Empat

1120 Words
Daisy melangkahkan kakinya kecil dan begitu pelan, sehingga tak jarang beberapa orang yang berlalu lalang di rumah sakit itu menggerutu kesal dibuatnya. Oh Gosh! Apa perlu ia membuka sepatu flat boots-nya dan memamerkan perban di kakinya itu agar orang-orang dapat memakluminya?! Dari kejauhan terlihat seorang cleaning service yang terburu-buru dengan mendorong tempat sampah jumbo tidak sengaja menyenggol tubuhnya dengan cukup keras. Daisy yang tidak menyadarinya seolah terkejut dan terjerembab ke depan dengan mulus. “Aww!” Ia mencoba bangkit namun kini lututnya juga tidak mampu berdiri. Astaga, benar-benar sial! Tidak hanya kaki kanannya saja yang sakit akibat pecahan beling semalam, namun kedua kakinya saat ini benar-benar terasa nyeri! “Bangun,” suara seorang laki-laki membuyarkan sakitnya. Daisy hafal suara itu! Gadis itu mendongak saat dirinya sudah berdiri dengan tangan kokoh yang merengkuh pinggangnya menjadi penopang agar ia tidak kembali terjatuh. “Dokter Dani?” Lelaki itu mengangkat satu alisnya mendengar panggilan dari gadis itu untuknya. Jarak mereka begitu dekat. Dan semakin dekat ketika Dani mencondongkan badannya, membisikkan kalimat yang membuat sebuah pertengkaran kecil sepertinya akan terjadi. “Ke mana orang tua kamu, Dik? Tega sekali meninggalkan anaknya yang lucu ini sendirian.” Dani menyentil hidung mungil di hadapannya dengan gemas. Seringai yang di tampakannya begitu ingin membuat Daisy mencakar-cakar wajah tampan itu. Err… Tampan? “Iiihhh! Dasar om-om!” Daisy berkata kesal sambil melepaskan diri dari tangan kokoh yang membantunya berdiri. Dani tersenyum geli. Matanya memancarkan kehangatan yang ia sendiri tidak menyadarinya. Entah apa yang merasukinya, tapi saat ini panggilan gadis itu untuknya terlihat menggemaskan. Lagi pula ia sudah memiliki panggilan tersendiri untuk gadis itu bukan? Yang sepertinya, Daisy tidak menyukai bila orang-orang beranggapan bahwa dirinya masih kecil. Dan itu membuatnya puas! “Sudah selesai memukulnya, Adik manis? Yuk, Dokter antarkan.” Keduanya tersenyum geli melihat gadis itu menggerutu kesal.  “Kenapa dengan kakimu?” Alisnya bertaut. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu, lelaki itu langsung berlutut di hadapan Daisy, membuat gadis itu mengerjap-ngerjapkan matanya, tertegun dengan perlakuan Dani. Dani segera mengangkat dengan perlahan kaki kanan Daisy, sehingga mau tak mau gadis itu memegang erat bahu dokter tampan di hadapannya dengan gugup. Lelaki itu membuka boots yang dikenakannya dengan lembut dan begitu hati-hati, seakan tahu bahwa kakinya sedang terluka. Lelaki itu berdecak saat didapatinya sebuah perban melekat di kaki, nyaris menutupi seluruh telapak kaki gadis itu. “Beginilah akibatnya jika pengawasan orang tua sangat minim.” Daisy mengernyitkan dahi, “Maksud Om Dokter?” Dani mendongak. Daisy yang sedang menikmati aroma maskulin yang menguar dari rambut lelaki itu dengan jarak dekat pun, terkesiap saat tindakan lelaki itu menghapus jarak keduanya. Puncak hidung mereka bersentuhan dengan lembut. Menciptakan degupan aneh di dadanya. Apalagi saat lelaki itu menampakan seringainya begitu panggilan aneh –lagi-lagi– untuk Dani tercipta tanpa dosa dari bibir mungilnya. Tidak ada di antara mereka yang sanggup melepas pandangan. Seakan-akan tatapan dari Daisy maupun Dani sendiri telah menguasai dan mengunci pandangan keduanya. Dani memejamkan mata, menghirup dalam-dalam aroma harum khas bayi yang menguar dari tubuh Daisy. Sedangkan gadis itu sendiri tidak sanggup berkedip barang sedetik pun karena telah terbius oleh wajah tampan itu! Dani membuka matanya menatap langsung kedua mata bundar gadis itu. Kedua matanya memancarkan senyuman jahil. “Mereka para orang tua terkadang suka membiarkan anak-anaknya bermain petasan tanpa diawasi. Beginilah jadinya.” Daisy mengerjap-ngerjapkan matanya tidak mengerti. Lelaki itu menahan senyum melihat Daisy yang memiringkan kepalanya. Kemudian gadis itu tersadar. Matanya melotot penuh ke arah Dani yang sudah melepas tawanya begitu puas. Bahkan bahu lelaki itu sampai berguncang hebat. “Saya nggak pernah main PETASAN! Dan saya nggak perlu diawasin Mama Papa lagi! Saya bukan ANAK KECIL tau, denger itu ya! Dasar pedophile!” ***   Ando tertawa terbahak-bahak dibuatnya. Karin yang mendengar cerita gadis itu juga tidak sanggup menahan tawa. Membuat Daisy semakin manyun melihat pasangan di hadapannya kini menertawakannya. “Iiiih, Dokter Ando sama Dokter Karin kok begitu banget sih! Ah, Daisy males jadinya!” Ia turun dengan hati-hati dari bangkar yang terletak di sisi ruang Dokter Ando dan berlalu tanpa memperdulikan panggilan Karin yang masih terdengar getar menahan tawa. Oh Tuhan! Kalian pasti bertanya untuk apa ia berada di ruang Ando? Bukankah ia ingin memeriksa matanya di ruang Dokter Karin? Tanyakan pada om-om p*****l itu saja! Walaupun ia harus berterima kasih karena Dani membawanya kemari, sehingga kakinya yang terluka segera diobati oleh Ando. Ando yang saat itu tengah beristirahat di ruangannya tertegun melihat Dani yang datang dengan memapah gadis itu. Luka Daisy memang tidak seberapa, namun kekhawatiran yang sangat kentara di muka Dani, membuat Ando tidak banyak bertanya lagi. Saat Dani pamit dan meninggalkan keduanya, Daisy meminta Ando menghubungi Karin. Daisy ingin bercerita tentang betapa malunya dia karena Dani telah membuatnya sebagai pusat perhatian orang-orang di rumah sakit ini. Mulai dari Dani yang tiba-tiba berlutut memeriksa kakinya, hingga memapahnya ke ruangan Ando, yang sama saja mengelilingi hampir seluruh rumah sakit ini. Dari situlah cerita bermula, dan pasangan itu tidak henti-hentinya tertawa. Bahkan saat Ando sedang membalutkan perban baru di kaki Daisy, bahunya berguncang-guncang, sehingga menyulitkan lelaki itu menutup lukanya. Ugh! Rasanya Daisy ingin cepat-cepat pulang! Tapi bagaimana? Ia tadi memutuskan untuk tidak membawa mobil karena kakinya sakit. Akhirnya Daisy memutuskan untuk menghubungi Damian, kakak pertamanya. “Hal—” “Kak! Jemput Daisy di rumah sakit dong…” “Lho? Kamu kenapa? Sakit? DBD lagi? Atau kecelakaan?” Terdengar suara panik Damian dari sebrang. “YA AMPUN! Daisy nggak apa-apa! Malah disumpahin sakit DBD atau kecelakaan segala! Sekarang jemput, ya?” jelasnya berkacak pinggang. Daisy tidak menyadari ada sepasang mata mengamati tingkah gadis itu dengan senyum geli tertahankan. “Duh kalo kamu nggak apa-apa, ya nggak usah minta jemput. Ganggu orang buat anak aja!” Terdengar sambungan telepon terputus. Daisy masih memikirkan kalimat terakhir Damian sebelum ponsel tertutup. Oh astaga! “Kak Damian messuuummmm!!!” Pekiknya pada ponsel malang di tangannya. Sebuah tangan menutup mulutnya yang masih memekik, membuat suaranya terpendam. Ia mendongak, mendapati Dani berdiri di belakangnya dengan alis bertaut. “Kamu tahu ini rumah sakit? Tolong hargai pasien yang sedang beristirahat. Jangan mengganggu para dokter dengan suara cempreng kamu itu,” tukas lelaki itu datar. “Hmmppff… Hmppfff!” Dani mengernyit mendengar ucapan tidak jelas dari gadis itu. Daisy memukul-mukul tangan yang menutup erat mulutnya. Dani yang paham langsung melepaskannya namun tangan yang terbebas ia gunakan untuk menahan tubuh mungil yang hanya mencapai setinggi dadanya itu agar tidak melarikan diri. “Duh ini apa sih pegang-pegang!” pekiknya kembali yang dibalas dengan tatapan tajam dari lelaki itu. “I-iya maap deh. Abisnya saya sebel sama Kakak saya. Jadi ke—” Dani mengantupkan bibir mungil di hadapannya dengan telunjuknya. Ia tersenyum miring, melihat Daisy yang mengerjap-ngerjap. Mata gadis itu terbelalak sambil melihat jarinya yang menyentuh bibirnya. “Jelaskan nanti.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD