012. Tidak Adil

1591 Words
Rena merasa bingung dalam menghadapi sikap Laras saat ini. Saat ini pesan dari ibunya yang menanyakan keberadaannya terus bergulir di notif pesan, mendesak untuk segera pulang. Namun tidak mungkin bagi Rena membiarkan Laras seorang diri dalam keadaan seperti ini, jadi dia mengatakan kepada ibunya bahwa dia akan bermain sedikit lagi dengan Laras, setelah itu dia akan dengan penuh pengorbanan membiarkan dirinya mendapatkan omelan maut dari ibunya ketika pulang nanti. Berpikir singkat, Rena akhirnya mencari nomor kontak Randi, mencoba untuk meminta bantuan kakak sepupu Laras. Lagi pula Randi-lah sumber masalahnya. Rena selalu segan terhadap Randi, terlebih lagi Randi adalah mantan ketua OSIS yang sangat dihormati dan ditakuti murid-murid, tak terkecuali Rena. Dia sangat ingat dulu dirinya ditegur Randi ketika anggota OSIS sedang razia karena tasnya penuh dengan cemilan daripada alat tulis. Sejak saat itu, Rena mengganti tas sekolahnya lebih besar dan membawa setidaknya alat tulis sedikit lebih banyak dari cemilannya. Daripada mengurangi makanan ringan untuk dibawa ke sekolah, Rena lebih memilih menambahkan alat tulis meski memperberat isi tas sekolahnya. Sebagai teman Laras, Rena memiliki nomor kontak Randi— kakak sepupu gadis itu. Bukan hanya itu, Rena juga memiliki nomor kontak Rifaldi, serta orang tua Laras. Terkadang Rena sendiri merasa heran dan kagum dengan begitu besar perhatian keluarga untuk Laras. Hanya saja mengingat kondisi temannya yang tinggal di rumah seorang diri dengan karakter yang keras kepala, tampaknya itu tidak lagi mengherankan. Ketika Rena memanggil Randi, panggilan langsung terjawab, tidak seperti ketika Laras memanggil Randi. Itu karena Randi ingin menjauh dari Laras, namun panggilan dari teman adik sepupunya menandakan kemungkinan sesuatu terjadi. Lagi pula Randi sendiri yang pernah mengatakan bahwa jika sesuatu terjadi pada Laras, maka segera menghubunginya. "Halo, Kak Randi? Aku ingin beritahu saat ini Laras sedang menangis," kata Rena langsung ketika panggilan terhubung, lagi pula dia tidak berani basa basi kepada Randi. Randi mengerutkan keningnya, dia kemungkinan besar tahu kenapa adik sepupunya menangis sehingga tangan yang memegang ponsel menegang. "Bisakah kamu membujuknya?" tanya Randi tidak yakin. Dalam samar dia bisa mendengar suara gerutu Laras dengan isakan tangis dari seberang panggilan. Namanya terus terucap dan mungkin ada beberapa kutukan dilontarkan gadis itu. Rena melirik ke arah Laras, dia dengan cerdik membuat dirinya lebih dekat ke arah temannya, biarkan suara penuh keluhan Laras tersampaikan kepada Randi. Kemudian dengan tampang tanpa dosa, dia berbicara kepada Randi, "Maaf Kak, aku sudah coba bicara dengan Laras tetapi dia tidak mau menanggapi. Aku juga sudah mengajaknya makan makan, namun dia tidak mau bangun dari tempat tidurnya." "Pergi sana! Tidak perlu memanggil pembohong itu!" teriak Laras, tangannya terulur mencoba untuk mengusir Rena. Rena menghindar, tangan yang memegang ponsel sengaja di dekatkan ke depan bibir Laras agar Randi dapat lebih jelas mendengar semuanya. Setelah suara amarah Laras berhenti, Rena kembali mendekatkan ponsel ke telinganya. "Jadi bagaimana? Laras baru pulang dan dia belum makan malam," katanya dengan lambat, penuh nada ketidakberdayaan. Laras mencibir atas kelicikan temannya, mengambil bantal dan melemparkannya ke arah Rena. "Enyah!" serunya lantang. Bukannya menghindar, Rena menangkap bantal tersebut, memeluknya dan dengan sabar menunggu Randi berpikir dalam diam. Setelah beberapa saat, suara pemuda dengan nada rendah terdengar. "Jaga dia sebentar, aku akan ke sana." Panggilan berakhir, Rena menghela napas lega. Dia melihat ke arah Laras yang memiliki rambut berantakan dengan beberapa helai melekat di wajahnya yang penuh air mata, tidak dapat dibayangkan bahwa gadis ini adalah orang yang sama yang menjaga citranya ketika berada di luar rumah. "Jangan menangis lagi, kakakmu akan datang." Rena berkata mencoba menenangkan Laras. "Siapa yang memintamu memanggilnya?!" Laras melotot marah, mengambil setiap bantal di sisinya dan melemparkannya ke arah Rena. "Siapa juga yang memintamu datang ke sini? Keluar! Tidak ada gunanya berada di sisiku walau akhirnya akan meninggalkanku juga. Pergi sana!" Rena menghindari setiap serangan Laras, dia terkejut ketika bantal yang dilempar Laras mengenai lampu tidur di atas meja nakas dan jatuh pecah menimbulkan suara yang berisik. "Kamu tenanglah, tidak ada yang akan meninggalkanmu." Rena buru-buru menghentikan tindakan Laras, merasa sakit hati melihat lampu tidur yang harganya tidak murah itu rusak begitu saja. "Jangan seperti ini, kendalikan emosimu." Dia menyingkirkan bantal yang baru diraih Laras ke sisi lain, berusaha untuk mencegah bencana lain terjadi. Namun Laras tidak ditenangkan oleh kata-katanya, matanya yang merah kembali menumpuk air mata. Dia menatap Rena dengan tegas tanpa berkedip meski air mata telah mengaburkan tatapannya. "Tidak ada? Tidak perlu menghiburku." Kata-katanya penuh dengan amarah, namun ada semacam ejekan miris yang terkandung di dalamnya. Rena tidak tahu bagaimana menjawab ucapan Laras. Situasi gadis itu istimewa, dia tidak bisa dengan mudah mengatakan kata-kata penenang yang akhirnya hanya membawa sayatan di hati gadis itu. Lagi pula Rena tidak pernah berada di posisi Laras, dia tidak memiliki hak untuk membantah atau menyuarakan suara atas kesedihannya. Dia hanya berharap, Randi datang dengan cepat dan segera menghibur gadis cengeng yang terluka ini. Rena duduk di sofa dalam kamar memperhatikan Laras, menyaksikan gadis itu kembali bersemayam di bawah selimut. Beberapa saat, suara Laras yang lirih terdengar, "Ibu, Ayah, dan Rifaldi pergi. Randi mengatakan akan menjagaku, berada di sisiku, dan selalu ada untukku. Tetapi sekarang dia juga pergi, tidak mau lagi menjagaku. Kenapa setiap orang membiarkanku sendirian? Mereka tidak tahu aku sangat takut ..." Langkah kaki Randi berhenti tepat di depan kamar Laras, dia mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Laras. "Kak Randi mungkin sibuk, jangan berpikir negatif setiap saat." Suara Rena yang lelah terdengar, dia bangkit berdiri melepaskan selimut dari kepala Laras, jangan sampai gadis itu sesak napas. Laras menahan ujung selimut dengan kuat, mencegah Rena membukanya. "Kamu tahu apa? Dia jelas-jelas menjauhiku. Selalu seperti itu, mengatakan sibuk, sibuk, sibuk. Aku terus percaya padanya dan nyatanya dia hanya ingin menjauhiku. Kalau tidak mau menghubungiku lagi ya bilang saja, kenapa perlu pakai alasan sibuk segala? Temannya punya waktu menjemput kita, tetapi kenapa dia tidak? Apakah otaknya yang pintar itu cuman pajangan sehingga dia tidak pernah menyelesaikan tugasnya. Randi bodoh!" "Ya, ya, Kak Randi bodoh, dasar dia. Kamu jangan bersembunyi dalam selimut lagi, bangun dan marahi Kak Randi. Aku akan mendukungmu dari belakang." Rena mengangguk, bertindak berada di sisi Laras untuk memenangkan emosi gadis itu. Benar saja Laras akhirnya melemahkan cengkeramannya pada ujung selimut membiarkan Rena melepaskannya sehingga setengah tubuh bagian atasnya terlihat. Dia mengusap matanya dengan kasar, hidungnya yang tersumbat terus menarik ingus, beberapa kali dia masih cegukan yang membuatnya kesal. Rena menghela napas lega. "Aku akan mengambil air untukmu, tunggu sebentar." Dia berbalik berjalan keluar kamar. Langkah kakinya berhenti ketika melihat Randi berdiri tepat di depan pintu kamar, itu hampir membuat Rena sekarat karena jantungan. Berpikir apa yang baru saja dia pikirkan, Rena tersenyum dengan rasa bersalah. "Ah Kak Randi sudah datang, aku akan ke dapur mengambil air untuk Laras." Setelah itu, dia berjalan cepat menuju ke dapur tanpa menunggu jawaban dari Randi. Di kamar, Laras mendengar ucapan Rena dan berteriak dengan kesal, "Randi sialan, siapa yang memintamu datang, pergi sana ke kampusmu. Bukankah kamu sangat sibuk?" Randi mengambil napas panjang, berjalan masuk ke dalam kamar untuk melihat keadaan adik sepupunya itu. "Jangan menangis," katanya melangkah sedikit demi sedikit mendekati Laras, "Laras, aku di sini." Laras melotot marah, mengambil selimut untuk kembali menutup tubuhnya. "Aku di sini palamu, kamu jelas-jelas menjauh dariku." "Tidak—" "Pembohong! Pembohong besar! Apakah kamu berpikir aku sangat bodoh sehingga terus dapat percaya dengan semua yang kamu katakan? Setiap pesanku dapat kamu baca dalam hitungan singkat, tetapi apa kabar dengan setiap telepon dariku? Rena tadi meneleponmu dan kamu mengangkatnya, kenapa cuman teleponku yang kamu tidak angkat?" Laras bangkit duduk, dengan kesal mengepalkan tangannya dan memukuli kakak sepupunya berulang kali. Laras jarang olahraga dan memiliki tangan yang mungil, seberapa pun kesalnya dia, pukulannya tidak sakit sama sekali. Randi membiarkan adik sepupunya itu melampiaskannya kekesalannya hingga akhirnya berhenti karena lelah sendiri. Rena yang ingin masuk kamar dengan segelas air berhenti di depan pintu. Dia sedikit tercengang dengan kata-kata yang Laras katakan. "Jadi ini salahku?" gumamnya dengan heran. "Jangan seperti ini, hm? Kamu belum makan malam, ayo turun dan makan dulu." Randi mengulurkan tangannya ke wajah Laras, menyingkirkan beberapa helai rambut panjang yang menghalangi wajah gadis itu. Dengan kasar, Laras menepis tangan Randi. "Apa pedulimu aku sudah makan atau tidak?" Tatapannya dengan tegas menuju ke arah kakak sepupunya, menurunkan suaranya ketika dia lanjut bertanya, "Kamu nyatanya benar-benar tidak ingin mengurusku lagi, kan?" Kelopak mata Randi sedikit berkedut, dia menatap mata agresif adik sepupunya, tangannya terulur untuk menghapus jejak air mata di sudut mata itu. "Aku melakukan ini untukmu," katanya. Tidak lagi menghindari kenyataan bahwa dia menjauh dari Laras. Laras tertegun, matanya berkedip mencoba menerjemahkan kata-kata Randi ke bahasa yang lebih dia pahami namun tetap tidak tahu maksud dari kakak sepupunya itu. "Menjauh dariku demi diriku sendiri?" tanyanya dengan tatapan tak percaya. Randi tidak menjawab, yang dapat disimpulkan sebagai persetujuan dalam diam. "Jika demi diriku maka jangan menjauh! Apa hal baik yang aku dapatkan dari kamu menjauh? Apakah kamu terlalu banyak belajar sehingga otakmu sedikit bermasalah? Jika kamu benar-benar sayang padaku, maka tetaplah di sisiku." Laras merasa kesal, semakin dia berbicara semakin dia merasa kesal. "Kamu sama saja seperti mereka, selalu mengatakan menyayangiku, tetapi nyatanya pergi meninggalkanku." Randi menarik gadis itu ke pelukannya, dengan tenang mengelus punggungnya. "Saat kamu tahu kebenarannya, kamu akan sadar bahwa ini yang terbaik untukmu," katanya dengan suara rendah. "Lebih baik aku tidak tahu," jawab Laras, mengulurkan tangan untuk membalas pelukan kakak sepupunya yang memberikan rasa aman untuknya. "Daripada kamu menjauh, lebih baik aku tidak tahu," lanjutnya, disertai dengan isakan pelan. Randi terus menggerakkan tangannya dengan lembut mengusap punggung Laras, membuat gadis dalam pelukannya itu secara bertahap menjadi lebih tenang. Dia meletakan dagunya di atas kepala Laras, bergumam dengan tenang, "Terlalu tidak adil," tidak adil untukku, dan tidak adil untukmu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD