01. Gagal Pergi

2444 Words
Rumah bertingkat tiga dengan tingkat paling atas adalah di atap terletak di salah satu kawasan Intan Permata, Jakarta Pusat. Memiliki dinding luar berwarna krem dan pagar hitam yang menjulang tinggi. Halamannya cukup luas, dengan macam-macam tanaman hias yang indah dan terawat.  Seorang gadis kecil berkaus biru dipadukan jaket jeans biru pudar melangkah pendek dengan kakinya yang dibalut celana jeans hitam panjang. Surai hitamnya melambai-lambai seiring langkah kakinya. Gadis itu terus berjalan menuruni tiap undakan anak tangga sambil terus menyeret koper kecil. Dia adalah Rara Fanisha Alfarizi yang akrab disapa Fani. Ketika sampai di bawah, Fani celingak-celinguk mencari orang tuanya. Dia menemukan orang tuanya sedang duduk santai di sofa depan televisi yang tidak dinyalakan. “Mama, Papa,” panggilnya. “Eh? Anak Mama mau ke mana? Kok bawa-bawa koper segala?" tanya Mamanya, Andina Alfarizi, terkejut. Jemari sang Mama memegang pergelangan tangan Fani dan menariknya dengan lembut. Menyuruh Fani duduk di antara Papa dan Mamanya. “Mama sama Papa lupa? Hari ini ulang tahun aku sama Fina dan kita mau ke vila Kakek." Fani mengerucutkan bibirnya kesal. “Sayang, kita enggak jadi pergi, ya?” ucap Papanya, Friansyah Alfarizi, sambil menghela napas pasrah. "Kenapa, Pa?" Fani mengerjapkan matanya terkejut. “Fina enggak mau ke puncak.” Rian mengusap kepala Fani. “Tapi, Mama sama Papa udah janji.” Fani menatap mata Rian dan Dina bergantian dengan pipi menggembung sebal. Meski tampak begitu menggemaskan, sorotan sedih dan kecewa tampak nyata di bola mata jernihnya. Hal Yang lantas membuat Rian dan Dina saling berpandangan bingung. “Papa, Mama, kita jadi perginya, 'kan?” Fina yang baru keluar kamar menginterupsi. Fani wujud pandangan kecewanya pada Fina. Fina yang mendapat tatapan kecewa dari Fani tentu saja bingung. Dan lagi, mengapa perasaannya terasa tak enak? Fina jadi berpikir bahwa Fani tidak suka pakaian yang sama dengan Fani. Hanya berbeda warna baju lengan pendeknya. Jika Fani berwarna biru muda, maka Fina berwarna merah muda. "Benar-benar anak kembar," batin Dina dan Rian. “Kamu kenapa enggak mau pergi ke vila Nenek sama Kakek?” “Di sana dingin. Aku males," jawab Fina tak acuh. “Tapi kita udah janji pergi ke vila Nenek sama Kakek, Fina.” “Aku malas, Fani! Di sana dingin!” Mengabaikan Fina, Fani memandang Papa dan Mamanya bergantian dengan sendu. Tangannya meremas baju yang dia kenakan hingga kusut. “Mama, Papa, kata Bu Guru kalau udah janji harus ditepati. Kalau enggak bisa masuk neraka. Mama sama Papa udah janji sama aku. Fina juga. Nanti Mama, Papa, sama Fina bisa masuk nera-" “Papa, Mama, ayo kita pergi ke Mall. Ayo, Fani. Kita main di Mall aja. Lagian apa enaknya di vila Kakek sama Nenek? Dingin!" potong Fina. “Kamu diam aja, Fina! Aku lagi ngomong sama Mama sama Papa! Kamu berisik, tau! Sakit telinga aku dengar kamu ngomong!" bentak Fani sebal dengan mata memerah. Fani berlari cepat meninggalkan orang tuanya. Ketika sudah berada di belakang Fina, dia berhenti dan berbalik menghampiri Fina. Tanpa aba-aba, Fani langsung mendorong bahu Fina. Dorongan Fani yang tiba-tiba membuat Fina tidak dapat menjaga keseimbangan tubuh. Akibatnya, gadis kecil itu terjerembap ke lantai. Mereka semua terkejut, tidak terkecuali Fani. Fina menangis dengan kencang saat merasakan sakit di dahinya yang sudah terlihat merah keunguan. Rian segera menghampiri Fina yang menangis, menggendongnya agar tangisnya mereda. Bukannya berhenti menangis, tangis Fina justru semakin histeris. Rian kemudian memberikan Fina pada istrinya dan menghampiri Fani yang mematung. Tangan Rian mengepal dan wajah pria itu memerah karena amarah. Fani berdiri ketakutan di tempatnya. “Gara-gara kamu, Fina nangis! Kamu punya mata, 'kan? Lihat dahi kembaran kamu! Itu gara-gara kamu!" Rian menarik tangan Fani kasar menaiki tiap undakan anak tangga ke lantai dua, kamar Fani. Sampai di kamar, Rian menghempaskan genggamannya pada tangan Fani dan berjalan tergesa ke sudut kamar untuk mengambil rotan. “Dasar, anak nakal!” Satu layangan rotan berhasil menghantam punggung Fani dengan sempurna. Pekikan sakit keluar dari bibirnya yang bergetar. Sakit, perih, dan panas Fani rasakan di punggungnya. Air mata segera luruh membasahi kedua pipi tembam Fani. “Papa enggak pernah mengajari kamu menjadi anak enggak sopan kayak tadi!” Rian melayangkan rotan tadi berulang kali, hingga tiga pukulan di punggung dan lima pukulan di kaki Fani. Fani terus menangis merasakan sakit di dan kakinya. Bahkan, Fani sudah tidak sanggup lagi menopang tubuhnya. Dia jatuh, terduduk dengan bahu yang bergetar dan napas tersendat-sendat. “Papa…,” rintih Fani parau, “sakit.” Fani menatap mata Papanya dengan pandangan sedih, kecewa, dan menyesal. Begitu pun permintaan ampunnya yang hanya ditanggapi Rian dengan pandangan datar. “Itu buat kamu karena udah bikin Fina nangis sampai dahinya lebam. Sekarang, kamu Papa hukum enggak pergi ke mana-mana. Papa, Mama, dan Fina mau pergi ke Mall." Rian melempar rotan dalam genggamannya ke sembarang arah. "Maaf, Pa." Rian mengacuhkan Fani dan segera keluar. Tak lupa mengunci pintu kamar Fani. “Papa, aku minta maaf. Jangan tinggali aku," suara tangis Fani terdengar begitu memilukan. Fani sudah tidak sanggup lagi berjalan untuk menggapai pintu kamar. Punggung dan kakinya begitu sakit dan perih. Bahkan, sudah terlihat memerah keunguan. Yang sanggup dia lakukan kini hanya menangis. Rian sampai di bawah dan mengambil alih Fina dari pangkuan Dina. Menggendong putrinya itu dengan maksud menenangkan. “Hei, udah dong, nangisnya. Tadi katanya mau pergi. Ayo, kita pergi, tapi janji jangan nangis lagi." Fina menyelusupkan wajahnya ke leher Rian. “Papa, sakit,” lirih Fina. “Mana yang sakit, sayang?” Rian memberi jarak pada pelukannya untuk melihat wajah Fina. "Ini, Pa." Fina menunjuk dahinya yang terlihat sedikit membengkak. “Udah diobati Mama?” Rian melirik Dina. "Udah." Fina menganggukkan kepalanya pelan. “Ya udah, enggak apa-apa. Nanti juga sembuh, sayang. Jangan nangis lagi." Rian mengusap pipi Fina lembut dan penuh kasih sayang. Ayo, berangkat.” Rian tersenyum hangat. “Tapi ... Fani mana?” “Fani ada di kamar. Udah biarin aja." “Papa, mau bareng Fani juga,” rengek Fina. Di lubuk hatinya dia mengkhawatirkan Fani. Namun, dia terlalu gengsi mengakui itu. “Biarin aja, itu hukuman buat dia karena udah bikin kamu nangis.” Rian berucap santai. “Papa....” Mata Fina berkaca-kaca. “Oke. Kita ajak Fani. Ma, panggilin Fani. Ini kuncinya.' Rian menyerah karena tak tega melihat Fina hampir menangis. Dina langsung melesat ke kamar Fani dan membuka pintunya. Dia tertegun melihat putri kecilnya meringkuk di atas lantai dengan tubuh bergetar hebat. Dina tak menampik bahwa isak tangis pilu Fani mampu menyayat perasaannya. “Sayang...,” panggil Dina sedih, “ini Mama.” Mendengar suara Dina, Fani mendongak. Kemudian merangkak menghampiri Mamanya. Sungguh, dia tak kuasa untuk berdiri dengan kedua kakinya. Meski merangkak pun, Fani masih merasakan sakitnya. Dia memeluk kaki Dina erat. “Mama, maaf. Aku minta maaf, Ma," isak Fani. Melihat putrinya yang tampak begitu menyedihkan, Dina menghindari dekapan Fani di kakinya. Berjongkok menatap Fani dalam. “Iya, sayang. Udah, enggak apa-apa. Kita keluar, yuk. Udah ditunggui sama Papa sama Fina," ajak Dina . “Tapi kaki aku sakit, Ma.” Dina merasakan nyeri di hatinya. Menarik napas panjang, dia berdiri dan mengambil kotak P3K di laci nakas Fani. “Mama enggak bisa obati karena kamu pake celana jeans. Susah digulungnya. Kamu obati sendiri ya, pake ini." Dina menyodorkan sebuah salep. Fani ingin menolak. Dia mau Mama yang merawat dirinya, tapi apalah dayanya? Dia tak ingin membuat Mamanya turut memarahinya seperti Papa. Jadi, yang dilakukan Fani hanya mengangguk pelan. “Kalau udah selesai diobati, kamu turun ke bawah. Mama, Papa, dan Fina tunggu. Kita pergi sama-sama. Jangan nangis, nanti kamu dimarahi dan dipukul sama Papa lagi. Oke? ” "Iya, Ma. " “Anak pintar.” Elusan dan senyum Dina setidaknya mampu mengusir sedih di hati Fani. Setelah Dina benar-benar keluar, Fani segera membuka celananya dan mengoleskan salep tadi ke luka memar di kakinya. Rintihan kecil keluar dari bibir Fani tiap tangan mungilnya mengusap memar tersebut dengan salep. Menunggu sebentar, Fani kembali memakai celananya sambil meringis. Meski masih terasa sakit, tapi ini sudah lebih baik. Dengan langkah sedikit tertatih, Fani turun ke lantai dasar. Dapat dia lihat Mama dan Papanya tertawa bersama Fina. Melihat Fani, Rian tiba-tiba mendecih. “Ngapain aja kamu di kamar lama banget?” sinis Rian yang hanya ditanggapi Fani dengan kepala menunduk. “Papa, ayo pergi. Fani udah selesai.” Fina turun dari pangkuan Rian dan menggamit lengan Fani. "Ayo." Rian berjalan duluan. Fani bergeming ketika Fina menariknya untuk melangkah. Tatapan bingung Fina layangkan pada Fani yang juga menatapnya. “Aku mau sama Mama,” bisik Fani. “Ya udah, aku mau ke Papa. Jangan nangis," balas Fina dan pergi meninggalkan Fani. “Loh, Fina? Kok Faninya ditinggal?" tanya Dina heran. “Fani mau sama Mama. Aku mau ke Papa." Dina mendekat ke Fani dan mengulurkan tangannya yang dibalas Fani dengan pelukan. Dina yang terkejut hanya mampu terdiam, tidak membalas, juga tidak menolak. "Kenapa?" Dina melepaskan pelukan Fani setelah sadar dari rasa terkejutnya. Gelengan pelan dari Fani membuat Dina menghela napas dan menyejajarkan tingginya dengan Fani. Memegang pundak kecil Fani dengan remasan pelan. “Kamu yang salah. Kamu yang dorong Fina. Jadi, jangan bersikap seolah-olah kamu yang paling benar." Fani menatap mata Dina dalam diam, tak bereaksi apa-apa. “Sekarang, kamu minta maaf sama Fina. Jangan diulangi lagi perbuatan yang tadi. Mengerti?” "Iya, Ma. " "Ayo, kita ke mobil. " Mereka berdua berjalan ke luar rumah, menuju mobil yang sudah dinyalakan di luar garasi. Di mana Rian dan Fina sudah menunggu. "Aku minta maaf." Fani menatap lurus kakinya yang berbalut sendal bulu, tidak berpijak ke dasar mobil. "Iya, aku maafi. " Tanpa terduga, Fina memeluk Fani dengan erat membuat gadis kecil itu merintih sakit. Fina yang terkejut melepaskan pelukannya dan menatap Fani yang memejamkan mata. Dari spion tengah mobil Dina dan Rian melirik Fani. “Kamu kenapa? Aku nyakiti kamu?” Pertama yang Fani lihat begitu kembali membuka mata adalah wajah tegang dan mata berkaca-kaca Fina. "Ahaha!" tawa Fani tiba-tiba. "Kamu ketipu! " "Bohong!" pekik Fina menumpahkan tangisnya. “Jangan nangis, aku enggak apa-apa. Badan aku sakit kamu peluk kenceng.” Fina membulatkan mulutnya, mencoba mempercayai kata-kata Fani. Fani bernyanyi, bercerita tentang apa saja yang membuat orang tuanya tertawa dan Fina kesal. Menyembunyikan rasa sakit di kaki dan punggung yang tadi dipukul sang Ayah. Saat sampai di Mall, mereka menuju ke salah satu restoran yang ada di sana sesuai kesepakatan saat di mobil untuk makan terlebih dahulu. Fani dan Fina bergandengan tangan dengan posisi Fani digandeng Dina dan Fina digandeng Rian. Fina duduk di antara Rian dan Dina. Sementara Fani duduk di sebelah Rian. Tiba-tiba, ada seorang wanita berperut buncit menghampiri meja mereka dan duduk di sebelah Fani, mencubit pipi tembam Fani gemas. “Tante, pipi aku jangan dicubit. Sakit. Terus pipi aku bisa lepas kalau Tante cubiti, tau," kesal Fani karena wanita itu terus mencubiti pipinya. “Ha ha ... kamu ini ada-ada saja, nak. Lucu banget, sih. Nama kamu siapa?” Wanita itu tertawa mendengar ucapan kesal yang dilontarkan Fani. “Rara Fanisha, Bu,” jawab Dina ketika tak ada tanda-tanda Fani akan menjawab. “Kalau yang itu namanya siapa?” Wanita itu berganti menunjuk Fina. "Mimi Finara." “Aduh, lucunya kalian berdua ini. Semoga nanti saya dapat anak kembar yang lucu seperti anak Ibu, ya," ucapnya sambil mengusap perutnya yang buncit. “Amin, Bu.” “Kalau begitu saya pamit dulu ya, Bu. Maaf, saya tiba-tiba datang dan mengganggu acara makan keluarga Ibu," pamit wanita itu. “Iya, Bu. Enggak apa-apa, kok. Enggak mengganggu sama sekali.” Dina tersenyum ramah. “Mama, pipi aku sakit.” Fani memajukan bibir bawahnya kesal sembari mengusapi pipinya yang memerah. “Kamu sih, lucu. Tantenya jadi suka." Dina terkekeh. “Ya udah, Mama sama Papa buat ulang aku aja. Dibuat enggak lucu biar orang-orang enggak suka dan cubitin pipi aku." Orang tuanya kontan saja bersemu merah mendengar permintaan polos Fani. “Eh? Mana bisa gitu, sayang," ucap Dina malu. “Kok enggak bisa, Ma? Mama kalau bikin bekal aku sama Fina bentuknya enggak lucu Mama buat ulang, 'kan?” Fani mengerjapkan mata lugu. “Kamu ini, ya.” Rian mencubit pipi Fani gemas. “Jangan cubit pipi aku, Pa. Ntar kalau pipi aku lepas gimana? Aku masih mau punya pipi." Fani semakin kesal melihat orang tuanya malah terkekeh. “Udah, ah, kamu makan aja. Lihat tuh, Fina. Dia makan diam aja dari tadi. ” Mendengar perkataan Papanya, Fani terdiam. Melanjutkan makannya dengan perasaan sedih karena Papanya membandingkan dia dengan Fina, lagi. “Papa, Mama, habis ini beli es krim, ya.” Fina bersuara. “Iya, sayang,” jawab Rian mengusap kepala Fina sayang. “Fani juga mau, 'kan?” Dina menatap Fani yang diam. Gadis kecil itu hanya menganggukkan kepalanya pelan. “Ya udah, ayo. Makannya juga udah selesai, 'kan?” Rian berdiri dari kursinya. “Aku belum selesai, Pa.” Fani bersuara pelan. “Terserah. Makanya, kalau makan jangan banyak cerita. Diam aja, kayak Fina.” Rian berjalan keluar dengan santai. Menggandeng tangan kiri Fina. Dina ikut menggandeng tangan kanan Fina. Fina merasakan dadanya sesak. Dia menoleh ke belakang dan mendapatkan kembarannya tengah menundukkan kepala sambil berjalan pelan. “Aku kan diganggu sama Tante tadi, Pa,” lirih Fani. Orang tuanya tidak mendengarnya, tapi Fina mendengar lirihan Fani dengan jelas. Rian dan Dina mengikut arah pandang Fina yang terus menoleh ke belakang. Rian melepaskan gandengannya pada Fina dan beralih menggandeng tangan Fani. Refleks, Fani mendongakkan kepalanya, menatap Papanya yang tersenyum. Membuat Fani ikut tersenyum. “Oh iya, sebelum beli es krim, kita foto dulu, ya?” ajak Dina yang diangguki oleh Fani, Fina, dan Rian. Dina dengan semangat membawa anak kembarnya ke salah satu tempat foto yang ada di Mall itu. Dina tidak ingin melewatkan momen ini. Mumpung kedua anak kembarnya tengah akur dan memakai baju yang sama. Yah, meski Fani hanya memakai sendal bulu dan Fina sepatu. Fani dan Fina dengan semangat mengikuti Mama mereka. Kedua anak kembar itu berfoto dengan tangan Fina yang merangkul pundak Fani. Fina tersenyum lebar, berbeda dengan Fani yang hanya tersenyum kecil. Senyum yang tidak sampai ke matanya. “Papa, aku mau yang rasa cokelat!” "Aku yang vanila, Pa! " “Iya-iya, sayang, sebentar.” Ketika es krim pesanan mereka telah jadi, Rian memberikannya pada kedua anak kembarnya. Mereka keluar dari toko es krim dan berjalan menuju parkiran. Ketika sampai di mobil, barulah Fani melahap es krim cokelatnya dengan binar bahagia. Lain hal dengan Fina, es krimnya sudah habis. Dia menolehlan kepalanya ke kiri, ke arah Fani. “Fani, aku mau es krim kamu, dong.” Fina menatap Fani yang tengah asyik sendiri dengan es krimnya. “Ih, Fina! Kan, kamu udah punya sendiri. Kenapa minta punya aku?" serunya sebal. “Papa, Mama, Fani pelit!” teriak Fina menangis. “Eh? Kenapa nangis, sayang?” Dina menarik tangan Fina lembut untuk pindah ke depan dengan hati-hati dan duduk di pangkuannya. Memeluk gadis kecil itu. “Fani enggak mau kasih es krimnya ke aku.” Fina mengeratkan pelukannya pada Dina. “Loh, punya kamu mana?” Rian bertanya heran sembari mengusap kepala Fina lembut. “Punya aku udah habis, Papa.” Fina masih sesenggukan. “Kan, punya kamu udah habis. Enggak boleh, dong, minta punya Fani. Kalian kan udah masing-masing dapat." Dina mencoba memberi pengertian untuk Fina. “Tapi, aku mau lagi, Mama.” “Fani, es krim kamu kasih ke Fina, ya.” Rian beralih ke Fani. “Tapi ini punya aku, Papa. Fina tadi juga dapat. Salah dia, kenapa makannya cepat-cepat. Makanya Fina, jadi orang jangan rakus!” ketus Fani. Mendengar ucapan ketus Fani, bukannya berhenti menangis, Fina semakin histeris. “Kasih ke Fina, Fani! Mau Papa pukul lagi kamu?! ” bentak Rian. Melihat Kemarahan Papanya, dengan menahan tangis karena Rian membentaknya dan juga karena iri apa kemauan Fina selalu dituruti, Fani memberikan es krim pelepasan ke Fina. "Kenapa Mama sama Papa selalu kasih apa yang Fina mau? Aku juga mau kayak Fina," gumam Fani pelan, sangat pelan bahkan nyaris tak terdengar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD