001. Kehilangan Hak Milik

1230 Words
Hari pertama ke sekolah, tentu harus menjadi yang paling menarik perhatian. Itulah motto Laras. Gadis mungil itu perlu merias dirinya hampir satu jam penuh hanya sekadar untuk terlihat paling cantik di sekolahnya. Dia bahkan melewatkan waktu sarapannya karena takut makan akan merusak riasan yang telah dia aplikasikan ke wajahnya. Sebuah suara klakson terdengar di depan rumahnya. Laras tahu bahwa itu adalah mobil dari kakak sepupunya yang sedang menunjukkan keberadaannya. Karena itu Laras masih santai, memilih sepatu sekolah dari rak sepatu dengan perasaan dilema. Dalam rak sepatu, ada banyak sepatu favorit Laras yang ditata dengan rapi dan teratur. Berbagai macam merek ternama dengan kualitas nomor satu dapat dilihat dengan sekali pandang. Karena hal itu pula, Laras membutuhkan waktu lama hanya sekadar memilihnya. Mungkin merasa bosan menunggu seseorang yang tak kunjung keluar dari rumah, kakak sepupu Laras— Randi akhirnya memilih turun dari mobil dan menghampiri gadis itu. Dia berdiri di tengah pintu, memperhatikan Laras memegang dua pasang sepatu dengan ekspresi dilema yang terpampang nyata di wajahnya. "Yang kanan bagus," kata Randi. Laras menghela napas lega, mengembalikan sepatu yang ada di tangan kirinya ke dalam rak sepatu dan akhirnya memilih yang kanan. "Nah, aku juga berpikir seperti itu." "Um," gumam Randi, dengan sabar menunggu Laras memakai sepatu dengan gerakan lambat dan hati-hati. Gadis itu tampaknya ingin membuat ikatan sepatunya menjadi pita yang menarik, sehingga butuh waktu lama untuk menyelesaikannya. Randi tertawa, dia berjalan maju dan berjongkok di depan Laras. "Perhatikan dan pelajari," katanya sebelum meraih tali sepatu Laras dan memperbaikinya. "Perasaan aku sudah pelajari sebelumnya, tetapi lupa mulu," keluh Laras, menatap dengan fokus jari-jari panjang Randi yang mempermainkan tali sepatunya. Gerakan pemuda itu mantap seolah telah terbiasa melakukannya. "Sepertinya tidak ada yang tidak kamu ketahui," kata Laras dengan emosional, merasa begitu bodoh jika membandingkan dirinya dengan kakak sepupunya, padahal mereka adalah keluarga dengan perbedaan satu generasi saja. Randi terkekeh kecil ketika mendengarnya, tidak membantahnya yang merupakan persetujuan diam-diam. Setelah selesai mengikat tali sepatu yang satunya lagi, Randi bangkit berdiri. "Ayo pergi," katanya sembari melihat jam tangannya. Sudah jam setengah delapan, jika mereka terjebak macet, maka dia kemungkinan besar tidak akan berhasil mengantar gadis itu sampai ke sekolah tepat waktu. Namun Laras tidak begitu memikirkan waktu, dia juga melirik jam tangannya sendiri dan hanya dengan santai mengangguk, sama sekali tidak peduli apakah dia datang tepat waktu atau terlambat. "Kamu tidak tahu sih, orang yang paling menarik selalu datang terlambat," ujarnya sembari berjalan mengikuti Randi dari belakang keluar rumah, jari-jarinya terangkat memperbaiki rambutnya dengan hati-hati. "Aku duduk di belakang," kata Laras dengan senyum lebar, lalu dia membuka pintu belakang mobil dan duduk dengan gerakan anggun. Randi meliriknya, masuk di kursi pengemudi dan berkata dengan sindiran khas, "Ya, anggap saja aku seorang sopir. Nona Laras, tolong pasang sabuk pengamannya." Mendengar kata-kata kakaknya, Laras tidak bisa menahan tawanya. Dia dengan patuh memakai sabuk pengaman dan bersandar dengan malas ke belakang. Mesin mobil segera menyala dan bergerak maju bergabung dengan kesibukan pagi jalan raya. Sepanjang jalan Laras memegang cermin kecil di tangannya dan melihat bayangannya di dalam cermin tersebut. Dia selalu khawatir akan detail kecil riasan di wajahnya tidak rapi dan sesekali mengeluarkan alat riasnya dari dalam tas untuk memperbaikinya. Laras tipe orang yang banyak bicara, tidak suka menyisakan keheningan ketika ada seseorang di sekitarnya yang bisa diajak mengobrol. Jadi sepanjang perjalanan, mulutnya tidak pernah berhenti terbuka, terus mengeluarkan kata-kata untuk berinteraksi dengan pemuda yang duduk di kursi depan. "Aku harus terlihat paling cantik nanti, Randi kakakku yang paling tampan dan baik, tolong bukakan pintu mobil untukku nanti ya. Pokoknya aku harus sangat sangat mencolok, sehingga adik kelas yang baru juga mengenal sosok ratu ini." "Kamu benar-benar memposisikan aku sebagai sopir pribadimu." Randi tersenyum tak berdaya ketika mengatakan hal itu, namun tidak ada penolakan dalam kata-katanya. Siapa yang memintanya untuk terlalu memanjakan adiknya yang satu ini. Laras tertawa, "Randi yang terbaik! Apalah Laras tanpa seorang Randi." Gadis itu selalu mengatakan apa pun dengan mudah tanpa keterikatan dengan kata-katanya, seolah tidak peduli apakah orang lain akan terpengaruh oleh ucapannya itu atau tidak. Tawa Laras sangat menular, Randi tanpa sadar melembutkan raut wajahnya dan tersenyum. "Dari dulu aku bertanya-tanya, darimana kamu mendapatkan keterampilan mengeluarkan kata-kata manis itu?" "Aku otodidak," jawab Laras dengan jejak kebanggaan dalam nada suaranya. Untungnya mereka berhasil sampai ke sekolah sebelum gerbang depan tertutup. Di depan gerbang ada beberapa anggota OSIS yang menjaga, beberapa murid yang baru datang dihadang oleh mereka karena kekurangan atribut seragam dan ditegur hingga membuat para murid itu gemetaran dan berjanji berulang kali tidak akan mengulanginya. Suasana kira-kira sangat bagus dan sesuai dengan harapan Laras. Gadis itu memberikan isyarat kepada kakak sepupunya yang membuat Randi tersenyum tak berdaya lalu keluar dari mobilnya. Randi adalah salah satu alumni sekolah yang terkenal karena bakat dan nilainya yang terbaik, terlebih lagi dia baru saja lulus tahun ini. Dia juga mantan ketua OSIS yang disegani setiap murid, bahkan setiap kehadirannya membuat para murid merinding melebihi ketika melihat guru galak. Ketika Randi keluar dari mobil, sosoknya menarik perhatian setiap murid yang ada di sekitar gerbang depan. Para anggota OSIS mengenal Randi, lagi pula mereka beberapa kali dikenakan hukuman pengurangan poin karena ketahuan melakukan berbagai pelanggaran oleh sifat ketat dan tegas Randi ketika menjabat sebagai ketua OSIS. Tanpa sadar para anggota OSIS itu memiliki wajah tegang, menghilangkan ekspresi sombong dan ceroboh mereka beberapa saat yang lalu ketika menegur murid baru. Para murid baru melihat itu dan ikut merasa waspada, mereka tidak mengenal Randi, namun atmosfer sekitar memberitahu mereka bahwa orang ini bukanlah orang yang bisa mereka singgung. Namun Randi bahkan tidak melirik sekali pun ke arah mereka, tangannya terulur meraih gagang pintu dan membuka pintu belakang khusus untuk Tuan Putri Laras. Laras hampir tak bisa menahan tawanya ketika memperhatikan keadaan di luar, namun ketika pintu mobil terbuka, dia segera memperbaiki ekspresinya dan turun dengan anggun dari mobil. Kepalanya terangkat, melirik dengan angkuh murid-murid di sekitar dan berjalan anggun masuk ke gerbang sekolah. Saat itu sinar matahari pagi sangat menyilaukan, cahaya oranye jatuh menimpa sosok Laras yang menambahkan filter keemasan pada tubuh gadis itu. Menjadikan sosoknya menjadi lebih mempesona seperti malaikat yang tidak tergapai. Tidak ada satu pun anggota OSIS yang berani menghentikannya, mereka semua secara serempak menahan napas dan membiarkan Laras lolos begitu saja. Randi yang selalu tenang dan serius di depan adik kelasnya kini tertawa ringan ketika melihat sosok gadis itu terus bersikap sangat menawan di depan orang lain. Tawanya pelan dan tatapan tegasnya menjadi lembut dan mudah didekati, hal itu membuat para adik kelasnya tertegun dan terpesona. "Kak— Kak Randi!" Salah satu anggota OSIS itu menyapa Randi dengan gugup, bahkan dengan sebuah nama itu telah berhasil membuat jantungnya berdebar hingga tampak hampir meledak. Randi melirik ringan dan mengangguk, kemudian dia berbalik masuk ke dalam mobil. Saat mobil itu bergerak maju dan menghilang dari area pandang, saat itulah para murid menghela napas lega. Mereka saling memandang satu sama lain dan melihat ketegangan di mata masing-masing. Di dalam mobil, Randi dengan fokus menyetir menggunakan kecepatan yang sesuai. Tidak tahu apa yang dipikirkannya, senyuman kecil tampaknya tak bosan menghiasi sudut bibirnya. Hanya saja itu tak berlangsung lama ketika dia menghentikan mobilnya di lampu merah. Sebuah pikiran melintas di pikirannya yang membuatnya tampak tak berdaya. "Seandainya aku bukan kakaknya," gumamnya pelan pada udara. Namun beberapa saat kemudian dia menggelengkan kepalanya, jika dia bukan kakak sepupu Laras, maka dia tidak memiliki hak menjaga Laras dari kecil hingga sekarang. Hanya saja menjadi seorang kakak membuatnya kehilangan hak memiliki gadis itu sepenuhnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD