Prolog

3116 Words
Memegang boneka beruang di pelukannya, Laras duduk di karpet yang terbentang di ruang tengah dengan bosan menatap ke arah televisi yang kini menampilkan film kartun animasi. Sesekali dia akan menguap, lehernya tertekuk ke depan, menyembunyikan separuh wajahnya di belakang kepala empuk boneka merah muda. "Kalau ngantuk, kamu pulang ke rumah dan tidur." Suara Rani— bibi Laras terdengar lembut, mengingatkan gadis kecil yang baru berumur 13 tahun itu. Laras menggelengkan kepalanya malas, matanya terkulai setengah tertutup, tampak dia bisa tertidur kapan saja tanpa disadari. "Ibu dan ayah berdebat lagi," katanya dengan cemberut, mengusap wajah kantuknya ke kepala belakang boneka beruangnya yang lembut. "Mereka berisik," lanjutnya dengan keluhan. Rani menghela napas panjang ketika mendengar hal itu, dia merasa sangat prihatin untuk Laras. "Kalau begitu, Laras tidur di sini saja?" tawarnya sembari mengusap rambut lembut gadis itu. Laras bahkan tidak perlu memikirkannya sebelum mengangguk setuju, dia mengangkat kepalanya melihat ke sebuah pintu yang tertutup dan tiba-tiba terkikik oleh pikiran yang terlintas di kepalanya. "Aku akan tidur di kamar Randi, oke?" tanyanya dengan mata cerah bersinar dengan kilatan cahaya yang memukau. Melihat tingkah usil gadis kecil ini, Rani merasa geli sendiri. Dia tahu bahwa Laras saat ini sedang berpikir untuk mengganggu Randi— anak laki-lakinya, tetapi Rani sama sekali tidak mencegahnya. Dia menyetujui proposal Laras, mengingat gadis itu sangat menyedihkan karena harus mendengar orang tuanya terus berdebat di rumah. Tetapi masih mengingatkan secara simbolis, "Randi mungkin sedang belajar di kamarnya, kamu jangan ganggu ya." Laras langsung bangkit berdiri, dia mengangguk dengan semangat lalu setengah berlari menuju ke pintu yang tertutup. "Randi!" Laras membuka pintu tiba-tiba, terkikik bahagia melihat pemuda yang beda usia setahun darinya duduk di depan meja belajar tersentak oleh kehadirannya yang tak terduga. Randi melirik ke arah Laras, lalu kembali melihat buku di depan mejanya dan lanjut belajar. Melihat pemuda itu mengabaikannya, semangat Laras untuk mengganggu kakak sepupunya itu berkobar tinggi. Dia segera melangkah maju, melihat ke tulisan yang membingungkan yang tertera di buku Randi dan meraihnya langsung. "Ada apa?" tanya Randi tak berdaya. "Kembalikan bukuku, aku harus mengerjakan tugas rumah." Laras menggelengkan kepalanya, mundur beberapa langkah menjauh dari Randi dan mengamati tulisan rapi yang tercatat di lembaran buku. Setelah beberapa saat, dia memasang ekspresi terkejut dan menatap Randi dengan mata menyipit. "Kamu belajar modus di sekolah?" Mendengar pertanyaan konyol serta ekspresi curiga dari Laras, Randi memutar matanya. "Ya," jawabnya singkat. "Kembalikan bukuku," katanya sembari mengulurkan tangannya ke arah Laras. Laras menghindar dari jangkauan tangan Randi, dia masih terkejut karena kakak sepupunya yang sangat kaku dan hanya tahu belajar ternyata tahu modus! Laras merasa seperti baru saja menemukan rahasia dunia yang sangat mencengangkan. "Hentikan pikiran bodohmu, itu pelajaran Matematika. Modus yang ada di buku catatanku merupakan salah satu ukuran pemusatan data, bukan modus yang ada di pikiranmu." Randi dengan enggan menjelaskan kepada Laras, membangunkan adik sepupunya itu dari pikiran yang tidak sehat. Mendengar jawaban Randi, minat Laras segera hilang. Dia mengembalikan buku kakak sepupunya itu sembari bergumam bosan, "Tidak asik." Randi mengambil bukunya dan memukul kepala Laras tanpa mengerahkan kekuatan dengan buku tersebut. "Kamu masih kecil, jangan pikirkan hal acak setiap hari di kepalamu." Laras mengerucutkan bibirnya, mencibir tanpa suara. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Randi melihat Laras tak kunjung pergi. Laras melompat-lompat di lantai, berusaha untuk menghindari garis keramik dengan lincah. "Mau tidur di kamarmu," katanya santai. Namun sejak dia datang ke kamar kakak sepupunya, rasa kantuknya telah lenyap tanpa sisa. Gadis itu mengikat rambutnya menjadi dua ekor kuda di sebelah kanan dan kiri kepala. Ketika dia melompat-lompat, kedua ekor itu ikut tersentak ke atas dan ke bawah mengikuti gerakannya. Terkadang dia dengan sengaja menggelengkan kepalanya, merasa lucu dengan dua ekor di kepalanya yang juga berayun dengan keras di sekitarnya. "Kenapa tidak pulang?" tanya Randi lagi, masih fokus menulis tugas rumahnya yang baru dia dapat pagi tadi di sekolah. "Malas," kata Laras cemberut. Dia berhenti melompat, menatap ke arah Randi dengan penuh keluhan. "Ibu dan ayah berisik mulu, sedikit-sedikit berdebat, ini itu berdebat, setiap saat berdebat. Aku malas pulang." Mungkin karena masih ada bekas dari musim hujan, sehingga Randi merasa langit agak gelap saat ini. Desiran angin berhembus terkadang terdengar menerbangkan tirai jendela yang terbuka. Aroma tanah yang segar dan wangi setelah hujan masih tercium samar-samar dibawa oleh angin yang lalu lalang tanpa henti. Ini adalah awal Juli, pekerjaan rumah para murid numpuk tanpa henti seolah guru-guru sengaja melakukannya. Randi melihat ke buku tugas di atas mejanya dan menghela napas. "Lalu kamu tidur di sana, aku akan kerjakan tugasku dulu." Randi berkata dengan nada kompromi. Meski dia bisa disebut lebih tua dari Laras, tetapi bagaimanapun dia masih anak laki-laki yang berusia 14 tahun, sama sekali tidak tahu bagaimana menghadapi atau menghibur gadis itu ketika mendengar masalah yang dihadapi. Laras menggelengkan kepalanya, kembali melompat-lompat di lantai keramik di belakang Randi. "Aku tidak mengantuk lagi," katanya dengan senyum lebar yang selalu menghiasi wajahnya. "Biarkan saja aku di sini, aku janji tidak akan mengganggumu," lanjutnya dan kembali bermain dengan dirinya sendiri. Randi menoleh untuk melihat gadis itu selama beberapa saat, ketika dia yakin Laras hanya ingin bermain-main tanpa niat mengajaknya mengikuti kekonyolannya, barulah Randi kembali fokus mengerjakan pekerjaan rumahnya. Hari itu masih siang, namun sinar matahari terhalang oleh awan gelap hingga dunia tampak diselimuti kesuraman. Randi mengerjakan tugas sekolahnya, sesekali dia dapat mendengar suara cekikikan dari gadis yang ada di belakangnya. Terbiasa dengan sikap Laras yang sangat mudah menyenangi diri sendiri, Randi mengabaikannya dan tidak mengganggunya. - Akhir bulan Juli, matahari tampaknya mulai menunjukkan kekuatannya. Dedaunan hijau berayun mengikuti arahan angin, kicauan burung yang terbang mengelilinginya menari di udara. Laras memegang tas belanja di tangannya. Tas itu tidak berat sama sekali, namun karena dia memegangnya dengan hati-hati dan waspada, akhirnya dia membuat dirinya kewalahan sendiri. Ketika kakinya melangkah masuk ke dalam rumah, dia melihat ke kanan dan ke kiri. Menemukan bahwa rumah saat ini damai tanpa keributan, Laras menghembuskan napas lega secara berlebihan. Dia mulai tertawa dengan konyol dan masuk sembari membuka sandal yang digunakan dan melemparnya ceroboh. Langkah kakinya membawanya menuju ruang tengah. Di sana dia melihat tiga anggota keluarga kecilnya duduk bersama dalam ketenangan yang langka. Mengambil kesempatan baik ini, Laras berjalan cepat sembari mengayunkan tas belanja di tangannya ke depan untuk dipamerkan kepada keluarganya. "Coba lihat apa yang aku beli di jalan," katanya dengan gembira. Matanya yang bulat sedikit menyipit membentuk bulan sabit dengan tatapan cerah tampak menjadi benda yang paling bersinar di dalam kegelapan. Asri— ibu Laras yang pertama kali meresponsnya dengan senyuman kecil yang dipaksakan. Dia melihat gambar merek kue di tas belanja yang Laras bawa, namun tidak mengeksposnya. "Apa yang kamu bawa?" tanyanya dengan hati-hati, bekerja sama dengan tindakan anak gadisnya itu. Laras tidak melihat keanehan dalam raut wajah keluarganya. Dia menunjukkan ekspresi main-main sebelum mengeluarkan satu persatu benda yang ada di dalam tas. Seperti dugaan tiga orang yang duduk di sofa, benda yang dikeluarkan Laras adalah kue mini. Laras selalu menyukai makanan yang manis, dia menunjukkan kue tart kecil dengan berbagai toping di atas meja kaca. Membariskannya dengan rapi untuk diperlihatkan kepada orang tua dan kakak laki-lakinya. "Ibu suka warna biru, ini untuk Ibu." Laras berkata sembari mendorong kue tart kecil yang dikemas dalam wadah kue transparant ke depan. Kemudian dia mendorong kue yang berwarna hitam gelap, "Mocca! Untuk Ayah yang jelek!" serunya sembari mendengus keras. Biasanya, ayahnya akan membalas mengatakan dia jelek atau ejekan sejenisnya jika dia melakukan hal ini. Namun untuk sesuatu yang tidak diketahuinya, ayahnya menjadi lebih pendiam dengan ekspresi bermartabat di wajahnya. Laras melihat ayahnya dengan kepala miring dalam kebingungan. Dia ingin bertanya kenapa ayahnya hanya diam dan tidak membantahnya, namun jika dia mengatakan itu maka dia mungkin saja akan menjadi sasaran ejekan yang lebih besar lagi. Jadi dia hanya mendengus dan mengabaikannya. Lalu dia kembali tersenyum cerah, mendorong kue dengan bentuk topi merah di atasnya. "Untuk Rifaldi," katanya senang. Seharusnya orang tuanya menegurnya saat ini. Ayahnya akan mengkritiknya dan meminta untuk memanggil Rifaldi dengan sebutan kakak. Sedangkan ibunya akan mengingatkannya dengan perlahan. Namun untuk hari ini juga mereka menjadi pendiam. Rumahnya selalu sangat berisik setiap hari, apa pun bisa menjadi pemicu perdebatan antara ibu dan ayahnya. Namun untuk hari ini, mereka duduk bersama dengan damai di sofa ruang tengah, membuat rumah menjadi sangat tenang. Ada sedikit keganjalan di hati Laras, tidak terbiasa dengan keadaan ini. Namun bagaimanapun juga, tenang lebih baik daripada ribut, sehingga dia merasa bahagia dengan kedamaian yang langka di antara keluarganya. "Dan ini untuk Laras," katanya sembari menarik dua kemasan kue ke arahnya dengan senyuman jail. Merasa puas karena dia memiliki lebih banyak dari yang lain. "Nah cobalah, ini sangat enak. Aku jamin." Setelah mengatakan itu, dia mulai membuka kemasan kue dan menatap dengan rakus ke arah taburan coklat yang melimpah. "Laras," panggil Gunawan— ayah Laras dengan ragu. Itu jenis keragu-raguan yang jarang dimilikinya. Laras mengangkat kepalanya, sebelum ayahnya mulai mencelanya, gadis itu langsung berkata dengan ekspresi angkuh di mukanya yang masih muda. "Ini sungguh enak! Jika Ayah tidak percaya, maka buka dan makanlah. Aku akan kalah jika kuenya tidak enak!" ucapnya dengan berani. Gunawan diam, alisnya secara perlahan terajut dengan tatapan yang mulai menjadi lebih dalam dan gelap. "Ayah dan ibu akan berpisah," katanya setelah pergulatan batin yang besar. "Oh," Laras mengangguk paham. Dia mulai mengaduk ke dalam tas belanja dengan tangannya, mencari sendok plastik dengan antusias. "Kapan?" tanyanya tanpa minat. "Kami akan benar-benar pisah." Gunawan mengulangi kata-katanya dengan penuh penekanan. Tangan Laras meraih empat sendok dari dalam tas, dia meletakkannya satu persatu ke atas kemasan kue keluarganya lalu menyisakan satu untuk dirinya sendiri. Menghadapi perkataan ayahnya, Laras mengangguk lagi. "Iya, kapan?" tanyanya dengan nada tak sabar. Kedua orang tuanya sering berpisah, kadang dekat, kadang jauh, kadang cepat, kadang juga lama. Ayahnya sibuk dengan perusahaan dan perjalanan bisnis kemana-mana, sedangkan ibunya adalah wanita yang bebas yang sangat suka berkeliling dunia dan menikmati liburan sampai ke negeri orang. "Laras," kali ini ibunya yang memanggil. Wanita yang memiliki pandangan tegas dan elegan itu kini tampak lembut padanya. Laras mengangkat kepalanya untuk menatap ibunya. Barulah saat ini dia menyadari bahwa ekspresi ibunya salah, ekspresi ayahnya juga salah, ekspresi kakaknya pun salah. Dia merenung lama, dan menunduk melihat ke arah kue di atas meja. "Aku hanya memilih sesuai kesukaan kalian, puas saja dengan apa yang aku beri." Dia berkata dengan hati-hati, meraih kedua kuenya ke sisinya. Merasa waspada bahwa kue-kuenya diincar oleh keluarganya. "Ibu dan ayah tidak akan bersama lagi," Asri berkata terlepas dari apa yang dipikirkan putrinya itu. Agar tidak membuat Laras salah paham tentang perpisahan yang dikatakan, maka dia menambahkan, "Untuk selamanya." Mungkin karena dia baru saja berkeliaran di hari yang panas dan membawa tas belanja berisi kue yang mengembung, Laras tiba-tiba merasa lelah hingga dirinya hampir berkeringat. Satu sendok kue telah dimasukkan ke dalam mulutnya, rasa manis seharusnya menyebar ke indra perasa namun Laras tidak menemukan rasa manis itu sama sekali. Telinganya berdengung dengan kata-kata ibunya. Dia melihat ke arah ibunya dengan bingung, tidak paham apa yang baru saja dikatakannya. Atau mungkin itu adalah hal baru baginya hingga dia tidak bisa memahaminya. "Selamanya?" tanyanya dengan wajah polos, ekspresinya yang tidak tahu apa-apa membuat ayah dan ibunya lebih bingung bagaimana harus menjelaskannya. "Ya," jawab Asri, mengeraskan hatinya untuk memberi jawaban kepada Laras. "Ayah dan ibu tidak akan tinggal bersama lagi. Laras akan ikut dengan siapa?" Semakin Laras mendengar, dia semakin merasa bahwa kata-kata yang dikeluarkan ibunya menjadi lebih aneh dan asing. Dia mengerutkan keningnya, memandang ibu, ayah, dan bahkan kakaknya yang kini menatapnya untuk menunggu jawaban darinya. "Ibu dan ayah mau kemana?" tanya Laras dengan bingung. "Ayah akan pergi ke kota D," jawab Gunawan, lalu melirik ke arah anak laki-lakinya, "bersama kakakmu." Laras kemudian menatap ke arah ibunya, matanya mengajukan pertanyaan yang sama. "Ibu akan pergi ke luar negeri, kamu ingin ikut? Ada banyak kue yang enak di sana." Asri menjawab dengan senyuman kecil di bibirnya, berusaha tampil selembut mungkin untuk menyakinkan anak putrinya itu. "Selamanya?" tanya Laras. Asri mengangguk, "Kita bisa saja pindah kemana pun Laras mau." Laras tidak menjawab, dia menoleh ke arah ayahnya. "Selamanya?" tanyanya lagi. Gunawan paham apa yang dimaksud Laras sehingga dia mengangguk. "Ya," jawabnya dengan wajah kaku. Laras mengerutkan bibirnya lalu bertanya sekali lagi, "Seperti Devi?" Lalu dia melihat ibunya mengangguk. Devi adalah teman sekelas Laras. Setiap kali Laras bermain di rumahnya, dia hanya bertemu dengan ibunya dan tidak pernah dengan ayahnya. Suatu waktu Laras bertanya dengan penasaran kemana ayah Devi pergi, kenapa dia tidak melihatnya sekali pun. Devi menjelaskan bahwa ibunya dan ayahnya berpisah untuk waktu yang lama di tempat yang berbeda. Mereka tidak dapat lagi bersatu di satu tempat. Ketika Laras mendengar itu, dia merasa sangat aneh. Baginya sebutan ibu dan ayah tak bisa terpisahkan. Selain kematian, Laras berpikir tidak ada hal yang bisa memisahkan kedua sebutan itu. Namun Devi mematahkan pikirannya itu. Dia menjelaskan kepada Laras bagaimana kehadiran 'cerai' di dunia ini telah memisahkan sebutan itu berulang kali di keluarga yang berbeda, di tempat yang berbeda, dan di waktu yang berbeda. Ketika Laras mendengarnya, dia merasa kasihan dan prihatin. Bahkan dia menangis untuk Devi. "Apakah ayah dan ibu cerai?" tanya Laras dengan ragu. Melihat kedua orang tuanya tidak membantahnya dan bahkan mengangguk membenarkan, Laras langsung jatuh ke dalam keheningan. Asri dan Gunawan menunggu Laras untuk mengajukan pertanyaan lagi, melihat gadis itu hanya diam dengan kepala menunduk, mereka berpikir Laras sedang merenung dengan hati-hati. Namun tak disangka bahwa suara isakan kemudian terdengar dari putri mereka itu. Wajah Laras putih pucat, bahkan bibirnya telah kehilangan warna darah. Untuk waktu yang tidak diketahui, matanya telah mengumpulkan cairan bening dan meledak turun begitu saja. Hidungnya yang tersumbat terdengar jelas dengan isakan yang keluar dari bibirnya yang bergetar. Laras selalu menjadi gadis dengan emosi yang tinggi. Dia akan tertawa ketika menemukan sedikit kesenangan, dia akan marah jika hanya diganggu dengan satu kata saja, dan akan menangis ketika dadanya sesak. Karena hal itu juga, Asri dan Gunawan merasa tak berdaya mengatakan ini kepada Laras. Bagaimanapun mereka adalah orang tua Laras, mereka tahu sifat gadis itu. "Jangan menangis, tidak apa-apa." Asri segera maju memeluk Laras dan mengelus punggungnya untuk menenangkannya. "Laras masih bisa bertemu ayah ketika Laras ingin, lalu kembali lagi ke Ibu dan berkeliling dunia melihat banyak hal menarik." Tubuh gadis dalam pelukannya gemetar hebat, tampak rapuh seolah akan hancur jika dia memeluknya lebih erat lagi. Suara isakan terus terdengar diiringi dengan tarikan ingus yang menyumbat hidung. Itu berlalu lama, mengisi keheningan dalam ruangan yang besar dan luas. Tak tahu berapa lama Laras bersandar dalam pelukan ibunya, dia melepaskan diri. Bibirnya ditekan erat, dia masih terisak dengan mata berair dan hidung merah terang di kulit putihnya. "Tidak mau," suara kecil Laras terdengar pelan seperti dengungan nyamuk. Bibirnya masih gemetar ketika dia membukanya dan mengulangi ucapannya, "Tidak mau." Asri menutup matanya dengan napas berat dan kembali ke posisi duduk awalnya. Sebaliknya, kali ini Gunawan membuka suaranya tampak memiliki harapan dalam tatapan dan ucapannya. "Lalu kamu tinggal dengan ayah dan kakakmu?" Gunawan selalu mengejek Laras, dengan sengaja akan memulai perdebatan dan membuat putrinya kesal. Namun untuk hari ini, Gunawan menjadi lebih berhati-hati dan bersahabat. Tampak ingin membujuk anaknya itu dengan sebuah permen untuk mengikutinya dan membawanya pergi. Enggan berpisah jauh terlebih lagi ke negara di luar jangkauannya. Namun, Laras tetap menggumamkan hal yang sama. "Tidak mau," katanya pelan. Dia menundukkan kepala, melihat ke arah meja. Ada lima kue tart kecil yang telah dibelinya. Dia memilih kelima kue itu dengan hati-hati. Memilih satu warna kesukaan ibunya untuk diberikan kepada ibunya, memilih satu kue yang tidak disukainya untuk diberikan kepada ayahnya, memilih satu kue yang memiliki toping berbentuk topi untuk kakaknya yang suka memakai topi ketika bermain keluar, dan memilih dua sesuai dengan seleranya. Toko kue tempatnya beli merupakan toko yang terkenal dan laris. Dia harus antri dengan sabar untuk dapat memesan, lalu membayarnya menggunakan uang jajan yang telah dia sisihkan dengan hati-hati. Seharusnya mereka menyukai kue yang dibelinya, pikir Laras. Namun dari saat dia membagikan kue itu kepada ketiganya, tidak ada satu pun yang menyentuhnya. Kue-kue itu masih tersegel rapat, berada di posisi terakhir kali dia membagikannya. "Ini untuk ibu," dia mendorong salah satu kue miliknya yang masih tersegel kepada ibunya, kue yang memiliki toping stroberi merah segar. Lalu dia melihat ke satu-satunya kue miliknya yang telah terbuka dan memiliki jejak dikurangi di ujungnya. Dengan enggan, dia mendorongnya ke arah ayahnya. "Untuk ayah." Setelah mengatakan itu, dia baru ingat bahwa dia tidak punya tambahan untuk kakaknya sehingga wajah bekas tangisnya sedikit tertekan. "Aku akan membeli yang lain," katanya kepada kakaknya. Namun sedari awal dia datang hingga saat ini, dia sama sekali belum mendengar suara kakaknya. "Laras," panggilan dari ibunya terdengar lagi seperti sebelumnya. "Jadi kamu akan ikut dengan siapa?" tanyanya. Laras mengerutkan kening, matanya kembali berair dan dia melangkah mundur dan menunjuk ke arah kue di atas meja. "Aku membeli kue untuk kalian! Kenapa tidak ada yang memakannya? Aku mengantri lama dan membelinya, sangat lama! Semua orang mengatakan itu enak. Aku memakannya dan itu sangat enak dan manis. Kenapa kalian terus mengatakan omong kosong dan tidak diam lalu makan saja?" Dia selalu menjadi gadis dengan emosi yang meledak-ledak. Suatu saat dia bisa tertawa karena angin berhembus di wajahnya, suatu waktu lagi dia bisa saja menangis karena melihat bunga jatuh layu terbawa angin di depan matanya, dan di waktu berikutnya dia bisa langsung marah karena melihat seorang anak berlarian menginjak bunga tersebut. Emosinya selalu berfluktuasi dengan jelas di depan orang lain. Dia tidak pernah dengan sengaja menyembunyikan antara suka dan benci yang dirasakannya. Apa pun yang dia lihat, itu yang akan dia ceritakan. Apa yang dia dengar, itu yang akan dia sampaikan. Apa yang dia rasakan, itu yang akan perlihatkan. Menghadapi tiga pasang mata yang tampak terkejut dan tak bisa berkata-kata. Laras menjadi lebih kesal dan lebih kesal. Namun semakin kesal dia, air matanya menjadi lebih deras. Semakin dia ingin berteriak, isakan keluar dari tenggorokannya mencegat suaranya. Dia menjadi lebih dan lebih tidak tertahankan. Laras kembali menangis, namun berbeda dari tangisan diam sebelumnya. Laras berteriak menjerit seolah sedang kesakitan. Seolah ada luka tak kasat mata yang terbuka lebar di tubuhnya. Tatapan tiga pasang mata yang tertuju padanya menjadi garam yang bertaburan ke luka tersebut. Mungkin seharusnya dia tidak perlu pergi ke luar untuk membeli kue. Mungkin seharusnya dia tidak perlu mengantri lama di toko. Mungkin seharusnya dia tidak perlu keluar rumah dan melewatkan apa yang terjadi. Jika saja ... Jika saja dia ada di rumah ketika orang tuanya sedang berdebat dan belum membuat keputusan. Jika saja dia ada dan menghentikan segalanya. Dia mungkin tidak perlu memilih antara ayah atau ibu. Sayangnya tidak ada 'jika saja', nyatanya Laras tetap tidak akan bisa menghentikan keputusan yang diambil oleh kedua orang tuanya. Dia menggelengkan kepala, mengumpulkan semua kekuatannya untuk berteriak keras dengan kedua mata marah dan berair. "Tidak akan! Tidak ibu, tidak juga ayah. Aku akan tetap di sini!" Setelah mengatakan itu, Laras berbalik dan berlari keluar rumah. Meninggalkan keheningan yang suram di ruangan itu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD