengah mendengarkan sesuatu di ponsel dengan menggunakan earphone yang disumpalkan ke telinga. Sedangkan kedua mata terpejam sehingga ia tak menyadari kehadiran sang ayah. Selanjutnya ia membuka kamar sang istri dan melihat wanita tersebut tengah memejamkan mata dengan posisi tidur menyamping seperti biasa. "Sepertinya tidak ada yang aneh. Kamu tidak perlu khawatir." Arumi menelan ludah dengan susah payah karena mendadak cairan itu terasa mengental. Ingin rasanya ia berteriak dan meminta pria tersebut untuk memeriksa keadaan mereka secara dekat. Namun, keinginan itu sepenuhnya terhalang oleh rasa takut. Takut terlalu ikut campur dan melampaui batas. Keadaan hening untuk beberapa saat sampai akhirnya terdengar suara dari kamar anak gadis. Tentu semua bergegas memeriksa dengan sekelumit rasa penasaran. Jantung Arumi kali ini berdetak dua kali lebih cepat dari sebelumnya, ketakutan yang dirasa berkumpul dari segala kemungkinan dan bertumpuk jadi satu. Begitu pintu kamar dibuka, terlihat si gadis tengah memegangi perut dengan mulut yang berdarah. Bahkan di lantai dan seprai ada genangannya yang bercampur dengan isi perut serta berwarna kehitaman. Membuat siapa saja yang melihat menjadi mual seketika. Semua mata terbelalak menyaksikan bagian tersebut. Namun, beberapa saat kemudian semua serempak menutup mata untuk beberapa saat karena tak sanggup menyaksikan pemandangan itu lebih lama. Sesuatu di dalam perut ikut bergejolak dan menghadirkan rasa mual tak terkira. "Tolong," lirih si gadis dengan penampilan yang sudah sangat kacau. Rambutnya berantakan dengan beberapa bagian yang lepek karena terkena darah, serta mulut yang terlihat mengerikan karena lelehan cairan merah tersebut. "Ya ampun ada apa ini, mengapa kamu bisa sampai seperti ini?" Sebagai seorang ayah, tentu tak bisa mengabaikan begitu saja. Bagaimanapun keadaannya dia tetaplah anak yang harus dilindungi. "Sakit." Lagi, gadis itu merintih sambil meremas perut dengan kedua tangan. Bahkan tubuhnya mengejang, menunjukan betapa ia sangat kesakitan. Kakak dari gadis itu langsung memberikan tatapan tajam pada Arumi yang masih berdiri mematung. Kilatan yang terpancar seolah menuntut dengan jelas penjelasan dari gadis yang saat ini tubuhnya sedang gemetar. Sungguh dia pun tak tahu lagi harus bagaimana. Sementara itu, wanita paruh baya yang belum sepenuhnya tertidur di kamar sebelah merasa terusik dengan kebisingan yang terjadi. Ia pun kemudian bangkit dan menuju asal dari keributan yang terjadi. Kedua mata terbelalak sempurna saat menyaksikan kengerian yang tersaji di depan mata. Menutup mulut sebagai reaksi utama untuk meredam teriakan yang sesungguhnya ingin sekali bergema. Namun, beberapa saat kemudian teriakan itu tak dapat lagi ditahan dan terlepas dengan kencang. Air mata menganak sungai tak kuasa menyaksikan keadaan sang anak yang mengerikan. Berlari masuk lalu memeluk tubuh ramping yang masih berada dalam dekapan sang suami. Merebutnya tanpa peduli pada lelehan cairan merah yang menodai baju serta kulitnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD