Dua

1938 Words
Usai ayahnya dan beberapa rekanan dokter meninggalkan ruangan, Dani termenung sambil menatap ruangan yang sekarang ia tempati. Ruangan yang sama yang ditempati ayahnya ketika merintis rumah sakit ini dari awal. Dan sekarang beban itu pindah ke pundaknya, beban untuk semakin membesarkan rumah sakit ini. Ketukan di pintu membuyarkan lamunan Dani. “Kantin?” ajak seorang lelaki muda dengan jas dokter membalut tubuhnya.                   Lelaki itu bernama Arnando, atau yang lebih akrab dipanggil Ando. Tidak, Ando bukanlah teman baru untuk Dani. Mereka sudah bersahabat sejak SMP. Hanya saja, Dani tidak ingin kecerdasannya dikalahkan oleh Ando. Maka dari itu, Dani pergi ke negeri seberang untuk menuntut ilmu lebih dalam. Masuk akal? Jelas tidak. Itu bukanlah alasan seorang Dani. Humor yang tidak lucu memang. Namun, mau tidak mau Ando sempat terkekeh saat mendengarnya dulu. Tanpa mengangguk, Dani berjalan mendahului Ando yang lantas menyamai langkahnya. Keduanya jalan bersisian seraya berbincang kecil. “Ando…” Panggilan lembut itu membuat keduanya menghentikan langkah. “Hei.” Ando tersenyum dan menghampiri perempuan itu, meninggalkan Dani yang menatap mereka datar. Keduanya berbincang kecil dan melempar tawa, menghiraukan Dani begitu saja. Lelaki itu tiba-tiba dilanda rasa bosan yang nyaris membunuhnya. Dani berdeham agak keras, membuat keduanya menoleh. Karin menunduk karena malu, sedangkan Ando menyengir lebar. “Oh iya, Karin. Kenalin ini Dani dan Dani, kenalin ini Karin.” Ando mengucapkan nama Karin ketika menatapnya dengan senyuman seraya mengedip sebelah mata. Dani manggut-manggut. Ia tahu apa yang dimaksudkan oleh Ando. Benar dugaannya. Ando dan Karin merupakan sepasang kekasih. Dani mengulurkan tangannya, hal serupa yang dilakukan Karin. “Dani.” “Karin.” Dani tersenyum tipis membalas senyum ramah yang dilemparkan. Ia melepaskan tangan lembut tersebut dari genggamannya. Bukan, ia hanya mengaguminya. Terbukti dari detak jantungnya yang normal saat kedua mata itu menatapnya bersahabat, seperti halnya Ando. “Oke, kita ke kantin bareng.” Pilihan yang salah rupanya karena Dani tiba-tiba saja menjadi obat nyamuk bagi pasangan di sampingnya. Ando sama sekali tidak mengajaknya berbicara sedikit pun! Bahkan Dani meragu bila Ando masih ingat bahwa ia yang mengajak Dani. BRUK! Semua terjadi begitu cepat. Tubuh menjulangnya terasa membentur sesuatu yang menghampirinya. Seorang anak kecil yang nyaris saja terjungkal dan terjatuh bila kedua lengan Dani tidak segera menahan pinggangnya. Tunggu. Ia bukan menabrak anak kecil! Gadis itu kini mendongak, menatap Dani dengan kedua mata membulat penuh. Mulutnya terbuka dan kembali tertutup. Sepasang mata bundarnya mengerjap-ngerjap, masih menatap Dani yang tidak juga memutuskan kontak. Biasanya, Dani akan segera menjauh. Lelaki itu bahkan bisa mendengus dan memutar kedua matanya bila dihadapkan dengan adegan murahan ini. Tidak jarang perempuan yang berpura-pura tak sengaja menabraknya agar mendapat perhatiannya. Pikiran tersebut membuat Dani lantas memperbaiki posisi keduanya dan tidak lupa membantu gadis itu berdiri. Namun, bukannya berlalu, gadis itu malah semakin melebarkan matanya menatap Dani, membuat lelaki itu tidak sanggup memutuskan kontak mata dengannya. Tidak, Dani bukan terpesona akan gadis “biasa” itu di hadapannya. Ia sedang menunggu mulut mungil itu mengeluarkan suara. Mungkin permintaan maaf? Entahlah, apa yang ia tunggu sebenarnya. “Duh, kalau jalan hati-hati dong, Om!” Bentaknya seraya berkacak pinggang. Gadis itu berlalu dengan raut wajah kesal. Ia meninggalkan Dani yang masih menganga tidak percaya. Sementara Ando dan Karin sibuk menahan tawa. “Om?!” Dani membeo kesal, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Sialan!” lanjutnya mengumpat. Dani mengerling tajam pada Ando yang akhirnya menyemburkan tawanya. Raut wajah yang tampak masam dan mengerikan itu membuat Karin mati-matian membujuk Ando untuk segera menghentikan tawanya. Dani akhirnya memutuskan untuk pergi dan membatalkan perjalanan ke kantin. “Ando udah, kasihan Dani,” ucapnya mencoba meredakan tawa Ando meskipun Dani sudah pergi. “Biar. Sekali-kali, ‘Om’ itu perlu hiburan, Sayang,” gurau Ando lantas merangkul Karin dan bergegas menyusul Dani. Seakan mengingat sesuatu, Ando menoleh pada Karin dalam rangkulnya. “Dia pasien kamu, kan?” ***   “Gimana, Dok?” Daisy mengusap kedua telapak tangannya, menunggu jawaban Karin dengan antusias. “Hebat. Sudah ada kemajuan.” Jemari lentiknya sekali lagi memeriksa kedua mata bundar Daisy untuk memastikan. “Berhasil. Mulai sekarang kamu bisa beraktivitas tanpa menggunakan kacamata.” Daisy bertepuk tangan kecil. “Wohoo! Akhirnya aku terbebas dari kacamata itu! Yeay!” pekiknya tertahankan. Karin menggeleng-geleng melihat tingkah Daisy yang tidak jauh berbeda dengan anak kecil. Meskipun usianya genap 22 tahun, orang-orang pasti menyangka anak ini masih sekolah. “Memang kenapa kalau menggunakan kacamata? Bukankah itu terlihat lebih dewasa?” tanya Karin. Daisy menggeleng kuat. “Aku kan designer, Dok. Setiap hari aku mencoba gambar desain-desain terbaru. Agak susah kalau mendesain pakai kacamata. Bikin repot! Belum lagi kalau lupa membawanya.” Karin terkekeh pelan. “Okay.” ***   Dani memaksakan senyuman tipis pada beberapa perawat yang menyapanya. Ia melangkah panjang dan berhenti pada tukang majalah di depan koperasi. Ia butuh bacaan untuk menghiburnya. Membaca artikel di ponsel hanya akan membuat matanya sakit. “Mas, ada majalah tentang kesehatan, gaya hidup, atau semacamnya?” tanyanya pada tukang majalah yang tengah menganggur. Tukang majalah tersebut melihatnya sejenak dan mengangguk paham. Ia memberikan beberapa contoh majalah yang tidak tersegel dan mengandung unsur apa yang dikatakan Dani beberapa saat lalu. Saat tengah membaca lembaran majalah tersebut, suara cempreng yang nyaris tak asing di pendengarannya seketika menghancurkan konsentrasinya. “Baaang! Ada majalah baru yang HOT?” Gadis itu menyengir lebar. Senyuman yang paling lebar yang pernah Dani lihat di dunia ini selain Elmo! Kemudian ia menggeleng dan kembali melanjutkan bacaannya. “Woalah, ada Neng Daisy. Mau yang mana niiiih?” balas tukang majalah itu, tidak kalah gilanya. Belum lagi nada menggoda seolah gadis yang tengah berbicara dengannya itu minta dibelikan gulali warna-warni supaya bahagia. Daisy… Hmm, namanya tidak buruk. Astaga! Apakah dirinya mabuk? Baru saja ia memuji dan memikirkan gadis kecil ini! Kini huruf-huruf dalam artikel yang dibacanya tampak seperti coretan anak balita yang ia tidak mengerti. “Wah, emang ada banyak, yah? Ya ampun, si Abang kenapa nggak calling-calling dulu gitu, sih? Biar bawa duit banyak!” gurau Daisy. Dani yang berusaha kembali memfokuskan bacaannya kontan terbelalak menyadari kalimat gadis itu. Calling-calling? Demi Tuhan, ia tidak menyangka selera gadis itu jauh di luar dugaannya. Tidak perlu dibandingkan. Jelas Dani lebih unggul dari pada tukang majalah di hadapannya ini! Eh, mengapa jadi membandingkan dirinya dengan tukang majalah?! Daisy berdecak pelan. Sepasang tumitnya berjinjit, berusaha meraih majalah-majalah yang diserahkan tukang majalah tersebut. Astaga, pendek sekali! Berapa sebenarnya tinggi gadis ini? Liliput. “Yee, nanti diomelin sama isteri saya,” ujar tukang majalah tersebut. Dani yang mendengar kata “isteri” itu berdecak keras karena mengingat kesendirian dirinya. Sungguh? Bahkan soal percintaan pun ada yang lebih unggul darinya. Sementara Daisy berdecak keras karena sebal dengan keberuntungannya dikalahkan oleh isteri abang-abang di hadapannya. Wanita beruntung itu saja bisa dilirik oleh manusia macam abang ini, mengapa dirinya tidak satu pun ada yang melirik? Jangankan ada, berniat pun tidak! Mendengar decakan di waktu yang bersamaan, membuat tukang majalah tersebut menoleh pada Dani dan Daisy kemudian terkikik geli. Saat itulah Daisy baru menyadari kehadiran dokter tampan yang sempat menubruknya beberapa jam lalu. “Eh si Om. Beli majalah juga, yah?” Daisy berjinjit seraya mengintip-intip apa yang sedang dibaca oleh Dani. Dengan mudah lelaki itu menjauhkan tubuhnya. Sebelah tangannya menutup-nutupi artikel yang dibacanya. Daisy yang sedang berjinjit tinggi dengan bahu menyandar pada sisi tubuh tegap Dani-pun limbung dan nyaris terjatuh tatkala Dani bergeser kalau saja ia tidak menangkap –lagi-lagi– tubuh mungil dalam rengkuhannya itu. “Aduh, duh! Si Om sih, ish!” Daisy berdiri memperbaiki posisinya dan segera merapikan blouse merah yang dipakainya. Dani merasa kesal dengan sebutan itu! Ia pun menarik tubuh Daisy ke arahnya hingga jarak mereka terhapuskan. Bibirnya menipis dan menukas, “Sekali lagi kamu memanggil saya dengan sebutan seperti itu, saya akan—” “APA?!” pekiknya kencang. Daisy yang merasa dirinya terancam merasa harus melawan. Bibir mungilnya meruncing. Kedua mata mendelik lebar seraya berkacak pinggang. “Mau mengancam saya ya, Om? Ya ampun, inget umur kenapa sih! Sudah tua masih banyak tingkah. Eh Om, denger ya nih saya ini sudah besar. Badan saya aja yang mini, umur saya udah twenty two.” Daisy mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya tepat di depan hidung lelaki itu. “Dan kalau Om berpikir untuk nyulik saya, jangan harap ya. Fasilitas untuk menculik saya haruslah di atas rata-rata! Kalau nggak sanggup, silakan cari bayi yang cuman butuh s**u dan popok! Dasar, Pedophile! Huh.” Dengan tampang kusut bukan main, Daisy menoleh pada tukang majalah yang masih cekikikan. “Udah ya Bang, saya pulang dulu. Pusing saya sama orang tua!” Daisy sekali lagi berlalu meninggalkan Dani yang masih terkesima. Omelan kecil yang dikeluarkan gadis itu saat mulai menjauh bahkan masih terngiang di kepala Dani. Rahang lelaki itu lagi-lagi terjatuh untuk kedua kalinya karena gadis yang sama! Otaknya bahkan dibuat tumpul seketika, sulit mencerna apa yang gadis itu katakan. Tidak sopan! “Dua puluh tahun sudah berani memanggil gue om?!” gumamnya kesal dengan bibir menipis. Ia mengumpat kecil, mengembalikan majalah di tangannya dengan asal kemudian berlalu dengan langkah panjang dan gusar. Tukang majalah yang ditinggalkan oleh dua orang unik itu pun hanya menggeleng-geleng sambil merapikan majalah-majalahnya. “Yah nasib! Rejeki nggak dapat, diacak-acak dagangan gue. BAH!” ***   “Duh, kamu kenapa sih, Sha?” Yuna, ibunda Daisy berdecak gemas melihat tingkah anaknya perempuan satu-satunya itu. Pulang ke rumah tanpa melepaskan sepatu dan langsung merebahkan diri di kasur tanpa rasa bersalah. “Lepas itu sepatunya. Mama capek membersihkan rumah ini, eh kamu malah asik bersantai. Dasar, gimana nanti kalau punya suami?!” omelnya dengan isi yang selalu sama. “Iiih, tuh kan Mama selalu ngomong gitu. Apa pun yang aku lakukan pasti kalimat terakhir Mama selalu disangkut pautkan suami-suamian!” Daisy merengut seraya memeluk gulingnya. Ia masih terbayang akan lelaki tampan itu, tanpa menghiraukan omelan ibunya “Duh, kamu itu! Bangun. Vanisha, bangun!” seru mamanya seraya menarik-narik kaki Daisy. “Aku bakal bangun kalau Mama berhenti manggil dengan nama belakangku! Deal?!” “Oh tidak bisa! Itu adalah nama yang diberikan oleh Mama. Biarlah hanya papamu dan teman-temanmu sekarang yang memanggilmu Daisy. Ayo, wake up, Honey!” Mau tak mau Daisy bangun, “Ugh, Mama! Nisha itu nama masa lalu, masa kecil yang masih ingusan. Sekarang aku sudah dewasa, Mommy…!” ujarnya merajuk. Mamanya bersedekap seraya menggeleng kuat, “No no no! Kamu tetap gadis kecil Mama. Oke? Bangun, hup-hup!” “Iya, iyaaaa…” Daisy mendengus sebal. Tidak. Bukan tidak menyukai nama terakhirnya, hanya saja ia sudah bosan. Entahlah, ia ingin dipanggil Daisy, nama depannya yang diberikan oleh sang ayah. Terdengar lebih manis dan dewasa. Oke. Untuk kata yang kedua, perlu diragukan untuknya. ***   “Lho, lho… Dani? Heh, sejak kapan kamu begitu? Ada orang tua di sini bukannya salim, malah melengos gitu aja!” Maretha menggeleng-gelengkan kepala. “Lihat anakmu itu, Pa,” ujarnya pada sang suami yang hanya tersenyum. Dani yang kadang masih lupa kalau ia tidak lagi tinggal seorang diri, meringis kecil dan menoleh melihat kedua orang tuanya yang tengah menatapnya. Ia menghampiri Maretha juga Hardi dan menyalami dengan hormat keduanya. “Maaf, Ma. Pa. Dani mau istirahat dulu.” Mamanya sempat menanggapi Dani dengan nada khawatir, tapi ia sudah terlalu sibuk memikirkan gadis itu. Astaga, bahkan mereka baru bertemu hari ini! Dengan seenaknya mengutus sebutan untuk dirinya sebagai “Om”?! Katakan, dosa apa yang telah ia perbuat? Dani memijit pelipisnya. Seharusnya ia tidak perlu memusingkan hal kecil seperti ini, bukan? Namun entah mengapa, hal-hal kecil yang dilakukan gadis itu malah berpengaruh besar untuknya. Seperti halnya ini. Mengapa susah sekali dienyahkan dalam pikiran! Ia merebahkan tubuhnya dengan kedua mata terpejam. Nyaris terlelap kalau saja teguran Maretha di balik pintu diabaikannya. “Lepas sepatumu, Pratama Dani Rahardian!”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD