3. Jangan sampai tahu

1111 Words
*** Pagi itu menjadi pagi pertama bagi Nava, merasakan segarnya udara di tempat tinggalnya yang baru. Ia tersenyum lebar karena baru saja mengirimkan biaya sewa kamarnya selama setahun penuh ke rekening Dahlia. Gadis yang memiliki penampilan sederhana itu kini duduk di depan kamarnya, sembari membayangkan betapa nikmatnya ia bisa tinggal di rumah kos yang nyaman seperti itu selama setahun ke depan. Angin pagi itu berembus mengenai wajah ayu yang jarang dipoles itu. Matanya terpejam beberapa saat, dihirupnya dalam-dalam angin pagi itu. Senyum yang tulus dari hati itu menampakkan lesung pipi yang membuat Nava terlihat lebih cantik. Seorang gadis dengan rambut yang diikat di atas kepala keluar dari kamar yang berada tepat di samping kamar Nava. Gadis itu mengangkat tangannya hingga berada di samping lengannya, lalu bergerak lambat, melambai pada penulis novel itu. "Pagi, Mbak. Orang baru, ya?" tanya gadis itu dengan mata yang terlihat sembap. Nava yang membuka matanya lebar-lebar ketika teman kosnya itu keluar kamar, kini langsung tersenyum dan ikut melambaikan tangan. "Pagi. Iya, aku baru pindah kemarin." Nava beranjak dari tempat duduknya, menghampiri teman kosnya itu dan langsung mengulurkan tangan kanannya. "Kenalin, aku Nava." Gadis itu menyambut uluran tangan Nava. "Aku Emi." Kedua gadis itu saling bertukar senyum, hingga keduanya melepas jabatan tangan itu. "Masih kuliah?" tanya Nava pada Emi. "Heem, masih semester 6. Masih harus banyak berjuang." Emi tersenyum. Nava ikut tersenyum. "Mbak Nava juga masih kuliah? Apa udah kerja?" tanya Emi. "Oh, aku udah lulus. Udah kerja, sih, walau kerjanya di dalem kamar." "Ha? Kerja apa, Mbak? Jadi youtuber?" tanya Emi lagi. Nava menggeleng pelan, gadis itu masih berpikir apakah ia akan mengaku jujur atau berbohong lagi. Sebenarnya ia tak ingin berbohong lagi dan lagi, ia ingin jujur dengan apa yang ia lakukan. Namun, jika orang-orang tahu kalau ia adalah BawangPutih, ia takut orang-orang akan memandangnya karena kepopulerannya akhir-akhir ini. "Nggak, aku nulis, nulis artikel." Nava akhirnya memilih berbohong. Emi percaya, ia sendiri memiliki teman yang juga menulis artikel dan uang yang dihasilkan cukup lumayan untuk mahasiswa sepertinya. Namun, ia bertanya-tanya apakah uang dari menulis artikel cukup untuk orang yang sudah menjadi sarjana seperti Nava. Emi ingin bertanya, tetapi ia urungkan karena takut menyinggung perasaan Nava. "Ya udah, Mbak. Aku mau mandi dulu, ada kelas pagi." Emi kembali melambaikan tangannya. "Kok malah keluar? Bukannya tiap kamar ada kamar mandinya, ya?" tanya Nava bingung. Emi tersenyum. "Sampoku habis, mau beli di warung sebelah." Nava mengangguk. "Oh, ya udah sana." Emi pergi. Nava kemudian berjalan menuju ke balkon, melihat ke bawah yang merupakan jalanan. Tepat pada saat itu, Raka baru saja pulang dari aktivitas rutinnya yaitu lari pagi. Pada saat itu, tatapan mata Nava dan Raka saling bertemu, secara tidak sengaja. Penulis novel online itu merasa gugup seketika, merasa terpesona sekaligus pada pria yang lebih muda darinya 3 tahun itu. Ya, Raka terlihat tampan dengan keringat yang bercucuran di wajahnya, pakaiannya pun terlihat basah hingga mencetak bentuk tubuhnya yang tampak kekar. Melihat dari perawakan anak kedua Dahlia itu, terlihat jelas kalau pemuda itu rajin berolahraga. Nava buru-buru mengalihkan pandangannya, tak ingin bertatapan dengan pemuda yang berhasil membuat jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. "Apaan, sih, Nava. Dia anak ibu kos kamu, masih kuliah pula, nggak usah baper. Dianya nggak doyan sama kamu," ucap Nava dalam hati. Sementara Raka, berlalu begitu saja tanpa menggubris Nava. Pemuda itu masuk ke dalam rumah dengan berjalan santai, sama sekali tak peduli dengan Nava atau Emi yang baru saja masuk ke gerbang setelah membeli sampo dari warung yang berada di sebelah rumah kos itu. Ketika Emi kembali, Nava memanggil gadis itu sebelum masuk ke kamarnya. "Aku mau tanya, dong." Nava mendekati Emi. "Kalo mau beli makan, di sini enaknya di mana, ya?" tanya Nava. "Oh, itu? Mbak di rumah terus, kan?" Nava mengangguk. "Aku ada kelas pagi, Mbak. Habis itu masuk lagi siang. Nanti habis kelas pagi, aku ke sini buat jemput Mbak, kita makan bareng. Sekalian kita jalan-jalan, aku kasih tunjuk tempat laundry yang bersih dan murah juga." "Wah, aku nggak mau ngerepotin padahal. Tapi kalo kamu mau, aku terima kasih banget sama kamu." Nava tersentuh dengan kebaikan Emi. "Halah, santai aja. Ya udah, aku mandi dulu terus kuliah. Kalo Mbak Nava udah laper banget, aku ada roti itu buat ganjel perut. Mau aku ambilin?" Nava menggeleng dengan telapak tangan yang tergerak ke kanan dan ke kiri di depan dadanya. "Nggak, aku nggak biasa makan pagi-pagi banget, kok. Aku akan tunggu kamu." "Sip. Nanti jam 10 aku udah kelar, kok." "Ok." Nava kemudian masuk ke kamarnya, ia menatap isi kamarnya dari ujung ke ujung. "Aku laper, aku buat energen aja, deh." Gadis itu akhirnya turun ke lantai bawah, menuju ke dapur untuk membuat energen. Tepat pada saat itu ia melihat ada Raka yang tengah minum, seperti yang dilakukan semalam. Nava berbalik seketika, ia tak ingin berhadapan dengan Raka secara langsung. Raka melihat Nava berbalik setelah melihatnya. "Kenapa dia? Apa dia takut sama aku? Atau dia mau pinjem alat makan punya ibu? Awas aja kalo dia nggak mau beli alat makan sendiri," gerutu pemuda tampan itu. Dahlia masuk ke dapur, melihat anak bujangnya menggerutu. "Kamu kenapa?" "Bu, kalo sama anak kos tuh jangan baik-baik banget. Ibu sering kehilangan alat makan, mana mahal, kan? Iya, ilang satu dua nggak apa-apa, tapi kalo terus-terusan yang rugi, dong, Bu. Pokoknya jangan biarin anak kos pinjem-pinjem alat makan lagi, mereka dikasih hati malah minta jantung." Dahlia tersenyum melihat anak bujangnya yang peduli dengan hal-hal kecil seperti itu, mirip sang suami yang sudah berpulang 10 tahun lalu. "Kamu itu mirip sama ayahmu," ucap Dahlia dengan suara pelan. Raka menatap ibunya dengan mata yang menyipit. "Sama-sama bawel." Dahlia mengimbuhi. Raka menyunggingkan salah satu ujung bibirnya. "Raka serius, Bu." Raka menatap ibunya dengan kesal. "Iya." Dahlin terpaksa mengiyakan permintaan anaknya, dari pada berdebat. "Hati-hati sama anak baru, bilang sama dia buat bawa alat makan sendiri." "Iya, tenang aja. Dia habis bayar uang kos selama 1 tahun penuh. Padahal ibu kasih harga sewa bulanan, nanti ibu mau kasih potongan karena dia bayar 1 tahun penuh." Raka mengernyitkan kening. "Bayar setahun penuh? Bukannya dia pengangguran? Ngapain stay di sini? Kalo dia dapet kerjaan di tempat jauh, apa nggak susah di dia?" tanya Raka dalam hati. "Dapet duit dari mana dia? Bukannya dia pengangguran?" tanya Raka pada ibunya. "Siapa bilang? Dia itu auth,-" ucap Dahlia terpotong. Hampir saja ia mengaku pada anaknya tentang pekerjaan Nava. "Dia kerja, kok. Usaha online, katanya penghasilannya lumayan." Dahlia terlihat gugup, tetapi Raka percaya begitu saja. "Ya udah, Raka mau mandi." Raka pergi menuju ke kamarnya. Dahlia memukul mulutnya sendiri. "Untung aja aku nggak keceplosan. Bisa gawat kalo Raka tahu si anak baru itu penulis novel online, bisa dimusuhi, atau malah diusir. Punya anak bujang gini amat, ya." Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD