Chapter 2

1532 Words
Selama hampir dua puluh menit, Givenchy duduk berhadapan dengan kakaknya tanpa sepatah kata, hanya memandangi lelaki itu yang sibuk dengan ponselnya. Katanya ingin bicara, tapi sejak kedatangannya dengan Parama, kakaknya cuma memainkan ponsel. “Lo sayang nggak sih sama gue? Masa lo mau diem aja? Nggak mau ngomelin Parama karena udah menghamili adik lo?!” Arjuna mengalihkan pandangannya dari ponsel—melirik Givenchy sekilas, lalu kembali fokus dengan ponselnya. “Gue tau Parama belum sebejat itu menghamili anak orang sembarangan. Lo sengaja bilang gitu biar kita ngobrol.” Parama bernapas lega. Dia pikir Arjuna menelan bulat-bulat perkataan adiknya, ternyata Arjuna lebih pintar dari itu. Givenchy kesal mendengar kakaknya cuek dan tidak memperdulikan usahanya untuk membicarakan hal penting. Karena terlalu kesal, air matanya mengembang—berkumpul jadi satu, lalu jatuh membasahi pipi keringnya. Dengan gaya tidak peduli, Givenchy menangis tersedu-sedu seperti anak kecil yang meminta mainan. Suara tangisan, dan ucapannya dapat terdengar, apalagi saat kakinya menendang-nendang bagian kaki meja. “Arjuna jahat banget… gue benci sama lo!” Semua orang yang berada di kedai kopi langsung memperhatikan Givenchy. Mereka menatap risih, tapi ada juga yang merasa kasihan. Parama buru-buru mengambilkan tisu dan menyodorkannya pada Givenchy. Bukannya diterima, Givenchy menepis tangannya dan tetap menendang-nendang bagian kaki meja seperti bocah. “Iya, lo mau ngomong apa? Jangan kayak gini, bikin malu aja!” omel Arjuna jengkel. Mendengar perkataan itu, Givenchy mengubah tangisnya menjadi senyum dalam sekejap. Dia menyeka air matanya seolah air mata itu bukanlah apa-apa. Beberapa menit kemudian senyum lebarnya menjadi cengiran kecil. Parama yang kebetulan menyadari hal itu langsung menggeleng. Heran, dia ketemu sama perempuan seunik Givenchy. Ceroboh, dan tidak punya malu. Dia rasa urat malunya Givenchy sudah hilang, atau mungkin putus di tengah jalan. “Mama kangen sama lo. Kenapa sih lo nggak mau—” “Gue nyaman begini,” sela Arjuna. “Gue tau nyaman tapi bukan berarti lo mengabaikan orangtua. Lo pergi dari rumah gara-gara perempuan sialan itu, dan berhubung lo udah putus, ya lo balik!” balas Givenchy sewot. Parama sedikit menggeser posisinya. Dia berada dalam situasi yang salah. Tidak seharusnya dia mendengarkan permasalahan keluarga Givenchy dan Arjuna. Dia tidak pernah membahas seputar keluarga dengan Arjuna selama nge-gym bareng. Pokoknya Arjuna tipe tertutup yang hanya membahas tubuh seksi perempuan. Sisanya teka-teki. “Lo pikir semudah itu balik ke rumah? Gue nggak mau balik karena bokap. Apa lo pernah nanya kenapa gue nggak mau pulang? Lo selalu aja nge-judge ini-itu tanpa tau alasan sebenernya,” balas Arjuna ikutan sewot. “Ya kalau gitu jelasin. Lo udah nggak pulang selama enam tahun. Bayangin aja selama itu lo keluyuran di luaran tanpa pernah jenguk orangtua. Apa lo tau gue ngerasa kesepian?” Arjuna diam sesaat. Parama yang mendengarnya ikut terdiam. Mereka berdua memandangi mata Givenchy yang berkaca-kaca. “Gue tau lo nggak mau pulang karena bokap selingkuh. Gue pura-pura nggak tau karena nggak mau bikin nyokap sedih.” Givenchy mendongak sedikit demi menahan air matanya. Untuk beberapa saat dia mencoba menahan emosinya sebelum akhirnya kembali menatap sang kakak. “Kalau emang lo nggak mau pulang karena bokap, setidaknya lo jenguk nyokap di rumah. Lo nggak tau kan nyokap mulai sakit-sakitan karena mikirin lo? Gue susah payah nyamperin ke apartemen lo, semua rumah teman lo, tapi nihil. Gue bisa ke sini, nemuin jejak lo karena ada yang ngasih tau. Mungkin kalau nggak dikasih tau, gue nggak akan pernah ketemu sama kakak gue walaupun Jakarta nggak luas-luas amat,” lanjutnya. Arjuna masih tetap diam. “Selama enam tahun ini, gue kangen sama kakak gue. Ada banyak hal yang mau gue ceritain ke dia, tapi dia malah nggak ada. Dia nggak tau kesulitan apa yang gue alami selama ini,” tambah Givenchy, kali ini dibarengi air matanya. Belum ada balasan dari kakaknya, Givenchy sudah bangun dari duduknya. “Gue harap lo bisa pulang secepatnya. Kalau nggak mau, mampir sebentar juga nggak masalah. Makasih udah luangin waktu berharga lo untuk ketemu. Gue pamit.” Givenchy sudah melenggang pergi, sedangkan Arjuna tetap duduk di tempat. Parama tak berhenti memperhatikan kepergian Givenchy yang pelan-pelan mulai menghilang. “Parama, gue nggak tau gimana caranya lo kenal adik gue, tapi bisa kejar dia? Tolong anterin dia pulang,” pinta Arjuna mulai bersuara. “Ya udah, kalau gitu gue permisi. Nanti gue kabarin lo.” Parama segera bergegas keluar dari kedai kopi mencari keberadaan Givenchy yang sudah entah ke mana. Dia mencoba menghubungi nomor ponsel perempuan itu tapi, tidak ada jawaban. Baru sekali ini dia melihat Givenchy sesedih itu. Sekali lagi, Parama mencoba menghubungi Givenchy dan tetap saja panggilannya tidak dijawab. Dia mengedarkan pandangan, mencari sosok Givenchy di antara ratusan pengunjung yang ada. “Sialan! Itu anak selain suka nyusahin, suka bikin orang khawatir aja.” Parama berdialog sendiri sembari mengacak rambutnya. “Givenchy ke mana sih?!” * * * * * Givenchy kembali bekerja seperti biasa. Kakaknya mulai menghubungi tapi dia tidak mengindahkan panggilannya. Begitu pula Parama. Keduanya menghubungi tapi tak ada satupun yang dijawab olehnya. Seperti rutinitas biasa, Givenchy bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarga dan memenuhi kebutuhannya. “Given, kartu akses penghuni 24 H udah diurus belum? Orangnya sebentar lagi datang ke sini,” tanya Radi, salah satu rekan kerjanya. “Eh iya, belum. Sebentar gue urus dulu soalnya kemarin Mas Galangnya nggak masuk jadi nggak ada yang bisa atur sistemnya,” jawab Givenchy sambil mengambil kartu yang dimaksud, lalu keluar dari tempatnya bekerja. Givenchy bekerja sebagai tenant relation officer (TRO) di salah satu apartemen ternama di kawasan Jakarta Pusat. Pekerjaannya sebagian besar adalah mendengarkan keluhan. Tak hanya itu saja karena dia sering kali diomeli oleh penghuni apartemen jika terjadi sesuatu. Selama setahun Givenchy mencoba bertahan di kantor barunya walau dia sendiri sempat ingin menyerah karena tidak sanggup mendengar cacian beberapa penghuni yang menyakitkan. “Given, mau ke mana?” tanya seorang pria bertubuh tegap dengan senyum genitnya. “Mau ke bawah, Pak. Mau ketemu Pak Galang,” jawab Givenchy dengan senyum tipisnya. “Kok ketemu Pak Galang aja? Nggak mau ketemu saya?” “Ini kita ketemu, Pak. Kalau gitu saya duluan ya, Pak.” Givenchy mempercepat langkahnya, meninggalkan pria yang sering menggodanya. Meskipun bercanda, terkadang Givenchy risih. Dia segera turun menuju basement dua, mencari sosok yang biasanya mengurus kartu akses penghuni yang rusak. Beberapa menit kemudian akhirnya Givenchy kembali ke tempatnya bekerja yang berada di lantai basement satu. Saat itu pula dia melihat seorang wanita bertubuh langsing berkacak pinggang. Raut wajahnya tampak kesal. “Kartu saya udah selesai?” tanya wanita itu dengan nada galaknya. “Sudah, Bu. Ini kartunya. Sebentar, saya tulis dulu ke nota,” jawab Givenchy seraya mengambil nota pengambilan yang berada di laci resepsionis depan ruangan, kemudian menuliskan semua data singkat perihal penghuni tersebut. “Ini kartu aksesnya, Bu Marisa.” Wanita itu menandatangani nota yang diberikan setelah mengambil kartu aksesnya. Walau mendapat apa yang diinginkan, wajahnya tetap kesal. “Gimana sih managemen di sini? Masa lift dari tahun kapan nggak pernah benar? Padahal saya rutin bayar pemeliharaan di sini. Kalau bayar telat dikit aja ditagih terus. Tapi kalau fasilitas rusak kerjanya lama banget!” keluh wanita itu. Belum sempat Givenchy membalas, suara wanita itu terdengar lagi. Suara kencangnya dapat didengar penghuni yang hendak meminta surat izin barang keluar. Resepsionis yang ditugaskan untuk menuliskan surat izin tersebut ikut mendengar keluhannya. “Pokoknya kalau saya nggak bisa pakai kartu aksesnya lagi, awas ya! Saya lapor ke atas karena kerja kalian nggak pernah becus!” “Maaf atas ketidaknyamanannya, Bu. Saya akan—” “Bilang ke bos kamu? Dari setahun lalu kamu kerja bilangnya begitu tapi lift masih aja rusak. Managemen di sini buruk!” potong wanita itu lebih cepat. Tidak ada yang bisa Givenchy lakukan selain mendengarkan keluhan, diomeli, dan mengucapkan maaf. Pekerjaan sehari-harinya seperti ini. Setelah wanita itu pergi, Givenchy pamit keluar. Dia mengatakan ingin menghubungi ibunya karena di basement tidak ada sinyal, hanya menggunakan wifi kantor. Givenchy pergi ke tempat tersembunyi yang menjadi tempatnya menyendiri di kala jenuh akan pekerjaan. Dalam kesendiriannya, Givenchy menangis. Dia sudah tidak sanggup bekerja di bidang yang melukai batinnya. Dia ingin mencari pekerjaan lain. “Kebiasaan deh nangis di sini,” ujar Radi seraya duduk di samping Givenchy. Givenchy melirik Radi dari ekor matanya sambil tetap menangis. Setiap dirinya menangis, Radi menjadi saksi bisunya. Tempat yang disinggahinya sekarang adalah tempat rahasia yang diberitahu Radi. “Gue nggak mau kerja di sini lagi. Gue nggak sanggup,” gumam Givenchy sambil terisak-isak. “Iya, gue tau. Bertahan sebentar lagi ya? Lo kan udah ngajuin surat resign. Jangan pikirin kerjaan yang berat, biar gue yang kerjain. Lo keluyuran ke mana kek nanti,” ucap Radi seraya menepuk pelan pundak Givenchy. Givenchy tidak menjawab. Tangisnya mewakili pertanyaan Radi padanya. “Lo pernah bilang, nggak ada pekerjaan yang enak. Semua ada enak dan enggaknya. Lo bertahan sejauh ini udah hebat banget, Given.” Radi kembali menepuk pundak Givenchy. “Mana nih Givenchy yang sering senyum dan ceriwis?” Givenchy meneleng ke samping pada Radi. Dia berusaha menarik kedua sudut bibirnya sampai menciptakan senyum tipis. Air matanya tetap jatuh, membasahi pipi tanpa blush on-nya. Radi menyeka air mata Givenchy dengan ibu jarinya. “Gue sedih nih lihat lo nangis begini. Kesannya kerjaan di sini nyiksa banget. Kasihan nanti yang mau ngelamar di sini jadi panik duluan,” canda Radi mencoba mencairkan suasana. “Biarin. Mereka harus tau beratnya dan harus tahan banting kerja di sini,” balas Givenchy sedikit cemberut. “Jangan gitu dong, nanti nggak ada yang mau jadi rekan kerja gue. Tega nih." Givenchy mengerucutkan bibirnya, membuat Radi tertawa karena ekspresinya. Beberapa saat kemudian dia memeluk Radi. “Makasih setahun ini udah nemenin, dengerin keluh kesah, dan jadi saksi setiap kesedihan gue. Beruntung banget dapet rekan kerja kayak lo,” bisik Givenchy pelan. Radi membalas pelukannya sembari mengusap puncak kepala Givenchy. “Iya, sama-sama. Jangan lupa cari pacar yang bener supaya kita nggak digosipin mulu.” “Biarin aja. Lo emang pacar kedua gue kok!” Kalimat itu membuat Radi tertawa pelan, begitu juga dengan Givenchy sendiri. Bagaimana juga, Givenchy bertahan di kantor ini karena adanya Radi. Kalau tidak ada lelaki itu, mungkin Givenchy sudah menyerah sejak awal pertama masuk di bidang yang melenceng dari jurusan perkuliahan yang dia ambil. * * * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD