002. Randi dengan Seorang Gadis

1628 Words
Laras berdiri di tengah pintu, tatapannya menyapu setiap sudut ruangan, mengamati dengan santai. Kemudian dia menunjuk ke suatu tempat, dengan senyum manis dan sedikit ancaman dia berjalan ke samping sebuah meja. "Meja ini terlihat bagus, kenapa kamu tidak mengalah untukku?" "Tidak," Kidar langsung menolak. Laras butuh waktu lama untuk meresapi jawaban itu sebelum dia mengerjap dengan penuh amarah. "Kenapa? Aku ingin duduk di sini, kamu pindah." "Aku sudah memesan tempat ini lebih awal, Tuan Putri Laras silakan cari tempat yang lain." Kidar tetap mempertahankan wilayahnya, menatap Laras dengan waspada seolah berhati-hati tempatnya direnggut. Laras membuka mulutnya dengan pandangan tak percaya. Sangat jarang orang lain menolaknya, bahkan teman-teman sekelasnya pun sering mengalah untuk hal sepele untuknya. Dia ingin bertarung untuk meja dengan posisi terbaik ini ketika seseorang menarik lengannya menjauh. "Aku sudah mendapatkanmu meja terbaik, dan kamu pergi mencuri meja orang lain." Rena menyeret Laras dan melemparnya ke bangku baris kedua deret ketiga, tempat yang sangat nyaman untuk melihat papan tulis langsung dan tidak perlu terlalu tegang untuk bertemu tatap dengan guru setiap saat. Tetapi jelas Laras tidak satu pemikiran dengan Rena. Dia melotot dan menolak dengan tegas. "Apakah kamu gila? Kenapa mencari tempat ekstrem seperti ini? Bagaimana aku bisa bermain ponsel nanti?" Rena tersenyum kecil, membuka kemasan keripik dan makan dengan santai. "Tidak masalah, aku juga memilih tempat ini karena memikirkanmu, kawan. Dengan begini kamu tidak akan mengeluarkan ponsel atau merias wajah, fokuslah sedikit dengan belajar." Dia mengatakan ini dengan sangat tulus, bagaimana pun mereka telah kelas dua belas. Berada di titik menegangkan dalam tiga tahun sekolah menengah atas. Jika Laras terus mengabaikan belajarnya, bahkan Rena tidak bisa lagi membantunya dengan memberikan contekan. Laras merinding hanya dengan mendengar kata belajar yang keluar dari mulut temannya yang satu itu. Dia berbalik dan berniat kembali berperang dengan Kidar. "Kidar, berikan tempat itu padaku atau kita akan bertarung dengan darah dan air mata saat ini juga!" "Sekadar info, Kidar dan Rahmat sedang berpacaran." Rena menarik Laras mendekat, memberikan informasi terkini teman sekelasnya dengan wajah penuh senyuman geli, dia melirik ke belakang dan menunjuk ke satu arah untuk menjelaskan kepada Laras. "Rahmat duduk di sana, tentu saja Kidar ingin dekat-dekat dengan pacarnya dan duduk di situ. Apakah karena kamu baru saja gagal akan cinta, karena itu kamu bahkan ingin memisahkan cinta orang lain?" Kata-kata Rena diucapkan santai dengan maksud menyindir, itu bagaikan panah yang menusuk tajam langsung ke jantung Laras. Beberapa bulan yang lalu Laras ditolak oleh pemuda yang ditaksirnya selama dua tahun. Dia telah mengerahkan segala upaya untuk mendapatkan pemuda itu hanya menghasilkan akhir yang menyedihkan untuknya. Meski sangat memilukan, Rena telah menebak akhir itu dan tidak terkejut, hanya saja Laras belum melupakan kejadian itu hingga dia menjadi kesal. "Kamu diam, semua kata-katamu adalah kutukan. Jangan bicara lagi padaku!" seru Laras dengan keras, membuang semua kesalahan kepada Rena. Dari awal Rena sangat menentang perasaannya dan terus mengatakan dia tidak akan berhasil, alhasil dia benar-benar tidak berhasil. Ini pasti kutukan dari mulut gagak Rena. Rena tidak peduli dengan ucapan Laras, dia masih dengan senang hati memakan keripik pisang rasa balado miliknya. Tangannya menarik Laras dengan santai, membuat gadis itu duduk di bangku yang telah disediakan. "Sudahlah, biarkan Kidar dan Rahmat duduk bersama. Setelah putus baru kamu bisa mengajukan pindah tempat duduk dengannya. Paling tidak cukup satu bulan mereka sudah berpisah." Mendengar ucapan Rena, Laras mendelik ngeri. "Bisakah kamu berhenti mengutuk orang lain dengan senyum ramahmu itu?" "Itu fakta," Rena mengangkat bahunya, menandakan dia sama sekali tidak peduli. Laras juga sudah merelakan meja pilihannya untuk Kidar. Meski dia kesal dengan setiap kata-kata bak kutukan milik temannya, tetapi Laras memiliki sedikit kepercayaan pada kata-kata itu. Bagaimana pun dia berulang kali telah merasakannya. Mungkin karena ini adalah hari pertama sekolah, tidak ada guru yang masuk mengajar sama sekali. Hanya wali kelas yang datang memberi instruksi dan pergi begitu saja setelah meninggalkan tugas di beberapa murid. Layak menjadi guru yang disegani. Meski begitu, sekolah masih sangat ketat dan melarang para muridnya pulang sebelum jam pulang. Jadi kebanyakan dari para murid yang menganggur pergi memenuhi kantin, lapangan olahraga, atau taman halaman untuk menikmati masa muda penuh canda tawa. Terlebih lagi murid baru memanfaatkan waktu ini untuk lebih mengenal lingkungan sekolah baru mereka. Laras adalah satu dari banyak orang yang lebih suka menghabiskan waktunya dengan ponselnya. Dia duduk di dalam kelas tetap di bangkunya dengan ponsel di tangannya yang setia menemaninya. Sementara di sekitarnya terus terdengar suara kunyahan keripik yang renyah. Siapa lagi kalau bukan Rena yang bucin setengah mati dengan makanan iris tipis itu. "Eh?" Laras tiba-tiba berdiri, matanya melebar dengan pandangan menatap lurus ke layar ponselnya. Rena menoleh ke samping, menikmati wajah konyol temannya beberapa saat sebelum bertanya karena rutinitas. "Ada apa?" Laras kembali duduk, dia menunjukkan layar ponselnya kepada Rena. "Lihat ini, lihat!" "Forum Universitas B? Apakah kamu berniat untuk ke sana nanti?" Rena meraih ponsel Laras, melihat-lihat dengan santai. "Aku bahkan tidak berpikir untuk kuliah, maksud aku lihat postingan ini." Laras mengarahkan layar ke sebuah postingan, membukanya agar Rena bisa melihat dengan jelas. Rena membaca postingan tersebut sembari menasehati temannya yang tidak ada harapan itu, "Setidaknya kamu harus peduli sedikit tentang masa depanmu." Kemudian tatapannya berhenti ke sebuah foto di mana seorang pemuda yang tampan sedang mengobrol dengan seorang gadis berkacamata yang terlihat sangat manis dan imut. "Ini Kak Randi dengan siapa?" "Benar Randi kan? Astaga aku hampir berpikir mataku mengkhianatiku! Randi dengan seorang gadis! Apakah akhirnya kakakku yang cinta mati dengan buku itu akhirnya membuka hatinya untuk seorang wanita?" Laras berkata dengan penuh kejutan di wajahnya, merasa bahwa dia telah menemukan sebuah samudera baru yang belum dijelajahi. Rena melihat Laras dengan tatapan aneh, "Apa yang membuatmu begitu terkejut?" "Kamu tidak terkejut?" Laras bahkan merasa Rena lebih aneh lagi. "Kakakku yang aku pikir akan menghabiskan sisa hidupnya dengan buku kini dekat dengan seorang gadis, aku tiba-tiba merinding." Ketika dia mengatakan seperti itu, tangannya bergerak cepat merebut ponselnya kembali dari Rena dan segera menemukan nomor kontak Randi untuk memanggilnya. Nada terhubung berdering dua kali sebelum panggilan tersambung. Suara berisik terdengar dari seberang ponsel yang menandakan bahwa Randi saat ini tidak ada di rumah. "Randi, kamu pengkhianat!" serbu Laras setelah panggilan tersambung. Randi saat ini sedang membahas tugas laporan di kafe bersama rekan kelompoknya merasa terkejut dengan teriakan Laras tiba-tiba. Dia melirik ponselnya yang mentransmisikan suara semangat Laras beberapa saat sebelum bertanya, "Kenapa aku pengkhianat?" tanyanya dengan tenang tampak telah terbiasa dengan segala keanehan adik sepupunya itu. "Di forum kampusmu aku menemukan bukti yang sangat kuat bahwa kamu pengkhianat." Laras berkata dengan nada menuduh, dia mendengus keras dan bahkan menghentakkan kakinya. "Ketika aku naksir orang lain, aku memberitahukannya padamu sedetail dan sejelas mungkin. Tetapi kamu menyembunyikan apa pun padaku, ini tidak adil. Dasar pengkhianat!" Setelah itu, dia memutuskan panggilan secara sepihak dengan emosional, lagi pula dia yakin Randi akan meneleponnya kembali. Randi dengan bingung menatap layar ponselnya, lalu dia menoleh untuk melihat teman di sampingnya. "Ada apa di forum kampus?" Randi bertanya kepada Fito namun yang lain yang mengetahui lebih jelas yang menjawabnya. "Forum? Oh aku baru saja melihatnya, ada seseorang yang memposting gambarmu dengan Senior Sena. Banyak orang yang mencocokkan kalian." Mendengarnya membuat Randi mengerutkan keningnya, dia bangkit berdiri dengan membawa ponselnya setelah meninggalkan satu kalimat untuk teman-temannya. "Aku akan menelepon sebentar." Randi pergi menjauh dari keramaian dan rekan-rekan kelompoknya saling memandang dengan kejutan di mata masing-masing. "Apakah dia ingin menelepon pacarnya untuk mengklarifikasi postingan di forum?" tanya salah satu dari mereka. Yang lainnya menganggukkan kepala, "Situasinya mengatakan seperti itu. Bagaimana menurutmu, To?" Fito minum seteguk cappucino miliknya dan tersenyum kecil, "Aku tidak tahu," katanya dengan jawaban yang paling aman. Yang lain memiliki dugaan bahwa Fito yang merupakan teman yang paling akrab dengan Randi mengetahui sesuatu tetapi menyembunyikannya. Mereka terus mendesaknya namun Fito menolak untuk membuka mulutnya untuk memberikan informasi yang lebih memuaskan. Namun pada kenyataannya Fito memang tidak tahu apa-apa, dia tersenyum tak berdaya dan terus mengatakan bahwa dia tidak tahu apa-apa di bawah tuduhan tak percaya dari sekitarnya. Di depan kafe, Randi mencoba menghubungi Laras kembali, jangan sampai tuan putri kecil itu mengamuk karena masalah sepele seperti ini. Dia mengetahui sifat Laras yang mudah marah namun juga mudah disenangi, jadi dia masih santai ketika mengetahui bahwa panggilan telah terhubung. "Jadi, telah menemukan alasan yang bagus?" tanya Laras dengan suara ketus. "Aku memberitahukanmu semuanya, ketika aku suka pada Kevin aku menceritakan setiap detail terkecil, tidak ada satu pun yang terlewatkan. Tetapi kamu tidak memberitahuku ketika suka seseorang, aku curiga kamu bahkan tidak menganggapku adikmu." Randi menghela napas, "Jangan langsung percaya dengan berita omong kosong dalam forum. Lebih baik kamu membaca buku pelajaran daripada postingan acak itu." "Kamu mengubah topik!" Laras memotong kata-katanya, berseru semangat ketika menemukan Randi memutar pembicaraan ke alur yang salah. Siang itu terlalu terik, Randi berdiri dengan tenang menerima sinar hangat dari matahari yang dihindari orang lain. Sosoknya yang tinggi tegap kini tampak rileks, bahunya bergetar ringan ketika dia terkekeh. "Aku tidak naksir wanita dalam forum itu, kebetulan aku satu organisasi dengannya dan perlu membahas beberapa hal. Aku tidak tahu ada seseorang yang iseng memotret kami." "Jadi dia bukan pacarmu?" tanya Laras dengan hati-hati. "Um," gumam Randi kemudian terdiam sesaat, tiba-tiba saja dia ingin mengajukan sebuah pertanyaan kepada Laras, sisa impulsif masa remajanya membuatnya benar-benar mengajukan pertanyaan yang tersimpan di kepalanya. "Jika aku punya seseorang yang aku taksir, bagaimana denganmu?" Ada keheningan yang jarang, hal ini membuat Randi menyesal telah mengajukan pertanyaan itu. Kemudian keheningan tersebut diikuti oleh suara Laras yang kesal. "Kamu pasti sedang menyukai seseorang, benar kan? Ayo ngaku, siapa yang kamu suka? Jangan menyembunyikannya dariku. Cepat ngaku!" Randi tertawa, "Jika aku ngaku, kamu akan ketakutan." Suara tawanya begitu ringan dan dangkal, terbawa oleh angin lalu dan menyebarkannya tanpa sisa. Laras diseberang panggilan tiba-tiba merasakan telinganya terasa gatal ketika mendengar tawa itu. Untuk beberapa alasan yang tak wajar, Laras merasa cemas ketika mendengar kalimat ini datang dari kakak sepupunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD