Membela Pembantu

1830 Words
Part 3 ⚘⚘⚘⚘⚘ "Katanya pulang kerja mau bawa babysitter buat si kembar, mana Bang?" Bang Ronal baru saja pulang kerja, aku sudah menghadangnya di depan pintu garasi. Aku menagih janji kepadanya. "Belum dapet sayang, hari ini Abang nggak sempat cari, karena banyak kerjaan yang harus dipantau di lapangan," Sahutnya. "Di lapangan mana? Lapangan Mall?" Sindirku sambil meliriknya tajam. Bang Ronal tak menggubrisku dan langsung duduk di ruang keluarga, aku membuntuti dan ikut duduk tak jauh darinya. Bang Ronal memanggil pembantu. "Sri, buatin kopi s**u, ya," pinta Bang Ronal pada Sri. Tak berselang lama Sri datang dengan membawa satu gelas kopi s**u. "Ini Bang, kopi susunya," ucap Sri, sambil tersenyum melirik Bang Ronal. Seketika mataku membulat melihat tatapan mereka berdua dan cara Sri menyebut suamiku. "Bang??? Kok sekarang manggilnya Bang, biasanya Pak. Nggak sopan banget kamu. Manggil aku Bu sampai sekarang. Kok manggil suamiku jadi Abang, maksudnya apa," celetukku pada Sri. "Dinda, buat apa mempermasalahin panggilan orang, mau Pak mau Bang sama aja. Nggak perlu di besar-besarin. Oh ya, makasih ya Sri Kopi susunya. Enak banget," ucap Bang Ronal kembali menatap Sri. Sri tampak tersenyum dan mengangguk sambil terus menatap sayu Bang Ronal. Jantungku rasanya berhenti berdenyut, melihat pembelaan Bang Ronal pada Sri. "Ini tadi di jalan beli martabak dua, satunya bawa aja ke kamarmu, Sri. buat cemilan," Bang Ronal menyodorkan satu kotak martabak kepada Sri. Sri langsung menerimanya. "Makasih ya, Bang. Aku suka banget sama martabak," ucap Sri, sambil membalikkan badannya dan berjalan kebelakang. Bang Ronal tampak memandangi Sri dari belakang. Sri memang serba besar, d**a dan b****g sama-sama besar. Makanya suamiku sampai tak berkedip melihat body Sri. Sangat membuatku kesal, rasanya ingin menendang Sri dari rumah ini. "Tumben juga Abang beli martabak, padahal Abang nggak suka, aku nggak suka, Ayah juga nggak suka. Mungkin yang suka cuma Sri," pungkasku. "Siapa bilang Abang nggak suka, sekarang Abang suka martabak. Makanya beli dua, lihat nih Abang makan martabak, enak kok. Cobain aja sayang," Bang Ronal terlihat lahab menikmati martabak. "Aku inget pas pacaran pernah tanya, makanan yang nggak Abang suka, salah satunya martabak. Kok bisa jadi suka. Aku masih inget lah Bang, sama ucapan Abang itu. Aku belum pikun," cecarku. "Banyak aturan banget Dinda ini, cara manggil orang diatur, makanan diatur. Akhir-akhir ini kamu kelihatan aneh. Jangan-jangan babyblues, ya," Ucap Bang Ronal. Aku semakin kesal mendengar ucapannya, namun sebisa mungkin menahan emosi. "Bisa jadi Baby Blues karena jatah bulanan kurang Bang, kasih dulu Dinda ini hadiah sebagai tanda terima kasih Abang, karena udah berjuang melahirkan anak Kembar," Aku mulai mengalihkan pembicaraan dan merayu Bang Ronal kemudian melingkarkan tangan kiriku di pinggangnya. "Dinda pengennya di kasih hadiah apa, HP baru atau perhiasan, nih," balasnya sambil membalas merangkulku. "Masak hadiah kayak begitu, itu mah hadiah kalau pacaran. Kalau udah nikah apalagi dalam rangka tanda terima kasih udah jadi istri yang baik,udah melahirkan dua anak sekaligus, yang resikonya besar begitu. Hadiahnya ya yang besar juga dong sayang," imbuhku, sambil menyenderkan kepalaku di pundak Bang Ronal. Aku pura-pura romantis padahal dalam hatiku berlawanan, rasa dalam hati penuh amarah dan dendam. "Iya sebutin aja maunya apa, nanti Abang usahain," ucapnya. "Dinda minta, buatin villa yang besar lumayan buat investasi harganya pasti naik terus, beliin mobil warna gold, beliin Logam mulia 50 kilo buat investasi semua atas nama Dinda ya, Bang. Kan sebagai hadiah udah sayang sama Abang udah ngelahirin anak Abang, resikonya nggak sebanding dengan harta benda Abang seluruhnya, bahkan," Aku merayu sambil terus mencium pipinya. Agar ia tak curiga. "Ok, Abang akan beliin mobil besok, logam mulia juga. Rumah Villa dalam minggu ini Abang beliin," balasnya menyanggupi. "Terus Bang, kalau bisa gaji abang bulanannya 50 persen Dinda aja yang simpen, aku iri sama teman-temanku yang gaji bulanan suaminya di pegang semua sama istri. Dinda selama ini cuma di jatah 5 juta rupiah sama abang.sedangkan penghasilan Abang paling rendah 30 juta rupiah sampai 70 juta rupiah tergantung kontrak. Sekarang usahain 20 juta rupiah Dinda yang pegang tiap bulannya. Sisanya Abang pegang buat kebutuhan kita dan bayar ini itu," ucapku. Bang Ronal tampak berpikir sejenak sebelum memutuskan. "Hem, ya udah ... setiap bulan abang transfer 20 juta rupiah buat di simpan ya Dinda. Buat tabungan anak kita, karena istri Abang orangnya baik, pengertian dan sabar seperti ini jadi Abang nggak akan pelit sama Dinda, apapun mau Dinda Abang penuhin," ucap Bang Ronal, sambil mendaratkan kecupan di pipiku. "Makasih Abang yang baik, ganteng dan setia (seketika aku mau muntah) Oh ya ... yakin nih semua mau Dinda akan Abang penuhin?" Aku bertanya sambil meliriknya. "Iya dong Dinda sayang, Abang usahain penuhin mau istri Abang ini," balasnya tersenyum. "Ya udah kalau begitu, Dinda mau ganti pembantu ya, Bang. Soalnya suka kesel Sri kerjanya lelet dan suka terbengkalai, masak nasi aja sampai lupa, masakannya juga nggak enak, kita cari pembantu yang tua aja pengalamannya pasti udah banyak," ucapku sengaja menjebaknya. Seketika wajah bang Ronal berubah memerah. "Jangan lah Dinda, susah cari pembantu jaman sekarang, biarin Sri kerja di sini, sabar aja nanti lama-lama kalau sering diajarain dia pasti ngerti kok," ujarnya. "Katanya mau penuhin semua mau Dinda. Ya udah Dinda pengen rumah ini dipasang CCTV ya Bang. Jaman sekarang kan banyak tindak kriminal perampokan, penculikan apalagi kita punya anak bayi, cepet pasang CCTV, ya," pintaku. "Kan rumah ini udah ada CCTV, cukup di luar aja yang dipasang. Udah Abang letakin di teras samping, depan rumah, belakang rumah, itu udah cukup aman. Di dalam rumah nggak perlu dipasang CCTV. Nggak usah minta yang aneh-aneh lah. Kalau minta duit Abang kasih," ujarnya. "Ya udah, tapi Dinda minta besok bawain Babysitter pokoknya, capek Dinda ngurus anak kembar sendirian, atau Abang aja yang urus, Dindanya biar tidur di kamar dekat ruang keluarga. Abang yang begadang jagain si kembar, ya," ucapku. "Ya udah habis magrib Abang cariin babysitter, Abang mandi dulu," balasnya. Setelah puas mengobrol dengan suamiku. Aku ke dapur menyuruh Sri memasak untuk makan malam. Aku memanggil Sri dari dapur. "Sri, masak ayam woku, perkedel, sama tumis brokoli, ya," perintahku. "Iya," terdengar suara pelan Sri menyahut dari dalam kamarnya. Sri tampak keluar dari kamar. Aku heran melihat ia menutup rambutnya dengan handuk. Rambutnya tampak masih basah dan lengket, aku penasaran dan langsung bertanya kepadanya. "Rambutmu kenapa itu," tanyaku heran. "Diwarnain, Bu," ucapnya santai. "Hah??? Udah kayak apa aja pembantu pakai ngewarnain rambut, kamu mau jadi biduan apa jadi pembantu sih di rumah ini? udah pakai makeup tebel-tebel pula. Aku yang bosmu aja tampil natural, kamu pembantuku malah lebih-lebih dandanannya. Mulai sekarang jangan berlebihan penampilannya, tampil alami dan rambut jangan di cat, kalau nggak bisa diatur kamu keluar dari rumah ini, nggak usah kerja di sini," bentakku geram. "Hak asasi manusia, Bu. Sejak kapan dandan dilarang, ngewarnai rambut dilarang. Bilang aja Ibu Iri sama aku, Ibu takut kalah cantik sama aku, kan," balas Sri. Aku sangat kaget mendengar jawaban Sri yang mulai berani melawan majikannya. Rasanya ingin aku jambak rambutnya. "Sadar diri kamu ini pembantu, mau dandananmu sebagus apa tetep aja kamu anak buahku di sini. Mana mungkin aku iri sama kamu, dari segi pendidikan kita berdua, segi wajah dan harga diri aja, kamu jauh di bawahku. Tunggu aja aku akan pecat kamu secepatnya,"aku menunjuk-nunjuk wajah Sri dan mengancamnya. "Nggak apa-apa aku anak buahmu, tapi aku banyak yang suka aku lebih beruntung dari pada Ibu. Percuma cantik tapi nggak bisa meluluhkan hati laki-laki. Aku bisa membuat laki-laki tunduk dan nyaman selama berada di dekatku. Beda denganmu, Bu Dinda yang ngebosenin dan pasti bakal di lepeh secepatnya," Ucapnya sinis. Mendengar ucapan Sri aku tak mampu lagi menahan emosi. Secara reflek aku menampar kuat pipi Sri. PLAK! Sri berteriak dan langsung menutupi pipinya, aku melihat telapak tanganku yang memerah begitu pula pipi Sri pun ikut memerah. "Berani nampar aku, tunggu aja bakal aku aduin sama Bang Ronal, siap-siap Ibu dimarahi," ancam Sri. Aku kembali geram mendengar ancamannya, ku tarik handuk Sri yang menempel di kepalanya dan secepat kilat menjambak rambutnya kuat-kuat. Secara bersamaan Bang Ronal melihat dan melerai kami. Seketika Sri tampak acting menangis tersedu dan memohon perlindungan suamiku. "Eh kenapa pada ribut! Dinda, kenapa kamu jambak rambut Sri, siapa yang ngajarin kamu berbuat brutal begitu!" Bentak Bang Ronal. Aku belum puas menyakiti Sri, tapi Sri sudah berlindung di belakang badan Bang Ronal, bahkan dia berani menempelkan wajahnya di punggung suamiku. "Bang, tolong aku. Aku disiksa sama Ibu Dinda. Aku ditampar dijambak sakit banget rasanya, Bang, cuma gara-gara aku dandan dam mewarnai rambut, Bu Dinda sampai hati nyiksa aku," ucap Sri sambil terisak. Bang Ronal terlihat mengusap pundak Sri. Melihat Bang Ronal yang membela Sri dan begitu perhatiannya, membuatku syok. Rasanya ingin pingsan di tempat dan ingin memaki mereka. Namun seketika suaraku hilang tak bisa berkata apa-apa lagi, karena terlalu syok melihat mereka berdua sedekat itu. Meski aku tak mengeluarkan air mata setetes pun, namun tak ku pungkiri hatiku begitu sakit. "Dinda, jangan kamu ulangi lagi menyakiti orang lain. Tadi Abang udah bilang jangan suka mengatur-atur hal-hal sepele begini, cara memanggil diatur, makan martabak diatur, orang dandan pakai cat rambut itu hak mereka jangan kamu campuri urusan orang lain, mending kamu fokus rawat anak kita. Biar Sri rawat aku, eh maksudnya rawat keluarga kita semua, ngebantuin beres-beres masak dan lainnya. Harusnya kamu berterimakasih dengan Sri. Adanya dia di sini banyak ngebantu keluarga kita. Abang juga jadi merasa terbantu, ada yang sigap masakin setiap hari. Abang seneng ada Sri di sini," ucap Bang Ronal padaku. Aku mengatur nafas dan menjawab ucapan suamiku. "Mungkin yang seneng Sri ada di sini cuma Abang. Aku perhatiin Abang seneng lihat body montok Sri, matanya nggak berkedip setiap Sri jalan di depan Abang! Nggak ada bagusnya Sri selama kerja di sini, masaknya nggak enak, pemales, lelet, ngelawan kalau di omongin. Tapi Abang muji-muji dia. Abang cuma lihat Bodynya. Padahal Sri itu pantesnya sama mang Narno. Nggak usah ngebela Sri terus Bang! Aku udah berjuang lahirin anakmu, balasannya begini ya. Lebih ngebela pembantu dari pada istri!" Aku mulai tak bisa menahan untuk tidak emosi. "Sayang, Abang nggak ngebela Sri. Abang cuma nasehatin Dinda untuk nggak melakukan kekerasan. Kalau Sri salah omongin aja baik-baik. Inget nggak ada yang ngalahin kecantikan dan keseksian Dinda. Buktinya Abang sampai bisa dapet anak kembar begitu, karena kamu begitu hebat Dinda istri Abang yang hebat. Abang bersyukur punya istri cantik seperti Dinda. Udah nggak usah di besar-besarin lagi. Yuk kita ke kamar nanti abang pijitin Dinda, ya," Bang Ronal merangkulku dan membujuk untuk ke kamar. Sri tampak cemberut dan melirik sinis kearahku ketika melihat Bang Ronal memuji dan berjalan merangkulku. ⚘⚘⚘⚘⚘ (Ribuan pembaca antusias membaca novel karyaku. Ikutin akun sss , IG, YouTube aku dengan nama : Ashya Khoir, supaya nggak ketinggalan info novel ini ya. Novel Godaan Sang Pelakor memecahkan rekor novel terbanyak dibaca urutan pertama disalah satu platform, lalu menjadi novel dengan unlock terbanyak di platform lainnya, novel ini juga sangat ramai dibaca di YouTube aku dengan pembaca militan. Mudah-mudahan di Dreame dan Innovel Godaan Sang Pelakor atau disingkat GSP akan banyak menemui pembaca militan juga ya, siap2 kecanduan ceritanya yang nggak membosankan, unik dengan genre komplit ada dramanya, romance, detektif, komedi, horror, sejarah dan mistery ) Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD