Chapter 4

2005 Words
Givenchy tidak bertemu kakaknya kemarin. Arjuna benar-benar menguji kesabarannya saat mengatakan tidak pulang hingga akhirnya dia memutuskan pulang ke rumah. Untung saja Parama berbaik hati mengantarnya. Kalau tidak, dia akan menghancurkan semua barang mewah milik kakaknya yang sialan itu. Entah apa yang Arjuna pikirkan sampai selalu mengabaikan kedatangannya. “Kamu mau makan apa, Given?” Suara bariton seorang laki-laki membuyarkan kekesalan Givenchy. Givenchy memandangi laki-laki rupawan di depannya yang menampilkan senyum hangat bagai mentari pagi. Ya Tuhan… andai saja Givenchy bisa meleleh mungkin dia sudah meleleh terkena pancaran senyum indah itu. Sempurna amat sih! batinnya mengagumi.  “Apa aja deh. Aku ikut sesuai pesanan kamu aja,” jawab Givenchy ikut tersenyum. Givenchy memerhatikan laki-laki bertubuh atletis itu dengan perasaan berbunga-bunga. Melalui aplikasi dating online, dia berkenalan dengan Hara—laki-laki simpatik yang berhasil membuat harinya sedikit lebih cerah. Semua kekesalannya pada Arjuna luntur saat Hara mengajaknya bertemu secara langsung di hari libur seperti sekarang. “Oh ya, lanjutin yang tadi dong, Given. Selain novel fantasi, kamu suka genre apalagi?” “Aku suka—” Seorang perempuan memotong kalimat Givenchy yang belum selesai. “Oh, jadi ini selingkuhan kamu?? Dia yang selalu kamu bawa ke hotel?” Givenchy menatap bingung. Tanpa aba-aba perempuan itu mengguyur wajahnya dengan teh dingin yang dibawa oleh salah satu pelayan. Tetapi tidak cukup membasahi wajahnya karena perempuan itu mengguyur lemon tea satu teko penuh ke atas kepalanya. Seluruh pakaian Givenchy basah, termasuk dalamannya. “Mbak, Mbak salah paham. Saya bukan—” “Masih ngelak kamu? Dasar perempuan jalang! Berani-beraninya ngegodain suami orang! Dia tuh udah punya anak tiga sama saya!” Perempuan itu kembali memotong kalimat Givenchy, lalu menjambak rambut Givenchy dengan keras, dan menyeretnya keluar dari tempat duduk. “Sayang, jangan begitu sama Givenchy. Tenang dulu,” bujuk Hara mencoba menenangkan.  “Oh, jadi namanya Givenchy? Terlalu bagus untuk perempuan murahan sekelas dia!” omel perempuan itu semakin mempererat jambakannya pada Givenchy. Givenchy merintih kesakitan sembari mencoba melepas cengkraman kuat itu dari akar rambutnya. Sialnya tenaga ibu-ibu mengamuk lebih kuat dari dugaannya. Dia sendiri tidak pernah mengira Hara sudah menikah karena lelaki itu mengatakan belum menikah dan tidak mengenakan cincin kawinnya. Hara segera menarik tubuh istrinya sampai melepaskan jambakannya pada Givenchy. Hal ini menjadi kesempatan Givenchy menghilang dari sana setelah Hara menyuruhnya pergi. Baru beberapa langkah, Givenchy tersandung kaki pengunjung yang keluar dari tempat duduknya. Hal itu menyebabkan Givenchy jatuh, dan meringis kesakitan. Tepat pada saat yang sama, istrinya Hara dapat melepas pertahanan suaminya dan berlari ke arahnya.  Givenchy langsung bangun dari jatuhnya dengan kekuatan penuh. Secepat kilat Givenchy berlari keluar restoran dalam keadaan tidak karuan. Di belakang sana istrinya Hara dan Hara mengejar dirinya. Ya, Tuhan… kenapa dia seperti buronan begini? Dosa apa dirinya sampai harus lari-lari menghindari amukan istri orang? Kenapa hidupnya penuh kesialan sih? Dan sialnya (lagi!) Givenchy tersandung kaki orang. Entah kenapa ada saja manusia yang kakinya keluar dari jalur. Padahal jalan harusnya lurus, tapi kakinya malah sedikit miring. Akibatnya, istri Hara berhasil menjambak rambutnya lagi, bahkan menarik kepalanya ke kanan dan kiri sampai beberapa helai rambutnya rontok. “Sayang, tolong jangan begini. Malu dilihat orang,” bujuk Hara lagi. “Biarin! Biar semua orang tau kalau perempuan ini udah ganggu rumah tangga orang. Bisa-bisanya dia selingkuh sama suami yang udah punya anak tiga!” teriak perempuan itu dengan nada yang keras. “Hei! Apa-apaan jambak Givenchy seenaknya kayak gini?” Suara itu memaksa Givenchy dan dua orang lainnya menoleh. Dalam sekejap Givenchy menyadari kalau laki-laki itu adalah Batara.  “Kamu siapanya? Pacarnya? Kok mau pacaran sama perempuan murahan kayak gini?” Perempuan itu semakin keras menjambak rambut Givenchy sampai merintih kesakitan. Batara langsung menarik tangan perempuan itu sampai terlepas, sementara itu Hara menarik tubuh istrinya supaya sedikit menjauh.  “Saya pacarnya,” sela Parama yang baru muncul. Dia tidak percaya ketika Batara mengatakan perempuan yang terduduk di lantai adalah Givenchy. Melihat Batara menolong, akhirnya dia baru mempercayainya. “Apa yang Givenchy perbuat sampai kamu bilang kayak gitu?” tanya Parama seraya membantu Givenchy berdiri. “Emangnya nggak tau kalau pacar kamu sering ke hotel sama suami saya? Bodoh banget kamu mau pacaran sama perempuan murahan kayak dia!” teriak perempuan itu mencoba melepas cengkraman suaminya. Parama melirik Givenchy. Dia mungkin belum mengenal Givenchy sepenuhnya, tapi dia tahu Givenchy bukanlah perempuan seperti yang dikatakan. Matanya menyadari Givenchy tampak menunduk takut dengan rambut yang awut-awutan, baju basah tidak karuan, dan tangan yang gemetaran.  “Ada buktinya kalau itu pacar saya? Anda jangan asal nuduh ya, atau saya bisa laporin ke polisi atas tuduhan penganiayaan dan pencemaran nama baik. Saya nggak main-main,” balas Parama dengan nada tegasnya. Kalimat Parama membuat Hara takut. Lelaki itu berbisik kepada istrinya. “Sayang, orangnya bukan Givenchy. Kamu salah paham sama dia.” “Apa?! Bukan dia? Jadi perempuan yang pergi ke hotel sama kamu bukan dia?” Perempuan itu tampak murka mendengar suaminya mengakui kesalahannya.  Beberapa keamanan datang mendekat. Batara menjelaskan apa yang terjadi, sedangkan Parama membawa Givenchy pergi dari situasi yang tidak kondusif tersebut. Sepanjang jalan Givenchy tidak bersuara. Tubuhnya terasa lengket, dan rambutnya yang seperti singa itu belum dirapikan sama sekali meskipun mereka sudah berada di dalam mobil.  “Lo kenal laki-laki itu darimana sih? Masa nggak tau dia punya istri?” tanya Parama memecah keheningan.  “Gue kenal dia seminggu lalu dari aplikasi dating online. Dia bilang belum punya istri. Ya mana gue tau pas ngajak ketemuan sekarang istrinya malah muncul ngira gue perempuan yang sering dibawa ke hotel,” jawab Givenchy mencoba menahan air matanya. “Gue nyesel ngasih kartu nama sama lo. Kalau tau gue bakal ketemu lo terus, harusnya gue kasih tas aja. Mana Batara ngebet banget mau ke mal ini, ternyata gue ngeliat lo lagi dijambak emak-emak di sini,” ucap Parama.  Givenchy diam tidak menjawab. Parama menoleh ke samping, memperhatikan Givenchy mengepal tangannya. Air mata perempuan itu jatuh membasahi pahanya. Lambat laun tangisan Givenchy semakin keras. Parama tidak tega.  Mereka berdua duduk di jok belakang sehingga dengan mudahya Parama meraih tubuh Givenchy—menariknya dalam pelukan. Sambil mengusap-usap puncak kepalanya, Parama berkata, “Udah jangan nangis. Lain kali jangan ketemuan sama sembarang orang. Kalo mau ketemu, lo bisa ajak gue atau Antari. Lo hidup nggak sendirian, Given.” * * * * * Givenchy merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, bersampingan dengan Antari yang sedang mampir ke rumahnya. Baik dirinya maupun Antari tak sedikitpun mengeluarkan suara. Mereka diam selama beberapa menit setelah Givenchy menceritakan kejadian memalukan sore tadi. “Gue udah bilang jangan kenalan sama laki-laki lewat aplikasi dating online. Mereka suka tipu-tipu. Yang pasti aja,” komentar Antari setelah kehabisan kata-kata selama sepuluh menit setelah Givenchy selesai cerita. Yang tidak dia mengerti, sahabatnya hobi banget kenalan sama laki-laki atau berondong di aplikasi kencan buta. Padahal ada banyak manusia yang dapat ditemui Givenchy. “Gue mana tau bakal ketemu yang b******k gitu. Biasanya gue ketemu sama yang baik-baik aja kok,” sahut Givenchy merasa tidak setuju. Tidak semua laki-laki yang dikenalnya melalui aplikasi tersebut b******k. Beberapa dari mereka serius, bahkan ada yang pernah berencana mengajak Givenchy menikah namun Givenchy belum siap. Dan segelintir lainnya memang kumpulan laki-laki b******k. “Kenapa nggak coba pedekate sama Parama aja? Kelihatannya dia care sama lo.” “Gila lo! Ogah banget. Parama tuh bukan tipe gue.” “Oh, ya? Lantas tipe lo yang kayak gimana? Aditya Putra?” Givenchy nyengir melihat Antari memelototinya. “Ya, semacam itu.” Antari geleng-geleng kepala. “Please, deh. Manusia banyak khayal. Adit si personel boyband Five Prince itu cuma ada satu di dunia. Kemungkinan dia melirik lo itu sangat mustahil. Udah deh yang masuk dalam realita aja. Parama is the best choice!” Givenchy memiringkan tubuhnya sampai menghadap Antari. Sahabatnya itu ikut melakukan hal yang sama. Mata Givenchy memicing curiga seolah menuduh Antari melakukan hal yang tidak-tidak. “Kenapa sama mata lo? Minta dicolok?” Givenchy semakin memicingkan matanya. “Kenapa sih? Lo aneh deh, Given. Jangan ngelihatin gue kayak gitu!” Givenchy mengusap dagunya sambil memperhatikan Antari. “Lo disogok ya sama Parama untuk bilang kayak tadi sama gue? Kok tiba-tiba nyodorin manusia nyebelin itu ke gue?” Antari menatap Givenchy serius. “Ini atas pemikiran gue sendiri. Selama ini dia perhatian banget sama lo. Mana ada coba laki-laki yang bersedia jemput lo malem-malem, belain lo dijambak emak-emak, nemenin lo ketemu Arjuna, dan mungkin ke depannya akan lebih banyak lagi hal yang dia lakuin demi membantu lo. Bahkan Arjuna aja nggak pernah ada buat lo.” Givenchy diam memikirkan kata-kata Antari. Sejurus kemudian dia teringat sesuatu. “Dia ngelakuin itu karena dia kasih gue kartu nama. Dia bilang kalo gue butuh apa-apa hubungin dia aja. Jadi nggak salah dong kalo gue hubungin dia terus-terusan?” “Nggak salah sih, tapi kan—” “Tapi lo aja yang udah mikir kejauhan. Udah ah, jangan bahas Parama. Gue yakin gebetannya banyak,” potong Givenchy. “Kata siapa? Sok tau lo ah!” “Kata Dimas.” “Pak Dimas yang bilang?” “Ya nggak! Kata gue barusan!” “Sialan! Gue kira kata Dimas beneran.” Givenchy geleng-geleng, lalu melempar bantal kepada Antari namun dengan mudahnya ditangkap oleh sahabatnya itu. “Gampang banget deh lo dibohongin. Gue aja nggak pernah ngobrol sama Pak Dimas lo itu kalau nggak ketemu langsung.” Antari tiba-tiba teringat sesuatu. “Ya ampuunnnn!” Lalu dia mengubah posisinya menjadi duduk. Givenchy melirik heran. “Kenapa?” “Pak Dimas mau ngajak kita makan keluar.” Antari mencari-cari ponselnya yang entah di mana, lalu setelah ketemu langsung melihat pesan dari Dimas. Ada delapan pesan yang menyatakan Dimas akan tiba dalam lima menit. “Tuh kan! Bentar lagi Pak Dim sampai. Ayo, ganti baju!” “Ogah ah, lo aja. Gue males.” “Given… please…,” bujuk Antari setengah merajuk. “Nanti sekalian tanya Pak Dim soal Parama.” “Hadeh… itu lebih males lagi. Lo aja deh. Gue males gerak.” Antari tidak tinggal diam. Dia memiliki cara lainnya untuk membujuk Givenchy yang masih tiduran. Meskipun mungkin rencananya tidak sepenuhnya berhasil, tetapi setidaknya Givenchy akan tergerak ikut dengannya dan Dimas. “Kenapa lo senyam-senyum kayak orang gila?” tanya Givenchy menatap heran Antari yang berdiri di sudut ruangan sambil senyam-senyum ke arahnya. “Nggak kesurupan setan, kan?” “Nggak. Gue malah nemu ide karena lo menolak.” Givenchy kembali melancarkan tatapan curiga pada Antari. Tubuhnya mulai bangun, dan mengubah posisinya menjadi duduk. Givenchy menaikkan satu alisnya. “Jangan aneh-aneh ya, Antari Satwika!” Antari cuma balas tersenyum, lalu fokus melihat ponselnya. Dia memekik kaget ketika ponselnya nyaris jatuh karena ulah Givenchy yang melempar bantal padanya. “Given! Kalau hape gue jatuh gimana? Nyebelin banget sih!” Givenchy nyengir tanpa dosa seperti yang dilakukan Antari sebelumnya. Ini sebagai balas dendam karena sahabatnya tidak ingin memberitahu rencana apa yang dilakukannya. Baru akan Givenchy membalas ucapan Antari, tiba-tiba sesosok manusia super ketus muncul dari balik pintu kamar yang terbuka. “Sayang!” Antari berlari menghampiri sosok tersebut. Dimas mengusap kepala Antari sebentar, lalu melirik Givenchy. “Kamu ikut kita makan. Buruan. Kalau nolak, saya ajak Parama supaya kita double date.” “HAH?! UDAH GILA YA PAK DIM?” Antari memasang senyum penuh arti. Bibirnya bergerak menciptakan kalimat isyarat tanpa suara. “Mampus lo!” “Ini pasti suruhan Antari, kan?” Dimas mengangguk. Antari yang melihatnya langsung memukul lengannya dengan keras. “Kok kamu ngangguk sih?! Ih!” “Ya habisnya saya nggak mau ngajak Givenchy tapi kamu paksa. Biar aja dia di sini. Kalau kamu mau nginep, saya anterin lagi,” ucap Dimas mengutarakan protesnya. “Givenchy belum makan. Kalau dia kelaparan gimana?” Dimas menghela napas. “Antari dengar ya, Givenchy bukan anak bocah yang harus kamu perhatiin dan urus. Yang perlu kamu perhatiin itu saya. Calon suami kamu udah lapar.” Antari mengerucutkan bibirnya, menunjukkan cara ngambek yang membuat Dimas semakin klepek-klepek. “Kamu mau saya cium manyun gitu?” Givenchy yang memandangi kemesraan keduanya langsung pura-pura menguap. Dia mengencangkan suara menguapnya sampai Dimas dan Antari melihat padanya. “Aduh… ngantuk habis nonton telenovela!” “Sirik aja lo!” cibir Antari. “Bukan sirik tapi males banget. Kalau berantem aja udah kayak putus beneran. Drama banget deh kalian berdua,” balas Givenchy sembari menjulurkan lidahnya. Dimas terkekeh pelan. “Drama? Bukannya kamu sama Parama yang banyak drama? Kalian temenan tapi kayak rasa gebetan.” Givenchy mati kutu. Kalau Dimas yang bicara langsung lebih ‘ngena’. Aduh… dia harus menepis kalimat sialan itu dengan apa? Dimas memang top banget deh kalau soal membalas kalimat orang! Antari tersenyum penuh kemenangan. “Rasain kan lo.” Lalu, dia melirik Dimas sekilas. “Eh, berarti bukan cuma gue aja yang merasa kalian temenan tapi rasa gebetan. Buktinya Pak Dim merasa begitu juga.” “Soalnya Parama nggak pernah punya sahabat perempuan. Dia bukan tipe yang tiba-tiba baru kenal terus mau jemput kayak sopir,” jelas Dimas. “Tuh kan!” Antari tersenyum lebar. “Udah gih, pedekate aja sekalian.” “Gila lo berdua!" balas Givenchy. "Udah deh, sana musnah jauh-jauh. Jangan nyebar virus cinta di kamar gue.” “Udah diusir tuh sama Given. Ayo, kita pergi. Saya nggak mau bujuk-bujuk. Biar aja Given mati kelaparan,” kata Dimas dengan nada ketus. Antari menatap Dimas dengan tatapan memohon. “Pak Dim…” Dimas paling tidak bisa melihat tatapan memohon Antari. Oleh karena itu, dia sudah menyiapkan sesuatu yang pastinya akan disukai Antari. “Udah tenang aja, Givenchy nggak akan mati. Saya udah nyuruh Parama dateng ke sini bawain makanan untuk dia. Paling dua puluh menit lagi sampai.” Antari tersenyum lebar, lalu memeluk Dimas. Sementara itu Givenchy melotot tidak percaya. “HAH?!” ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD