014. Kotak Makanan

1670 Words
Sepulang sekolah, Laras menuju ke rumah tetangga alias rumah keluarga Randi. Ketika dia masuk ke halaman, dia langsung bertemu dengan Rani yang kini sedang menyiram bunga yang ditanam di pekarangan rumah. Laras segera mendekati Rani, disambut dengan senyum ramah bibinya yang telah melihat kehadirannya. "Laras sudah pulang? Ada apa? Apakah mau makan di rumah Ibu Rani?" tanya Rani dengan penuh kasih, dia telah menganggap anak gadis saudarinya ini sebagai anaknya sendiri. Terlebih lagi Laras merupakan gadis yang manja ketika di depannya, berbeda dengan anaknya sendiri yang tampak menyendiri dan bisa melakukan semuanya sendiri yang membuatnya kadang merasa kesepian menjadi ibu. Wajah Laras cemberut, namun menghadapi senyuman penuh kasih ibu Rani-nya, dia tidak bisa untuk tidak membalas senyum. "Ibu Rani," panggilnya dengan suara manis, "aku sudah makan di sekolah, masih sangat kenyang." Setelah menyiram tanaman terakhir, Rani melepaskan gembor atau alat penyiram tanaman berbentuk ceret di suatu tempat dan mengulurkan tangannya mengajak Laras masuk ke dalam rumah. "Jadi ada apa Laras datang ke sini, apakah Laras ingin makan kue bersama Ibu Rani?" Itu bukan maksud Laras, namun dia mengangguk setuju ketika mengingat betapa lezat kue buatan bibinya itu. "Apakah Ibu Rani baru saja membuat kue?" tanyanya dengan penuh minat. Rani mengangguk, pergi ke dapur untuk mengeluarkan piring yang diisi oleh potongan kue brownies dengan paduan rasa cokelat dan stroberi. "Sebenarnya aku akan mengirimkan kue kepadamu sebentar, yang ini khusus dibuat sesuai dengan selera Laras," katanya ketika menyerahkan piring kue kepada keponakannya. Laras duduk di karpet bulu depan televisi yang ada di ruang tengah dengan punggung belakang bersandar di kaki sofa. Dia menerima sepiring kue tersebut, memegang sendok dan memotong bagian kecil dari brownies untuk mencicipi. Brownies buatan Rani baru saja dibuat, memiliki tekstur yang sangat lembut, terlebih lagi ketika dipotong dengan sendok. Laras menutup matanya dan mengerang nikmat dengan rasa manis yang menyebar di lidahnya. "Enak!" katanya, menambah beberapa suapan lagi dengan lancar tanpa jeda. Kemudian dia seolah mengingat sesuatu, dia akhirnya berhenti makan dan meminum teh yang telah disiapkan Rani untuknya. Dia batuk kecil sebentar kemudian menoleh ke samping pada wanita yang kini duduk di sofa juga sedang memakan kue sembari menikmati acara variety show di mana para selebriti saling bermain konyol dan tertawa terbahak-bahak dengan suara yang saling berlomba menjadi lebih lantang. "Ibu Rani," panggil Laras, mencoba menarik perhatian Rani untuk tertuju padanya. Rani segera menoleh, bertanya dengan lembut kepada keponakannya, "Ada apa? Kamu mau tambah?" Laras menggelengkan kepala, namun dia berpikir sejenak dan malah berkata, "Bisa siapkan beberapa kue brownies untukku? Aku ingin membawa ke sekolah besok untuk Rena, dia sangat suka segala jenis makanan. Biarkan dia mencoba brownies enak Ibu Rani." "Tentu saja, ayo ikut ke dapur dan siapkan kue untuk Rena bersama." Rani bangkit berdiri, tangannya terulur ke arah Laras yang kemudian menarik gadis itu untuk berdiri. Dia mengajak keponakannya yang manja untuk pergi ke dapur bersama. Laras melihat ke arah meja di tengah dapur, melihat brownies dengan aneka rasa yang berbeda ditata di sana. Dia tersenyum kecil, "Kenapa membuat banyak brownies? Apakah Ibu Rani bisa menghabiskan ini sendiri?" "Tentu tidak," jawab Rani dengan lancar, dia menuju ke sebuah lemari kaca dan membukanya untuk memilih wadah makanan untuk Laras. "Apakah kamu ingin membawa banyak? Sekalian berikan juga kepada beberapa temanmu lagi," katanya. Laras mengangguk, berjalan di sisi Rani untuk melihat banyaknya wadah makanan yang tersusun rapi di dalam lemari kaca, tampaknya bibinya itu sangat suka mengoleksi berbagai macam wadah makanan dan minuman merek tertentu. "Ya, berikan yang banyak. Beberapa teman sekelasku tidak tahu diri di depan makanan," kata Laras dengan suara menggerutu namun terdapat nada geli dalam ucapannya. Rani tertawa, dan mengambil wadah makanan dengan ukuran sedang keluar dari lemari. "Bagaimana dengan ini, apakah cukup?" tanyanya kepada Laras. "Ibu Rani, itu kan kotak makananku." Laras menunjuk ke dalam lemari lurus ke kotak makanan berwarna merah mudah dengan pola unik di sampingnya. Ketika Rani menarik sebuah wadah makanan keluar, kotak makanan tersebut yang disusun rapi di belakangnya segera terlihat di pandangan Laras. "Pantas saja aku tidak melihatnya lagi, ternyata ada di sini." Rani mengeluarkan suara terkejut, dia mengulurkan tangan mengambil kotak makanan yang ditunjuk Laras. "Iya, Ibu Rani sepertinya tidak pernah beli yang seperti ini. Jadi ini milikmu, Kenapa bisa di sini?" katanya dengan bingung. Jangankan Rani, Laras sendiri juga bingung. "Ya, ini kan kotak makanan kesayanganku, cuman aku tidak pernah lagi melihatnya, jadi aku pikir aku menghilangkannya di suatu tempat." Dia menggaruk kepala bagian belakang telinganya dengan linglung, "Aneh ya, perasaan kotak makanan ibu Rani yang selalu tertinggal di rumahku, kenapa sekarang malah kotak makananku yang tertinggal di sini?" Rani tertawa geli ketika mendengarnya, "Mungkin kamu pernah meninggalkannya tanpa sengaja," katanya tidak mempermasalahkannya lagi. Laras hanya mengangguk meski dia tidak yakin, lagi pula dia sendiri sadar dengan sifatnya yang ceroboh. Siapa yang tahu bahwa dia benar-benar meninggalkannya meski dia tidak bisa memikirkan alasan dia membawa kotak makanan ke sini. "Ini kamu pegang, bawa pulang. Ingat simpan segera setelah sampai di rumah, jangan menghilangkannya lagi." Rani menyerahkan kotak makanan merah muda yang unik itu kepada Laras dan melangkah ke meja tengah yang ada di dapur. "Ayo siapkan brownies untuk temanmu. Rasa apa yang disukai Rena dan teman sekelasmu yang lain?" Laras menunjuk brownies cokelat, "Rena suka semua rasa, tetapi dia lebih suka rasa cokelat. Yang lainnya sembarang juga tidak apa-apa." Rani mengangguk, memotong kue dengan rapi dan menatanya di dalam wadah makanan. "Teman Ibu Rani akan datang berkunjung sebentar malam, karena ini aku membuat banyak brownies." "Oh, acara arisan kah?" Laras mengangguk penuh pengertian. Rani hanya tertawa, setelah memasukkan cukup kue, dia menutup wadah makanan dan membawa Laras kembali ke ruang tengah. Saat ini lah Laras ingat tujuannya datang ke sini, dia segera tersentak dan ingin menggerutui kebodohannya. "Ibu Rani, aku ingin bertanya, ini penting." Rani meletakkan wadah makanan yang berisi brownis di atas meja dan duduk di sofa sebelumnya. Mendengar suara keponakannya yang tampak serius, Rani menoleh dengan heran. "Tanya apa?" "Itu, Randi ..." Laras mengerutkan bibirnya dan bertanya dengan lugas, "Apakah Randi memiliki penyakit berbahaya?" tanyanya dengan perasaan waspada, merasa sedikit takut ketika menanyakan hal tersebut. "Ah?" Rani menatap Laras dengan terkejut, "Randi sakit?" Laras mengernyit, memastikan bahwa ekspresi terkejut Rani asli dan alami. "Ibu Rani tidak tahu?" Dengan pelan, Rani menggelengkan kepalanya bingung, sama sekali tidak tahu harus mengatakan dan berbuat apa. Melihat bibinya tampak linglung, Laras menghela napas panjang. "Apakah Randi menyembunyikannya kepada Ibu Rani juga? Ya pantas saja dia jarang pulang." Setelah mengatakan hal itu, Laras mengambil wadah makanan dari atas meja. "Baiklah, aku akan pulang dulu. Terima kasih kuenya," katanya. Setelah mendengar jawaban Rani yang kaku, dia berbalik dan keluar dari rumah, sama sekali tidak menyadari dirinya baru saja melemparkan bom ke hati seorang ibu. "Randi sialan, dia bahkan tidak memberitahukan ibunya tentang hal itu." Laras menggerutu kesal, menggelengkan kepala dan berpikir akan memarahi kakak sepupunya itu ketika bertemu nanti. Randi yang sedang menyetir saat ini tiba-tiba saja bersin. Dia mengusap bibirnya dengan tenang, sedikit mengernyit karena memiliki firasat buruk di hatinya. "Mau singgah ke apotik dulu?" Fito yang duduk di kursi penumpang depan menghadap ke luar jendela, melihat ke langit yang bersinar cerah dengan matahari yang masih senang tiasa memancarkan kehangatannya ke bumi. Dia melirik ke arah temannya ketika mendengar suara bersin dari samping. Randi menggelengkan kepala, "Tidak apa-apa." "Eh eh eh, katanya kalau tiba-tiba bersin berarti ada yang sedang ngomongin kita." Seorang gadis yang duduk di kursi penumpang belakang berbicara dengan nada misterius, kemudian dia menatap bercanda ke arah Randi. "Heeh, siapa kira-kira yang sedang membicarakan ketua kita?" "Jangan percaya itu, jika setiap orang membicarakan Randi akan membuat Randi bersin, maka setiap waktu dia akan bersin." Pemuda di samping gadis itu segera menyambung dengan nada bercanda pula. Fito hanya tertawa, sedangkan Randi hanya memasang raut wajah tenang menanggapi candaan dari teman-temannya. Tak lama suara nada dering ponsel berbunyi di dalam mobil tersebut, tiga penumpang secara refleks meraih ponsel mereka untuk memeriksa. "Kayaknya ponselmu," kata Fito setelah memastikan suara nada dering tersebut bukan dari ponselnya. Randi bergumam, dia meraih ponselnya dan melirik sekilas penelepon yang ternyata adalah ibunya. Segera dia memasang earphone bluetooth ke telinga kirinya dan menghubungkan panggilan. "Ibu?" panggil Randi, tangannya dengan tenang memutar kemudi membelokkan mobil di pertigaan, tatapannya lurus ke depan memperhatikan jalan dengan tertib. Dia akan membuka mulutnya untuk berbicara lagi, namun Rani telah mengeluarkan suaranya terlebih dahulu. "Kenapa kamu tidak mengatakan kepada ibu dan ayah bahwa kamu sedang sakit parah?" Tangan Randi di roda kemudi gemetar, dia hampir saja membuat mobil menabrak trotoar. Untungnya dia segera mengendalikan dirinya dan menstabilkan kendali mobil kembali. "Siapa yang sakit parah?" tanyanya dengan nada tak percaya yang langka. "Laras baru saja mengatakannya," jawab Rani. Ketika dia mengatakan hal tersebut, dia sendiri merasa itu cukup aneh. Randi terdiam sebentar dan tawa rendah keluar dari tenggorokannya, "Gadis nakal itu," gumamnya dengan sedikit ketidakberdayaan dalam suaranya. Kemudian dia menjelaskan kepada ibunya untuk menghentikannya dari memikirkan hal-hal yang buruk. "Aku baik-baik saja. Ibu sendiri tahu betapa uniknya pikiran Laras, jangan khawatir." "Kamu benar baik-baik saja? Tidak memiliki penyakit yang dirahasiakan dari keluarga?" tanya Rani sekali lagi untuk memastikan. Randi menghela napas, "Aku baik-baik saja. Saat ini aku sedang mengemudi, nanti kita lanjut lagi." Rani menghembuskan napas lega, dia mengangguk dan melepaskan kecemasan dari hatinya. Senyum segera muncul di bibirnya karena telah melupakan bagaimana Laras memiliki ide unik setiap saat yang tak bisa mereka bayangkan. Setelah panggilan berakhir, Randi masih tersenyum. Semakin dia memikirkannya, dia merasa semakin geli. Saat ini dia ingin bertemu Laras, mengacak rambutnya yang halus dan mencubit ujung hidungnya karena telah usil menyebarkan hal-hal yang tidak benar. Sofia batuk-batuk, "Ya, jika Ketua tidak menyetir saat ini, aku akan memintanya berbalik sehingga aku bisa mengambil fotonya saat tersenyum. Jika dijadikan poster, pasti banyak gadis yang ingin membelinya." Indra tertawa, "Jika aku tidak mendengarnya memanggil ibu, maka aku akan berpikir dia tersenyum karena seorang gadis." Mendengar kedua temannya kembali bercanda tentangnya, Randi hanya menggelengkan kepalanya dan memudarkan senyum yang ada di bibirnya. Dia kembali fokus mengemudi dengan latar suara radio yang diputar dan ketiga temannya yang sedang berbincang. Ada sepintas muncul di kepalanya, bertanya penuh tak berdaya. Kenapa adik sepupunya begitu menggemaskan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD