015. Rencana

1077 Words
Laras meletakkan kotak makanan di atas meja dan bangkit menuju kamarnya. Baru dua langkah dia bergerak, kakinya berhenti di tengah jalan. Dia dengan pelan berbalik dan melihat kotak makanan berwarna merah muda miliknya yang ditemukan di dalam lemari tempat wadah makanan milik Rani. Seolah baru mendapatkan pencerahan, mata Laras terbuka lebar. "Itu ..." Dia mengerutkan kening, memikirkannya dan yakin dengan ingatan yang datang tiba-tiba. Kotak makanan ini adalah kotak makanan yang terakhir kali dia gunakan untuk membawakan Kevin nasi goreng spesial buatannya, namun karena terjadi masalah, Laras akhirnya menjatuhkan kotak makanan dan pergi begitu saja. Saat itu Laras ingin membuat Kevin senang, karena itu dia menggunakan kotak makanan yang paling disukainya sebagai tanda ketulusannya. Namun nasi goreng yang dibuatnya spesial untuk mengungkapkan perasaannya pada akhirnya tidak sampai di tangan Kevin dan kotak makanannya jatuh di lantai begitu saja. Dalam emosi, Laras lari begitu saja. Dia tidak lagi memikirkan kotak makanan tersebut. Tetapi sekarang, dia tiba-tiba menemukan kotak makanan ini, dan itu pun di rumah kakak sepupunya. Laras menjadi bingung, "Apakah Randi?" ucapannya bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Laras hanya berpikir sebentar sebelum menyerah. Lagi pula otaknya terlalu lelah untuk bekerja keras, ketika dia punya waktu, akan lebih mudah langsung bertanya kepada Randi langsung. Saat memutuskan itu, Laras segera bergerak masuk ke kamarnya. Mandi untuk waktu yang lama dan tidur dengan nyaman. Saat dia bangun, dia telah melupakan segalanya. Tentang kotak makanannya yang ingin dia tanyakan kepada Randi. Dia hanya terus memikirkan bagaimana Randi sekarang menjadi lebih kurang ajar. "Dia tidak pernah datang ke rumahku! Sialan!" Laras memukul meja dengan keras, sangat keras hingga Laras menyesalinya dan telapak tangannya terasa sakit. Rena yang baru saja membawa pesanan makanan mereka menatap Laras yang sedang memegang ponsel dengan tatapan kosong. "Jangan menggila sekarang, kita ada di kantin." Dia menyerahkan makanan Laras di atas meja depan gadis itu dan makanannya sendiri. "Ada apa lagi? Kenapa akhir-akhir ini kamu tampaknya selalu kesal dengan Kak Randi?" tanya Rani dengan santai ketika dia duduk di depan Laras. Laras mendengus, "Itu karena akhir-akhir ini Randi selalu membuatku kesal. Tidak mungkin aku kesal tanpa dia membuatku kesal terlebih dahulu." "Mungkin saja," jawab Rena langsung. Laras melotot marah, "Diam kamu" Rena mengangguk, dia makan dengan nyaman dan tidak bertanya lagi. Namun Laras bukan orang yang bisa diam ketika ada sesuatu di pikirannya. Dia memikirkannya dan menghela napas. "Randi tidak memiliki penyakit berbahaya yang kita pikirkan sebelumnya." Gerakan tangan Rena berhenti. Dia menatap lurus ke Laras dan tersenyum geli. "Kak Randi? Kemarin kita membahas kakak temanmu,"katanya mengingatkan dengan baik hati. Laras memutar matanya, dari bawah meja dia menendang betis Rena dengan kesal. "Tidak usah sok bodoh, aku tahu kamu tahu." Rena mengangkat bahunya tidak peduli, lanjut makan ketika dia mengobrol santai dengan Laras. "Jadi, apa yang ingin kamu lakukan? Ingatlah, jika ingin berbuat sesuatu, katakan dulu padaku." "Untuk apa? Apakah kamu ingin menghalangiku? Temanmu sebenarnya Randi atau aku sih?" Laras kembali memukul meja, membuat orang-orang sekitarnya menoleh dan menatap ke arahnya. Rena mengambil telur dari makanannya dan menyerahkannya ke Laras. "Diam dan tenanglah, aku tidak pernah bilang ingin menghalangimu. Maksud aku, jangan lakukan semuanya sendiri. Jika kamu tiba-tiba punya masalah, tidak akan ada yang bisa membantumu nanti. Tidakkah kamu sadar kamu selalu membawa masalah di sekitarmu?" Laras menatap basi goreng di atas piring di depannya yang kini memiliki tambahan telur ekstra. Dia terdiam sejenak sebelum menggerakkan sendok dan garpu untuk memakan telur tersebut. Suaranya menjadi lebih tenang. "Benarkah?" tanyanya pelan, merasa agak malu. Dia makan dengan perlahan dan lanjut berkata, "Kalau begitu baiklah, lain kali aku melakukan hal aneh, aku akan memanggilmu." Rena melihat Laras dan tersenyum geli, "Nah, sekarang sebutkan hal aneh apa yang ada di kepalamu sekarang?" Laras meletakkan sendok dan garpu ke atas piringnya, dia mengangkat kepalanya dan menatap Rena dengan tatapan fokus. "Aku ingin mencari tahu alasan Randi menjauh dariku. Pokoknya cari tahu saja, aku tidak nyaman seperti ini. Randi bodoh itu mengatakan menjauhiku demi kebaikan, apakah dia berpikir aku semacam kesialan atau apa yang harus dijauhi." Ketika mendengar kalimat terakhir yang Laras katakan, Rena tanpa sadar mengangguk setuju. "Kamu berpikir aku membawa kesialan?" tanya Laras dengan pandangan tak percaya. Rena tersenyum, "Bercanda," katanya dengan santai, kemudian dia makan sembari berpikir. "Lalu bagaimana cara kamu mencari tahunya?" tanyanya. Laras mendengus kesal, "Pergi ke kampusnya. Aku curiga dia sebenarnya sudah punya pacar. Dan kemungkinan dia memiliki seseorang yang ingin dia rawat di dekatnya, jadi dia mulai melupakanku dan meninggalkanku." Rena mengangguk, namun dia entah bagaimana merasa kalimat temannya itu terlalu aneh. "Jika aku tidak tahu dengan pasti, aku kemungkinan berpikir kamu seperti pacar kecil yang curiga pacarnya selingkuh." "Buang pikiran anehmu itu," kata Laras. Mereka berdua berbincang di tengah makan sembari memikirkan berbagai cara untuk mencari tahu hal yang disembunyikan Randi. Sebenarnya hanya Laras yang memikirkan caranya, Rena hanya menyetujui atau menolaknya, dia memikirkan matang-matang dan tidak Ingin mengikuti hal yang terlalu absurd. Ketika bel masuk berbunyi, kedua gadis itu bangkit berdiri dan berjalan menuju kelas. Dalam perjalanan, Laras melihat seorang gadis yang berjalan di depannya dan berbelok ke tikungan sehingga tidak terlihat lagi. Wajah Laras tanpa sadar menjadi buruk, mendengus kesal namun tidak melakukan apa pun. Jika Laras melihatnya, Rena juga pasti melihatnya. Gadis itu adalah Tania, pacar Kevin yang merupakan pemuda yang telah menolak Laras berkali-kali selama dua tahun. Tania masih kelas sebelas, satu tingkat di bawah mereka. "Jangan marah, bukankah kamu sendiri yang membuat mereka bersama?" kata Rena, menepuk punggung Laras mencoba menenangkan sahabatnya itu. Laras mengernyit, "Siapa bilang aku marah?" katanya ketus, lanjut berjalan dengan langkah kaki penuh sentakan. Dia tidak pernah berbicara bahwa dia marah, namun tindakan dan seluruh aura tubuhnya mengatakan bahwa dia sedang marah saat ini. Rena tersenyum dan menggelengkan kepala menghadapi sikap temannya itu. Lima menit setelah mereka masuk ke kelas, guru datang untuk mengajar. Saat guru tersebut baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas, dia langsung memberi instruksi dengan suara tegas dan lantang. "Buku tugas letakkan di atas meja sekarang," katanya. Para murid yang masih bersantai terkejut dan segera bangkit menuruti apa yang dikatakan guru. Namun Laras terpaku, dia menarik Rena dan menatapnya dengan panik. Rena balas menatapnya dengan tatapan penuh ejekan. "Kenapa? Belum mengerjakan tugas?" tanyanya meski telah mengetahui jawabannya. Laras mengangguk, "Kenapa kamu tidak memberitahuku?" "Astaga Laras Filandari, aku sudah mengatakan terus menerus dari pagi ketika kamu baru datang sampai istirahat kedua. Tetapi kamu menganggapnya enteng, sekarang saat kamu tidak mengerjakan tugas, jangan salahkan aku terus. Aku lelah," kata Rena, memukul kepala Laras dengan buku catatannya dan berjalan menuju meja guru. Laras langsung panik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD