2. Pertemuan pertama

1512 Words
Nava terkejut karena Dahlia tahu sebutan untuk penulis novel online. Ia tersenyum garing lalu mengangguk lemah. "Iya, Bu." "Wah, kebetulan sekali. Ibu hobi baca novel online. Kamu nulis di mana? Nama pena kamu siapa? Biar Ibu baca." Dahlia begitu antusias ketika mengetahui Nava yang ternyata bekerja sebagai penulis novel online. Wanita itu tak tahu bahwa penulis kesukaannya yang memiliki nama pena BawangPutih adalah Nava. "Saya masih baru, Bu. Belum terkenal, lain kali aja saya kasih tahu. Tulisan saya masih berantakan." Nava memilih berbohong. Ia sedikit menyesali keputusannya untuk berbohong pada Dahlia. Hanya saja, ia memang belum pernah mengaku sebagai penulis novel sebelumnya. Ia mengaku sebagai penulis pada Dahlia agar induk semangnya itu tak curiga jika ia mengurung di kamar sehari-hari nantinya. Siapa sangka, kejujurannya malah membuatnya harus berbohong lagi. Ia bukan penulis baru, ia sudah 3 tahun menulis novel, bahkan sejak ia masih kuliah dulu. Itu sebabnya saat ini ia memiliki penghasilan yang cukup fantastis. Namun, karena ia gadis yang hemat, ia menyimpan sebagian besar gaji yang ia dapat dari menulis novel dan menggunakannya seperlunya. Ia bahkan harus mengirim sebagian penghasilannya untuk adiknya yang masih kuliah, walau tak banyak. "Oh, begitu. Lain kali kasih tahu Ibu, ya. Nama penanya siapa dan nulisnya di mana. Ibu sampe download beberapa aplikasi novel online saking Ibu suka baca novel." Dahlia masih memasang wajah kalemnya. Nava merasa senang karena induk semangnya kali ini ramah, tak seperti sebelumnya yang terkenal dingin dan acuh. "Iya, Bu. Lain kali, saya kasih tahu. Sekarang, saya masih malu. Banyak yang harus direvisi." "Ya udah. Ini deal kan? Kamu jadi ambil kamar ini?" tanya Dahlia. "Tentu saja, Bu. Kamarnya besar, bagus, pemiliknya baik lagi. Pasti saya betah di sini." "Terus, mau pindah kapan?" Nava tampak berpikir beberapa saat. " Kalau hari ini juga, bisa kan?" tanya Nava dengan suara lirih. Dahlia menepuk tangannya. "Bisa. Bisa, mau kapan pun bisa. Udah cari mobil buat angkut barangnya? Kalau belum, Ibu ada kenalan, kerjanya bagus dan biayanya ringan. Gimana?" Nava mengangguk. "Saya mau, Bu. Kebetulan saya belum cari mobil buat ngangkut barang-barang." Dengan senang hati Dahlia membantu Nava mengurus perpindahannya. Dengan dibantu Fanya, malam ini juga kamar yang awalnya kosong, kini sudah dipenuhi barang-barang milik Nava. "Capek, ya? Ini Ibu buatin es teh. Ibu juga ada melon, istirahat dulu." Dahlia membawa nampan berisi segelas es teh dan mangkuk kecil berisi melon yang sudah dikupas dan dipotong kecil-kecil. Nava sangat tersentuh mendapatkan perhatian dari Dahlia. Sejak kuliah, ia memang sudah jauh dari orang tuanya yang tinggal di kampus. Wanita itu memilih tinggal di rumah kos asal ia bisa tinggal di kota. "Terima kasih, Bu. Maaf, jadi ngerepotin." Nava segera menerima nampan itu dan menikmati apa yang Dahlia bawa untuknya. Keduanya lalu mengobrol, membahas penghuni kamar sebelumnya yang keluar karena sudah rampung kuliah. "Kebanyakan memang yang kos di sini tuh mahasiswa, ada sih yang kerja, tapi satu dua aja. Terus yang kuliah itu kalau udah kos di sini, biasanya sampe lulus. Pada betah memang." Dahlia berbicara lirih. Ia mengingat kembali beberapa mahasiswa yang pernah tinggal di rumah kosnya itu. "Jelas aja betah, Ibu kosnya baik banget." Nava memuji Dahlia. Belum genap sehari ia menjadi penghuni kos itu, tetapi Dahlia begitu baik dan perhatian padanya. Dahlia terkekeh lirih. "Ah, kamu bisa aja. Tapi, Ibu memang baik, sih." Dahlia menyombongkan dirinya, tentu saja hanya bercanda. Nava ikut tertawa. "Bukan, semua orang juga baik, bukan Ibu saja. Cuma kan di sini tuh lumayan strategis, deket masjid, deket kampus, deket mall, deket jalan raya juga. Mau ke mana-mana mudah, wajar kan penghuninya betah." Dahlia menjelaskan. "Iya, ditambah kamarnya yang bagus, biaya sewa yang murah, sama Ibu kos yang super baik. Makanya penghuninya betah." Nava lagi-lagi memuji Dahlia. Dahlia kembali tertawa, tetapi kali ini suaranya terdengar lebih lantang. "Tapi ... anak cowok Ibu ... rada judes. Maaf ya kalau dia nggak pernah senyum atau nyapa kamu. Dia emang beda jauh sama kakaknya, kalau si Fanya itu ramah. Kalau Raka, duh kalau anak-anak sekarang bilangnya dingin, kayak es batu." Nava mengangguk. Ia sudah bertemu dan mengobrol sebentar dengan Fanya, ia mengakui kalau wanita itu memang baik dan ramah, tak berbeda jauh dengan Dahlia. Namun, sedari tadi ia belum melihat anak laki-laki Dahlia. "Terus, sekarang di mana?" tanyanya penasaran. "Palingan lagi nongkrong sama temen-temennya, kebiasaan kalau pulang kuliah main dulu." "Oh, masih kuliah?" "Iya, masih kuliah, udah semester 6. Bentar lagi juga lulus." Dahlia kembali tersenyum. Nava menganggukkan kepalanya berkali-kali. "Bentar lagi kerja dong, Bu." "Kalau itu, dari dulu juga dia udah kerja. Dia apa-apa udah beli sendiri, dia jadi youtuber. Si Raka itu suka makan, dia jadiin hobi dia buat jadi duit. Kalau makan di mana gitu, direkam, terus dimasukin ke youtube. Nggak tahunya dia itu terkenal, duitnya banyak." Dahlia bercerita panjang lebar. Nava hanya bisa menganggukkan kepalanya. "Keren, dong, Bu. Kak Fanya buka salon, adiknya youtuber, emaknya ibu kos. Pasti duitnya banyak, tuh," goda Nava. Dahlia kembali terkekeh. "Ibu keasyikan cerita, nih. Kamu pasti capek, istirahat dulu, besok kita cerita-cerita lagi." Dahlia beranjak dari duduknya. "Terima kasih buat es teh sama melonnya, Bu." "Oh, iya. Nanti taruh aja di dapur, itu dapur untuk umum. Kalau mau masak, silakan. Tapi kebanyakan anak kos yang lain nggak mau masak." Dahlia memang membebaskan penghuni kos untuk menggunakan dapurnya. Nava mengangguk, lagi. "Iya, Bu. Kalau mau nitip di kulkas, boleh?" "Boleh, itu Ibu sediain 2 kulkas. Yang satu buat anak-anak kos, jangan lupa dibungkus terus dikasih nama, biar nggak ketuker. Insha Allah di sini aman, nggak ada yang nakal." "Iya, Bu. Sekali lagi, terima kasih." Dahlia pergi, menuruni tangga sambil tersenyum senang. Wanita itu memang suka mengobrol. Selain untuk mendekatkan diri dengan penghuni kos, ia juga bisa menghilangkan kejenuhan sebagai single parent. Suaminya sudah meninggal sejak 10 tahun yang lalu, tetapi ia memutuskan untuk menjanda selamanya karena tak ingin menghadirkan orang baru untuk anak-anaknya. . Nava segera merapikan kamarnya. Ia mengembuskan napas panjang ketika melihat barang-barangnya yang masih berantakan. Tepat saat itu ponselnya berdering, Yanti-ibunya menelepon. Nava menekan tombol hijau dan menekan tombol pengeras suara. "Halo, assalamualaikum," ucapnya menyapa sang ibu. "Waalaikumsalam, gimana? Jadi pindah kos?" tanya Yanti dari seberang sana. "Jadi, Bu. Ini juga masih beres-beres, tadi pindahannya dibantu sama ibu kos yang baru." "Oh ya? Syukurlah kalau begitu." "Iya, Bu, ibu kosnya baik banget. Mana kamarnya bagus, harga sewanya juga nggak mahal. Kayaknya aku betah di sini," ucap Nava sambil terus merapikan kamarnya. Ia dan ibunya masih mengobrol di telepon sampai malam. "Bu, udah dulu, ya. Aku capek, mau tidur dulu. Disambung besok lagi." "Udah solat belum? Solat dulu, jangan tinggalin solat pokoknya." Yanti tak pernah lupa mengingatkan anaknya untuk tetap ibadah. "Iya, Bu. Aku solat dulu, ya udah, aku tutup, ya. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Nava tersenyum membayangkan ibunya, ia rindu pada wanita yang sudah mengandung, melahirkan dan membesarkannya itu. Sejak ia kuliah, ia hanya pulang setahun dua kali. Namun, sejak ia memiliki penghasilan yang tinggi dari menulis novel, ia kadang pulang ke rumah orang tuanya 3 bulan sekali. "Kalau aku udah kaya, aku mau bangun usaha di kampung aja. Biar bisa sama Ibu sama Bapak terus." Nava menabung sebagian besar gajinya memang untuk membangun usaha yang ia impi-impikan selama ini. Ia berniat membeli beberapa hektar ladang atau sawah demi masa depannya nanti. Ia sadar, tak selamanya ia akan menjadi penulis online. Itu sebabnya ia memilih hidup sederhana sekalipun ia memiliki gaji yang fantastis. Nava keluar dari kamar, menuju dapur. Ia berniat mencuci gelas dan piring yang sudah ia gunakan itu. Sesampainya di dapur, ia disambut tatapan tajam dari Raka. Pria itu sedang meneguk air putih di gelas, air yang baru saja ia ambil dari dalam kulkas. Nava menganggukkan kepalanya, sekali, demi menyapa pria yang lebih muda darinya itu. Raka masih memperhatikan Nava. Ketika wanita itu sedang mencuci gelas dan piring, Raka mendekat. "Kamu siapa? Anak baru?" tanyanya dengan suara datar. "Iya, tadi baru aja pindah," jawab Nava malu-malu. Wanita itu merasa terpesona melihat Raka yang sangat tampan di matanya. Karena kesibukannya sebagai penulis novel, ia memang lebih banyak mengurung diri di kamar. Sesekali ia keluar untuk mencari hiburan atau referensi, tetapi ia tak pernah memiliki waktu lebih untuk bisa dekat dengan pria. Itu sebabnya ia masih melajang sampai saat ini. "Kuliah di mana?" tanya Raka penasaran, tetapi suaranya masih terdengar datar. "Aku udah lulus, lagi cari kerja." Nava berbohong. Raka mengangguk. "Baiklah, aku akan kasih tahu kamu karena kamu masih baru." Nava selesai mencuci gelas, ia memperhatikan Raka dengan seksama. "Satu, beli alat makan sendiri, aku sering lihat anak-anak kos yang pakai punya Ibu tapi ujung-ujungnya ilang." Raka mulai mengomel. "Dua, kalau mau taruh apapun di kulkas, kasih nama. JANGAN ambil punya orang." Pria itu menekankan kata jangan, Nava masih diam memperhatikan. "Tiga, aku nggak mau ada berisik-berisik setelah jam 10 malam. Kamu ngerti?" tanya Raka. Tanpa mengenalkan dirinya, Raka langsung memberi peringatan pada Nava tentang apa yang tidak ia sukai. Wanita itu mengangguk tanpa membalas dengan kata-kata. Raka lalu pergi begitu saja. Nava yang sebelumnya terpesona dengan ketampanan Raka, kini berubah menjadi membenci pria itu. "Ternyata cowok ada juga yang bawel. Kayak nenek-nenek!" Ia menyesal karena sudah salah mengira pada Raka. "Aku lupa kalau Bu Lia bilang anak cowoknya judes. Ternyata bener." Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD