016. Mata-Mata

1035 Words
Seorang gadis dengan kacamata dengan bingkai lebar dan baju hitam lengan panjang berjalan dengan langkah perlahan tanpa suara menuju gerbang Universitas B. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri dengan waspada mengamati sekitar. Ketika seseorang menoleh melihatnya, gadis itu segera bersembunyi di samping tembok gerbang dengan gesit. Tak lama kemudian dia menjulurkan kepalanya untuk kembali mengamati situasi. Melihat bahwa semuanya baik-baik saja, dia berbalik ke belakang dan memberi isyarat ke belakang. "Ayo masuk," katanya dengan suara pelan. Rena menatap kosong Laras, dia sedikit menjaga jarak darinya dengan sikap bahwa dia tidak menganggap gadis dengan pakaian serba hitam itu sebagai temannya. Ketika Laras mulai bertingkah layaknya penyusup di film-film, Rena telah merasa pusing dan mengikuti dari belakang dengan ekspresi datar di wajahnya. "Untuk apa kamu bertingkah seperti ini?" tanya Rena sembari mengunyah keripik. Laras melihat tampilan santai temannya yang bahkan masih sempat membawa sebungkus keripik melotot marah. "Kita saat ini menjalani misi rahasia, kenapa kamu tampil begitu konyol. Bagaimana jika kita ketahuan?" Mendengar ucapan Laras, Rena tertawa. "Dengan penampilanmu yang mencolok seperti ini, kamu malah menarik perhatian sekitar. Jika kita ketahuan, maka itu adalah ulahmu," katanya dan bahkan menunjuk sekitar dengan isyarat matanya untuk menunjukkan bahwa Laras saat ini mendapatkan beberapa tatapan penasaran dari orang lain. Laras melihat dan menyadarinya, dia kemudian mengerutkan keningnya. "Aku sengaja memakai baju seperti ini agar tidak mencolok." "Ya, tapi kenyataannya kamu sangat mencolok." Rena menekan kata 'sangat' dengan sengaja untuk menyadarkan temannya yang konyol itu. "Sudahlah, berjalan biasa saja. Semakin kamu bertingkah, semakin besar kemungkinan kita ketahuan." Laras tidak mau, dia sebenarnya cukup menikmati menjadi detektif dengan pakaian serba hitam yang mematai-matai seseorang. Tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak bisa terus seperti ini. Dengan wajah cemberut, Laras akhirnya berjalan dengan punggung tegak seperti biasa. Dia mengangkat kacamatanya hingga ke atas kepalanya dan melirik sinis orang-orang sekitar yang sedang menatapnya. "Apa lihat-lihat, baru lihat orang cantik?" ucapnya dengan ganas. Rena berdecak lidah, dia menarik Laras untuk langsung masuk ke gerbang kampus, menghindari temannya membuat dirinya sendiri menjadi konyol. "Kita mau kemana?" tanya Laras, ikut dengan pasrah ketika Rena menariknya ke dalam. "Jangan tanya aku, ini rencana dan tujuanmu. Seharusnya kamu yang lebih mengetahuinya," kata Rena, dia menatap ke sekitar dengan santai. Sesekali mengulurkan tangannya untuk mendistribusikan keripik dari kemasan ke mulutnya. Saat ini sudah cukup sore, banyak mahasiswa berlalu lalang untuk keluar menuju gerbang depan. Namun masih ada juga beberapa yang tampak santai berkeliaran di sekitar atau berdiam di tempat mengobrol dengan teman-teman. Universitas B merupakan kampus terbaik setelah Universitas D di negara ini. Wilayahnya sangat luas yang membuat orang yang baru datang bisa tersesat tujuh keliling untuk hanya mencari keberadaan kafetaria. Meski begitu, kampus ini memiliki bangunan yang berlapis-lapis dengan fasilitas nomor satu. Banyak orang berlomba-lomba untuk masuk ke dalam kampus ini, hanya saja tingkat kesulitannya membuat banyak orang pula menyerah dan mundur dengan sadar diri. Ketika Laras dan Rena berjalan melewati taman hijau di halaman bagian depan kampus, ada banyak mahasiswa yang duduk di taman dengan buku di tangan mereka. Laras melihat hal tersebut dan berdecak lidah. Terakhir kali dia datang ke sini, dia tidak memperhatikan sekitar. Dia hanya berpikir untuk berkeliling menemui Randi dan tersesat. Sekarang dia melihat orang-orang di sekitarnya dan tidak bisa untuk tidak menggerutu. "Lihatlah mereka, sangat rajin belajar. Benar-benar melelahkan." Rena menatap Laras dengan senyum, "Bukankah itu asik belajar di taman dengan teman-teman? Aku jadi lebih suka kampus ini," katanya. "Kamu benaran mau kuliah di sini nanti?" tanya Laras dengan rasa penasaran. Dia sendiri tidak memiliki minat pada hal apa pun, jangankan memilih universitas, jurusan apa pun bahkan tidak menarik minatnya. Rena mengangguk, tetapi keragu-raguannya terlihat jelas dalam tatapannya. "Aku akan mencoba," katanya. Meski Rena mengakui dirinya lebih baik dalam belajar daripada Laras, namun tak bisa dipungkiri bahwa sebelumnya dia juga lumayan malas belajar. Bahkan kadang dia mengerjakan pekerjaan rumah yang di berikan guru di sekolah dengan nyontek milik teman sekelas lainnya dan belajar dengan sungguh-sungguh ketika ujian saja. Sekarang ketika dia menyadari keinginannya, dia mulai menyesali semua rasa malas yang telah dia manjakan tahun-tahun sebelumnya. Laras mengangkat bahunya, tidak begitu peduli. Dia melirik sekilas orang-orang rajin belajar di taman itu, dan berdecak lidah. Lalu menarik Rena untuk berjalan lebih cepat dan kembali mengingat tujuan mereka datang ke sini. "Sebenarnya kamu tahu tidak sih dimana tempat Kak Randi? Lagi pula aku bahkan heran untuk apa kita melakukan ini," kata Rena. Kampus B sangat luas, jika mereka mencari secara membabi buta, bahkan sampai tengah malam pun mereka belum tentu dapat menemukan keberadaan Randi. Laras berdecak lidah, "Kita ke sini untuk melihat kesibukan apa yang dimiliki Randi. Jika dia memiliki kekasih, kita bisa mengetahui siapa kekasihnya." "Segitunya kamu ingin tahu?" Rena menggelengkan kepala. Laras mengangguk dengan pasti. "Sebelum aku mengetahuinya, aku tidak akan merasa nyaman." Rena mengangkat bahunya, tidak begitu memedulikan lagi. Mereka berdua lanjut berjalan, namun bertemu dengan seseorang yang familiar. Langkah kaki Rena dan Laras berhenti ketika berhadapan dengan orang tersebut. Laras mengernyitkan kening, "Tunggu, kamu teman Randi kan?" katanya dengan sedikit ragu. Fito agak terkejut dengan kehadiran dua gadis siswa sekolah menengah atas ini. Dia melihat ke arah Laras dan kemudian Rena lalu mengangguk. "Kalian mencari Randi?" tanyanya dengan senyuman. Laras hanya diam, tidak ingin mengakuinya. Rena yang ada di sampingnya yang memiliki keramahan untuk semua orang menanggapi senyuman Fito dan mengangguk. "Ya, bisa minta tolong tunjukan dimana Kak Randi sekarang?" tanyanya dengan sopan. "Heh, ini rahasia." Laras melotot ke arah Rena, menatap dengan kesal teman yang tak bisa diharapkan itu. Rena mempertahankan senyumannya, dia menatap Laras dengan sangat baik. "Laras Filandari, temanku yang cantik dan konyol, bahkan jika aku tidak memberitahukannya, dia pasti akan tahu. Jadi lebih baik gunakan kesempatan ini untuk mencari Kak Randi langsung, jangan membuatku berkeliling kampus seperti ketika orang kampung yang baru datang ke kota." Laras tidak setuju, tetapi dia juga setuju dengan yang dikatakan Rena. Lagi pula dia sendiri telah lelah berjalan, jadi dia dengan enggan setuju. Tatapannya agak tidak ramah ketika menuju ke Fito, dengan cemberut dia bertanya, "Dimana Randi?" "Ada di Lab, ingin aku panggilkan untuk kalian?" tanya Fito, dia telah meraih ponselnya dari saku celana. "Tunggu," Laras cepat-cepat menghentikannya. "Ini rahasia, kamu tidak boleh memberitahu Randi bahwa kami datang. Apapun yang terjadi, anggap saja kamu tidak melihatku." "Ah?" Fito menatap Laras dengan bingung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD