Tiga

2000 Words
Daisy memarkirkan Barbie, mobil VW berwarna kuning miliknya di depan restoran cepat saji. Huh, perutnya tidak henti-hentinya menjerit. Ia baru ingat belum makan siang saat ia tidak sengaja melirik jam tangannya. Pekerjaannya sangat menumpuk dan banyak yang harus ia selesaikan. Gadis itu melangkahkan kakinya ke dalam dan memesan dua potong ayam ditambah sebungkus nasi. Begitu pesanan selesai, Daisy menyisir pandangan. Bibirnya mengerucut. Tidak meja yang kosong! Tahu begitu, Daisy minta pesanannya dibungkus dan dibawa pulang. Baru ia akan berkeliling, mencari-cari siapa yang hampir menghabiskan makanannya, suara yang dikenalnya memanggil. “Daisy! Sini, bergabung dengan kami.” Daisy menoleh ke asal suara. Kepalanya meneleng dengan mata menyipit. Di sana terdapat beberapa dokter tengah makan bersama. “Dokter Karin?!” pekik Daisy antusias. Dengan senyuman lebar, ia menghampiri meja kawanan berjas putih itu. “Hai Dokter Karin, Dokter Ando… eeeh, Dokter Panji…,” Daisy menyengir lebar, mengerjap-ngerjapkan matanya yang berbinar centil saat bertatapan dengan Dokter Panji. “Halo, Daisy. Apa kabar? Ayo bergabung sini.” Panji tersenyum ramah lantas menepuk-nepuk ringan kursi di sebelahnya. “Baik, Dok! Dokter Panji apa kabar?” Daisy semakin menyengir lebar. Membuat siapa pun gemas melihat gadis itu. “Kok sekarang Dokter jarang kelihatan?” “Sangat baik,” jawab Panji mantap kemudian terkekeh pelan. “Memang. Saya harus pindah Daisy.”  “Lho, kenapa?” Sepasang mata bundarnya membulat penuh. “Ada beberapa alasan, tapi yang pasti, saya akan sering-sering main ke sini.” Panji tersenyum, “Saya hanya ingin mematangkan pengetahuan saya agar lebih baik,” jelasnya melihat Daisy yang sepertinya tidak puas dengan alasan yang diberikannya. Tidak ada yang menyadari tatapan tajam milik seseorang yang juga berada di satu meja dengan mereka. Lelaki itu bahkan mendengus samar. Kesal karena seluruh perhatian beralih pada gadis kecil itu! Padahal, beberapa menit lalu sebelum kedatangan Daisy, pusat perhatian semua orang di meja itu tertuju padanya. “Dokter Panji udah baik banget, kok!” bantah Daisy tegas. Gadis itu mengoyak ayamnya lebih dalam. Ia sedikit tidak suka dengan keputusan dokter tampan itu! Kalau tidak ada Panji, siapa lagi alasannya betah berlama-lama di rumah sakit padahal hanya memeriksakan mata dengan dokter Karin? Daisy pasti akan sangat merasa kehilangan. Keberatan, bahkan. Sangat keberatan melepas Panji. Tapi siapa dirinya? Halah. Bahkan soal lawan jenis dan segala yang berbau cinta saja ia buta. Panji terkekeh. “Jangan khawatir, Daisy, nanti ada yang menggantikan saya saat saya pergi. Dokter Dani,” ujarnya menunjuk dokter yang jujur saja, ia akui, memang lebih tampan dari Panji. Daisy kontan menoleh dan mengejapkan-ngerjapkan sepasang matanya. Sedetik kemudian ia seperti teringat sesuatu, “Aih, si Om! Nggak bosen-bosen ya? Lagi mencari strategi buat menculik saya lagi, Om?” Matanya melotot penuh. Kalimat dari bibir mungilnya tadi sanggup membuat Panji, Karin, Ando tak terkecuali Dani terperangah. Lelaki itu bangkit dengan kesal dan menarik kursinya asal ke samping Daisy. Ia mencondongkan badannya dengan mengatupkan rahangnya seraya menatap tajam gadis itu. Dengan menampakan wajah “berani” menantang, Daisy mengangkat dagunya, menghapus jarak antar hidung mancung lelaki itu dengan pipi mulusnya. “Saya sudah peringatkan kamu untuk jangan memanggil—” “Om?” Dagu gadis itu semakin terangkat tinggi. Menantang tatapan tajam Dani yang begitu menusuk. Namun ia segera menepis, tidak boleh terlihat lemah di depan om-om haus gadis seperti ini! “Menantang saya bukanlah hal terhormat, Anak Kecil,” ujar lelaki itu disertai seringai. “Anak Kecil?!” Pekiknya tertahankan. “Daisy…,” Panji berusaha melerai adu mulut yang sepertinya akan terjadi beberapa saat lagi kalau tidak segera dicegahnya. “Perlu kamu ketahui, Dokter Dani termasuk dokter termuda di Rumah Sakit Rahardian, miliknya sekarang. Usianya jauh lebih muda dibanding saya.” Jelas Panji seraya tersenyum geli mendapatkan reaksi gadis itu yang menganga lebar. Dani tersenyum puas seraya menegakan kembali badannya. Ia menampakan seringai saat Daisy menatapnya dengan mata mengerjap-ngerjap. “Daisy memang begitu, Dani, mungkin karena wajah kamu terlihat lebih dewasa, apalagi tubuhmu yang tinggi besar,“ jelas Karin yang tidak enak hati. Bagaimanapun juga Daisy ia yang mengajak gadis itu turut bergabung dengan mereka. Dani mengangguk samar. Ia paham. Ternyata gadis di sampingnya itu menganggapnya lebih “berumur” karena posturnya yang lebih tinggi dari Panji. Oh astaga! Begitu gusar rasanya dianggap ‘tua’ dengan gadis berpostur tubuh anak SMP ini! “I-iya, maap. Abisnya tinggi banget sih, si Om… eh,” Gadis itu meringis geli seraya menutup mulutnya melihat Dani yang langsung menatapnya tajam saat panggilan itu kembali terucap. Daisy meringis begitu melihat arlojinya. “Daisy pamit pulang dulu, ya? Makasih lho dibolehin numpang di sini.” Ia menyengir, “Ah iya, dadah Dokter Panji, Dokter Karin, Dokter Ando pacarnya Dokter Karin, dan… Dokter Dani.” Sapanya seraya berlalu. Panji, Ando, dan Karin tergelak melihat tingkah Daisy saat menyebut nama Dani. Gadis itu terlihat salah tingkah sebelum akhirnya terburu-buru untuk pergi. Ketiganya tidak menyadari, senyuman tipis di wajah Dani perlahan menjalar di kedua matanya yang menghangat mengingat panggilan untuk dirinya dari gadis itu. ***   “Vanisha!” “Aih…!” Daisy mengucak matanya, melihat mamanya berkacak pinggang sambil berdecak melihat tingkah laku anak bontot berjenis kelamin perempuan satu-satunya itu. Astaga, bagaimana jika Daisy sudah menikah nanti? Semoga sang suami bisa tahan banting dengan rasa malas anaknya itu. “Duh, si Mamah—” “Si Mamah si Mamah! Sudah tahu masih tinggal dengan orang tua, bukannya membantu Mama mengerjakan pekerjaan rumah begitu pulang kerja, eh malah asik tidur-tiduran! Bagaimana nanti kalau punya suami?!” Daisy mengeluh panjang, “Aduuuh, kenapa bahas itu mulu, ish! Dan soal ‘tidur-tiduran’, Daisy beneran tidur Mamaaah, hih! Capek nih, pengen bobo lagi. Hush, hush!” Ia menggerakan tangannya isyarat mengusir mamanya dan kembali membenamkan kepalanya di bawah bantal. Yuna memutar matanya dan menarik sebelah kaki Daisy sampai gadis itu merosot, bokongnya membentur lantai. “Aduh duh! Mama! Sakiiitttt…,” Ia mengusap-usap pantatnya seraya berdiri menatap mamanya dengan tampang merajuk. “Bantu Mama menjemur pakaian. Setelah itu cuci piring. Lalu kamu boleh bersantai ria seperti tadi—” “Nggak ada yang lebih banyak tuh, Ma?” Daisy duduk di sisi ranjang dengan lesu. Astaga, memang sudah berapa jam dirinya tertidur sampai terciprat omelan seperti ini?! Seakan dapat membaca pikiran anaknya, Yuna berdecak. “Kamu itu sudah tidur 5 jam, Nisha! Ini sudah sore, jadi kamu harus bantu Mama. Karena Mama ada reuni dengan teman SMA dulu, mungkin acaranya sampai malam.” Daisy baru menyadari Mamanya telah rapi dengan dress anggun yang begitu pas di tubuhnya. “Mama pergi sama Papa?” Daisy mengernyitkan dahi. Biasanya Yuna tidak pernah pergi serapi dan secantik ini jika tanpa papanya. “Ah, tentu dong, Sayang. Kami kan satu SMA dulu, lagipula teman Mama juga berteman baik dengan papamu, begitupun sebaliknya,” ujar Yuna tersenyum, “Tapi kami tidak hanya pergi berdua, Damian, David dan kedua menantu Mama yang cantik juga ikut.” Daisy tercengang. “Lho? Aku nggak ikut?” “Kamu kan sering menolak ikut acara seperti ini.” “Lalu, aku sendirian?” tanya Daisy kembali meyakinkan. Yuna mengernyit heran, namun tak urung manggut-manggut mengiyakan pertanyaan Daisy. Bukan tidak mau mengajak anak bungsunya itu, tapi Daisy yang selalu menolak untuk ikut ke acara orang tuanya. “Mama tega meninggalkan aku sendirian di rumah?” tanya Daisy memelas. Belum sempat Yuna menjawab, pintu kamar Daisy terbuka dan menampilkan ayahnya yang telah rapi. “Kenapa lama sekali? Sudah siap?” tanyanya pada Yuna. Wanita itu menggedikkan dagunya ke arah Daisy. “Nih, tumben sekali nggak mau ditinggal.” Pria itu melangkah menghampiri Daisy. “Kenapa, Sayang?” Daisy mendongak menatap ayahnya. “Papa sama mama pergi nggak mengajak aku?” Roy mengulas senyum lembut. “Bukankah waktu itu Mama sudah menanyakan hal ini denganmu beberapa hari yang lalu? Tapi jawabanmu selalu sama Daisy. Kamu selalu malas pergi ke acara yang bukan untukmu, jadi Papa rasa kami tidak perlu mengikutsertakan dirimu. Karena Papa sama Mama tidak mau kamu bosan sehingga terburu-buru minta pulang,” jelasnya lantas mengusap kepala Daisy. Yuna mengangguk, “Heran. Kalau sama kamu langsung diam. Dasar anak Papa!” wanita itu menghampiri Daisy yang menunduk, “Sudahlah Vanisha, kami tidak akan lama kalau kamu tidak rela begitu.” Yuna merasa jadi serba salah. Mengajak Daisy pun nantinya gadis itu akan menolak. Tidak mengajaknya justru membuat anak gadis satu-satunya itu ingin ikut. Daisy mengangkat bahunya, pasrah. “Yaudah. Tapi pulang bawa makanan, oke?” Roy terkekeh. Mengacak rambut Daisy dengan sayang. “Baiklah, kami pergi dulu. Kunci pintunya. Jangan bukakan pintu untuk siapa pun yang kamu tidak kenal. Jangan menyalakan kompor, atau hal-hal lainnya yang membahayakan. Mengerti?” “Aye aye, Captain.” ***   “Sudah rapi semuanya, Ma?” Rahardian mencium pipi Maretha yang tengah sibuk menata makanan yang baru saja ia masak. “Beres semua, Pa. Oh iya, sudah kamu hubungi Roy?” Maretha merangkul leher suaminya dengan mesra. Hardi tersenyum, “Sudah. Mereka sedang dalam perjalanan dengan anak-anaknya.” Ia mencium kening Maretha, “Sebentar Sayang, aku panggilkan Dani untuk turun dan ikut makan malam bersama kita.” Maretha melihat Hardi menaiki tangga dan mengetuk pintu anaknya. Tak lama, keluarlah anaknya dengan tampang kusut seperti habis bangun tidur, membuat Maretha tertawa dan menggeleng-geleng karenanya. Ia menghembuskan napas keras. Seandainya saja Dani telah menikah, pasti mereka akan menjadi keluarga bahagia. Maretha sangat ingin mempunyai menantu, itu artinya ia juga akan memiliki teman dan anak perempuan yang selama ini dibayangkannya. Ah, semoga mereka dapat membujuk anak perempuannya itu untuk bergabung. Gumam batinnya. Memang. Sudah kesekian kalinya acara ini diadakan semenjak kembalinya Dani di rumah itu. Namun sahabat Hardi dan juga dirinya itu selalu gagal membawa keluarganya yang lengkap. Jadilah Maretha hanya merenung kembali melihat kedua anak lelaki dari sahabat mereka yang begitu mesra dengan isterinya masing-masing. Sementara begitu melihat Dani? Jangan tanya. Anaknya itu begitu terlihat acuh sambil melahap makanan yang mungkin terlihat lebih menarik dibanding obrolan dua keluarga itu. Lamunannya buyar seketika begitu bell rumahnya berbunyi. Dalam hati Maretha berharap-harap cemas. Semoga anak gadis mereka datang. ***   “Aww! Aduh, sakit!” Daisy meringis seraya merutuki dirinya. Sudah berapa kali ia menguap, sehingga gelas kaca yang sedang dicucinya merosot dengan mulusnya terjatuh dan melukai kakinya. Dengan tertatih ia mengambil kotak P3K dan segera mengobati lukanya sendirian. Jujur. Ia ingin menangis! Di saat seperti ini, semua orang justru pergi dan bersenang-senang tanpanya. Huh, miris sekali! “Aih! Fuh, fuh!” Ia meniup luka yang terasa perih di telapak kakinya dengan menggebu-gebu saking kesalnya. “Ya ampun!” Ia menepuk keningnya. “Besok ada janji sama Dokter Karin!” Ia berdecak dan mengeluh pilu melihat lukanya. Biasanya saat terluka seperti ini, pasti Papa atau kedua kakak lelakinyalah yang mengobati. Atau jika mereka sedang tidak dirumah, Mama dan kedua kakak ipar perempuannya yang begitu menyayanginya. Namun sekarang? Nasib. Seandainya saja ia memiliki dan dimiliki seseorang yang selalu ada untuknya. Dipastikan, luka sebesar apa pun akan ia hadapi! Bukankah bahagia rasanya melihat orang yang menyayangi kita khawatir begitu terjadi sesuatu dengan kita sendiri? Seperti pada cerita-cerita novel maupun sinetron yang diketahuinya. Namun pada kenyataannya, ia tidak memiliki siapa pun. Dan lagi-lagi… Nasib. ***   Sungguh, ini adalah malam yang paling membosankan! Bagaimana tidak? Semua yang berada di meja makan saat ini adalah “sepasang kekasih”. Ia iri? Oh tentu saja. Ehm, maksudnya tidak juga. Maka dari itu, pemandangan yang paling menarik untuknya saat ini, ah ralat, maksudnya setiap adanya acara reuni teman orang tuanya itu adalah makanan! Entahlah, padahal Dani selalu menjaga pola makannya demi kebugaran dan kesehatan tubuhnya. Namun karena kecanggungan dan keanehan dirinya dalam pembicaraan antar keluarga itu, membuat ia ingin mengoyak semua daging yang dimasak penuh cinta oleh mamanya. “Dani?” Ia mendongak dan tersenyum ramah saat wanita cantik dan bertubuh mungil di seberangnya menyapa hangat. Dani sempat tertegun saat wanita itu tersenyum. Bayangan gadis yang akhir-akhir ini membuat pelipisnya selalu berdenyut karena tingkah kekanak-kanakannya terlintas begitu saja. Ia menggeleng samar, upaya menepis cengiran lebar itu dalam benaknya. “Ya, Tante?” “Kapan menikah?” Oh Tuhan! Ada dua kaum Hawa yang kini sukses membuat pelipisnya terasa berlubang!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD