013. Sakit Parah

1623 Words
Saat ini kelas benar-benar ricuh, Tiara— sang sekretaris kelas yang berharga membawa makanan berupa kue kering dengan bentuk lucu kelinci dengan cokelat yang melimpah. Dia membuka rantang bekal dan kue-kue tersebut segera muncul di mata setiap murid. Dengan baik hati, Tiara menawarkannya kepada teman sekelas sebagai sopan santun. "Jika kalian ingin makan, ambil saja." Dia berkata dengan hangat, lalu lanjut mencatat ringkasan materi yang belum kelar. Segera beberapa murid dari setiap sudut kelas berbondong-bondong menuju ke arah Tiara untuk mencicipi kue dengan bentuk mencurigakan itu. Setiap orang tampak berlomba untuk mengambilnya karena takut kehabisan. Ketika Tiara mengangkat kepalanya lagi, kue dalam rantang makanannya telah lenyap semuanya. Tiara, "... Apakah kalian satu kelas tidak diberi makan sebulan?" tanyanya dengan mata terbuka lebar, dia hanya bersikap sopan saat menawarkan makanannya, jika temannya ingin maka dia bisa merelakan dua atau tiga kue, tetapi semuanya lenyap! Bahkan Tiara sendiri hanya berhasil mencicipi satu kue saja. Namun pada dasarnya teman-teman sekelas lainnya tertawa tanpa dosa. Kembali ke habitatnya melakukan hal lain yang berisik, entah bermain kejar-kejaran atau melakukan hal aneh lainnya. Rena tertawa, membawa dua kue hasil buruannya dari rantang makanan Tiara dan kembali duduk di bangkunya. "Nih kue," katanya pada Laras, menyerahkan satu kue yang didapatnya. Laras melirik, mengulurkan tangan untuk menerimanya. "Apalah ini higenis?" tanyanya dengan tatapan lurus ke arah kue di tangannya, tampak berpikir panjang. Rena tersenyum, "Kembalikan padaku, biar aku yang makan untuk menyelamatkan lidah dan perutmu." "Tidak," tolak Laras, namun belum memakannya. Dia menoleh ke arah Tiara dan bertanya dengan suara keras agar Tiara yang berada di jarak lebih 5 meter darinya bisa mendengar suaranya, "Tiara, apakah ini higenis?" Tiara menyipitkan matanya, "Jika aku bilang tidak, maukah kamu mengembalikan kueku?" "Tidak," tolak Laras, dia memperhatikan kue itu lagi, lalu akhirnya memilih untuk mencicipinya ujung kue sedikit. Dia termenung beberapa saat dan akhirnya mengangguk. "Tidak masalah," katanya dan lanjut memakan sisanya. Dia kembali bermain dengan ponsel pintarnya, membuka media sosial dan menjelajahi berbagai macam postingan yang dibuat oleh orang-orang sekitarnya. Ibu jarinya terus menggulirkan layar ponsel ke atas tetapi matanya tampak kosong, tidak membaca satu postingan pun yang ada di depannya. Ketika lelah sendiri, dia menghela napas berat dan menoleh ke samping untuk melihat Rena telah pergi dari tempat duduknya lagi dan sedang berdiri di sebelah meja Tiara. Sepertinya sedang meminjam buku, karena beberapa saat kemudian Rena kembali dengan membawa buku catatan Tiara dan kembali duduk di tempatnya. "Kamu juga ingin mencatat?" tanya Rena ketika melihat tatapan Laras tertuju padanya, dia dengan baik hati segera menawarkan mencatat bersama. Laras mengernyit, dia segera menolak dengan tegas, "Tidak." "Oh," Rena mengangguk, menyiapkan alat tulisnya dan mulai mencatat. Beberapa menit yang lalu, ketua kelas yang agak tidak berguna datang ke kelas untuk menyampaikan informasi yang diberikan dari wali kelas bahwa pelajaran pertama yang merupakan mata pelajaran Biologi akan kosong dan diganti dengan mencatat ringkasan materi. Setiap murid segera bersorak, dan hanya sedikit orang yang mematuhi dan mulai membuat ringkasan materi. Tetapi lebih banyak murid lagi yang merasa inilah waktu tepat untuk menambah pengalaman indah masa sekolah dan mulai bermain acak di kelas, sama sekali tidak peduli dengan tugas membuat rangkuman dari guru, salah satu murid tersebut ialah ketua kelas itu sendiri yang menyampaikan pesan. Dan itulah alasan kenapa kelas sangat kacau, karena ketua kelas yang seharusnya memantau dan menjaga ketertiban kelas adalah dalang dari masalah itu sendiri. Laras merasa sekitarnya terlalu berisik namun dia sangat malas untuk menegur mereka. Jadi dia hanya memberikan tatapan malas ke sekitar dan kembali menatap ke arah teman sebangkunya yang kini fokus untuk mencatat rangkuman materi orang lain. "Ren," panggilnya dengan pelan. Rena melirik sekilas, dia telah menyadari tatapan Laras padanya dan pasti ada sesuatu yang ingin dikatakan temannya itu. "Ada apa? Katakan langsung, jangan sok misterius gitu." Laras membuat wajah cemberut, dia mencoba merangkai kata-kata yang baik dan benar di kepalanya sebelum menyuarakannya ke temannya. "Aku kan punya teman," mulainya. "Selain aku, emang ada orang mau berteman denganmu?" tanya Rena, dengan sengaja menampilkan ekspresi terkejut yang berlebihan yang membuat Laras ingin menabok wajahnya itu. "Dengarkan saja!" Laras melotot marah. Rena tertawa, "Oke, oke, jadi kenapa dengan temanmu itu?" Laras mendengus kesal, tetapi dia masih melanjutkan ucapannya. "Dia curhat denganku. Katanya dia memiliki kakak yang tiba-tiba aneh. Aneh maksudnya ini tiba-tiba menjauh dan mengabaikannya, tetapi tidak sepenuhnya menjauh dan mengabaikan juga. Ketika temanku ada masalah atau butuh sesuatu, dia masih membantu." Rena, "..." Dia bukan orang bodoh dan jelas tahu bahwa Laras sedang cerita tentang dirinya sendiri dan kakak yang dimaksud adalah Randi. Bagaimana pun, kemarin malam Rena menyaksikan semua drama keluarga antara kakak beradik sepupu itu, bagaimana dia tidak tahu bahwa Laras sedang menuduh Randi mengabaikannya? Meski begitu, Rena berusaha untuk mengikuti kata-kata Laras dan dengan penuh minat mencoba mendengar apa yang dikatakannya. "... Hanya saja temanku ini merasa tidak nyaman, karena kakaknya tiba-tiba mengakui bahwa dia menjauh setelah menolak untuk mengakui berkali-kali. Temanku sangat dekat dengan kakaknya dan merasa sedih dengan hal itu, namun kakaknya mengatakan bahwa itu demi kebaikannya sendiri. Bagaimana menurutmu?" tanya Laras, matanya dengan penuh perhatian fokus memperhatikan reaksi Rena, mencoba menemukan sesuatu dari temannya itu. Semalam Rena ada di depan pintu kamar Laras ketika Randi mengatakan hal itu, dia tahu situasinya tidak bagus saat itu dan tidak masuk ke dalam. Hanya menunggu di depan kamar dengan bijak, jadi walaupun Laras mencoba merahasiakannya, Rena akan tetap tahu bahwa dia sedang membahas dirinya sendiri. Dan juga Rena yakin Laras telah menemukan bahwa Rena menyadari topik pembicaraannya, namun gengsi untuk mengakuinya. "Menurutku? Aku tidak punya pendapat," kata Rena dengan jujur. Laras merasa kesal dengan temannya yang tidak berguna itu. Dia menggertakkan giginya dan mencoba untuk sabar. "Bagaimana menurutmu, kenapa Ran— kakaknya temanku menghindar dan mengatakan demi kebaikan adiknya?" Rena berpikir sebentar dan mencoba menjawab, "Mungkin Kak Randi, eh kakaknya temanmu memiliki sesuatu yang tidak kamu ketahui. Bukankah dia menjauh demi kebaikanmu, maka sesuatu darinya itu berbahaya." Laras melotot kepada Rena ketika temannya itu menyebutkan nama Randi, namun dia segera teralihkan oleh apa yang dikatakan Rena. "Berbahaya? Apa sih maksudmu, jangan setengah-setengah ngomongnya," desaknya. Rena melirik ke arah buku di atas mejanya dan akhirnya menghela napas, mencoba menunda kegiatan mencatatnya dan fokus mengobrol dengan teman di sampingnya. "Menurut film yang pernah aku nonton, ada juga adegan seperti itu di mana orang terdekat protagonis tiba-tiba menjauh dan mengatakan itu demi kebaikan protagonis." Rena berbicara dengan ekspresi serius dan fokus, Membuat Laras merasa gatal oleh rasa penasaran yang menumpuk. "Dan apa yang terjadi selanjutnya?" "Orang terdekatnya itu sakit, sedang sakit berat dan dokter mengatakan bahwa dia akan meninggal." Rena menjawab dengan santai. Namun Laras tidak bisa sesantai Rena, dia melebarkan matanya dan mengambil buku di sekitar untuk memukul kepala temannya itu. "Kamu yang sakit!" serunya marah. Rena menghindar dengan cerdik, "Kenapa marah? Aku hanya menjawab pertanyaanmu." Setelah memastikan Laras telah tenang, dia lanjut untuk menceritakan tentang film yang pernah dia tonton itu. "Demi kebaikan protagonis agar tidak terlalu terluka ketika dia meninggal, orang terdekatnya itu mulai menjauh dan menghindari protagonis. Tetapi orang terdekatnya masih perhatian dengan protagonis dan mengawasinya diam-diam. Bukankah sedikit sama dengan ceritamu?" Semakin Laras mendengarkannya semakin takut dia, dia menjadi gugup dan cemas. "Itu film apa? Kamu nonton dimana? Cepat beritahu aku judulnya, aku akan menonton." Rena mengatakan judul film yang dia maksud dan bahkan dengan baik hati membantu Laras untuk menemukannya dari ponsel. Jadi selama jam kosong itu, Rena mencatat dengan tenang dan Laras menonton film dengan earphone di telinganya dengan serius juga. Ketika Rena selesai mencatat, dia menoleh dan terkejut ketika menemukan temannya telah berlinang air mata. "Hei, kamu kenapa?" tanyanya dengan panik. Laras mengusap air mata di pipinya dengan kasar, lanjut menonton film yang ditampilkan di layar ponselnya meski hatinya sakit karena plot dalam film tersebut. "Temannya mati," katanya dan air mata mulai jatuh kembali ke pipinya. "Kan aku sudah bilang orang terdekatnya sakit parah," kata Rena, merasa sedikit menyesal karena membiarkan Laras menonton film menyedihkan seperti itu. Laras terisak pelan, mengabaikan tatapan teman sekelasnya yang lain yang tampak penasaran dengannya tiba-tiba menangis. Dia menonton hingga habis film tersebut dan segera mencari nomor kontak Randi untuk menelepon. "Apa yang ingin kamu lakukan?" tanya Rena dengan waspada. Mata Laras merah, "Aku harus bertanya atau aku tidak bisa tenang," katanya. Namun berpikir bagaimana Randi tidak akan mengangkat panggilan darinya, akhirnya Laras menyerah untuk menelepon dan memilih mengirim pesan. Randi saat ini sedang berjalan menuju ruang dosen untuk mengumpulkan karya ilmiah yang telah selesai dia kerjakan. Dia baru saja masuk ke dalam gedung ketika ponselnya bergetar di saku celananya. Dengan tenang dia meraih ponselnya untuk membaca pesan yang baru saja masuk. Alisnya terangkat sebelah untuk menunjukkan keterkejutannya ketika membaca pesan yang baru saja masuk. [Laras: Apakah kamu sedang sakit parah? Jangan khawatir, aku akan mengundang dokter paling hebat dengan koneksi keluargaku untuk menyelamatkanmu.] "Hal aneh apa lagi yang ada di kepalanya," gumam Randi sembari menggelengkan kepala pelan. Dia berpikir sejenak dan akhirnya memilih membalas pesan itu sebelum lanjut berjalan menuju ruang dosen. Beberapa langkah, dia tidak bisa menahan tawa ringan ketika memikirkan pesan tadi. Laras sangat gesit ketika dia melihat notif pesan masuk muncul di layar ponselnya, segera dia membuka pesan tersebut dan membaca dengan jantung yang berdegup kencang terancam akan meledak. Rena yang duduk di sampingnya juga merasa sangat penasaran, jadi dia menjulurkan kepalanya untuk mengintip bagaimana Randi menjawab pesan absurd dari adik sepupunya itu. [Randi: Kamu belajar dengan rajin dan aku akan langsung sembuh.] Laras melebarkan matanya, "Apakah ini masih manusia?" ucapnya dengan tak percaya. Dia dengan baik hati merasa sedih dan khawatir dengan keselamatan kakak sepupunya tetapi kakak sepupunya malah menjadikan pertanyaannya sebagai lelucon dan bahkan masih sempat mengingatkannya untuk belajar. "Nah, ayo belajar. Mari selamatkan nyawa kakaknya temanmu itu," kata Rena dengan senyum ramah. Dia menyerahkan buku catatannya kepada Laras dan memberi isyarat untuk mencatat. "Tidak," tolak Laras, suasana hatinya menjadi lebih buruk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD